Share

3. Singa dan Kelinci

(Mas, besok Izza ulang tahun. Datanglah! Kondisi Izza sedang tidak baik)

Anita langsung menghapus pesannya setelah tanda terkirim muncul. Izza tak boleh membaca pesan itu. 

"Assalamu 'alaikum. Selamat siang."

 

Sontak Izza berpaling ke arah pintu. Muncul sosok tampan, jangkung yang masih memakai setelan jas warna biru malam. 

"Om Bayuuu!"

Seketika mata Izza bersinar cerah. Ia merentangkan tangannya. Laki-laki itu langsung menyambut tangan Izza dengan mendekapnya.  

"Om rindu sekali sama Izza." 

"Benar, Izza. Om Bayu baru saja datang dari bandara. Dia langsung ke sini mendengar Izza mau pulang," sela Amang Udin.

"Benarkah?" 

Bayu mengangguk. Ia menyentil hidung Izza yang mungil. "Sekarang gimana keadaan Izza? Baik 'kan?"

"Tidak, Om. Darahnya tidak naik-naik," beber Anita. 

"Yah …  kenapa, Izza? Izza bandel, ya?"

Izza menggeleng. 

"Terus apa? Sini bisik sama Om?" Bayu mendekatkan telinganya ke wajah Izza. 

"Mama galak, ya?" bisik Bayu. 

Anita tersenyum. Izza menggeleng, lalu menunduk malu. Anita dapat menangkap sekilas kilatan mata putrinya. Izza merindukan ayahnya. 

"Ya sudah. Kalau Izza belum mau cerita. Tetap semangat, ya. Tos dulu." Bayu mengangkat sebelah tangannya yang langsung disambut Izza. 

"Anak pintar."

"Bentar, aku ambilkan kursi roda dulu," ucap Anita. 

"Tak perlu. Biar aku gendong Izza."

Mata Izza membesar. Bayu mengangguk.

"Izza berat lo, Om. Dari sini ke parkiran mobil." Anita mengingatkan. 

"Tak apa. Ayo." 

Bayu langsung merentangkan tangannya yang langsung disambut Izza. 

"Sini, Mbak." Amang Udin mengambil tas besar yang dipegang Anita. 

"Kita pamit dulu," seru Bayu sambil mendekatkan Izza ke arah Rizky.

"Kak Rizky, cepat sehat, ya," ucap Bayu yang langsung diulang Izza. 

Rizky mengangguk, lalu menyambut uluran tangan Izza. 

Setelah Izza salaman ke semua pasien di ruangan itu, mereka keluar ruangan. 

Anita berjalan di belakang. Hatinya terenyuh melihat kebaikan Bayu, owner Rumah Bahagia. 

Setelah divonis leukemia, seiring waktu, kaki Izza semakin melemah. Sekarang Izza hanya bisa berjalan beberapa langkah. Mungkin efek samping kemoterapi.

 Tak hanya di situ, rambut Izza juga mulai botak dan kulitnya mulai menghitam. Sedang badan Izza semakin gempal. Selera makan Izza naik berkali-kali lipat.

Anita membuka ponsel ke sekian kalinya. Masih tidak ada balasan dari suaminya. Anita mendesah lesu.

***

Ketika sampai di Rumah Bahagia, Izza langsung mencari Huda. Teman seperjuangannya di Rumah Bahagia juga rumah sakit. 

Bayu langsung mengantar Izza ke kamar Huda. 

"Kak Huda," seru Bayu, setelah mengetuk pintu. 

"Izza?" Huda langsung duduk melihat kedatangan Izza. "Sini." 

"Izza om antar ke taman saja ya. Nanti om balik lagi ke sini jemput Huda. Ya?"

"Tak perlu, Om. Huda sudah jalan sendiri." 

Bayu mengangguk. Ia membawa Izza ke taman depan rumah, dan mendudukkannya di atas bangku panjang. Di bawah pohon  mangga yang rindang.

"Sini, Kak," seru Izza ketika melihat Huda muncul dengan menggunakan kruk tongkat. Di ketiaknya juga terjepit selembar kertas. 

"Kakak melukis apa?"

Huda duduk di bangku yang berseberangan dengan Izza, lalu memperlihatkan tulisannya. Seekor kancil yang tengah menanam bunga, sedang di sampingnya ada seekor serigala.

"Woah ...," seru Izza dan Bayu bersamaan. 

"Serigalanya berteman dengan kancil, Kak?" tanya Bayu.

