Share

Bab 3. Pengantin yang Telah Ditukar  

Berita pernikahan yang tetap dilanjutkan tersampaikan ke telinga Rebecca. Semua berjalan sesuai rencana tidak ada perubahan. Terkecuali calon pengantin wanita.

Bukan Rebecca Clovin, melainkan Rowena Clovin–adik tirinya. Keputusan itu dilakukan demi menjaga nama baik keluarga. Lebih tepatnya orang tua Elvis tak ingin nama baiknya tercoreng.

Hati Rebecca bertubi-tubi disakiti. Dia masih menangis di kamarnya ketika mengetahui gaun pengantin idamannya sedang dicoba oleh adiknya di kamar yang berbeda. Dia memeluk tubuhnya yang gemetaran, meratapi kesedihan saat kediaman itu sedang sibuk melakukan persiapan pernikahan besok.

Tidak ada seorang pun yang mendengar pembelaan dari dirinya. Ayahnya menutup telinga, sementara Elvis memblokir semua akses yang berhubungan langsung dengan Rebecca. Bahkan Rebecca sempat diusir ketika datang ke rumah Elvis.

Berbagai cara Rebecca lakukan demi memberikan penjelasan pada semua orang tentang kejadian malam itu, tapi tidak ada satupun yang memercayainya. Rebecca sekarang layaknya sampah yang sama sekali tidak dipandang. Mereka lebih percaya atas yang dilihat dan yang mereka dengar dari April.

Tidak lama dari suara ketukan itu terdengar, pintunya terbuka lebar dan menghadirkan pelayan rumah.

“Tuan Besar memanggil Anda ke ruangan beliau, Nona Rebecca.” Seorang pelayan berucap sopan pada Rebecca.

Rebecca tak menunda-nunda bangkit dari ranjang. Dia meninggalkan bantalnya yang basah oleh airmata. Tidak ada sedikit niatan untuk membasuh wajahnya yang memerah. Semua orang di rumah itu sudah tahu kesedihan hatinya.

Daddy memanggilku?” tanya Rebecca to the point di depan meja kerja ayahnya.

“Segera kemasi barang-barangmu. Aku sudah siapkan perjalananmu besok ke Skotlandia.” Nelson berucap tegas, tanpa melihat ke arah Rebecca.

Rebecca tertegun. Wajahnya tambah basah oleh airmata yang spontanitas mengalir dari mata. “Untuk apa aku ke sana?”

“Kau akan mengawasi perkembangan cabang perusahaan kita di sana.”

Nelson berbohong! Rebecca sangat tahu projek perkembangan itu masih abu-abu dikarenakan protes keras dari beberapa direksi. Sehingga dia menyadari satu hal yang pasti bahwa Nelson mengusirnya dari Manchester secara halus.

“Aku tidak akan ke mana-mana! Aku tidak akan meninggalkan departemen dan tim yang susah payah aku–”

“Rowena akan menggantikanmu.” Nelson tak memberi kesempatan putrinya berkata-kata.

“Dia tidak bisa! Rowena masih butuh bimbingan walau bergabung satu tahun di perusahaan–”

New product yang dikembangkan olehnya mendapatkan penjualan tertinggi tahun ini. Rebecca ... beri kesempatan pada adikmu untuk berkembang. Sebagai seorang kakak, kau tidak boleh serakah dengan adikmu.”

Kapan Rebecca pernah serakah pada saudara tirinya itu? Tidak pernah sekalipun Rebecca memprotes kasih sayang Nelson yang berat sebelah ke Rowena. Padahal saat itu Rebecca yang berusia 16 tahun baru saja ditinggal pergi oleh ibu kandungnya untuk selamanya. Lalu beberapa bulan kemudian Nelson menikahi ibunya Rowena dan memboyong keduanya ke rumah mereka.

Lantas Rebecca harus mengalah? Melakukan hal sama selama delapan tahun itu.

Daddy mengusirku?” suara serak Rebecca menyerang ironi. Matanya sudah memerah dan bengkak. Dia berjuang sekeras mungkin untuk menahan air mata yang nyaris kembali tumpah.

Nelson membuang muka dengan sikap dinginnya. “Kau akan berangkat pagi-pagi, jadi kau tidak harus datang ke pernikahan Elvis dan Rowena. Ada banyak tamu penting yang datang ke pernikahan itu.”

