"Bagus, akhirnya kalian sampai juga."
Aku dan Amara menatap ke arah rumah. Ternyata sudah banyak orang menunggu, tak ketinggalan ibu juga datang. "Katakan apa yang dilakukan istrimu, Bram? Kenapa ada orang bikin ribut di rumahmu?"Aku menarik napas setelah mendengar pertanyaan ibu. Apalagi saat melihat tatapan mata Amara, jelas sekali dia menatapku dengan sinis. "Sudah gak usah banyak bacot kalian. Sekarang katakan apa salah ibuku? Sampai kau tega memukulinya," tanya Yanto.Mendengar pertanyaan pria itu sudah membuatku takut. Apalagi saat melihat matanya yang terlihat sedang marah besar. "Apa ibumu bisu? Sampai kau datang kemari cuma untuk bertanya. Kenapa aku menamparnya?" Aku terkejut mendengar ucapan Amara.Dia begitu berani melawan Yanto, pria yang terkenal brengsek di kampung ini. "Lancang kau betina, berani kau kurang ajar padaku."Aku bergerak mundur, saat Yanto mengangkat tangan, hendak menampar Amara. Namun mendengar ucapan Amara selanjutnya membuat semua orang terkejut."Berani kau sentuh aku. Bang Poltak pasti akan membunuhmu, Yanto!" teriak Amara. Waktu seakan berhenti, ketika tangan Yanto berhenti tepat satu inci dari pipi Amara. Pria itu terlihat ketakutan, namun Amara justru tersenyum sinis."Memangnya ada hubungan apa kau dengan bang Poltak, Ara?!" tanya seseorang. Kini kami semua menatap sumber suara, ternyata ada kak Butet diantara penonton. Wanita Batak yang terkenal sangat mencintai suaminya."Cepat katakan sebelum aku habisi kau. Kenapa pula suamiku akan membunuh Yanto? Kalau dia menyentuhmu. Sedangkan suamimu saja seperti pengecut begitu." Semua orang menatapku, karena kak Butet aku ketahuan kalau takut menghadapi Yanto."Apa perlu aku beritahu kak Butet. Apa yang kau lakukan di belakang rumah kosong samping rumahnya?"Aku bingung sebenarnya apa yang di katakan Amara. Dia seolah membuat Yanto ketakutan, hingga membuat kak Butet geram. "Cepat katakan, ada hubungan apa kau dengan bang Poltak. Terus apa yang dia lakukan di belakang rumah kosong itu, Ara!?"Kak Butet semakin emosi, karena Amara dan Yanto seperti sedang negosiasi. Pria itu juga terlihat aneh, dia takut dengan Amara yang lemah itu. "Jangan mencoba memfitnahku, Ara. Kalau tidak aku bisa membunuhmu," ucap Yanto.Pria itu mengancam namun tak membuat Amara takut. Dia justru mendekat dan menepuk pipi pria brengsek itu. "Kau mau bukti, Yanto? Baiklah aku tunjukkan padamu. Kekuatan kak Butet."Amara mendekat dan memutar sebuah Vidio dari ponselnya. Entah apa isinya, namun semua orang terkejut ketika melihat kak Butet menghajar Yanto hingga babak belur."Buj**g inang, berani kau melakukan itu padaku mati kau setan!"Beberapa orang pria mencoba menolong Yanto, karena pria itu sudah babak belur, dengan bibir pecah dan berdarah. Namun kak Butet seperti belum puas menghajar Yanto."Inang! Apa yang kau lakukan, Butet? Kau mengajar orang sesuka hatimu, bisa mati si Yanto."Mendengar suara bang Poltak, membuat Yanto berdiri dan kabur. Meninggalkan makian kak Butet, membuat suaminya menutup kuping. "Kurang ajar dia Bang, berani mau menghajar Amara yang hanya perempuan lemah."Wanita itu ngos-ngosan, sedang Amara seperti paham dengan apa yang dilakukan kak Butet. Nanti aku harus cari tau apa yang di rekam Amara. "Kau memang hebat, Sayang. Bisa membela kaummu yang lemah, makin cinta aku padamu," ucap Bang Poltak.Semua orang menjadi kesal. Setelah melihat kemesraan bang Poltak dan kak Butet, satu persatu segera pergi meninggalkan halaman rumahku "Aku belum