Huda mengangguk malu. "Aneh ya, Om?"

Bayu tersenyum, menatap bocah penderita kanker tulang tersebut. Sudah sebulan lebih kaki kanan Huda diamputasi. 

"Tidak. Ini sangat inspiratif."

"Apa artinya, Om?" tanya Izza semangat. 

"Huda yang lebih tahu."

Huda menggeleng. "Huda cuma lihat di I*******m, Om. Huda kira kelinci itu kaya Izza. Lucu dan baik."

Bayu tertawa. 

"Kelinci menanam bunga, benar kelinci ini baik sekali. Ia merawat bunga, juga alam ini. Cocok jika diibaratkan dengan Izza. Izza anak baik. Tapi serigalanya siapa? Huda?"

Izza tergelak. 

Huda menunduk. 

Bayu mengacak rambut Huda. "Serigala bagus juga. Pemberani. Asal jangan jadi pemangsa. Lihatlah gambar serigala ini." 

Bayu menunjuk gambar serigala. "Dia berteman dengan kelinci. Dia pasti akan melindungi kelinci. Huda mau kan melindungi Izza?"

Huda menyatakan kesediaannya dengan anggukan. 

"Bagus. Om mau masuk. Jaga adik Izza, ya. Ajarin Adik menggambar biar gambarnya sebagus ini."

Huda mengangguk cepat. Pujian Bayu menambah amunisi semangat hidupnya. 

***

Bayu meluncur ke dapur. Di jalan ia sempat melirik pintu kamar yang terbuka. Terlihat Anita mondar-mandir dengan ponsel di telinga. 

"Masak apa, Cil?" 

Sesaat Acil Imah tersentak. "Bapak bikin kaget saja." 

Tak lama muncul Karin --- sekretaris pribadi Bayu, dengan wajah segar. Rambut Karin masih terlihat basah. 

Bayu sempat melihat sekilas, lalu beralih ke tempe di dapur dan mencomotnya. 

"Duduk, Pak! Tidak malu, ditegur Izza lagi?" Acil Imah mengingatkan. 

Bayu tertawa, lalu duduk di kursi meja makan. 

Karin duduk di kursi, berseberangan dengan Bayu. 

"Assalamu 'alaikum." Anita muncul, lalu mendekati Acil Imah. "Rame sekali. Ada apa?"

"Itu Pak Bayu, makan berdiri. Aku bilang, ga malu ditegur Izza?" ucap Acil Imah sambil mengangkat tempe dari saringan, lalu menaruh ke piring. 

Anita tersenyum "Maaf ya, Pak. Izza memang lemes orangnya."

Bayu tertawa. "Tidak. Seharusnya aku berterima kasih pada Izza." 

Karin tercenung melihat tingkah Bayu. Bosnya sangat jarang tertawa. Tersenyum pun kadang dipaksakan. Sebatas formalitas. Bayu hanya bisa tersenyum di depan anak-anak. Tetapi, kali ini Karin melihat Bayu tersenyum sangat lebar. 

"Izza memang anak cerdas," pancing Karin. Matanya tak lepas dari wajah Bayu. 

Bayu tersenyum lagi. "Benar. Izza sangat cerdas dan selalu ceria. Padahal banyak cobaan yang dihadapinya. Bu Anita berhasil mendidiknya."

Kening Anita mengernyit. Ia berpaling, menyandarkan bokongnya ke atang. "Dia memang anak ceria. Melihat dia menghadapi kondisi sekarang ini, aku cukup bangga padanya. Tapi, jika itu dihitung sebuah usaha, itu karena ayahnya."

"Ayahnya?" tanya Bayu. 

Karin melihat mata Bayu berbinar-binar jika membicarakan Izza.

Anita mengangguk, lalu berpaling kembali ke kompor. 

"Aku dan suami mempunyai cara yang berbeda dalam mendidik. Jika Izza meminta sesuatu, aku akan membiasakan kemandirian. Sedang ayahnya lebih mengajarkan keimanan."

"Keimanan?" ulang Karin. "Maksudnya, Izza sudah diajarkan dzikir dengan jumlah tertentu, gitu?"

Anita tertawa mendengar pertanyaan Karin.

"Tidak. Jika Izza meminta sesuatu, aku sering bilang, 'kita bikin bersama yuk, atau kita nabung dulu, ya.' Kalau ayahnya, simpel banget, 'doa sama Allah.'"

