POV : Amara.
Aku memilih keluar dari rumah untuk menenangkan diri. Masalah demi masalah membuatku hampir gila. Belum lagi ketika mengetahui, betapa hinanya pria yang aku nikahi. Dia rela mendatangi pangkalan demi memuaskan nafsunya."Setan!"Aku berteriak sembari menendang kaleng kosong bekas minuman. Terlalu emosi hingga tak menyadari seseorang mengikuti sedari tadi. "Kau tak perlu marah-marah, kita bisa bersenang-senang seperti yang Bram lakukan."Aku terkejut saat seorang pria berdiri di depanku. Sepertinya dia mengenalku buktinya dia menyebut nama mas Bram. "Kau tau Ara, aku selalu memimpikan mu sejak Bram berkata. Kalau kau jauh lebih hebat dari wanita-wanita pangkalan, itu salah satu alasan kenapa Bram menolak ketika diajak pergi, namun akhirnya dia mulai mencoba mendatangi pangkalan. Mungkin ingin merasakan perbedaan istrinya dengan pela**r."Aku terkejut mendengar ucapan pria asing ini bicara. Aku bisa menyimpulkan kalau dia teman mas Bram, kurang ajarnya lagi, mas Bram membicarakan masalah ranjang kami dengan orang lain. "Aku tak ada urusan denganmu. Sebaiknya kau pergi saja, aku tak mau melihat wajahmu apalagi wajah Bram."Aku bergegas pergi, namun sebuah tarikan dari kerah belakang membuat kancing depan bajuku terlepas. Melihat tangan menutup dada ini, pria itu tertawa dengan puas."Pergi, sebelum aku berteriak agar warga datang."Bukannya takut pria itu tertawa, dia kembali berniat memperkosaku. Sekuat tenaga aku menendang selangkangannya, namun dia juga berhasil menghempaskan tubuhku ke tanah. Terasa nyeri dari perut dan terasa sesuatu keluar dari kemaluanku. "Kau lebih suka aku berbuat brutal rupanya, baiklah kau akan aku buat puas."Meski terlihat menahan sakit tapi mulutnya masih bisa berkata mesum. Aku berusaha bangun, meski terasa sakit luar biasa dari perutku. Saat dia hendak menarik rok yang aku pakai, sebuah tangan menarik rambutnya. "Kurangajar, berani kau pada seorang wanita!"Pria itu berteriak, sembari memukuli orang yang berniat memperkosaku. Entah kenapa aku merasa mengenal punggung penolongku.Pria itu terus memukul sehingga orang jahat itu babak belur. Sayang dia berhasil kabur, setelah menendang pria penolongku. Saat dia berbalik aku tak melihat wajahnya, karena mataku melihat tangan ini berlumuran darah. "Darah!" pekikku.Namun sebelum pingsan terdengar pria itu menyebut namaku. Entah apa yang terjadi selanjutnya, hanya saja ketika terbangun sudah berada di sebuah kamar. "Dia dalam keadaan baik-baik saja. Dia hanya kehilangan janinnya, karena benturan keras di perutnya."Dengan cepat aku meraba perut, apakah darah yang aku lihat adalah bayiku. Tanpa sadar aku menjerit karena kepala terasa sangat sakit. "Amara tenanglah, kau aman bersamaku," ucap pria yang belum aku ketahui siapa dia.Suara itu aku pernah mendengarnya, tapi kenapa aku tak mengingatnya. Siapa dia? Kenapa justru bayangan menyakitkan, saat hidup dengan mas Bram yang teringat. Begitu menyakitkan, namun seperti terulang lagi kejadian demi kejadian."Motor itu perlu untuk adikku sekolah, Ara. Apa salahnya aku ambil kredit satu dulu." Permintaan mas Bram yang menjadi awal mula, masalah dalam pernikahan kami."Aku tak melarang mas, tapi pikirkan dulu baik-baik. Gajimu nyaris tanpa sisa jika kau mengambil motor itu, kecuali kau tak lagi memberi ibu jatah, serta kedua adikmu tak mendapat uang jajan." Mas Bram mendengus dengan kesal. Aku hanya berharap, dia akan mendengar apa yang aku katakan."Kau istriku, Ara. Tugasmu berbakti padaku, jadi untuk sementara gunakan uang ini untuk jatah ibu dan kedua adikku."Aku terkejut saat mas Bram mengambil buku tabunganku, entah sejak kapan dia mengetahuinya."Hanya lima tahun, Ara. Setelah itu kita akan bersantai setelah kedua adikku kerja, saat ini kita senang kan mereka terlebih dahulu." Aku tak percaya mendengar ucapan mas Bram. Bukannya mendengar saranku, dia