Pagi itu, Dinda duduk di meja kerjanya dengan secangkir teh hangat. Udara masih sejuk, sisa gerimis semalam membuat daun-daun di luar jendela tampak segar. Di depan laptopnya, layar kosong menunggu diisi kata. Ia sudah membuka dokumen baru hampir sepuluh menit, tapi jarinya belum juga mengetik.Ada sesuatu yang ingin ia tulis sejak lama, tapi belum punya cukup keberanian. Hari ini, ia tahu waktunya sudah tiba.Ia menarik napas panjang, menegakkan punggung, lalu mulai mengetik:Untuk Dinda yang dulu,Aku tahu kamu sedang terluka. Aku tahu kamu bertanya-tanya kenapa dunia terasa nggak adil. Kenapa orang yang kamu cintai ternyata bukan orang yang bisa kamu genggam selamanya.Aku tahu kamu bangun tiap pagi dengan mata sembab dan hati penuh harapan, cuma untuk dihancurkan lagi sebelum matahari tenggelam. Aku tahu rasanya menunggu pesan yang nggak pernah datang, dan berpura-pura baik-baik saja padahal kamu nyaris runtuh.Tapi aku juga tahu satu hal lagi—kamu nggak lemah.Kamu bertahan sejau
Pagi itu, hujan turun pelan. Tidak deras, hanya gerimis yang menyisakan embun di kaca jendela. Dinda duduk di ruang kerja kecil di sudut apartemen, membolak-balik sebuah kotak kayu tua yang sudah lama tersimpan di lemari bawah. Kotak itu adalah peninggalan dari masa-masa paling kelam dalam hidupnya. Di dalamnya ada foto-foto lama, surat, dan buku catatan yang pernah ia isi saat hari-harinya masih penuh luka.Tangannya menyentuh sebuah amplop putih tanpa nama. Ia mengernyit, lalu perlahan membukanya.Isinya adalah surat—dengan tulisan tangannya sendiri. Ditulis entah kapan, tapi dari isinya, Dinda tahu itu surat yang ia tulis untuk Arsen. Surat yang tak pernah ia kirimkan.Dengan napas dalam, ia mulai membaca:Arsen,Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi kalau suatu hari kamu nemu surat ini, berarti aku sudah terlalu capek buat terus marah.Aku nggak benci kamu. Aku cuma kecewa. Karena yang aku kira cinta, ternyata luka yang dikemas rapi. Tapi kamu tahu, aku pernah bahagia. Sama k
Sudah hampir sebulan sejak Dinda menjadi pembicara dalam forum perempuan itu, dan hidup mereka berjalan seperti biasa—hangat, tenang, dengan rutinitas sederhana yang justru membuat hati penuh. Rayhan semakin sibuk dengan proyek kantornya, sementara Dinda mulai menulis naskah bukunya, perlahan namun pasti.Namun sore itu, ketika Dinda baru saja menutup laptopnya dan bersiap membuat teh, suara ketukan dari pintu apartemen membuatnya berhenti. Ia melangkah pelan ke depan, membuka pintu… dan tertegun.Arsen.Dinda menahan napas. Laki-laki itu berdiri di ambang pintu dengan wajah yang sama sekali tidak asing—mata sendu, rahang tegas, tapi kini terlihat lebih tirus dan lelah dari terakhir kali mereka bertemu.“Hai, Din…” sapanya pelan.Dinda tidak langsung menjawab. Lidahnya kaku. Ada sensasi aneh di dadanya, bukan benci, bukan rindu, hanya semacam luka lama yang tiba-tiba mengetuk kembali setelah ia pikir sudah benar-benar sembuh.“Ada perlu apa kamu ke sini, Sen?”“Aku nggak akan lama. Ak
Pagi itu, Jakarta baru saja diguyur hujan malam. Embun masih menempel di kaca jendela apartemen ketika Dinda terbangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena Rayhan yang membangunkannya, tapi karena pikirannya sendiri yang sejak semalam belum juga tenang.Hari ini, untuk pertama kalinya, Dinda akan menjadi pembicara utama dalam sebuah forum komunitas perempuan—dihadiri oleh ratusan orang dari berbagai latar belakang. Tema yang ia angkat sederhana: “Memaafkan Diri Sendiri.”Dan entah kenapa, justru itu yang membuatnya gugup.Bukan karena ia tak tahu harus bicara apa. Tapi karena bagian dari dirinya masih sering mempertanyakan: apakah aku pantas?Rayhan sedang di dapur, membuatkan teh hangat saat Dinda berjalan menghampirinya dengan langkah ragu.“Kamu nggak tidur nyenyak?” tanya Rayhan tanpa menoleh, sibuk mengaduk teh.Dinda mengangguk kecil. “Deg-degan banget, Han. Aku takut… aku malah terbata-bata atau kelihatan kayak nggak yakin sama apa yang aku bawa.”Rayhan menoleh, meletakkan c
Sudah dua minggu sejak tulisan pertama Dinda viral di media digital. Ia tak menyangka dampaknya sebesar itu—diundang podcast, ditanya jadi pembicara seminar, bahkan diminta jadi kolumnis tetap di rubrik perempuan sebuah majalah daring.Dulu, Dinda takut bicara. Takut dihakimi. Tapi kini, suara yang dulu ia pendam dalam tangis, justru menemukan gema di hati banyak orang.Siang itu, Dinda duduk di sebuah kafe kecil di bilangan Cikini, menunggu seorang editor dari platform digital yang tertarik menerbitkan kisah hidupnya dalam bentuk buku. Buku.Tangannya masih sedikit gemetar saat menggenggam gelas kopi. Di depannya, Rayhan sedang membaca berkas persetujuan kerja sama. Mata laki-laki itu serius, tapi bibirnya sesekali tersenyum kecil. Bangga.“Kalau kamu setuju,” ucap Rayhan pelan, “Kita bisa mulai tahapan editorial awal bulan depan.”Dinda mengangguk. “Kamu yakin aku bisa, Han? Nulis buku itu beda banget sama nulis artikel…”“Kamu nggak perlu jadi orang lain. Cukup jadi Dinda yang sela
Sudah hampir seminggu sejak Dinda membalas e-mail Arsen. Hidup berjalan seperti biasa, namun ada hal baru yang perlahan mengubah ritme keseharian mereka. Tanpa mereka duga, naskah yang dulu sempat Dinda kirim ke penerbit online kini viral—bukan karena namanya, tapi karena isinya.Tulisan itu adalah cerminan luka dan pemulihan. Netral, tenang, dan penuh kejujuran. Ia tak pernah menyangka, cerita yang dulu ia tulis diam-diam sambil menangis di kamar akan menyentuh begitu banyak hati.“Din, kamu lihat ini?” tanya Rayhan sambil menunjukkan layar ponselnya.Dinda menoleh sambil mengaduk teh. Di layar, ada potongan kalimat dari tulisannya yang diunggah ulang oleh akun media populer:“Ketika seseorang pergi, bukan hanya dirinya yang kita lepaskan. Tapi juga harapan-harapan kecil yang dulu kita sematkan diam-diam.”Disertai tagar #CeritaDinda.Dinda mengernyit. “Itu… dari ceritaku.”“Iya, dan ternyata banyak yang mulai nyari penulisnya. Komennya udah ribuan.”Dinda terdiam. Bukan karena takut