selesai denganmu, Ara. Besok aku datang lagi, ingat jangan ada yang hilang sebelum aku datang!" teriak kak ButetDia berkata sembari menatap Amara. Wanita itu segera menarik suaminya pulang meninggalkan aku, Amara dan ibu. Mengingat ibu, aku heran mau apa dia datang kemari. "Ibu butuh uang lagi, cepat berikan 500 ribu. Bram."Mendengar permintaan ibu mataku melotot. Baru tadi aku beri sekarang minta lagi, apa dia tak dengar ucapanku untuk berhemat bulan ini. "Kenapa kau menatap ibu begitu? Jangan bilang istrimu mulai serakah lagi. Dia harus paham, kalau kau masih punya ibu dan dua adik perempuan."Mendengar ucapan ibu Amara segera masuk ke rumah. Tak lama dia keluar membawa amplop gaji yang belum dia lihat isinya. "Ini Bu, silahkan dinikmati tapi jangan lupa bayar cicilan anakmu. Setelah itu berpikirlah berapa sisanya, hingga ibu bisa bilang aku serakah."Melihat perbuatan Amara, aku segera merebut amplop itu dari tangan ibu. Jangan sampai habis sebelum membayar semua cicilan hutangku. "Maaf Bu, untuk sekarang aku tak bisa memberi ibu lebih. Minta tolong pada Desi dan Manda dulu, karena bulan ini gajiku bahkan kurang, untuk membayar semua cicilan hutangku."Aku segera meninggalkan ibu. Jangan sampai dia merampas uang yang belum aku stor ke tukang kredit. "Kenapa kau mengambil uang itu, mas? Akan lebih bagus kalau ibumu tau berapa gajimu, jadi dia tak akan asal bicara lagi." Amara berkata dengan nada ketus. Dia seolah tak perduli, meski aku kembali meletakan amplop itu di atas meja."Tolong, untuk bulan ini saja, Ara. Aku benar-benar tak bisa berpikir soal uang lagi." Amara tertawa dia menatapku dengan sinis. Ada kemarahan dan kekecewaan di matanya dan aku tak tau penyebabnya."Baiklah kalau kau berkeras. Besok aku akan membantumu membayarkan hutangmu itu." Aku menarik napas lega karena ucapan Amara. Kalau begini kan aku tak perlu pusing memikirkan cicilan lagi."Aku lapar, apa kau benar-benar tak mau masak, Ra? Lagian kalau bercanda di lihat-lihat dulu, mana mungkin bisa kenyang, dengan semua gambar yang kau letakan di bawah tudung saji." Amara menatapku yang memegang perut karena lapar. Aku berharap dia akan merasa kasihan dan mau masak makanan untukku."Sayang sekali mas, sebelum minta aku memasak, lihat dulu isi dapur terutama kulkas," ujar Amara sinis.Aku terkejut mendengar ucapannya. Memangnya ada ada apa dengan kulkas, tak mungkin dia menyimpan makanan di sana bisa dingin, mana enak lagi dimakan."Kau mau kemana, Ara? Tolong buat dulu makanan. Aku sudah lapar sejak tadi." Aku berkata memelas namun bukannya menuruti permintaanku Amara justru menarik tangan ini menuju ke dapur."Silahkan di periksa kalau ada yang bisa di masak. Segera panggil aku." Aku masih tak mengerti, tapi mengikuti permintaan Amara, untuk melihat isi kulkas. Mataku melotot melihat isinya."Jabang bayi, apa yang terjadi Amara? Kenapa kosong begini? Bahkan air putih pun tak ada di dalam sini." Aku menatap Amara yang entah menghilang kemana. Sepertinya kekamar karena aku dengar suara disana."Sudah paham kan kenapa aku tak memasak. Maaf kalau selama ini kau bisa makan enak, meski dengan uang pas-pasan tapi sekarang tidak lagi." Amara meraih handuk dan segera menuju ke kamar mandi. Sedangkan aku masih merasakan perih di perutku."Minum yang banyak terus berdoa. Semoga uangmu tersisa untuk makan selama sebulan. Kalau tidak bersiaplah untuk puasa." Amara segera menghilang setelah menutup pintu kamar mandi. Dia benar-benar tak perduli, meski melihatku