justru meminta uang yang di kirimkan bapak setiap bulannya."Aku tidak mau, Mas. Uang ini kiriman bapak, kita gunakan untuk hal yang penting saja. Kalau kau berkeras membeli motor silahkan aku tak mau ikut campur," ujarku pelan."Kalau begitu buat apa kita menikah. Apa menurutmu bapak akan kuat, jika aku kembalikan kau ke rumahnya." Aku mengangkat wajah, ternyata mas Bram sedang mengancamku. Dia tau penyakit darah tinggi bapak, bagaimana jika bapak tau anaknya diceraikan."Pikirkan baik-baik, Ara. Nyawa bapakmu atau serahkan uang itu?" Aku tak percaya telah menikahi pria tak punya hati ini. Kalau begini apa yang harus aku lakukan."Bagaimana, kau pasti memilih nyawa bapak kan? Sekarang ikut aku. Kita ambil tabunganmu untuk bayar DP motor adikku."Dengan terpaksa aku mengikuti mas Bram. Kami pergi ke ATM untuk transfer uang itu, ke rekening mas Bram."Jangan semua mas, sisakan sedikit untukku," pintaku.Brak ....Mas Bram mendorong tubuhku hingga membentur pintu ATM. Suasana sepi jadi dia berani berbuat begitu, selanjutnya dia mentransfer semua uang kiriman bapak yang berjumlah enam juta dan menyisakan lima puluh ribu saja."Tega kau mas!" pekikku lirih.Aku menangis namun mas Bram seperti tak perduli. Dia memaksaku naik motornya dan mengajak pulang, besoknya motor baru benar-benar ada di rumah ibunya."Sudah jangan menangis terus. Mulai bulan depan transfer uangmu pada ibu dan kedua adikku, sedang uangku untuk hidup kita berdua."Rasa sakit itu aku tahan terus selama menikah dengan mas Bram. Mungkin itu salah satu penyebab, aku akhirnya memberontak padanya. "Kau gunakan untuk apa uang dari bapak, Ara? Kenapa tak kau kirim ke rekening ibu? Dia sampai kehabisan uang begitu juga dengan kedua adikku," teriak Bram.Bagi orang tua hidup sudah lebih dari cukup asal ada anak dan cucu. Setelah memastikan aku dan Ikhram akan membawa anak-anak mengunjungi mereka saat liburan, kakek Ikhram membujuk mama Ikhram agar setuju pergi ke perkebunan teh kami. Meski terlihat tak ikhlas, tapi mama Ikhram akhirnya setuju. Aku dan Ikhram membawa anak-anak mengantar mereka langsung ke perkebunan, awalnya mau menaiki pesawat tapi anak-anak malah mau naik mobil. Alhasil kami membutuhkan tiga hari perjalanan untuk sampai ke perkebunan. Kemudian kami menghabiskan waktu yang tersisa hingga weekend baru kami kembali. Kali ini kami kembali menaiki pesawat, meski tak tega tapi aku menguatkan hati saat meninggalkan kakek dan mama Ikhram. "Mama masih belum menyerah, beberapa hari ini dia mencoba membuatmu merasa bersalah. Untungnya istriku sudah lebih cerdas jadi tidak tertipu lagi, kalau tidak aku akan pusing memikirkan cara menyadarkan mama." Ikhram memelukku, sembari berjalan ke dalam ruang tunggu. Sedangkan di depan
Melihat istri dan anak hampir celaka, di depan mata dan tanpa bisa berbuat apa-apa membuat Ikhram trauma. Setiap kali memejamkan mata dia akan bermimpi buruk, hal itu sudah terjadi selama dua hari ini.Merasa tertekan dan tidak beristirahat dengan tenang, semakin membuatnya frustasi. Hasilnya dalam jangka waktu singkat Ibu kota gempar, dua perusahaan besar dan dua keluarga kelas atas jatuh dalam sekejap. ARTAMA grup mengeksekusi perusahaan Sam dan kakek Ikhram. Tentu saja hal itu menambah masalah baru, namun itu justru membuat Ikhram merasa puas. Aku hanya bisa melihat kepuasannya, karena aku tau rasa sakit yang dia rasakan selama ini."Apa kau yakin akan bertarung dengan kakek dan juga ... Mama?" tanyaku lagi saat menemaninya istirahat, di kamar yang ada dalam ruang kerjanya."Jangan lupa ada Sam juga, kalau merasa iba kau bisa mengatakannya sekarang." Ikhram menyentuh daguku, lalu memberi kecupan di bibir dengan lembut. Mendengar nama Sam di sebut membuatku bingung, "Ada hubungan
