Share

Hening yang Tumbuh

Author: Lina Astriani
last update Last Updated: 2025-07-03 15:06:27

Sudah hampir sebulan sejak kasus Rama mencuat dan semua bukti diserahkan ke pihak berwajib. Nama Arsen kini tak hanya hidup dalam ingatan, tapi juga dalam sejarah yang dibacakan dengan jujur — tanpa manipulasi.

Dinda kembali menekuni rutinitasnya sebagai penulis lepas. Pagi itu, ia duduk di depan jendela rumah sambil menyeruput teh jahe hangat, menatap taman kecil yang mulai berbunga.

Hening yang dulu terasa seperti luka kini mulai tumbuh seperti ketenangan. Tak ada lagi sesak yang menumpuk di dada saat membuka laptop. Tak ada lagi perasaan tertinggal. Yang tersisa hanya ruang, dan napas yang tak lagi terburu-buru.

Rayhan muncul dari dapur, membawa dua potong roti panggang. “Sarapan romantis ala-ala,” ucapnya sambil duduk di sebelahnya.

Dinda terkekeh. “Kalau udah pakai mentega dan cinta, pasti enak.”

Rayhan mencolek hidungnya dengan lembut. “Kamu lebih banyak senyum sekarang. Aku suka.”

Dinda menatap Rayhan. “Dulu aku kira senyumku bakal hilang. Tapi ternyata dia cuma istirahat seben
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Yang Tak Pernah Diduga

    Beberapa hari setelah pertemuan dengan Karin, hidup kembali berjalan normal. Atau setidaknya, itulah yang Dinda pikirkan. Ia sudah mengembalikan surat dan liontin ke dalam kotak kecil, menyimpannya di sudut lemari yang tak terlalu sering ia buka. Sebuah bentuk penutupan yang simbolis.Namun, kenyataan seringkali tak semudah yang dirancang di kepala.Hari itu, Dinda dan Rayhan sedang bersiap menghadiri acara kecil launching buku salah satu teman penulis. Dinda mengenakan dress sederhana berwarna hijau sage, rambutnya diikat longgar. Rayhan, dengan jas abu-abu dan kemeja putih, menunggu di depan pintu.Saat mereka turun ke parkiran, suara klakson pelan terdengar dari sisi jalan. Tak ada yang aneh, sampai seorang pria keluar dari mobil hitam di seberang jalan.Langkah Dinda terhenti.Matanya menatap sosok itu — tinggi, kurus, mengenakan kemeja biru muda dan celana bahan. Rambutnya agak panjang, dan ada bekas luka samar di pelipis kirinya. Tapi wajah itu… tak asing.Rayhan melirik ke arah

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Saat Masa Lalu Mengetuk Lagi

    Dua bulan setelah bukunya resmi diterbitkan, hidup Dinda dan Rayhan nyaris tanpa drama. Buku Dinda mendapat sambutan hangat di komunitas pembaca. Ia bahkan beberapa kali diundang jadi pembicara di kelas menulis online. Sederhana, tapi terasa seperti mimpi yang perlahan jadi nyata.Namun, seperti halnya hidup yang tak pernah benar-benar tenang selamanya—masa lalu punya caranya sendiri untuk kembali mengetuk pintu.Hari itu Dinda sedang bersiap untuk live IG bersama komunitas literasi. Ia duduk di meja kerja kecil, menata ring light, dan memastikan koneksi stabil. Tapi notifikasi WhatsApp membuat fokusnya teralihkan.Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Halo, Dinda. Ini Karin, adiknya Arsen. Aku tahu mungkin ini tiba-tiba, tapi… bolehkah kita bertemu? Ada hal yang ingin aku sampaikan. Tentang Arsen.”Dinda menatap layar ponsel cukup lama, jantungnya seketika berdebar tak karuan. Nama itu—meski sudah lama terkubur dalam diam—masih punya sisa getarannya sendiri.Rayhan yang melihat

