Home / Romansa / Setelah Kau Pergi / 2. Ujung Spuit

Share

2. Ujung Spuit

Author: El Nurien
last update Huling Na-update: 2022-08-30 18:37:18

 Izza hanyalah anak berusia tujuh tahun, tetapi enam bulan sebagai penyintas kanker, telah membuatnya terlihat lebih tua dari usianya. 

 

"Hallooo .… Selamat siaaang .… Apa kabar?"

Ciri khas sapaan Dokter Yolanda ketika masuk ruangan. Izza selalu bersemangat ketika melihat dokter perempuan paruh baya yang selalu ramah itu. 

Anita segera turun dari ranjang, sedang Izza langsung berbaring.

Izza bercita-cita menjadi dokter spesialis anak, juga spesialis kanker dari Dokter Yolanda. Izza berjanji akan bersungguh-sungguh belajar, tabah menjalani pengobatan demi cita-cita itu. Ia akan menyelamatkan anak-anak dari penyakit kanker dan kelainan darah. 

"Hallo … Izza gimana kabarnya?" tanya Dokter Yolanda ketika sudah mendekati Izza. 

Perawat bertugas segera membacakan hasil laporannya, termasuk hasil laboratorium. 

Dokter Yolanda meringis. "Izza kenapa darahnya ga naik-naik?" tanya Dokter Yolanda dengan gaya berbicara kepada anak-anak. 

Izza hanya cengengesan. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal. 

Dokter Yolanda meraba-raba perut Izza. 

"Makannya normal 'kan?" tanya Dokter Yolanda kepada Anita. 

"Iya, Dok."

"BAB-nya?"

"Normal, Dok." 

"Iya, sudah. Kita tambah trombosit lagi ya. Sehat ya, Izza." 

Anita mengangguk. "Terima kasih, Dok."

Dokter Yolanda mengangguk, lalu beralih ke pasien di seberang Izza. 

Selama Dokter Yolanda menyelesaikan visitnya, Anita menunggu di luar. Duduk di bangku panjang selasar ruangan Hemato-onkologi bersama Zubaidah, seorang wanita yang juga orang tua pasien penderita leukimia dengan sebutan Acute lymphoblastic leukemia. Atau biasa disebut ALL.

 Zubaidah, berasal dari Kalimantan Timur. Zubaidah bercerita banyak hal selama merawat anaknya. Banyak yang dikorbankan demi kesembuhan buah hatinya, termasuk bayinya yang harus ditinggalkan bersama neneknya. 

Belum lagi biaya hidup selama pengobatan. Zubaidah mengakui kalau kehidupan mereka sekarang ditopang hutang.

Napas Anita tertahan mendengar cerita Zubaidah. Ia bertanya-tanya, 'Inikah yang namanya sudah jatuh, tertimpa tangga?'

Biaya hidup sebagai orang tua yang memiliki anak penyintas kanker memang sangat besar. Biaya pengobatan memang ditanggung BPJS atau ASKES, tetapi ada beberapa obat yang harus ditanggung sendiri.

Selain itu, penderita memerlukan asupan nutrisi lain yang tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit. 

Belum lagi biaya tempat tinggal sebagai pasien di luar daerah. Demi privasi, terkadang mereka harus menyewa rumah atau penginapan. Sedang sang kepala keluarga kadang tidak konsentrasi lagi bekerja. Maka tak jarang, mereka harus menjual apa saja yang dimiliki, jika tak cukup, akhirnya mereka akan berhutang.

Apa yang dialaminya masih lebih ringan dibanding Zubaidah. Suaminya masih bekerja dan rutin mengirimkan uang untuk selama di Banjarmasin. Yang merawat cuma dirinya, sehingga cukup menumpang di Rumah Bahagia. Rumah singgah khusus anak-anak penyintas kanker yang disediakan oleh seorang dermawan.

"Kenapa harus ke sini. Bukankah di Kal-Tim termasuk daerah maju?" tanya Anita.

"Perkembangan Samarinda lebih pesat dari sini. Rumah sakitnya juga lebih besar daripada rumah sakit sini. Tapi, dokter spesialisnya hanya ada di sini yang paling dekat dengan Kal-Tim. Kami dirujuk hanya di dua tempat, Surabaya sama Banjarmasin."

Darah Anita berdesir. Perjalanan dari rumahnya di Barabai hanya perjalan sekitar empat jam. Itupun sudah terasa berat baginya. Bagaimana lagi dengan Zubaidah yang jaraknya sudah ratusan kilometer? 

