"Sisa seratus ribu?"
Amara terlihat mengerutkan keningnya. Dia menatap buku di hadapannya lalu menatapku seolah tak percaya.Brak ...."Kau pikir aku akan tetap diam, menjalani pernikahan bodoh ini, Mas. Ini kau gunakan untuk sebulan."Amara terlihat sangat marah, dia bahkan melempar selembar uang yang tersisa itu, tepat di depan wajahku."Lima ratus sebulan saja kalang-kabut. Ini di sisain seratus ribu, enak betul hidupmu, Mas."Amara segera keluar dari rumah. Seperti biasanya dia akan melakukan itu jika marah. Aku segera menyusulnya sebelum dia membuka pintu."Selamat malam, Mbak. Apa mas Bram ada di rumah, saya datang mau mengembalikan kuncinya waktu terjatuh di pangkalan."Aku melotot saat melihat siapa yang datang. Sialnya lagi, Amara melihat raut wajahku saat melihat wanita itu."Pangakalan ojek atau pangkalan esek-esek kau temukan benda itu?""Pangkalan ojek.""Pangkalan bang Dudung."Mendengar jawabanku dan wanita itu yang bersamaan. Amara tampak tersenyum, karena ucapan kami tak sama."Pangkalan bang Dudung? Berarti warung remang-remang itu kan? Kapan dia pergi kesana dan untuk apa?""Dua hari yang lalu."Aku menarik napas lega, karena wanita itu menjawab sama seperti jawabanku. padahal baru tadi aku dan wanita itu berbagi peluh."Untuk ....?""Pijat.""Beli ro ...kok."Aku berkeringat karena kali ini jawaban kami tak sama. Dan parahnya lagi, wanita itu bicara jujur kalau aku pergi pijat plus-plus."Pijat rupanya, bagus sekali perbuatanmu itu, Bram."Brak ....Pintu di tutup dan Amara mulai menghajarku. Dia memukul, menendang bahkan mengigit telingaku. Kami bergelut seperti pegulat di dalam ring."Setan kau, sudah miskin bertingkah pula. Pantas gajimu hanya tersisa seratus ribu, rupanya kau gunakan bersenang-senang."Tok ... Tok ...Saat kami kelelahan terdengar suara ketukan di pintu. Aku dan Amara tak ada yang berniat membukanya, hingga terdengar tendangan di pintu itu hingga terbuka."Ya Allah, apa yang kalian lakukan?"Pak RT datang bersama istrinya. Dia segera membantuku berdiri, sedang istrinya membantu Amara yang kelelahan, setelah menghajar-ku habis-habisan."Sudah cukup Bram. Aku sudah sangat lelah, lebih baik kita akhiri semuanya, bukan begini seharusnya pernikahan. Kalau nafkah berkurang aku masih bisa sabar, tapi kau gunakan uang untuk meniduri pelacur. Hingga tak ada sisa untuk kita bertahan bulan ini. Aku angkat tangan, kita pisah sekarang."Amara terlihat sangat marah. Dia berjalan menuju ke kamar tanpa memperdulikan pak RT dan warga lainnya. Tak lama dia keluar membawa koper."Terima kasih, akan aku ingat dua tahun kebersamaan kita ini. Aku tau kau tak akan bisa mengurus perceraian, biar aku saja yang mengurusnya."Amara berjalan pelan melewati para warga, yang berbisik antara kasihan dan ada juga yang mencibir."Sudah aku bilang mereka pasangan tak betul. Sama-sama mesum dan tukang selingkuh."Mendengar ucapan ibu Yanto membuat Amara berhenti. Dia menarik tangan bang Poltak dan menunjukkan rekaman Vidio itu lagi."Dia sudah sering melakukan itu, Bang. Hampir setiap hari tapi bisa aku usir."Bang Poltak terlihat marah, dia menatap ibu Yanto dan menarik baju wanita itu."Dimana anakmu berada, dia harus tanggungjawab Karena melecehkan istriku."Wanita itu ketakutan dia menatap Amara seolah meminta bantuan. Namun