Daddy mengusirku?” ucap Rebecca mengulangi dengan nada gemetar yang menyayat hati.

“Rebecca, aku sangat kesusahan untuk sukses di titik ini. Keluarga Elvis adalah partner terbaik, jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Pergilah dan jangan buat kekacauan. Cukup hal menjijikkan kemarin saja yang kau lakukan dan mencoreng harga diriku. Harusnya kau bersyukur aku hanya mengungsikanmu, bukan mencampakkanmu.” Nelson berkata penuh ketegasan dan segala amarah tertahan.

Sakit! Dada Rebecca terasa nyeri akibat teriris-iris pernyataan ayahnya. Demi kekuasaan Rebecca dijadikan korban. Dia ingin sekali berteriak menjelaskan pada semua orang, bahwa dirinya tak bersalah, namun dia tahu bahwa itu semua percuma.

Rebecca menyeka sisa air mata dan berkata pilu, “Aku sangat kecewa padamu, Dad. Kau sama sekali tidak mengenal putrimu sendiri. Aku berharap Daddy menyesal suatu hari nanti. Aku pergi. Jaga Kesehatanmu.”

Rebecca keluar dari ruangan itu setelah menyatakan salam pamit. Tidak ada gunanya dia berlama-lama karena hasilnya juga akan sama. Mau menjerit sekuat apapun, ayahnya tetap tidak akan percaya. Seolah-olah Rebecca harus menerima kenyataan pahit yang menghancurkan kebahagiaan.

Tak ada yang bisa Nelson katakan. Pria paruh baya itu menatap punggung Rebecca yang mulai lenyap dari pandangannya. Pancaran matanya memang menunjukkan kemarahan dan rasa kecewa, tapi tidak memungkiri rasa sedih pun mendominasi.

Di depan, langkah Rebecca terhenti ketika tidak sengaja melihat keberadaan April. Wanita pengkhianat itu merubah langkah haluan kaki Rebecca. Sejak kemarin Rebecca kesusahan mencari-carinya namun kini muncul sendiri tanpa di minta.

Langkah kaki yang menggebu terhenti kaku saat melihat April masuk ke dalam kamar Rowena. Dia terheran-heran, sejak kapan April dekat dengan Rowena? Yang Rebecca tahu April dan Rowena berhubungan sekadar bertegur sapa sebagai bawahan dan atasan. Apalagi ini?

Rasa penasaran itu terjawab ketika pelayan-pelayan di dalam kamar Rowena keluar meninggalkan April dan si pemilik kamar. Dari celah pintu yang terbuka kecil Rebecca mendengar percakapan berbisik-bisik di dalam sana.

“Ini sisa uang yang aku janjikan kemarin. Oh iya, jangan lupa untuk mengganti semua furniture di ruangan baruku. Aku tidak suka memakai bekas-bekas kakakku.”

Mata Rebecca melotot melihat April menerima selembar cek tunai dari tangan saudara tirinya. Meski hatinya kesal atas pengkhianatan itu, Rebecca tidak mau terburu-buru menyerang. Dia memutuskan untuk lebih lanjut menguping percakapan kedua orang itu.

“Saya sudah memesan furniture baru sesuai permintaan Anda, Nona Rowena.” April berucap sopan.

“Bagus!” Rowena memuji. “Bayaran untuk pegawai hotel dan pegawai restoran kemarin juga sudah kau berikan, kan? Pastikan mereka menutup mulutnya rapat-rapat. Jangan sampai ada yang tahu jika minuman kakakku dicampur obat perangsang. ”

“Sudah saya lakukan. Saya juga sudah memastikan operator CCTV untuk merusak rekaman di malam itu, Nyonya Dalton.”

Rowena terlihat bersemu pada April yang menyebut dirinya menggunakan nama keluarga dari Elvis. Yaitu Dalton.

Menjijikkan! Pantas saja Rebecca merasakan perubahan tubuh yang tidak mengenakkan setelah menengguk minumannya. Kenyataan mengenai minuman itu telah dicampur oleh perangsang membuat Rebecca tak berdaya.

Pengkhianat bermuka dua itu sangat cerdik memainkan perannya. Sampai-sampai Rebecca tertipu oleh ketulusan orang kepercayaannya itu. Dari sudut itu pula Rebecca akhirnya mengetahui rencana busuk Rowena yang bekerja sama dengan April.

