Pagi itu mendung. Langit Jakarta seolah menahan hujan yang belum sempat turun semalam. Dinda dan Rayhan berangkat lebih awal menuju Jalan Lestari, Bekasi, tempat rumah tua keluarga Arsen berada.Mobil melaju pelan, melewati jalan sempit yang mulai dipenuhi semak liar. Di ujung gang kecil, berdiri bangunan berlantai dua, kusam, dan tampak ditinggalkan. Pagar besi sudah berkarat, dan halaman depan ditumbuhi ilalang setinggi lutut.“Ini dia,” bisik Dinda. Suaranya nyaris tenggelam oleh suara langkah mereka yang berat menembus rumput.Rayhan menarik napas, lalu mendorong pagar perlahan. Mereka melangkah masuk.⸻Rumah itu berbau lembap dan debu. Langit-langit sebagian terkelupas, dan jejak rayap menghiasi beberapa sudut dinding. Tapi ada yang aneh — bagian dalam rumah tidak sepenuhnya kosong. Ada meja kerja tua di ruang belakang, dan beberapa rak buku masih berdiri, meski lapuk.“Arsen pasti sempat ke sini lagi sebelum dia…” Dinda tidak menyelesaikan kalimatnya. Terlalu banyak kenangan ya
Keesokan harinya, Dinda memulai harinya lebih awal dari biasanya. Jam belum menunjukkan pukul tujuh, tapi ia sudah duduk di ruang kerja, menyisir akun media sosial lama yang mungkin masih terhubung dengan lingkaran keluarga Arsen.Ia tak tahu harus mulai dari mana, tapi satu nama yang muncul berulang di komentar dan foto-foto lama: Dian, sahabat Alya dulu, yang juga sempat dekat dengan Rama saat mereka masih kuliah.Tanpa pikir panjang, Dinda membuka akun Instagram milik Dian—masih aktif, dengan posting terakhir hanya dua hari lalu. Ia kirim pesan langsung.Halo, ini Dinda. Aku butuh bantuanmu. Tentang Rama dan sesuatu yang belum selesai dari masa lalu Arsen.Tak sampai satu jam, balasan datang.Akhirnya kamu nyari juga. Kita perlu ketemu. Aku udah lama pengin cerita ini, tapi nggak pernah punya keberanian.⸻Mereka bertemu di sebuah kafe kecil di daerah Cipete, tempat yang cukup sepi dan tenang untuk percakapan yang tidak biasa. Dian datang dengan wajah cemas tapi jelas lega.“Kamu m
Pagi itu, langit Jakarta digelayuti mendung tipis. Awan abu-abu seolah mencerminkan suasana hati Dinda yang sama-sama kelabu. Meski Rayhan berusaha menjaga semuanya tetap tenang, Dinda tahu: hidup mereka tak lagi sepenuhnya aman.Rayhan mengantar Dinda ke kantor polisi terdekat. Surat yang ditemukan semalam sudah ia masukkan ke dalam amplop plastik bening, lengkap dengan sarung tangan karet agar sidik jari tidak terhapus. Dinda diam selama perjalanan. Tangannya menggenggam erat tepi tas, dan pandangannya kosong ke luar jendela.“Aku bisa pergi sendiri kalau kamu ada meeting penting,” katanya pelan saat mobil berhenti di depan kantor polisi.Rayhan menoleh. “Kamu pikir aku bakal ninggalin kamu ngadepin ini sendirian?”Dinda menunduk, mengangguk pelan.Di dalam kantor, mereka diterima oleh seorang petugas muda yang mendengarkan dengan saksama. Setelah membacakan isi surat dan menjelaskan riwayat pesan-pesan sebelumnya, Rayhan bertanya, “Ada kemungkinan kami tahu siapa pengirimnya kalau
Suasana rumah pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Bukan karena pertengkaran, bukan pula karena ada yang salah. Hanya… hening yang mengendap. Rayhan sedang lembur semalam dan belum bangun. Sementara Dinda duduk sendirian di ruang tengah, menatap layar laptop yang terbuka tapi kosong. Kursor berkedip pelan, seakan menantinya menulis sesuatu. Tapi jemarinya tak bergerak.Pikirannya masih pada pesan misterius itu. Sudah tiga kali dalam dua minggu ini pesan seperti itu muncul. Kalimatnya berbeda-beda, tapi semua bernada sama: menyudutkan. Seolah-olah ada yang ingin ia merasa bersalah, terus-menerus.Apa kamu benar-benar bahagia?Apakah dia tahu siapa kamu sebenarnya?Apakah kamu pikir cinta bisa menebus semua kesalahanmu?Kalimat-kalimat yang singkat, tapi cukup untuk mengguncang.Dinda sudah mencoba mengabaikannya. Tapi setiap kali ia merasa mulai sembuh, pesan-pesan itu datang lagi seperti bisikan gelap di lorong pikiran. Ia sudah mengganti nomor ponsel, tapi pesan itu tetap datan
Sudah hampir dua bulan sejak perayaan kecil itu. Dua bulan sejak Dinda dan Rayhan mulai tinggal di rumah kontrakan sederhana di pinggir kota. Letaknya jauh dari pusat keramaian Jakarta, tapi justru itulah yang membuatnya nyaman. Ada pohon jambu di halaman belakang dan suara burung tiap pagi. Bukan rumah mewah, tapi rumah yang mereka pilih dan bangun bersama.Pagi itu, Dinda bangun lebih awal. Ia turun ke dapur dan membuatkan kopi untuk Rayhan, seperti biasa. Rutinitas kecil itu membuatnya merasa tenang, seolah hidup akhirnya punya ritme yang menenangkan setelah bertahun-tahun dihantam badai.Rayhan menyusul turun, rambutnya masih berantakan, wajah belum sepenuhnya terbangun. “Kopi?” tanyanya sambil menguap.“Udah siap di meja,” jawab Dinda dengan senyum kecil.Rayhan mencium kening istrinya singkat lalu duduk di kursi makan. “Kamu dulu nggak pernah suka pagi.”Dinda tertawa pelan. “Dulu aku selalu lari dari pagi. Sekarang… aku belajar untuk pelan-pelan menikmatinya.”Mereka makan roti
Dinda menatap benda kecil di tangannya—sebuah flashdisk hitam polos, tanpa label, tanpa penanda. Hanya ada secarik kertas kecil yang diselipkan bersama dalam amplop cokelat, bertuliskan: “Untuk Dinda. Jika kamu sudah siap, buka ini.” Tulisan tangan itu… Dinda mengenalnya. Ia menahan napas, matanya berembun, tapi ia tahu—ini bukan waktunya untuk lari.Di kamar kos yang kini menjadi tempat tinggal barunya bersama Rayhan, Dinda duduk bersila di lantai. Laptop menyala. Tangannya gemetar saat memasukkan flashdisk ke port USB. Folder otomatis terbuka. Hanya ada satu file video: PesanTerakhir_Arsen.mp4.Ia menatap layar selama beberapa detik sebelum akhirnya menekan tombol play.Tampilan di layar menunjukkan wajah pucat Arsen, duduk di ranjang rumah sakit. Di belakangnya, jendela terbuka, memperlihatkan langit mendung sore hari. Arsen tersenyum kecil, lemah, tapi masih penuh sinar yang dulu membuat Dinda jatuh hati.“Hai, Din…” suaranya serak, tapi jelas.Dinda menahan napas. Tangannya refle