istriku seolah tak perduli, dia justru mendekati cak Nun. Lalu menunjukan sebuah Vidio lagi, kali ini pria berkumis lebat itu tampak marah besar."Aku berhasil melindungi anakmu, Cak. Aku rasa si Salam itu tak akan berhenti."Plak ....Amara terkejut saat ibu Yanto menampar wajahnya. Bukannya marah Amara justru tersenyum sinis."Puaskan menamparku, Bu Risma. Setelah ini kau akan menangis darah melihat tubuh anakmu di patahkan bang Poltak, sedang suamimu mungkin akan mati di bunuh cak Nun. Kau tau karena apa? Anakmu mengintip kak Butet sambil o***i, sedang suamimu mencoba mencabuli Putri anak Cak Nun.""Pe ...pedofil!"Semua orang terkejut, karena putri baru berusia enam tahun. Kini semua wanita berlarian pulang, sepertinya ingin memeriksa keadaan anak-anak mereka."Tega kau fitnah kami sekejam ini, Ara. Kalau marah tak begini cara membalasnya."Bu Risma terkulai ke tanah, dia terlihat sangat shock berat. Amara seperti tak punya perasaan, dia berlalu begitu saja setelah membuat Bu Risma pingsan."Sudah cukup aku diam selama ini. Memangnya enak ditindas terus."Amara pergi diiringi tatapan pak RT dan istrinya. Dia benar-benar tak menoleh lagi kebelakang. "Amara seperti sudah gila. Kalian lihat tatap matanya dan senyuman di bibirnya?"Aku terkejut kenapa wanita itu bisa berkata begitu. Memangnya apa yang membuat Amara gila, dasar mulut lemes seenaknya saja bicara. "Sudah bubar sana kalian tak perlu menambah masalah lagi."Pak RT dan beberapa orang pria mengangkat Bu Risma. Kemudian dia menghubungi polisi, untuk mengatasi kemarahan bang Poltak dan Cak Nun."Ada apa sih, Bram? Bikin malu saja istrimu itu. Dimana dia biar ibu beri pelajaran? Bikin heboh satu kampung."Bukannya melihat lukaku. Kedatangan ibu hanya untuk memarahi Amara, dia tak tau kalau menantunya telah pergi, setelah membuat kekacauan di sini."Percuma ibu cari, dia sudah pergi dari tadi. Entah kemana dia, setelah meminta cerai di depan banyak orang." Ibu terkejut namun itu tak lama. Setelah itu dia tersenyum senang."Bagus, jadi dia sudah pergi. Kalau begitu dia meninggalkan rumah ini," Aku tak mengerti arti ucapan ibu, tapi aku hanya bisa mengangguk saja. Heran saja Amara pergi kenapa ibu terlihat sangat senang begitu."Bagus dong kalau Amara pergi, Mas. Berarti rumah ini bisa menjadi milikmu. Kau bisa menikah lagi, setelah menceraikan si bodoh itu."Aku terdiam mendengar ucapan Manda. Tak butuh waktu lama untuk tersenyum senang, berarti aku bisa menjual rumah dan membayar semua hutang-hutang yang mencekik leher itu."Rumah ini lebih besar dari rumah ibu. Bagaimana kalau kami pindah kemari, rumah ibu bisa kita jual, untuk bayar hutang dan pergi liburan." Aku tertawa senang mendengar ide ibu. Dia benar, sudah saatnya kami bersenang-senang. Setelah kepergian Amara."Besok kami pindah kemari. Kau cari pembeli rumah ibu, agar kita segera pergi liburan." Kami bersorak gembira, membayangkan pergi liburan seperti orang-orang kaya. Sudah lama memang aku tak membawa keluargaku liburan, karena terlilit hutang yang sangat banyak."Kau pastikan saja, kalau Amara tak akan pernah kembali. Kita tak mau dia mengusik kesenangan kita semua."Ibu benar, besok aku akan ke rumah orang tua Amara. Untuk melihat apa dia ada di sana dan benar-benar tak berniat kembali pulang."Aku