Toko buku itu tidak terlalu besar, tapi nyaman. Ada aroma khas kertas dan kayu yang membuat dada Dinda terasa hangat. Ia menyusuri rak demi rak, jemarinya sesekali menyentuh punggung buku yang tertata rapi.Hari itu, ia memang sengaja mengambil cuti. Bukan karena sakit atau kelelahan, tapi karena ingin memberi ruang bagi dirinya sendiri. Ruang untuk merenung, dan mungkin… menyusun sesuatu yang baru.Langkahnya berhenti di depan rak bertuliskan “Buku Harian & Catatan Pribadi”. Di sana, ia melihat sebuah buku dengan sampul linen warna biru muda bertuliskan:“Let your scars be ink, your silence be stories.”Sederhana. Tapi seperti menampar lembut hati yang selama ini hanya sibuk bertahan.Ia mengambil buku itu dan membawanya ke kasir. Di sepanjang perjalanan pulang, Dinda tidak berhenti membayangkan hal-hal yang ingin ia tulis. Bukan hanya kisah tentang dirinya dan Arsen. Tapi juga tentang bagaimana kehilangan bisa berubah menjadi kekuatan. Tentang bagaimana cinta bisa hadir dalam bentuk
Pagi itu hujan turun rintik-rintik. Tak deras, tapi cukup membuat jendela berkabut dan udara jadi lebih tenang. Dinda berdiri di dapur kecil apartemen mereka, mengenakan sweater abu-abu yang sedikit kedodoran dan celana tidur motif kotak-kotak. Tangannya sibuk menyeduh dua cangkir teh hangat.Rayhan masih terlelap di sofa, kepalanya menyandar di bantal kecil dengan buku terbuka di dada. Semalam mereka tidur larut, terlalu asyik membicarakan rencana kecil untuk liburan akhir tahun. Tak ada destinasi mewah. Hanya camping di kaki gunung dan memetik stroberi. Tapi rencana-rencana sederhana itu terasa hangat—karena dirancang bersama.Dinda duduk di sampingnya, menatap wajah Rayhan yang tenang dalam tidur. Perlahan ia menyelipkan rambut lelaki itu ke belakang telinga, lalu mengecup keningnya lembut. “Bangun, Pak Suami. Tehnya keburu dingin.”Rayhan menggerakkan tubuh malas-malasan, lalu membuka mata setengah. “Kalo dipanggil kayak gitu tiap pagi, aku rela bangun jam lima terus,” gumamnya se
Beberapa hari setelah pertemuan dengan Karin, hidup kembali berjalan normal. Atau setidaknya, itulah yang Dinda pikirkan. Ia sudah mengembalikan surat dan liontin ke dalam kotak kecil, menyimpannya di sudut lemari yang tak terlalu sering ia buka. Sebuah bentuk penutupan yang simbolis.Namun, kenyataan seringkali tak semudah yang dirancang di kepala.Hari itu, Dinda dan Rayhan sedang bersiap menghadiri acara kecil launching buku salah satu teman penulis. Dinda mengenakan dress sederhana berwarna hijau sage, rambutnya diikat longgar. Rayhan, dengan jas abu-abu dan kemeja putih, menunggu di depan pintu.Saat mereka turun ke parkiran, suara klakson pelan terdengar dari sisi jalan. Tak ada yang aneh, sampai seorang pria keluar dari mobil hitam di seberang jalan.Langkah Dinda terhenti.Matanya menatap sosok itu — tinggi, kurus, mengenakan kemeja biru muda dan celana bahan. Rambutnya agak panjang, dan ada bekas luka samar di pelipis kirinya. Tapi wajah itu… tak asing.Rayhan melirik ke arah
Dua bulan setelah bukunya resmi diterbitkan, hidup Dinda dan Rayhan nyaris tanpa drama. Buku Dinda mendapat sambutan hangat di komunitas pembaca. Ia bahkan beberapa kali diundang jadi pembicara di kelas menulis online. Sederhana, tapi terasa seperti mimpi yang perlahan jadi nyata.Namun, seperti halnya hidup yang tak pernah benar-benar tenang selamanya—masa lalu punya caranya sendiri untuk kembali mengetuk pintu.Hari itu Dinda sedang bersiap untuk live IG bersama komunitas literasi. Ia duduk di meja kerja kecil, menata ring light, dan memastikan koneksi stabil. Tapi notifikasi WhatsApp membuat fokusnya teralihkan.Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.“Halo, Dinda. Ini Karin, adiknya Arsen. Aku tahu mungkin ini tiba-tiba, tapi… bolehkah kita bertemu? Ada hal yang ingin aku sampaikan. Tentang Arsen.”Dinda menatap layar ponsel cukup lama, jantungnya seketika berdebar tak karuan. Nama itu—meski sudah lama terkubur dalam diam—masih punya sisa getarannya sendiri.Rayhan yang melihat
Beberapa minggu setelah percakapan malam itu, kehidupan Dinda dan Rayhan kembali pada ritme yang sederhana dan penuh kedamaian. Tapi seperti biasa, hidup tak pernah benar-benar datar.Hari itu Dinda duduk sendiri di café kecil dekat tempatnya mengajar. Di depan laptop, ia mencoba menyusun modul baru untuk murid-murid kelas menulisnya. Tapi fokusnya terus terganggu.Sebuah nama muncul lagi di emailnya—Alya.Bukan permintaan maaf. Bukan juga penjelasan. Hanya kalimat pendek:“Aku berharap kamu benar-benar bahagia, Din. Maaf untuk segalanya.”Dinda membaca ulang kalimat itu beberapa kali. Tangannya berhenti di atas keyboard. Bukannya marah, ia justru merasa… kosong.Ada masa di mana nama Alya membuat dadanya sesak. Ada masa di mana ia berharap bisa mendengar permintaan maaf itu, bahkan berandai-andai jika bisa memutar ulang waktu. Tapi sekarang, semuanya terasa jauh. Seperti menonton film lama yang tak lagi menyakitkan.Ia menutup laptop, menyesap kopi yang sudah dingin, dan tersenyum ke
Pagi itu, sinar matahari menyelinap pelan di antara sela tirai jendela kamar. Dinda membuka mata perlahan. Di sebelahnya, Rayhan masih tertidur, napasnya teratur dan damai. Dinda tersenyum kecil, menyadari bahwa ini adalah salah satu pagi yang ia syukuri sepenuh hati.Ia bangkit pelan, berjinjit ke dapur, menyiapkan sarapan sederhana: roti panggang, telur mata sapi, dan teh hangat. Semuanya dilakukan tanpa terburu-buru. Sejak menikah dengan Rayhan, hari-harinya terasa lebih tenang, lebih terarah. Bukan karena semua masalah selesai, tapi karena ada seseorang yang selalu siap berjalan bersama melewati semuanya.Suara langkah kaki terdengar dari arah kamar.“Wangi banget. Kamu masak telur, ya?” suara Rayhan yang masih serak baru bangun.Dinda menoleh dan tersenyum. “Sarapan sederhana buat suami yang luar biasa.”Rayhan mendekat dan memeluknya dari belakang, menaruh dagunya di pundak Dinda. “Aku kayak mimpi tiap pagi bangun dan lihat kamu.”“Kalau mimpi, jangan bangun,” goda Dinda, tertaw