Share

Setelah Meninggalkan Rumah.

Husin dan istrinya menatap seorang wanita yang duduk dengan pandangan kosong. Dari balik jendela kaca mereka hanya bisa menyeka airmata, karena wanita yang di ruangan itu tak lain adalah Amara putri mereka.

"Dia sudah mulai membaik, Pak. Setelah menemui psikolog beberapa kali." Husin berbalik, lalu menatap seorang pria yang mengaku telah menolong Amara.

"Malam itu saya menolong, saat seorang pria mencoba melecehkan dirinya. Dengan sekuat tenaga dia mempertahankan kehormatannya, hingga tanpa sadar telah mengalami pendarahan." Husin kembali menarik napas, dia tak menyangka putrinya mengalami nasib yang begitu menyedihkan.

"Apa pria itu berhasil di tangkap?" tanya Husin. Pria itu menarik napas saat melihat pria muda di depannya mengelengkan kepala. Ada sesal karena tak berhasil melihat wajah pelaku yang membuat putrinya berakhir di rumah sakit jiwa.

"Dia tidak gila hanya depresi saja. Saat ini kami sengaja membawanya bertemu psikiater, kami berusaha menyembuhkan dirinya." Husin mendekati pria itu dan memeluknya erat, sembari mengucapkan terima kasih.

"Ikhram Ramadan pak, itu nama saya. Bisa panggil dengan Ikhram saja." Husin dan istrinya mengangguk, mereka bisa melihat kalau Ikhram seorang pria yang baik. Dia mau menolong seorang wanita yang tidak dia kenal.

"Kami mengucapkan terima kasih, Nak. Setelah ini biar kami yang mengurusnya sampai sembuh." Ikhram tersenyum senang, akhirnya Amara bisa bertemu dengan orangtuanya. Dia sengaja mengirim gambar dan meminta mereka datang, agar wanita itu punya semangat untuk sembuh.

"Satu lagi Pak, Amara seperti mengenali pelaku. Tapi sampai sekarang belum mau bicara. Amara sempat bilang, tak akan melepaskan pria itu jika bertemu lagi." Husin dan istrinya terkejut, mereka seolah berpikir siapa orang yang dimaksud oleh putrinya.

"Saya tidak tau siapa pria itu. Amara tak mau bicara sedikitpun, saya menghubungi kalian setelah memeriksa ponselnya. Saya menghubungi orang terakhir yang dia hubungi yaitu ibu." Ikhram menunjuk pada ibu Amara. Itulah salah satu sebab, dia mengirim gambar keadaan Amara pada ibunya.

"Syukurlah saya menghubungi orang yang tepat. Karena tak mengetahui masalah yang Amara hadapi." Husin tersenyum, dia bersyukur karena Ikhram menghubungi istrinya bukannya Bram. Entah apa yang terjadi, jika pria itu menemukan Amara terlebih dahulu.

"Bapak dan ibu bisa menemuinya sekarang. Sudah waktunya dia pulang, pasti dia senang melihat bapak dan ibunya. Ikhram segera mengajak Husin dan istrinya keluar menemui Amara, karena wanita itu akan segera keluar setelah dijemput.

"Perkembangannya sangat bagus, sekarang dia sudah mulai tenang tak lagi ketakutan seperti biasanya." Dokter yang menangani Amara mengajak mereka menemui Amara. Wanita itu segera berlari setelah melihat bapak dan ibunya.

"Dasar bodoh, kenapa kau tak pulang atau menghubungi bapak? Kau justru bertahan dengan pernikahan yang tak bahagia itu." Amara tak menjawab, dia hanya menangis di pelukan bapak dan ibunya. Luka yang merobek jiwanya sesaat membaik, setelah melihat wajah kedua orangtuanya.

"Ara tak mau kembali kesana, Pak. Mas Bram tidak menyayangiku, dia dan keluarganya hanya bisa menyakiti." Husin gemetar dia sudah menebak perbuatan Bram dan keluarganya. Sudah saatnya dia membebaskan anaknya, dari pria tak bertangungjawab itu.

"Serahkan semuanya pada bapak, secepatnya kau akan berpisah dengan Bram. Bapak janji padamu." Husin mencium kening anaknya, membuat Amara tenang dalam pelukannya.

"Nak Ikhram, terima kasih atas bantuannya. Sekarang kami akan membawa pulang Amara ke kampung." Ikhram terkejut, dia tak menyangka Husin akan segera membawa Amara pulang. Dia merasa ada sisi hati yang tak rela wanita itu pergi.