Anita mengingat betapa beratnya waktu awal-awal setelah Izza divonis Acute myeloid leukemia (AML). Sampai sekarang sudah enam bulan ia dan putrinya tidak pulang kampung. Ternyata masih ada yang lebih berat ujiannya daripada dirinya. 

Anita segera berdiri ketika Dokter Yolanda keluar dari ruangan yang diiringi dua orang perawat dan beberapa orang dokter muda. 

"Dokter."

Dokter Yolanda menghentikan langkahnya. Anita mendekat. 

"Izza sudah dua minggu di sini. Dan tidak ada perubahan yang signifikan dengan darahnya. Saya cuma berpikir, bagaimana kalau kami keluar sebentar, pulang ke Rumah Bahagia. Barangkali dengan menghirup udara luar, dia agak baikan. Kebetulan lusa dia ulang tahun." 

Dokter Yolanda mengangguk, tanda setuju dengan pendapat Anita. Dokter Yolanda berpaling ke arah perawat.

"Jadwal masuk obat kemo kapan?" 

"Jumat ini, Dok," sahut seorang perawat. 

"Berarti tiga hari lagi ya?"

Perawat mengangguk. 

"Baiklah, setelah Izza transfusi, beri dia surat izin pulang." Dokter Yolanda berpaling ke Anita, "Jika ada gejala muncul, segera bawa ke sini. Tak apa ulang tahun di rumah sakit, ya."

Anita segera mengangguk, dengan sedikit membungkukkan badan. "Terima kasih, Dokter."

***

Jam sembilan malam Izza dibawa ke ruang tindakan untuk mengganti jarum infus di pergelangannya yang sudah hampir kadaluarsa.

Izza meringis. Anita ikut meringis. 

"Auu … ," jerit Izza. 

Meluncur air matanya setetes. Sekuat tenaga ia menahan air mata, karena tidak ingin membuat ibunya sedih. 

"Yah, pecah lagi," keluh perawat, yang biasa dipanggil Abang Haris. 

Anita mendekati Izza, lalu mengelus pundaknya. Berharap memberi sedikit semangat dan menghilangkan ketegangan pada putrinya. 

Kesulitan mencari pembuluh darah untuk memasukkan ujung spuit, salah satu kesulitan bagi perawat juga penderitaan bagi pasien anak.

Tak jarak anak-anak jadi menangis disebabkan pergeseran jarum atau vena pecah. 

Pembuluh darah tangan mengecil, bekas tusukan sebelumnya yang belum sembuh di sana-sini, ditambah ketegangan yang dirasakan pasien, membuat perawat semakin kesulitan mencari pembuluh darah baru. 

Izza kembali meringis. Jarum telah dimasukkan ke pergelangannya, tetapi darah belum juga keluar. 

Akhirnya Haris menarik jarum, lalu kembali meraba-raba punggung tangan Izza. 

"Ke tangan yang sebelahnya, ya. Izza, mau enggak?" tanya Haris lembut. 

Telah banyak bercak kebiruan di kulit tangan kiri Izza, tanda bekas tusukan jarum infus.  

Izza mengangguk

Haris melepaskan turniket*, lalu memasang kembali ke tangan Izza yang satunya.

 "Kepalkan tangan," minta Haris. 

Izza segera mengepalkan tangannya. Perlahan Haris mulai meraba punggung tangan Izza untuk mencari vena baru. 

Meski kadang menyakitkan, Izza tidak mengalihkan pandangannya. Ia ingin selalu merekam dalam memorinya. Ia  bersungguh-sungguh dengan cita-citanya. 

"Alhamdulillaaah," seru Haris, setelah melihat darah keluar di needle.**

"Alhamdulillah … ." Sontak Izza dan Anita juga mengucap hamdalah dengan perasaan lega.

***

Paginya Anita mengemas barang-barangnya ke dalam tas besar. Biasanya ia hanya mengemas pakaian, alat-alat makan dan mandi. Sedang makanan langsung dibagikan ke pasien lain. Di Rumah Bahagia tidak akan kekurangan makanan.

 "Izza, mau pulang ya?" tanya Rizky, masih baringan di atas ranjang. 

"Iya," sahut Izza, sambil memasang kerudung warna pink ke kepalanya. 

Anita sedang mengirim pesan di gawainya. 

(Mas, besok Izza ulang tahun. Datanglah! Kondisi Izza sedang tidak baik)

Anita langsung menghapus pesannya setelah tanda terkirim muncul. Izza tak boleh membaca pesan itu. 

"Assalamu 'alaikum." 

