Kumasukkan ponsel ke dalam tas. Entah harus kupedulikan apa tidak pesan yang dikirim orang tak di kenal itu.
Semoga keputusanku untuk mempertahankan pernikahan ini bukan keputusan yang salah.
Angin berembus sangat kencang, menerbangkan dedaunan kering di padang ilalang depan sana.
Mas Ilham melangkah cepat menuju mobil, yang lain juga melakukan hal yang sama. Sebab sudah waktunya jam makan siang.
"Kita makan siang dulu," ucapnya setelah duduk di belakang kemudi.
"Kayaknya, Mas, sibuk banget ya. Apa aku pulang naik taksi saja."
"Jangan! Tidak apa-apa ikut Mas. Nanti sekalian kita pulang bareng."
Mobil melaju di belakang ketiga mobil yang telah mendahului. Mereka masuk area parkir Rumah Makan Lumayan. Rumah makan lesehan yang berdampingan dengan tambak di bagian belakang.
Jadi menu ikan ya
Seperti biasa, setelah Syifa berangkat sekolah, aku langsung membantu di toko. Hari ini ada pesanan beberapa jenis kue basah dan roti yang jumlahnya tidak sedikit. Pesanan dari orang yang sedang hajatan, menikahkan putrinya. "Ti, sudah genap, 'kan, bika ambonnya? Kata Ibu tadi kurang tiga puluh lagi," kataku pada Surti yang sibuk menata kue lemper di loyang. "Sudah, Mbak. Tadi sudah aku tambahi." "Ya, sudah." Aku memasukkan kue pukis ke dalam kotak sedang. "Ti," panggilku lagi pada gadis di sebelah. "Ya, Mbak." "Minggu depan Mbak sudah enggak tinggal di sini lagi. Menurutmu apa perlu tambah karyawan lagi untuk jaga toko. Menemani kamu dan Tarjo?" "Loh, memangnya Mbak mau ke mana?" "Mbak dan Syifa akan pulang ke rumah Mas Ilham, Ti." Sarti menghentikan peker
Aku masuk kamar, kubiarkan Papa dan anak masih bercerita di luar. Bunyi ponsel mengejutkanku yang hampir terlelap. Pesan dari orang itu lagi. Gambar yang dikirimnya kali ini membuat duniaku seperti berhenti berputar. Nura memeluk mesra Mas Ilham dari depan, di sebuah ruangan. Kembali dilema melanda, seperti tidak berujung. Air mata meleleh bersama rasa panas dalam dada. [Tidak usah menunggu hari Minggu. Bagaimana kalau besok saja kita bertemu.] Aku mengirim pesan pada nomor itu. Aku tidak sabar jika harus menunggu dua hari lagi. Tidak menunggu lama, pesan langsung di balasnya. [Baiklah. Kutunggu jam sembilan pagi, di kafe yang kusebutkan kemarin.] Rasa kantukku hilang seketika. Emosi telah menguasai dada. Foto-foto sebelumnya meski menyakiti, tapi tidak sedalam ini. Kali ini mereka saling berhadapan dan berpelukan. Entah apalagi yang tersembunyi d
Mas Ilham terus melangkah mendekat. Kilatan kemarahan tampak dari tatapan dan rahangnya yang mengeras. Aku dilanda cemas. "Kenapa kamu menghasut istriku?" Dua pria dewasa sekarang telah berhadapan dan saling menatap tajam. Membuatku makin takut. "Aku tidak menghasut. Aku menunjukkan fakta tentang hubunganmu dengan perempuan itu. Apa aku harus ceritakan juga, saat perempuan itu menarikmu ke kamar hotel?" "Cukup, jangan memfitnahku. Aku tidak melakukan apa pun dengannya. Aku pergi setelah itu." "Pergi setelah kalian puas bercinta?" Seketika aku memekik kaget sambil menutup mulut, tepat saat Pak Alex berhenti bicara sebuah pukulan Mas Ilham mengenai rahang pria itu. Sontak membuat Pak Alex terhuyung ke belakang sambil menyentuh ujung bibirnya yang pecah dan berdarah. Bukannya membalas, Pak Alex
Part 24 Sebuah JanjiAku menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara. Namun, kubiarkan Mas Ilham meluapkan emosinya. Biarlah dia yang di luar mendengar suara Mas Ilham saja. Sebagai perempuan yang pernah menikah, tentu dia akan paham apa yang terjadi di ranjang kami.Biarlah dia akan menunggu beberapa waktu di luar atau pergi karena tidak tahan.Sebenarnya aku tidak ingin orang lain tahu urusan ranjang kami. Bagiku itu sangat privasi. Namun kedatangannya memang di waktu yang tidak tepat.Aktivitas siang yang panas membuatku cepat lelah, di samping AC lupa tidak di nyalakan.Selesai bercinta, Mas Ilham baru menyalakan pendingin ruangan."Mas, sepertinya ada tamu di luar." Aku memberitahu setelah beberapa saat Mas Ilham berbaring dan memelukku."Tidak mungkin, siapa yang datang tengah hari begini.""Kekasih