kesakitan karena lapar."Terakhir makan tadi siang. Tentu saja sekarang perutku terasa melilit karena lapar, tak ada jalan lain selain ke rumah ibu." Saat hendak membuka pintu ternyata Amara keluar dari kamar mandi. Dia menatapku curiga, namun tak lama dia menyeringai dengan licik."Jangan coba minta makan ke ibumu, Mas. Itu berarti kau mengamankan perutmu sendiri, jika itu terjadi tak ada jalan lain kita pisah. Aku sudah lelah dengan semua yang kau berikan padaku sejak kita menikah." Amara terlihat marah,Dia melempar asal handuk yang baru dia gunakan. Apa dia tak berpikir betapa sakitnya perutku. Kalau memang mau, dia kan bisa ikut ke rumah ibuku untuk minta makan. "Silahkan kalau mau pergi meminta makan pada ibumu. Itu berarti kau tak akan menemukan aku lagi di rumah ini," ucap Amara lagi.Amara membuka pintu rumah setelah bicara panjang lebar. Dia seolah tak perduli dengan sakit di perutku, karena dia tampak serius dengan ucapannya. "Maaf, aku lapar, Ara. Nanti aku bawakan makanan dari rumah ibu untukmu."Tak ada suara, sepertinya Ara mengalah kali ini. Bagus aku harus segera ke rumah ibu untuk makan, karena perutku semakin melilit. Dia pasti akan tersenyum lagi saat aku pulang membawa makanan."Gila kau sampai makan di rumah ibu. Hanya karena istrimu tak mau masak, lalu dia gunakan untuk apa semua gajimu, Bram?"Begitu sampai rumah ibu aku langsung ke meja makan. Tak perduli saat wanita itu mengomel karena kesal pada Amara. Yang terpenting sekarang aku kenyang dulu.Bagi orang tua hidup sudah lebih dari cukup asal ada anak dan cucu. Setelah memastikan aku dan Ikhram akan membawa anak-anak mengunjungi mereka saat liburan, kakek Ikhram membujuk mama Ikhram agar setuju pergi ke perkebunan teh kami. Meski terlihat tak ikhlas, tapi mama Ikhram akhirnya setuju. Aku dan Ikhram membawa anak-anak mengantar mereka langsung ke perkebunan, awalnya mau menaiki pesawat tapi anak-anak malah mau naik mobil. Alhasil kami membutuhkan tiga hari perjalanan untuk sampai ke perkebunan. Kemudian kami menghabiskan waktu yang tersisa hingga weekend baru kami kembali. Kali ini kami kembali menaiki pesawat, meski tak tega tapi aku menguatkan hati saat meninggalkan kakek dan mama Ikhram. "Mama masih belum menyerah, beberapa hari ini dia mencoba membuatmu merasa bersalah. Untungnya istriku sudah lebih cerdas jadi tidak tertipu lagi, kalau tidak aku akan pusing memikirkan cara menyadarkan mama." Ikhram memelukku, sembari berjalan ke dalam ruang tunggu. Sedangkan di depan
Melihat istri dan anak hampir celaka, di depan mata dan tanpa bisa berbuat apa-apa membuat Ikhram trauma. Setiap kali memejamkan mata dia akan bermimpi buruk, hal itu sudah terjadi selama dua hari ini.Merasa tertekan dan tidak beristirahat dengan tenang, semakin membuatnya frustasi. Hasilnya dalam jangka waktu singkat Ibu kota gempar, dua perusahaan besar dan dua keluarga kelas atas jatuh dalam sekejap. ARTAMA grup mengeksekusi perusahaan Sam dan kakek Ikhram. Tentu saja hal itu menambah masalah baru, namun itu justru membuat Ikhram merasa puas. Aku hanya bisa melihat kepuasannya, karena aku tau rasa sakit yang dia rasakan selama ini."Apa kau yakin akan bertarung dengan kakek dan juga ... Mama?" tanyaku lagi saat menemaninya istirahat, di kamar yang ada dalam ruang kerjanya."Jangan lupa ada Sam juga, kalau merasa iba kau bisa mengatakannya sekarang." Ikhram menyentuh daguku, lalu memberi kecupan di bibir dengan lembut. Mendengar nama Sam di sebut membuatku bingung, "Ada hubungan