juga memilih pisah saja, Bu. Lebih baik mencari calon istri yang baru, daripada kembali bersama dengan Amara. Aku dengar ada warga yang melihat, kalau Amara sudah gila sebelum pergi."Ibu dan kedua adikku terkejut, saat aku bilang kalau Amara gila. Jangankan mereka aku saja masih tak percaya."Kalau begitu caritau, Bram. Akan lebih baik lagi kalau dia gila, jadi tak ada yang akan menyalahkanmu ketika menceraikan dia."Sekali lagi ibu benar aku harus mencaritahu. Melihat perubahan sikapnya beberapa hari ini aku jadi takut, apalagi saat dia menghajarku tadi.Bagi orang tua hidup sudah lebih dari cukup asal ada anak dan cucu. Setelah memastikan aku dan Ikhram akan membawa anak-anak mengunjungi mereka saat liburan, kakek Ikhram membujuk mama Ikhram agar setuju pergi ke perkebunan teh kami. Meski terlihat tak ikhlas, tapi mama Ikhram akhirnya setuju. Aku dan Ikhram membawa anak-anak mengantar mereka langsung ke perkebunan, awalnya mau menaiki pesawat tapi anak-anak malah mau naik mobil. Alhasil kami membutuhkan tiga hari perjalanan untuk sampai ke perkebunan. Kemudian kami menghabiskan waktu yang tersisa hingga weekend baru kami kembali. Kali ini kami kembali menaiki pesawat, meski tak tega tapi aku menguatkan hati saat meninggalkan kakek dan mama Ikhram. "Mama masih belum menyerah, beberapa hari ini dia mencoba membuatmu merasa bersalah. Untungnya istriku sudah lebih cerdas jadi tidak tertipu lagi, kalau tidak aku akan pusing memikirkan cara menyadarkan mama." Ikhram memelukku, sembari berjalan ke dalam ruang tunggu. Sedangkan di depan
Melihat istri dan anak hampir celaka, di depan mata dan tanpa bisa berbuat apa-apa membuat Ikhram trauma. Setiap kali memejamkan mata dia akan bermimpi buruk, hal itu sudah terjadi selama dua hari ini.Merasa tertekan dan tidak beristirahat dengan tenang, semakin membuatnya frustasi. Hasilnya dalam jangka waktu singkat Ibu kota gempar, dua perusahaan besar dan dua keluarga kelas atas jatuh dalam sekejap. ARTAMA grup mengeksekusi perusahaan Sam dan kakek Ikhram. Tentu saja hal itu menambah masalah baru, namun itu justru membuat Ikhram merasa puas. Aku hanya bisa melihat kepuasannya, karena aku tau rasa sakit yang dia rasakan selama ini."Apa kau yakin akan bertarung dengan kakek dan juga ... Mama?" tanyaku lagi saat menemaninya istirahat, di kamar yang ada dalam ruang kerjanya."Jangan lupa ada Sam juga, kalau merasa iba kau bisa mengatakannya sekarang." Ikhram menyentuh daguku, lalu memberi kecupan di bibir dengan lembut. Mendengar nama Sam di sebut membuatku bingung, "Ada hubungan
Waktu bersantai bagi seorang wanita yang sudah menikah dan punya anak adalah hal yang paling mewah. Satu atau dua jam untuk menenangkan diri, itu sudah lebih dari cukup bagi mental yang kadang sedikit tertekan. Setelah menyingkirkan Ikhram, akhirnya aku bisa memuaskan diriku dengan belanja dan makan enak. Setelah dua jam menjelajahi jalanan, akhirnya aku pergi ke perusahaan Ikhram dengan membawa satu cup besar boba dan satu kotak besar aneka kue potong. Aneka kue dengan bermacam-macam cream. Ada cream coklat, stroberi dan juga moka, aku tertarik melihatnya jadi membelinya. Siapa sangka ternyata jumlahnya cukup banyak, sebelum Ikhram melihatnya aku akan menyimpannya di pantry saja. Sore baru aku bawa pulang, tentu saja tanpa sepengetahuan suamiku itu. Setelah sampai depan lobby aku celingak-celinguk untuk melihat situasi, jangan sampai kepergok Ikhram yang kadang muncul macam jelangkung itu. Dia kadang bisa muncul kapan saja dan dimana saja, tanpa bau dan tanpa suara pas kan