"Tidakkah lebih baik kalian tinggal di sini untuk sementara? Sampai Amara benar-benar sembuh. Apalagi ada psikiater yang menanganinya, pak." Ikhram mencoba membujuk Husin, agar membatalkan niatnya untuk pulang kampung. Itu membuat Husin dan istrinya seperti berpikir.

"Kami tak punya tempat tinggal di sini, Nak. Kalau pulang, kami bisa mengantar jika Amara butuh psikiater lagi." Ikhram tersenyum, dia seperti punya ide untuk menyelesaikan masalah tempat tinggal.

"Kalian bisa tinggal di rumah saya saja Kebetulan kosong. Karena saya banyak menghabiskan waktu di apartemen, di sana ada asisten yang bisa melayani kalian juga." Husin dan istrinya terdiam mereka sebenarnya tak enak hati, tapi demi Amara mereka akan menerima tawaran itu.

"Tapi tolong terima uang ini. Anggap sebagai sewa rumah, Nak. Kami tak mau terlalu merepotkanmu." Husin mengulurkan uang yang baru dia ambil dari ATM. Ikhram mengangguk dan segera mengambil uang itu, agar Husin merasa tenang.

"Baiklah kita langsung pulang saja. Agar Amara bisa istirahat dengan baik." Ikhram membawa Amara, Husin dan istrinya. Mereka segera menuju ke rumahnya.

"Ini rumah saya, Pak. Maaf kalau sedikit membuat tak nyaman, maklum rumah anak laki-laki." Husin tersenyum mendengar ucapan merendah Ikhram. Dia semakin yakin kalau Ikhram memang pria yang baik.

"Mas Ikhram sudah pulang, Mbak Amara mana, Mas?" Ikhram menunjuk pada Amara yang berjalan di belakang bersama ibunya. Wanita itu tersenyum, karena bisa menebak kalau kedua orang itu orangtua Amara.

"Syukurlah kalau mbak Amara sudah bertemu dengan orangtuanya. Dia pasti sangat senang." Wanita itu bergegas menyambut Amara. Selama ini dia yang selalu bersama wanita itu, ketika Ikhram meninggalkan rumah dan tinggal di apartemen. Petang sepulang kerja baru dia mampir dan bertanya keadaan Amara.

"Tolong bibi siapkan kamar tamu, agar mereka bisa istirahat. Untuk sementara mereka akan tinggal di sini bersama Amara, sampai dia benar-benar pulih." Mendengar perintah Ikhram, wanita itu tersenyum dan langsung pergi untuk membereskan kamar tamu. Ia senang, karena tak kesepian jika tinggal dengan banyak orang.

"Tidak usah repot-repot nak Ikhram, kami bisa mengurus itu sendiri." Ibu Amara terlihat tak enak hati atas perhatian Ikhram. Dia segera mengajak Amara duduk, lalu dia bergegas mengejar bibi namun dicegah Ikhram.

"Ibu di sini saja temani Amara. Dia pasti senang bertemu bapak dan ibunya, urusan kamar itu sudah tugas bibi." Mendengar ucapan Ikhram, ibu Amara segera duduk meski masih tak enak hati. Ikhram terlalu baik pada mereka.

"Terima kasih nak Ikhram, atas semua bantuanmu pada kami sekeluarga." Ikhram mengaguk begitu mendengar ucapan Husin. Sesaat dia melihat Amara yang kembali diam, wanita itu masih sering melamun.

"Ara pasti senang ketemu bapak dan ibu kan? Kenapa masih melamun? Ajak ngobrol dong." Mendengar ucapan Ikhram, Husin segera sadar kalau Amara kembali merenung, entah apa yang dia pikirkan.

"Nak jangan sedih lagi, kami sudah ada di sini. Tak akan ada yang bisa menyakitimu, meski itu Bram sekalipun." Amara tersenyum, dia senang karena orangtuanya sudah ada di dekatnya. Namun ucapan dan tatapan pria kurangajar itu, sudah melukai harga dirinya.

"Aku akan menghancurkan Bram. Dia sudah membuatku muak, Pak. Dia dan keluarganya membuatku seperti ini." Semua orang terkejut setelah mendengar ucapan Amara. Mereka seperti tau luka dan sakit hati wanita itu pada suami dan keluarganya.

"Katakan pada bapak dan ibu, Nak. Apa yang sudah di lakukan Bram padamu, selain ketidakadilan dalam pemberian nafkah?" Husin menunggu anaknya bicara. Dia ingin tau apa sebenarnya yang telah dialami oleh anaknya. "Bram Pak, penyebab pria itu ingin memperkosaku," ucap Amara lirih.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status