Waktu bersantai bagi seorang wanita yang sudah menikah dan punya anak adalah hal yang paling mewah. Satu atau dua jam untuk menenangkan diri, itu sudah lebih dari cukup bagi mental yang kadang sedikit tertekan. Setelah menyingkirkan Ikhram, akhirnya aku bisa memuaskan diriku dengan belanja dan makan enak. Setelah dua jam menjelajahi jalanan, akhirnya aku pergi ke perusahaan Ikhram dengan membawa satu cup besar boba dan satu kotak besar aneka kue potong. Aneka kue dengan bermacam-macam cream. Ada cream coklat, stroberi dan juga moka, aku tertarik melihatnya jadi membelinya. Siapa sangka ternyata jumlahnya cukup banyak, sebelum Ikhram melihatnya aku akan menyimpannya di pantry saja. Sore baru aku bawa pulang, tentu saja tanpa sepengetahuan suamiku itu. Setelah sampai depan lobby aku celingak-celinguk untuk melihat situasi, jangan sampai kepergok Ikhram yang kadang muncul macam jelangkung itu. Dia kadang bisa muncul kapan saja dan dimana saja, tanpa bau dan tanpa suara pas kan
Melihat orang gila di rumah sakit jiwa lebih baik, daripada melihat mertua yang mengila, karena tidak bisa melawan menantunya. Aku hanya diam saat melihat mertuaku menangis seperti anak kecil, melihatnya seperti itu membuatku berpikir, apa aku benar-benar tertipu oleh penampilannya ketika pertama kali bertemu. Saat itu mertuaku itu terlihat begitu menderita, dengan wajah pucat yang seperti kurang darah, namun sekarang penampilannya terlihat berubah drastis. Ibarat Kucing telah berubah menjadi Singa, tatapannya juga lebih tajam dan juga kejam. "Aku mamamu, wanita yang melahirkanmu. Apa pantas kau perlakukan seperti ini, hanya demi wanita yang baru kau nikahi?" tanya mama Ikhram dengan sinis. "Aku sudah lama menikahinya, Ma. Dia juga orang yang berdiri di sampingku saat terpuruk dulu, andai tak ada dia aku tak akan berdiri tegak seperti ini di depan mama saat ini." Ikhram memegang tanganku dengan erat. Aku menepuk punggung tangannya agar dia tenang, saat ini kami benar-benar d
Ujian pernikahan setiap orang berbeda, ada yang diuji dengan anak, suami bahkan dari sang istri. Sedangkan aku, ujian pernikahanku masih sama, baik pernikahan pertama ataupun yang kedua, aku diuji dengan mertua dan wanita kedua. Ujian itu kembali datang, mungkin karena di pernikahan pertama aku gagal mengatasinya. Sedangkan di pernikahan kedua ini, aku bertekad untuk melawan ujian itu, tentu saja dengan dukungan suamiku Ikhram. Sedangkan di pernikahan pertamaku dulu, Bram tidak hanya membantuku mengatasi ujian tersebut, tapi dia justru membuatku putus asa. Sehingga aku menyerah dan memilih bercerai. "Berjuanglah jika memang sudah memilih untuk bertahan, bapak juga setuju jika kau melawan orang yang ingin menghancurkan pernikahanmu. Begitu juga ketika Ikhram tidak lagi mendukungmu, kami bersedia menerimamu kembali pulang," ujar bapak dengan mantap. Ikhram memeluk pinggangku dan berjanji pada bapak dan ibu, bahwa dia tidak akan membiarkan aku berjuang sendiri. Dia bahkan berani