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Saat Hati Belajar Diam

    Beberapa minggu setelah percakapan malam itu, kehidupan Dinda dan Rayhan kembali pada ritme yang sederhana dan penuh kedamaian. Tapi seperti biasa, hidup tak pernah benar-benar datar.Hari itu Dinda duduk sendiri di café kecil dekat tempatnya mengajar. Di depan laptop, ia mencoba menyusun modul baru untuk murid-murid kelas menulisnya. Tapi fokusnya terus terganggu.Sebuah nama muncul lagi di emailnya—Alya.Bukan permintaan maaf. Bukan juga penjelasan. Hanya kalimat pendek:“Aku berharap kamu benar-benar bahagia, Din. Maaf untuk segalanya.”Dinda membaca ulang kalimat itu beberapa kali. Tangannya berhenti di atas keyboard. Bukannya marah, ia justru merasa… kosong.Ada masa di mana nama Alya membuat dadanya sesak. Ada masa di mana ia berharap bisa mendengar permintaan maaf itu, bahkan berandai-andai jika bisa memutar ulang waktu. Tapi sekarang, semuanya terasa jauh. Seperti menonton film lama yang tak lagi menyakitkan.Ia menutup laptop, menyesap kopi yang sudah dingin, dan tersenyum ke

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Pulang Tanpa Syarat

    Pagi itu, sinar matahari menyelinap pelan di antara sela tirai jendela kamar. Dinda membuka mata perlahan. Di sebelahnya, Rayhan masih tertidur, napasnya teratur dan damai. Dinda tersenyum kecil, menyadari bahwa ini adalah salah satu pagi yang ia syukuri sepenuh hati.Ia bangkit pelan, berjinjit ke dapur, menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang, telur mata sapi, dan teh hangat. Semuanya dilakukan tanpa terburu-buru. Sejak menikah dengan Rayhan, hari-harinya terasa lebih tenang, lebih terarah. Bukan karena semua masalah selesai, tapi karena ada seseorang yang selalu siap berjalan bersama melewati semuanya.Suara langkah kaki terdengar dari arah kamar.“Wangi banget. Kamu masak telur, ya?” suara Rayhan yang masih serak baru bangun.Dinda menoleh dan tersenyum. “Sarapan sederhana buat suami yang luar biasa.”Rayhan mendekat dan memeluknya dari belakang, menaruh dagunya di pundak Dinda. “Aku kayak mimpi tiap pagi bangun dan lihat kamu.”“Kalau mimpi, jangan bangun,” goda Dinda, tertaw

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Menata Hari, Menjemput Esok

    Pagi itu, aroma roti panggang dan harum kopi memenuhi dapur kecil mereka. Sinar matahari menyelinap dari celah jendela, menyentuh lembut meja makan yang sudah ditata rapi. Dinda mengenakan apron motif bunga, rambutnya diikat asal, dan wajahnya berseri—bukan karena dandanan, tapi karena ketenangan.“Roti panggangnya mau yang pakai selai stroberi atau keju?” tanya Dinda sambil menoleh ke Rayhan yang baru keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah.“Stroberi. Tapi asal jangan kamu kasih margarin satu blok kayak kemarin,” canda Rayhan sambil terkekeh.Dinda mendelik, lalu ikut tertawa. “Salah satu cara menguji cinta: kuat atau nggaknya ngadepin sarapan istri.”Mereka duduk berdua, menikmati sarapan sederhana itu. Tanpa obrolan rumit, hanya senyum dan gumam lagu dari radio kecil di sudut dapur. Rasanya seperti hidup perlahan kembali menemukan nadanya sendiri.Setelah mencuci piring, Dinda kembali ke ruang kerja. Di meja, naskah bukunya mulai menumpuk. Kali ini, ia tidak menulis berd

  • Setelah Kamu Pilih Dia   Jalan yang Dipilih Bersama

    Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk lewat celah tirai jendela. Dinda terbangun dengan perasaan ringan. Sudah lama sekali ia tidak merasa seperti ini—tidak terburu-buru, tidak gelisah, tidak dikejar bayang-bayang dari masa lalu.Rayhan belum pulang dari dinas luar kota, tapi seperti biasa, pesan suaranya sudah menunggu di ponsel.“Selamat pagi, Din. Hari ini pasti luar biasa. Jangan lupa makan, dan jangan terlalu stres ngedit naskah, ya. Aku tahu kamu bisa, tapi kamu juga harus tahu… kamu nggak harus sendiri lagi.”Dinda tersenyum, menggenggam ponselnya sejenak sebelum melangkah ke dapur.Sambil menyiapkan sarapan, pikirannya melayang ke tawaran dari penerbit besar yang seminggu lalu datang melalui email. Mereka tertarik untuk membeli hak adaptasi bukunya menjadi serial web. Tawaran besar—yang dulu hanya mimpi, kini ada di depan mata.Tapi keputusan itu bukan hal sepele. Ia tahu, kalau naskahnya diangkat ke layar, akan lebih banyak mata yang melihat lukanya. Lebih banyak pertanya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status