Saudara tirinya itu sangat membenci Rebecca. Padahal Rebecca tidak pernah mengusik kehidupannya. Ya, diam-diam Rowena juga telah lama mencintai Elvis, tetapi sayang dokter itu mencintai kakaknya.

“Ternyata semua idemu.” Rebecca masuk ke dalam kamar dan mengejutkan kedua wanita itu.

“K-Kakak–”

Shit! Jangan panggil aku seperti itu. Aku tidak sudi memiliki adik sepertimu,” Rebecca mencecar sinis, termasuk telunjuknya yang mendorong-dorong bahu Rowena.

Dorongan telunjuknya tidak kuat, tapi anehnya Rowena terjatuh sendiri lalu menangis terisak-isak.

“Apa yang kau lakukan, Rebecca? Kenapa kau mendorong Rowena?” bentak Elvis yang tiba-tiba menyerang Rebecca.

Rebecca tertawa melihat betapa pedulinya Elvis memapah Rowena untuk berdiri. Batinnya segera tersadar atas airmata yang sia-sia terbuang. Katanya Elvis mencintai Rebecca! Katanya dia tidak bisa hidup tanpa Rebecca! Tapi hanya satu kesalahpahaman membuat Rebecca bisa melihat jelas watak dan kebodohan seorang Elvis.

Wake up! Mereka bukan orang yang bisa menghancurkan Rebecca! Mereka tidak layak menerima tangisan Rebecca yang merupakan korban sesungguhnya.

Plak!

Sebuah tamparan keras Rebecca layangkan di pipi kanan Rowena.

“Rebecca!” bentak Elvis memekik pada Rebecca menampar Rowena.

Hal itu sengaja Rebecca lakukan agar drama kesakitan Rowena menjadi sungguhan.

“Ini belum selesai.” Rebecca mengambil gelas yang berisikan air putih, dan langsung menyiram ke wajah April.

April terkejut akan Tindakan yang dilakukan oleh Rebecca. Wajahnya sudah basah kuyup akibat terkena siraman air putih. Untungnya hanya air yang disiram, jika beserta dengan gelasnya sudah pasti wajah April akan terluka cukup parah.

“Rebecca Clovin!” bentak Elvis keras seraya melayangkan tatapan tajam pada Rebecca.

Rebecca menatap Elvis dengan mata memerah, menahan sesak di dadanya. “Sudah bertahun-tahun kita bersama, tapi kau sama sekali tidak mengenalku, Elvis.”

Elvis kian melayangkan tatapan tajam pada Rebecca. “Dulu, aku pikir aku sangat mengenalmu, Rebecca. Tapi kejadian malam itu membuatku tahu bahwa selama ini aku tertipu wajah polosmu. Hentikan sandiwaramu, Rebecca Clovin. Kebusukanmu sudah aku ketahui!”

Rebecca tersenyum getir. “Kebusukanku? Ah, ya … yang kau tahu aku hanyalah wanita busuk. Jika menurutmu seperti itu, maka aku tidak sama sekali marah. Teruslah menganggapku seperti itu.”

Lalu, tatapan Rebecca teralih pada Rowena dan April. “Aku pastikan kalian semua merasakan sepuluh kali lipat dari rasa sakit hatiku,” ucapnya penuh dendam yang kemudian beranjak dari kamar Rowena.

“Elvis.” Rowena segera memeluk erat Elvis, merengek meminta perlindungan dari sang calon suami.

Elvis menatap Rebecca yang mulai lenyap dari pandangannya. Tatapannya memang menaatp Rebecca, namun pria itu tetaplah membalas pelukan Rowena. “Lupakan apa yang dikatakan Rebecca. Dia hanya marah karena kau menggantikan posisinya. Tidak usah dengarkan dia. Semua masalah bersumber darinya.”

Rowena tersenyum licik dari dalam pelukan Elvis di kala Elvis memercayainya. Semua rencananya berjalan dengan mulus sempurna. Bahkan seluruh keluarga besarnya pun sudah berpikir bahwa Rebecca yang memiliki hati busuk.

***

Glenn melepaskan jas abu-abu yang dipakai, mengendurkan dasi yang seharian penuh melingkari leher. Lantas tak berlama-lama Glenn membanting tubuhnya ke sofa empuk.

Sama seperti kemarin, harinya sangat lelah oleh jadwal bisnis. Dia menenangkan tubuh tanpa peduli keberadaan Eric.

