Azalea mengalihkan perhatiannya dari Halwa ke Edzhar, "Kamu memperlakukannya dengan baik, kan?!" tanyanya sambil menyipitkan kedua matanya.
"Oh, tentu saja," jawabnya santai.Edzhar kembali merangkul pinggang Halwa, dan menariknya dengan gerakan posesif hingga semakin merapat padanya, bukan karena ingin menegaskan pada Azalea, tapi karena dari sudut matanya, ia melihat Victor yang sedang melangkah mendekati mereka."Lea, Andre mencarimu," ucap Victor pada Azalea, meski kedua matanya menatap bolak-balik ke Halwa dan Edzhar."Andre? Bukankah dia tadi sedang ke kamar kecil?" Tanyanya, Victor hanya menjawabnya dengan menaikkan bahunya."Andre?" tanya Halwa."Ah, sahabat yang pernah aku ceritakan padamu itu, Wa. Yang ingin aku jodohkan padamu dulu. Tapi sepertinya tidak perlu, karena sekarang kamu sudah menjadi istri Edzhar, dan Andre sudah menjadi kekasihku. Aku cari Andre dulu ya, nanti aku kenalkan dia pada kalian!" jelas Azalea se"Kali ini aku mengalah karena Aira sendiri yang memilih untuk terus bersamamu, meski aku tahu itu ia lakukan demi menyelamatkan orang tuanya! Tapi sekali lagi kau mengecewakannya, aku tidak akan segan-segan merebutnya kembali darimu!! Dan jangan pernah berharap saat itu aku akan bersikap mengalah seperti saat ini!! Camkan kata-kataku itu baik-baik, Ed!!" tegas Victor dengan tetap membelakangi Edzhar.Kata-kata yang Victor lontarkan tadi terus-menerus terngiang-ngiang di telinga Edzhar, hingga tanpa sadar pria itu terlihat melamun di tengah canda gurau teman-temannya itu."Ed ... " panggil Halwa sambil menyentuh lembut lengan suaminya itu."Ya, Aşkım?" tanya Edzhar lembut."Kenapa diam saja? Apa kamu sedang tidak enak badan?" tanya Halwa."Sepertinya iya, bagaimana kalau kita pulang duluan saja? Kamu juga harus istirahat demi anak kita," sarannya dan Halwa menganggukkan kepalanya.Ini kesempatannya untuk segera menjauhkan Halwa da
Napass Halwa tercekat, ia menangkup mulutnya dan menatap punggung Edzhar dengan tatapan tidak percaya. Berarti suaminya itu masih berpikiran kalau Halwalah penyebab kematian Tita, dan ia merasakan sakit yang menusuk di dadanya, sakit karena Edzhar masih juga tidak mempercayainya."Aku bukan pembunuh ... " desahnya sebelum menyerah pada kabut gelap yang menariknya ke alam bawah sadarnya, dan Victor menangkap badan Halwa saat jatuh pingsan."Halwa!" pekik Azalea membuat Edzhar balik badan, dan melihat Victor yang sudah membopong Halwa dan membawanya keluar dari tempat itu.Azalea, Andre, dan teman-teman yang lainnya mengikuti di belakang mereka, menyisakan Edzhar, Aaron dan Clare saja yang masih berhadapan dengan kedua orang tua Tita itu.Tapi rasa khawatir yang teramat sangat pada istrinya itu, membuat Edzhar berniat mengejar mereka. Tapi baru satu langkah Edzhar ingin menyusul mereka, tangan om Bara menahannya,"Mau ke mana? Melihat istri