Vi Ananda's POVSudah dua bulan lebih aku kembali ke rumah kami, meski tanpa Syifa. Dibujuk seperti apapun, dia lebih memilih tinggal dengan neneknya.Terpaksa kami yang bolak-balik antara rumah dan rumah Ibu tiap seminggu dua kali.Kalau bukan Ibu yang memaksa, aku tidak akan meninggalkan Syifa di sana. Biar Mas Ilham sekalian ikut tinggal di rumah Ibu saja."Kasihan Ilham kalau harus pulang ke sini, Vi. Kejauhan dari kantornya. Biar saja Syifa ikut Ibu, toh di sini banyak yang membantu mengawasi."Sekarang aku yang kesepian saat di tinggal kerja Mas Ilham. Setelah masak dan beres-beres rumah, hanya duduk bengong menonton TV."Lepas saja tidak usah pakai kontrasepsi lagi, Vi. Biar Syifa lekas dapat adik," kata Mas Ilham suatu malam."Enggak, Mas. Jangan sekarang. Aku ingin anak kedua ini kita siapkan betul-betul untuk menyambut kehad
Apa yang dipikirkan Ibu ini terhadap Mas Ilham? Bukankah beliau bisa melihat kalau Mas Ilham tidak datang sendirian. Mas Ilham menarik kursi dan duduk sambil memegang lengan ibunya Nura. "Maaf, Bu. Saya tidak bisa menikahi Nura. Saya punya istri. Ini Vi, istri saya," kata Mas Ilham sambil memandangku. Wanita bertubuh lemah itu menatapku. Tidak ada yang dikatakannya, tapi air mata mengalir dari kedua sudut netranya yang sayu. Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Setelah cukup lama memandangku, beliau beralih memandang putrinya yang duduk di sisi lain. Beliau hanya menggeleng tanpa berkata apa-apa. Entah apa yang sedang dipikirkannya, beliau tampak sedih dan tidak sanggup lagi bicara. Rasa sakit, rasa iba, rasa penasaran, berkecamuk dalam dadaku. Wanita itu menoleh pada kami. "Terima kasih
Malam itu kami makan dan menikmati suasana di kafe seberang hotel. Kami duduk di bangku bagian luar yang menghadap langsung ke lembah jauh di hadapan. Cuaca tidak begitu dingin malam itu.Nun jauh di sana tampak kelap-kelip lampu kota.Keadaan kami mulai tenang. Mas Ilham membahas lima tahun yang lalu, saat kami honeymoon ke tempat ini. Di kafe ini juga kami menikmati secangkir kopi dan capuccino. Juga steak daging yang jadi menu favorit kesukaan para pengunjung. Hanya saja suhu udara waktu itu sangat dingin, mencapai 10°C."Vi, boleh Mas tanya?"Aku mengangguk."Waktu Mas tak boleh tahu hari itu, Vi liburan ke mana?""Ke sebuah tempat.""Di luar kota?""Ya.""Di mana itu?""Mas, enggak usah tahu. Siapa tahu nanti aku butuh tempat untuk menyendiri lagi. Di sana suasa
Senin pagi, seperti biasa aku sibuk dengan pekerjaan rumah setelah Mas Ilham berangkat ke kantor.Kami pulang dari liburan langsung ke rumah Ibu, mengajak Syifa keliling kota hingga sore, lalu malam setelah Syifa tidur kami langsung kembali ke rumah. Perjalanan yang melelahkan.Mengenai meninggalnya Ibu Nura, aku tidak memberitahu Mas Ilham. Aku yakin, tidak kuberitahu pun Mas Ilham akan tahu sendiri dari orang kantor.Aku duduk di ruang keluarga sambil membuka pesan dari Miya. Dia mengirim foto kue yang di eksekusinya hari ini.[Gagal, Vi. Bantet kueku.] Tulisnya sebagai caption.Kubalas dengan emot tawa berderet. [Besok-besok di coba lagi, dong.]Tidak langsung dibalas karena dia sedang offline. Aku iseng membuka status di WA. Silvi mengunggah foto beberapa menit yang lalu. Ada foto di mana Mas Ilham ada dalam satu ruangan bersama Nura. Me