Muncul seorang laki-laki yang biasa dipanggil Amang Udin. Rumah Bahagia menyediakan sebuah sarana transportasi beserta sopirnya. Sekaligus merangkap mencarikan darah untuk pasien sampai mengambilkan darah ke PMI. 

"Assalamu 'alaikum. Selamat Siang." 

Sontak Izza berpaling ke arah pintu. Muncul sosok tampan, jangkung yang memakai setelan jas warna biru malam. 

Melihatnya, seketika mata Izza bersinar cerah. Ia merentangkan tangannya. Laki-laki itu langsung menyambut tangan Izza dengan mendekapnya.  

*

*

Siapa laki-laki itu? Ayah Izza?

**** 

*Tali pembendung 

**Ujung spuit/jarum yang biasa digunakan untuk pengambilan darah. 

Terima kasih, telah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak like dan komen.

Semoga sehat selalu dan berkah.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (3)
goodnovel comment avatar
Elia Utami Akhmad
bacanya hati deg deg an ..dan ngeri ngebayanginnya ..kasian ya Allah
goodnovel comment avatar
Rema Melani
jadi keinget ibuku,. saat sakit bulan kemaren,. sampai ditusuk berkali2,. gak bisa diambil darahnya,. ikut sakit rasanya,..
goodnovel comment avatar
Aniek Oktari Keman
sedih ya,klu anak2 sakit
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Setelah Kau Pergi   71. Ending

    Mata Anita masih mengerjap. Kesadarannya belum sepenuhnya pulih. "Kita di mana?" "Di rumah sakit. Syukurlah. Akhirnya kau sudah sadar," ucap sambil menciumi tangan Anita. "Maaf. Aku telah mengganggumu malam pertamamu," lirih Anita.Bayu menggeleng. "Jangan ingatkan aku dengan perkawinan itu! Kau membuatku ketakutan." Bayu terisak. Anita mengelus kepala Bayu. "Maaf. Jangan menangis! Aku sudah tidak apa-apa. Bagaimanapun kau mempunyai dua keluarga, kau harus kuat," ucap Anita tertatih. Entah kenapa ia merasakan kebas rasa. Tak punya tenaga, meski hanya untuk cemburu.Bayu merebahkan kepalanya, menjadikan tangan Anita sebagai alas. "Aku tidak menginginkan itu. Aku hanya ingin menjadi bayimu. Selamanya."Anita tersenyum. "Dasar, Baygon. Pulanglah!""Jangan memaksaku!""Aku hanya tidak ingin kau jadi laki-laki tidak adil." "Justru tidak adil, jika aku di sana, sedang di sini kau terkulai lemas di sini.""Bayu, malam ini ….""Ah tunggu, kita panggil dokter dulu."Bayu langsung memence

  • Setelah Kau Pergi   70. Part 10 Season 2

    "Nit! Anit!" Tidak ada jawaban. Bayu mempercepat ketukannya. Senyap. Abbas muncul dari kamar lain dengan wajah kusut. Ketukan dan panggilan Bayu mengusik tidurnya. Karin juga keluar. "Ada apa, Pak?" tanya seorang karyawan."Istri saya ada di dalam, bisa minta kartu kunci duplikat?""Sebentar, ya Pak," ucap karyawan dengan sedikit bingung. Sesaat ia sempat menoleh Karin yang masih berpakaian pengantin. Cahya bergegas melihat Bayu berlalu di depan kamar Anita. Qori dan Huda juga mempercepat langkah mereka. Karyawan datang membawakan cardlock duplikat lalu langsung membukakan pintu. Bayu langsung menerobos. Cahya, Huda dan Qori ingin masuk, tetapi Abbas mencegah mereka. "Biarkan Papa Bayu melihatnya."Di dalam kamar gelap. Bayu membuka lampu. Anita tidak terlihat. Bayu terperanjat ketika melihat telapak kaki Anita tergeletak di lantai. "Nit!" Bayu bergegas meraih kepala Anita lalu mengguncangnya. "Nit!" Tidak ada respon. "Huda, Qori!" teriak Bayu panik. Ia segera mengangkat