"Bukan, bukan aku ... " terdengar rintihan lirih dari mulut Halwah, membuat Edzhar terjaga dari tidurnya.Ia yang tengah menunggu Halwa sadar, ternyata tertidur di sisi Halwa, dengan telapak tangan yang dikaitkan erat ke telapak tangan istrinya itu, yang kini meremas telapak tangan Edzhar dengan erat hingga Edzhar sedikit meringis.Edzhar mencondongkan dirinya ke Halwa, sebelah tangannya yang bebas mengusap lembut pipinya, "Aşkım, apa kamu sudah sadar?" Halwa tetap tidak membuka matanya, meski keningnya mengkerut dalam, yang berarti ia tengah bermimpi buruk lagi.Edzhar merasakan tikaman penyesalan di dadanya, karena sekali lagi ia menyebabkan istrinya itu kembali mengalami mimpi buruknya. Ia mengelus lembut dahi hingga ke puncak kepala Halwa, sebelum mendaratkan ciumannya ke dahinya itu."Sudah hampir dua belas jam kamu belum juga sadarkan diri, Wa. Bangun Aşkım."Hanya leguhan-leguhan kecil saja yang keluar dari mulut Halwa,
Sudah lebih dari lima hari mereka berada di Istanbul, dan Halwa masih saja bersikap dingin padanya, sejak bertemu dengan orang tua Tita itu. Halwa tidak bicara kalau bukan Edzhar yang memulainya, tidak ada senyum lagi yang terukir di wajah cantiknya. Secara keseluruhan, Halwa seperti kembali ke saat pertama kali Edzhar membawanya ke rumah Anne. Ia sangat menyesali pertemuan mereka dengan orang tua Tita, yang menyebabkan istrinya kembali lagi seperti ini, padahal sebelumnya hubungan mereka sudah baik-baik saja. Halwa sudah banyak tersenyum, serta lebih banyak lagi tawa serta canda mereka, dan semuanya menghilang dalam satu malam. Saat ini, entah apa yang tengah berada di dalam pikiran Halwa, wanita itu tengah berbaring miring memunggunginya. Edzhar tahu Halwa belum tidur, karena sesekali terdengar helaan nafas panjang istrinya itu. "Wa ... " "Hmmm." "Sebelum kita kembali ke Jakarta, aku ingin me
Dua bulan kemudian.Dengan pelan Halwa membangunkan Edzhar, pria itu terlambat bangun karena hampir semalaman berkutat dengan pekerjaannya, karena terdapat sedikit masalah pada perusahaannya itu."Ed, Bangun Ed. Bukannya kamu harus ke kantor hari ini?" seru Halwa."Aku masih ngantuk sekali, Aşkım.""Lawan kantuknya, Ed. Sekarang kamu mandi dan bersiap-siap saja ya, biar aku bawakan sarapan pagimu ke kamar," ujar Halwa, baru saja ia berdiri tapi Edzhar sudah menarik lengannya hingga Halwa jatuh di atas tu6uhnya."Ed!" pekik Halwa."Pagi-pagi sekali kamu sudah serepot ini, Aşkım. Lebih baik kita kembali tidur lagi," gumamnya dengan kedua mata yang masih terpejam."Ed! Kamu yang memintaku untuk membangunkanmu sepagi ini! Sekarang ayo cepat bangun,"Edzhar membuka sebelah matanya hanya untuk melirik jam di dinding, "Masih tersisa satu jam lagi, cukup untuk aku memakanmu terlebih dahulu," ujarnya sebelum menarik kep
Setelah satu minggu mereka berada di Turki, Anne datang mengunjungi mereka, dan sekarang adalah hari ketiga Anne berada di rumah Edzhar, untuk menghadiri arisan sosialita yang akan dihadiri istri dari para pengusaha sukses nanti malam. "Kamu ikut saja ya, Wa!" seru Anne di sela sarapan pagi mereka. Halwa mengunyah dengan cepat makanan di dalam mulutnya dan menelannya sebelum menjawab, "Sebaiknya aku tidak ikut, Anne. Perutku sudah terlihat membesar dan aku tidak percaya diri." "Justru itu, Anne mau mengenalkanmu pada teman-teman Anne, dan memamerkan kepada mereka semua kalau sebentar lagi Anne akan memiliki cucu, kembar pula," jelas Anne dengan kedua mata yang terlihat berbinar-binar. Jelas sekali memang itulah tujuan Anne mengajaknya ke acara arisan itu, selain ingin mengenalkan Halwa, ia juga ingin memproklamirkan cucu kembarnya yang dalam tiga bulan ke depan akan segera hadir ke muka bumi ini. Halwa menata