"Terus ga dikasih?" cecar Karin. 

"Ya dikasih. Maksud ayahnya cuma ingin membiasakan selalu meminta dan ingat Allah. Kalau sudah dikasih, ayahnya akan bertanya, 'siapa yang kasih?' Izza akan menjawab, 'Allah'"

Anita terkekeh mengingat momen-momen lucu tetapi indah tersebut. Tiba-tiba rindu menyeruak relung hatinya. Sudah lama ia dan Izza tidak bertemu secara fisik laki-laki pujaan mereka.

Bayu semakin memasang wajah perhatian.

"Kombinasi yang luar biasa. Pertama kali aku jatuh cinta pada Izza, saat melihatnya shalat di atas ranjang rumah sakit. Speechless aku melihatnya. Baru kali itu, aku melihat pasien anak shalat. Padahal umur Izza belum mencapai diwajibkan shalat."

"Mungkin karena itulah, dia begitu tegar melihat takdirnya. Di hatinya sudah terpatri nama Allah."

"Subhanallah. Aku jadi ingin sekali bertemu ayahnya," ucap Bayu.

"Mau ngapain bertemu dengan ayahnya Izza? Belajar jadi ayah? Menikah saja belum," tukas Acil Imah, sambil meletakkan piring berisi tempe ke atas meja. Di depan Bayu.

Karin tertawa cekikikan. 

***

Setelah Izza tidur, Anita kembali membuka ponselnya. Iya membaca yang kedua kalinya balasan suaminya. 

(Kebetulan ada janji. Aku akan segera ke sana, jika urusannya sudah selesai)

Anita geram membaca pesan itu. Bisa-bisanya suaminya masih beralasan, padahal keadaan Izza sudah diberitahu. 

Ia memencet kontak panggilan. Tak lama terdengar pesan suara bahwa pulsanya tidak mencukupi. 

"Yah." Anita mendengus kesal. 

Ia keluar kamar. Mencari kamar Acil Imah. 

Rumah Bahagia terdiri dari empat kamar. Tiga kamar di muka untuk tamu Rumah Bahagia. Jika sedang tidak banyak tamu, seperti sekarang ini, ia dan Izza bisa menempati satu kamar. Tetapi, jika banyak yang singgah, mereka harus memakai kamar bersama. Tidak jarang mereka sampai tidur di ruang tengah.

Sedang satu kamar di belakang khusus untuk Acil Imah dan Karin, anaknya. 

"Cil," seru Anita setelah mengetuk pintu. 

"Masuk, Nit. Tidak dikunci."

Anita membuka pintu, terlihat Acil Imah sudah duduk di atas ranjang. 

"Cil, ponsel Acil punya pulsa? Aku mau nelpon ayah Izza." Anita mendekati Acil Imah.

Acil Imah mengangguk, ia menyerahkan ponsel jadul yang tadinya tergeletak di samping bantal. 

"Terima kasih, Cil."

"Jangan sungkan!"

Anita langsung mengetik keyword nomor suaminya yang sudah hafal di luar kepala. 

Sekali panggilan tidak terangkat. Panggilan kedua baru terdengar ada sahutan. 

"Hallo."

Sahutan suara di seberang membuat Anita tersentak. 

"Maaf, ini siapa, ya?" 

Anita mengerutkan kening. 

"Saya istrinya Ridwan. Ini siapa? Pak Ridwannya ada?"

Hening. 

"Hallo?"

"Oh … iya. Saya pegawainya. Pak Ridwan … lagi di kamar kecil."

Sahutan di seberang terdengar gagap, membuat perasaan Anita semakin tidak nyaman. 

"Mbak siapa? Kenapa ponselnya ada di mbak?"

"Saya karyawan tokonya. Pak Ridwan sudah keluar. Ponselnya tertinggal, jadi saya angkat. Permisi ya, mbak. Ada langganan."

Tit. Panggilan terputus. 

'Bukankah tadi katanya Ridwan ke kamar kecil? Lalu keluar? Mana yang benar?' tanya Anita dalam hati. 

Sesaat menatap layar ponsel. Angka di layar tertulis 10.30. 

Seketika alarm kewanitaannya berdering nyaring. 

***

Bersambung. In sya Allah

Terima kasih 💗

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Elia Utami Akhmad
ya Allah udah mulai mules nih perut bacanya gedek..
goodnovel comment avatar
Rema Melani
Astagfirulloh,.. blm2 sudah ikut sakit hatiku,.. ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status