  • Setelah Kau Pergi   69. Part 9 Season 2

    "Tapi Kakak yang paling terluka di sini.""Ini takdirku, Cahya. Seberapa besar pun aku berusaha melepaskan diri takdir ini, selalu muncul bagian diriku yang tidak tega meninggalkannya." "Jika itu keputusan Kakak, aku dukung." Cahya meraih bahu Kakaknya. Air mata Anita kembali merembes. "Seberapa pun aku menyiapkan diri, tetap saja hati ini getir. Yang lebih nelangsa, aku tidak boleh menangis di depannya, dan kedua anakku. Aku harus kelihatan lebih tegar agar mereka juga bisa kuat." "Allah tidak akan menguji seseorang melebihi kemampuan. Jika Allah buka hati Kakak untuk tetap di sisi Kak Bayu, Allah pasti memberikan kekuatan lain pada Kakak yang mungkin saat ini tidak Kakak sadari."Di luar sepasang mata sendu mengalirkan air mata antara haru dan pilu. Ia tidak menyangka memiliki istri setulus Anita. Ia sempat menilai berprasangka buruk pada Anita karena tiba-tiba meminta lebih dari separuh hartanya. Ia tetap memberi Anita, karena perasaannya yang terlanjur mencinta.Beberapa menit

  • Setelah Kau Pergi   78. Part 8 Season 2

    Sesaat Abbas menatap isi cangkir yang masih mengepulkan asap. "Haruskah dia kubawa kembali ke Balikpapan?" Bayu menarik cangkir di tangannya, lalu meletakkan ke atas meja. Ia memilih duduk di sofa satu dudukan."Jika itu pilihannya dan bisa membuatnya bahagia," tantang Bayu.Abbas mengerutkan kening. Menatap wajah Bayu yang terlihat tenang. Diam-diam Abbas mengagumi sikap Bayu. Tenang, tetapi tegas.Dua sifat inilah yang mengantarkan Bayu bisa setinggi sekarang ini. Abbas duduk di sofa panjang. Refleks ia mengambil cangkir yang tadi diletakkan Bayu. "Tapi kau harus berbalik dan memulainya dari awal, sama seperti kau mengambil kopi itu. Tapi Anita bukan cangkir, bukan pula kopi. Ia memiliki pilihannya sendiri." "Aku tidak rela kau menduakannya.""Kau pikir aku rela? Aku pun berpikir keras bagaimana supaya pernikahanku dengan Karin tidak terjadi.""Haruskah aku yang menikahi Karin?" Bayu tertawa. "Dari mana kau mendapatkan kepercayaan diri setinggi ini?"**"Pak!" Karin tersenyum

  • Setelah Kau Pergi   77. Part 7 Season 2

    Hari pernikahan Bayu dengan Karin sudah ditentukan. Undangan sudah disebarkan. Atas permintaan Acil Imah rencana perkawinan mereka diselenggarakan cukup mewah. Karena Karin anak Acil Imah satu-satunya. Baru beberapa hari undangan disebarkan, Anita semakin merasa tertekan. Berbagai pandangan mengarah kepadanya. Tatapan kasihan, meremehkan bahkan menghina menjadi santapannya beberapa hari terakhir. Sedang beberapa gadis lainnya semakin terang-terangan mendekatinya. Sebuah minuman dalam gelas plastik mendarat di atas mejanya. Ia mencermati nama kafe yang tertulis di gelas itu. Lalu menengadahkan kepala, menatap si pemberi. "Kafe baru buka di dekat sini. Kebetulan aku mampir, jadi aku pesan aja dua. Sekalian buat Bu Anita."Anita terdiam. Mengamati perempuan di depannya. Dibanding Adilia, kali ini pakaian dan tutur katanya lebih sopan. Hanya saja, Anita tetap tidak bisa membuang kecurigaan. "Hallo, Nit." Tiba-tiba seorang laki-laki datang. Dengan santainya ia mengambil gelas itu dan

  • Setelah Kau Pergi   76. Part 6 Season 2

    Bayu tersenyum. Ia mengecup sekilas sepasang merah ranum di wajah Anita. "Memangnya apa yang kau inginkan?""Aku ingin 52% saham dan semua harta dari yang kau miliki."Bayu terperanjat. Ia terdiam, mengamati setiap partikel manik hitam istrinya. Ia memang pebisnis handal, tapi bukan sebagai seorang laki-laki. Meski begitu, ia perlu mencerna setiap situasi. Memprediksi berbagai kemungkinan. Satu hal yang harus ia sadari, pemikiran perempuan lebih rumit daripada struktur perusahaan. Ia curiga ini bukan sekadar permintaan materi, melainkan sebuah ujian. Bukan sekadar dipenuhi atau tidak, melainkan bom waktu. Tak peduli memilih kabel yang mana, keduanya berisiko meledak.Mata Anita bergerak-gerak, menunggu keputusan Bayu. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia merasa jawaban Bayu adalah hidup matinya. Iya atau tidak, keduanya berisiko tebasan nyawa.Semenit dua menit berlalu. Keduanya masih terdiam. HeningBayu mempertimbangkan banyak hal. Jika tidak dikabulkan, jawabannya s

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status