Waktu bersantai bagi seorang wanita yang sudah menikah dan punya anak adalah hal yang paling mewah. Satu atau dua jam untuk menenangkan diri, itu sudah lebih dari cukup bagi mental yang kadang sedikit tertekan. Setelah menyingkirkan Ikhram, akhirnya aku bisa memuaskan diriku dengan belanja dan makan enak. Setelah dua jam menjelajahi jalanan, akhirnya aku pergi ke perusahaan Ikhram dengan membawa satu cup besar boba dan satu kotak besar aneka kue potong. Aneka kue dengan bermacam-macam cream. Ada cream coklat, stroberi dan juga moka, aku tertarik melihatnya jadi membelinya. Siapa sangka ternyata jumlahnya cukup banyak, sebelum Ikhram melihatnya aku akan menyimpannya di pantry saja. Sore baru aku bawa pulang, tentu saja tanpa sepengetahuan suamiku itu. Setelah sampai depan lobby aku celingak-celinguk untuk melihat situasi, jangan sampai kepergok Ikhram yang kadang muncul macam jelangkung itu. Dia kadang bisa muncul kapan saja dan dimana saja, tanpa bau dan tanpa suara pas kan
Melihat orang gila di rumah sakit jiwa lebih baik, daripada melihat mertua yang mengila, karena tidak bisa melawan menantunya. Aku hanya diam saat melihat mertuaku menangis seperti anak kecil, melihatnya seperti itu membuatku berpikir, apa aku benar-benar tertipu oleh penampilannya ketika pertama kali bertemu. Saat itu mertuaku itu terlihat begitu menderita, dengan wajah pucat yang seperti kurang darah, namun sekarang penampilannya terlihat berubah drastis. Ibarat Kucing telah berubah menjadi Singa, tatapannya juga lebih tajam dan juga kejam. "Aku mamamu, wanita yang melahirkanmu. Apa pantas kau perlakukan seperti ini, hanya demi wanita yang baru kau nikahi?" tanya mama Ikhram dengan sinis. "Aku sudah lama menikahinya, Ma. Dia juga orang yang berdiri di sampingku saat terpuruk dulu, andai tak ada dia aku tak akan berdiri tegak seperti ini di depan mama saat ini." Ikhram memegang tanganku dengan erat. Aku menepuk punggung tangannya agar dia tenang, saat ini kami benar-benar d
Ujian pernikahan setiap orang berbeda, ada yang diuji dengan anak, suami bahkan dari sang istri. Sedangkan aku, ujian pernikahanku masih sama, baik pernikahan pertama ataupun yang kedua, aku diuji dengan mertua dan wanita kedua. Ujian itu kembali datang, mungkin karena di pernikahan pertama aku gagal mengatasinya. Sedangkan di pernikahan kedua ini, aku bertekad untuk melawan ujian itu, tentu saja dengan dukungan suamiku Ikhram. Sedangkan di pernikahan pertamaku dulu, Bram tidak hanya membantuku mengatasi ujian tersebut, tapi dia justru membuatku putus asa. Sehingga aku menyerah dan memilih bercerai. "Berjuanglah jika memang sudah memilih untuk bertahan, bapak juga setuju jika kau melawan orang yang ingin menghancurkan pernikahanmu. Begitu juga ketika Ikhram tidak lagi mendukungmu, kami bersedia menerimamu kembali pulang," ujar bapak dengan mantap. Ikhram memeluk pinggangku dan berjanji pada bapak dan ibu, bahwa dia tidak akan membiarkan aku berjuang sendiri. Dia bahkan berani
Ketenangan, sepertinya menjadi sebuah hal yang paling berharga, sehingga begitu sulit untuk aku dapatkan. Hanya dalam waktu seminggu akhirnya wanita itu datang tanpa diundang. Dengan wajah angkuhnya dia menatap, rumah yang aku tempati sekarang. Senyum sinis juga terukir di bibirnya, lalu mulutnya pun mulai berkicau dengan nada penuh penghinaan. "Pantas kau begitu percaya diri, saat meninggalkan rumah putraku. Ternyata kau memiliki cadangan, untuk hidup senang dengan menumpang pada seorang pria. Sudah berapa lama kau bersamanya, jangan-jangan kalian sudah bersama ketika masih bersama dengan Ikhram?" tanyanya sinis. "Aku rasa Kau tidak perlu tahu sejak kapan aku bersamanya, sama seperti ketika kau pergi dan melupakan putramu. Waktu yang kau perlukan untuk pergi cukup banyak, tapi mengapa baru sekarang kau kembali. Apa mungkin tiada paksaan saat itu, jangan marah karena kenyataannya hanya kau yang tahu apa yang terjadi saat itu," ujarku tak mau kalah. "Kau benar-benar wanita kura