Ketenangan, sepertinya menjadi sebuah hal yang paling berharga, sehingga begitu sulit untuk aku dapatkan. Hanya dalam waktu seminggu akhirnya wanita itu datang tanpa diundang. Dengan wajah angkuhnya dia menatap, rumah yang aku tempati sekarang. Senyum sinis juga terukir di bibirnya, lalu mulutnya pun mulai berkicau dengan nada penuh penghinaan. "Pantas kau begitu percaya diri, saat meninggalkan rumah putraku. Ternyata kau memiliki cadangan, untuk hidup senang dengan menumpang pada seorang pria. Sudah berapa lama kau bersamanya, jangan-jangan kalian sudah bersama ketika masih bersama dengan Ikhram?" tanyanya sinis. "Aku rasa Kau tidak perlu tahu sejak kapan aku bersamanya, sama seperti ketika kau pergi dan melupakan putramu. Waktu yang kau perlukan untuk pergi cukup banyak, tapi mengapa baru sekarang kau kembali. Apa mungkin tiada paksaan saat itu, jangan marah karena kenyataannya hanya kau yang tahu apa yang terjadi saat itu," ujarku tak mau kalah. "Kau benar-benar wanita kura
Kakiku gemetar saat menuruni tangga, di bawah mertuaku itu berdiri dengan angkuhnya. Aku tertawa melihatnya, karena begitu profesional sekali dia menutupi sifat aslinya. Hingga membuatku tertipu dengan kelakuannya. Aku menyerahkan koperku dan memintanya untuk memeriksa, aku tidak mau ada yang mengatakan aku mencuri. Ikhram mengengam tanganku dengan erat, sesuai dengan kesepakatan aku akan pergi untuk menenangkan diri untuk sementara. "Kau bisa meninggalkan segalanya, tapi tidak dengan cincin pernikahan kita. Ingat kau tidak boleh pergi diam-diam, setelah aku menyelidiki masalah ini aku akan menjemputmu kembali." Ikhram mengambil koperku, lalu kembali mengengam tanganku. Dia membawaku menuju ke mobil Aska yang menunggu di luar. Kali ini dia mau berkompromi setelah aku ancam akan mengajukan gugatan cerai, tanpa menunggu melahirkan. "Pak, saya minta maaf. Saya berjanji akan menyelidiki masalah ini, saya juga berjanji tidak akan menceraikan Amara." Ikhram mengambil tangan bapak
Anak adalah buah hati orang tua, tapi ketika sudah memiliki cucu maka julukan itu sudah tidak berlaku lagi. Seperti saat ini Ikhram memijit keningnya karena diabaikan oleh ibunya. Padahal di dalam hatinya masih ada sesuatu yang belum selesai bergejolak, sama seperti yang aku rasakan. Kami saling pandang, lalu kembali menatap kedua anak kecil itu yang terhalang oleh mama dan kakek Ikhram. "Mami, Papi," rengek Rara karena dia merasa tidak nyaman, bersama mama dan kakek Ikhram. Alasan karena ini pertama kalinya mereka bertemu. "Sayang, ini nenek dan buyut kalian. Ini ibunya papi dan itu kakeknya papi, salim dulu biar kenal dan akrab." Melihatku berjongkok di depan mereka, dengan senang mereka mencium tangan mama dan kakek Ikhram. Aku tersenyum melihat mereka mulai mendekat, pada kedua orang yang baru mereka kenal itu. Bahkan mereka sudah mau duduk di sebelah mama dan kakek Ikhram dan menerima makanan yang di suap-kan ke mulut mereka. "Mami kenapa kita baru ketemu nenek dan mana k
Sebuah kejahatan besar dan dilakukan oleh seorang wanita, hebatnya lagi bisa menyembunyikannya selama bertahun-tahun. Aku merinding saat menatap Tante Rida, dia benar-benar wanita kejam yang tak boleh di sentuh, sayangnya dia telah menyingung Ikhram. Namun aku lebih merasa takjub ketika melihat perlakuan Papa Ikhram, dia bahkan memeluk Tante Rida dengan erat, meski telah mengetahui kejahatan wanita itu pada anak dan istri sahnya. Mau tak mau aku harus menahan mual di dalam perutku, andai bisa, ingin rasanya mencabik-cabik wajahnya itu. "Tidak nyaman berada di sini? Bawa mama keluar dulu dan melihat-lihat perusahaan kita." Ikhram membelai wajahku di depan banyak orang. Aku segera menolak meski perutku terasa tidak nyaman, begitu juga dengan mama Ikhram. Kami harus tau keputusan apa yang akan mereka ambil, untuk memberikan pelajaran pada Tante Rida. "Aku tidak menyangka sama sekali, kau memiliki nyali yang sangat besar. Mengirim putriku ke neraka hanya karena ucapan wanita jalan