“Saya hanya membacakan jadwal Anda besok–”

Ucapan Eric terputus oleh notifikasi telepon masuk di handphone Glenn. Tetapi si pemiliknya malah mengabaikan dengan menekan tombol merah untuk me-reject telepon masuk itu.

“Teruskan,” Glenn bertitah.

“Anda akan free di waktu sarapan, pukul sepuluh pagi Anda akan menghadiri pernikahan–”

Lagi! Notifikasi telepon masuk di handphone Glenn menginterupsi Eric untuk diam.

Glenn menghela napas kasar. Hanya dengan melihat nama si penelepon yang tertera di layar handphone, Glenn bisa menerka tujuan dari si penelepon. Sebab, orang itu sudah menyerang Glenn sejak pagi.

“Lanjutkan.”

“Sebaiknya Anda menjawab telepon itu terlebih dahulu, Tuan Glenn.”

Eric membungkukkan kepala, dia pamit undur diri untuk memberikan ruang privasi kepada atasannya. Keputusannya itu dihalangi Glenn dikarenakan ia tidak ingin berlama-lama menjawab telepon masuk yang kembali menyerangnya.

“Hallo, Granny–”

“Cucu kurang ajar! Kenapa telepon dariku terus kau reject?!” serang wanita–yang merupakan neneknya Glenn dari sebrang sambungan telepon.

“Aku sibuk. Granny kan tahu aku sedang perjalanan bisnis ke Manchester.”

“Yang aku tahu kau sibuk menghindari aku!” bantah neneknya membuat Glenn tersenyum getir.

“Tidak, Granny.”

“Glenn!” neneknya berteriak marah.

Granny jangan berteriak. Nanti tenggorokannya sakit. Granny sudah makan? Bagaimana dengan dokter gizi baru yang aku pekerjakan?” tanya Glenn mengalihkan pembicaraan.

“Sudah aku usir! Jangan kirim dokter gizi manapun sebelum kau mau datang ke setiap kencan buta yang aku atur!”

Glenn memijat pelipisnya akibat kepala yang berdenyut sakit. “Granny makan, ya? Kalau Granny tidak makan, nanti Granny mati.”

“Biarkan aku mati! Biar arwahku bisa bergentayangan dan mencekik cucu yang tidak bisa menuruti permintaan neneknya! Jadi kau ingat, Glenn, datanglah ke setiap kencan buta itu!”

Sambungan telepon diputuskan sepihak oleh neneknya. Glenn langsung bereaksi kesal pada ancaman yang tidak bisa dihindari olehnya. Berkenalan dengan wanita? Itu merupakan hal yang dibenci oleh Glenn. Glenn sengaja tidak mengakrabkan diri dengan wanita mana pun sejak lima tahun belakangan.

Dia selalu tenggelam dengan pekerjaan. Menyibukkan diri tanpa batas waktu tanpa peduli seberapa lelah dan sakitnya diri.

“Anda mau jalan-jalan, Tuan Glenn? Malam ini Anda free.” Eric menghampiri Glenn, di kala Glenn sudah menutup panggilan telepon.  

“Sepertinya idemu itu bagus. Aku bosan. Aku butuh suasana menyegarkan otakku.” Glenn menyetujui saran itu. Dia benar-benar butuh hiburan malam. Selain ancaman dari neneknya, pikiran Glenn juga tertumpuk oleh beberapa hal.

Tujuan mereka malam itu ke sebuah private club malam. Glenn memerintahkan Eric untuk tidak menemani dirinya. Dia merasa ingin sendiri dan nantinya dia bisa pulang sendiri.

Suasana klub malam itu sangat ramah menyambut Glenn. Tidak terlalu ramai, pelayanannya juga bersikap sopan dalam melayani Glenn.

Tujuan Glenn saat itu adalah meja bartender. Dia ingin tenang menikmati alkohol di sudut itu. Tetapi kehadiran seseorang di sana membuat Glenn terkesiap.

“Sialan! Pria berengsek!” racau seorang wanita yang tertidur di meja bartender akibat mabuk.

Mata Glenn tertuju tajam pada wanita itu. Raut wajahnya berubah. Sepasang irisnya menatap begitu dalam sosok wanita cantik yang tengah mabuk. Kepingan memori Glenn muncul di kala melihat wanita cantik itu.

Wanita itu … dia adalah wanita asing yang digagahi nikmat olehnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status