Melihat orang gila di rumah sakit jiwa lebih baik, daripada melihat mertua yang mengila, karena tidak bisa melawan menantunya. Aku hanya diam saat melihat mertuaku menangis seperti anak kecil, melihatnya seperti itu membuatku berpikir, apa aku benar-benar tertipu oleh penampilannya ketika pertama kali bertemu. Saat itu mertuaku itu terlihat begitu menderita, dengan wajah pucat yang seperti kurang darah, namun sekarang penampilannya terlihat berubah drastis. Ibarat Kucing telah berubah menjadi Singa, tatapannya juga lebih tajam dan juga kejam. "Aku mamamu, wanita yang melahirkanmu. Apa pantas kau perlakukan seperti ini, hanya demi wanita yang baru kau nikahi?" tanya mama Ikhram dengan sinis. "Aku sudah lama menikahinya, Ma. Dia juga orang yang berdiri di sampingku saat terpuruk dulu, andai tak ada dia aku tak akan berdiri tegak seperti ini di depan mama saat ini." Ikhram memegang tanganku dengan erat. Aku menepuk punggung tangannya agar dia tenang, saat ini kami benar-benar d
Ujian pernikahan setiap orang berbeda, ada yang diuji dengan anak, suami bahkan dari sang istri. Sedangkan aku, ujian pernikahanku masih sama, baik pernikahan pertama ataupun yang kedua, aku diuji dengan mertua dan wanita kedua. Ujian itu kembali datang, mungkin karena di pernikahan pertama aku gagal mengatasinya. Sedangkan di pernikahan kedua ini, aku bertekad untuk melawan ujian itu, tentu saja dengan dukungan suamiku Ikhram. Sedangkan di pernikahan pertamaku dulu, Bram tidak hanya membantuku mengatasi ujian tersebut, tapi dia justru membuatku putus asa. Sehingga aku menyerah dan memilih bercerai. "Berjuanglah jika memang sudah memilih untuk bertahan, bapak juga setuju jika kau melawan orang yang ingin menghancurkan pernikahanmu. Begitu juga ketika Ikhram tidak lagi mendukungmu, kami bersedia menerimamu kembali pulang," ujar bapak dengan mantap. Ikhram memeluk pinggangku dan berjanji pada bapak dan ibu, bahwa dia tidak akan membiarkan aku berjuang sendiri. Dia bahkan berani
Ketenangan, sepertinya menjadi sebuah hal yang paling berharga, sehingga begitu sulit untuk aku dapatkan. Hanya dalam waktu seminggu akhirnya wanita itu datang tanpa diundang. Dengan wajah angkuhnya dia menatap, rumah yang aku tempati sekarang. Senyum sinis juga terukir di bibirnya, lalu mulutnya pun mulai berkicau dengan nada penuh penghinaan. "Pantas kau begitu percaya diri, saat meninggalkan rumah putraku. Ternyata kau memiliki cadangan, untuk hidup senang dengan menumpang pada seorang pria. Sudah berapa lama kau bersamanya, jangan-jangan kalian sudah bersama ketika masih bersama dengan Ikhram?" tanyanya sinis. "Aku rasa Kau tidak perlu tahu sejak kapan aku bersamanya, sama seperti ketika kau pergi dan melupakan putramu. Waktu yang kau perlukan untuk pergi cukup banyak, tapi mengapa baru sekarang kau kembali. Apa mungkin tiada paksaan saat itu, jangan marah karena kenyataannya hanya kau yang tahu apa yang terjadi saat itu," ujarku tak mau kalah. "Kau benar-benar wanita kura