Sudah dua minggu sejak Dinda dan Rayhan meluncurkan akun @HatiKayu, tempat mereka menjual berbagai pernak-pernik buatan tangan dari kayu bekas, dipadukan dengan kutipan tulisan Dinda yang hangat dan penuh makna.Salah satu produk mereka—tatakan gelas bundar bertuliskan: “Yang sembuh bukan yang kuat, tapi yang mau pelan-pelan berdamai”—tiba-tiba viral di media sosial setelah seorang influencer lokal mengunggahnya. Pesanan masuk ratusan dalam semalam.Rayhan sampai harus lembur membuat potongan kayu, sementara Dinda mengatur packing dan pengiriman. Mereka kewalahan, tapi juga bahagia. Ini lebih dari sekadar bisnis kecil. Ini adalah ruang di mana cinta dan proses pulih mereka hidup dalam bentuk nyata.Suatu pagi, Dinda membuka Instagram dan mendapati sesuatu yang membuat dahinya mengernyit. Sebuah akun dengan jutaan pengikut memposting foto tatakan gelas buatan mereka, lengkap dengan kutipan miliknya… tapi tanpa mencantumkan nama Dinda atau HatiKayu.Lebih dari itu, caption-nya menulis:
Matahari pagi mengintip malu-malu dari balik tirai kamar. Dinda sudah terbangun lebih dulu dari Rayhan. Ia duduk di meja kerjanya, membalas beberapa email sambil menyeruput kopi hangat.Satu notifikasi masuk, dengan subjek: “Undangan Menjadi Pembicara – Festival Literasi Perempuan Nasional 2025.”Dinda mengerutkan kening. Ia membuka email itu perlahan.“Halo Kak Dinda,Kami dari tim Festival Literasi Perempuan Nasional ingin mengundang Kak Dinda menjadi salah satu pembicara utama di panggung Inspirasi. Kami terinspirasi oleh karya-karya Kakak di Ruang Kata, serta perjalanan penyembuhan emosional yang Kakak bagikan dengan jujur dan penuh harapan…”Dinda terdiam. Matanya menelusuri paragraf demi paragraf dengan jantung berdebar. Ini bukan sekadar undangan. Ini pengakuan. Panggung itu bukan lagi milik mereka yang bersuara lantang saja—tapi juga milik mereka yang pernah diam karena luka, dan kini memilih bicara.Rayhan datang dari dapur, menguap kecil sambil membawa dua piring roti pangga
Sudah dua bulan sejak Dinda membaca buku catatan Arsen. Dua bulan sejak ia benar-benar merasa bebas dari bayang-bayang yang dulu mengikat langkahnya.Ruang Kata tumbuh perlahan tapi pasti. Peserta makin banyak, komunitasnya makin aktif, dan kini sebuah tawaran baru datang—yang tak pernah Dinda bayangkan sebelumnya.Penerbit besar mengirim surel, menawarkan kerja sama untuk menjadikan salah satu rangkaian tulisannya sebagai buku cetak.Dinda membaca email itu sambil duduk di teras belakang rumah kontrakan mereka. Tangannya masih gemetar sedikit, bukan karena ragu, tapi karena tak percaya.Dulu, ia hanya menulis untuk bertahan. Kini, tulisan itu justru membuka pintu-pintu yang baru.Tak lama, Rayhan pulang dari kantor. Wajahnya terlihat letih, dasi setengah terlepas, tapi senyumnya tetap hadir saat melihat Dinda.“Kamu kayak abis lihat kabar viral,” godanya.Dinda tertawa pelan, lalu menyodorkan layar ponsel. “Lihat ini. Penerbit Nara Books nawarin aku kerja sama buat bukuin sebagian ka
Pagi itu, udara Jakarta terasa lebih teduh dari biasanya. Dinda baru saja selesai memberi sesi daring untuk batch kedua Ruang Kata, ketika notifikasi dari ponselnya berbunyi.Pesan dari nomor tak dikenal:“Dinda, maaf mengganggu. Aku Rian. Mungkin kamu ingat, aku sahabat Arsen. Aku sedang ada di Jakarta dan ingin bicara. Hanya kalau kamu berkenan.”Nama itu membuat napas Dinda tertahan sejenak.Rian. Orang yang dulu sering ia temui di masa-masa ia masih bersama Arsen. Pria yang jarang bicara, tapi selalu memperhatikan. Ia tak pernah menyalahkan atau memihak. Tapi ia juga tak pernah benar-benar menghilang, hanya lenyap bersamaan dengan kepergian Arsen.Dinda meletakkan ponselnya. Memandang keluar jendela.“Rian,” gumamnya, nyaris seperti mengucapkan mantra dari kehidupan yang lalu.⸻Rayhan baru pulang dari kantor saat Dinda menceritakan isi pesan itu. Mereka duduk di meja makan, menyantap sup hangat yang tadi dimasak Rayhan sendiri.“Dia bilang ingin bicara. Aku belum jawab,” ujar Din
Pagi itu, Dinda duduk di meja kerjanya dengan secangkir teh hangat dan laptop terbuka. Di hadapannya, puluhan email baru masuk. Hampir semuanya bernada serupa: ucapan terima kasih, kisah pribadi, dan permintaan.Satu email datang dari seorang perempuan muda, bernama Rhea:“Saya pernah mengalami hubungan yang merenggut harga diri saya sedikit demi sedikit. Memoar Mbak Dinda membuat saya berani melihat luka saya sendiri. Apakah Mbak Dinda membuka kelas menulis? Saya ingin belajar menuliskan kisah saya, bukan untuk dibukukan, tapi supaya saya bisa memaafkan diri sendiri.”Dinda membaca kalimat itu perlahan, menelusup ke dalam dada. Sesuatu terasa menghangat dalam dirinya—bukan rasa bangga, tapi sebuah panggilan.“Kayaknya aku harus mulai,” gumamnya.Rayhan yang duduk di seberangnya, sedang membaca koran, menoleh. “Mulai apa?”“Kelas menulis. Untuk perempuan. Bukan cuma tentang teknik, tapi tentang keberanian.”Rayhan tersenyum. “Sudah waktunya kamu jadi cahaya buat orang lain.”⸻Minggu
Memori itu akhirnya terbit.Tanpa selebrasi, tanpa pesta peluncuran mewah. Hanya unggahan singkat di akun media sosial penerbit:“Memori Arsen Wicaksono: Sebuah Kisah yang Jujur.”Tersedia mulai hari ini di seluruh toko buku dan platform daring.Dinda hanya menatap unggahan itu dari ponselnya, jari-jarinya menggenggam cangkir kopi yang hampir dingin.Di meja makan, Rayhan baru saja selesai mengaduk oatmeal-nya. Ia menatap Dinda, lalu berkata pelan, “Kamu siap?”Dinda tak menjawab langsung. Ia menghela napas, lalu menjawab, “Nggak pernah siap. Tapi harus dijalanin.”⸻Dalam dua puluh empat jam pertama, buku itu langsung jadi perbincangan.Tagar #MemoarArsen naik ke trending. Di Goodreads, ratusan ulasan masuk—sebagian menyebut memoar itu sebagai “karya paling jujur tentang cinta dan luka yang pernah mereka baca.” Tapi sebagian lain menyebutnya sebagai “pengkhianatan terhadap sosok yang sudah meninggal.”Wawancara pun berdatangan.Beberapa jurnalis mencoba mengundangnya tampil di talksh