"Bagiku Lea tetap menantuku! Dan kenapa kamu tidak mengundangku sewaktu Edzhar dan Halwa menikah?" rutuknya. "Jangankan mengundangmu, aku pun tahunya mereka sudah menikah secara diam-diam, Edzhar takut Halwanya direbut orang mungkin," jelas Anne. Halwa menjadi lebih salah tingkah lagi. Bagaimana kalau mereka terus mencecar kenapa pernikahannya dengan Edzhar begitu mendadak? Bagaimana kalau mereka mengetahui alasan sebenarnya Edzhar menikahinya dulu? "Apa kamu sedang tidak enak badan, Wa? Wajahmu tiba-tiba memucat seperti itu," tanya tante Rycca. Di antara ketiga wanita paruh baya itu, mommynya Victor lah yang terus saja menatapnya dengan tatapan penuh selidik itu. 'Apa Tante Rycca tahu kalau aku dan Victor sempat dekat?' Halwa bertanya-tanya di dalam hatinya. "Aku hanya sedikit merasa mual, Tan." "Wa, bagaimana kabar Lea? Apa kamu sering bertemu dengannya?" tanya tante Lucy. "Ter
Halwa tergelak saat Edzhar mengejarnya dan memekik pelan saat pria itu berhasil menangkapnya, "Mau lari ke mana, Aşkım?" tanya Edzhar dengan senyum penuh kemenangan, lalu menciumi pipi hingga turun ke leher Halwa."Ed! Jangan di sini!" protes Halwa dengan nafas terrngah.Edzhar langsung membopong Halwa, "Di kamar kalau begitu!" serunya sambil melangkah mantap ke dalam rumah, tanpa menyadari ada seseorang yang tengah duduk di ruang tamu mereka."Ed ... " sapa orang itu, membuat punggung Edzhar menjadi kaku seketika.Perlahan Edzhar balik badan ke arah suara itu, kini bukan hanya Edzhar yang matanya membesar saat melihat orang itu Halwa juga, ia langsung menangkup mulutnya dengan kedua tangannya."Tita!" pekik Edzhar dan Halwa secara bersamaan.Wanita itu terlihat kacau, dengan perutnya yang membuncit, serta air matanya yang mengalir keluar dari kedua matanya itu."Ed ... " isaknya sambil sesengukan karena tangisannya, j
Edzhar menahan pintu kamar tempat Vanessa tertidur, dengan plester kompres demam yang menempel pada keningnya. Dengan langkah pelan dan kedua mata yang sudah dibanjiri air matanya itu, Halwa mendekati putrinya yang entah kenapa terlihat rapuh itu,"Vanessa ... " gumamnya lirih.Halwa nangis sesengukan sambil berlutut di samping tempat tidur Vanessa, tangannya yang gemetar meraih tangan mungil putrinya itu, yang terlihat jauh lebih kecil dari tangan putranya, Edson."Vanessa, putriku ... " desahnya sambil menciumi punggung tangan putrinya itu yang masih terasa hangat.Ia menempelkannya di pipinya, merasakan hawa panas yang mengalir dari telapak tangan Vanessa ke pipinya. Sementara tangan lainnya membelai lembut rambut putrinya itu.Tadi di sepanjang jalan Halwa sudah menyiapkan dirinya untuk tidak nangis, untuk terus terlihat kuat saat bertemu dengan putrinya nanti. Karena seorang anak bisa merasakan juga kesedihan ibunya, terutama anak ba
"Membicarakan apa? Menjelaskan apa?" tanya Halwa bingung."Vanessamu dan Edzhar masih hidup, Ay ... "Halwa mengerutkan keningny, ia merasa sangat bingung, luar biasa bingung. Ia menatap penuh mata tunangannya itu,"Vic, jangan becanda ini tidak lucu!" keluhnya.Meski bibirnya mengeluarkan keluhan itu, jantungnya mulai berdebar dengan sangat cepat selama ia menunggu balasan dari tunangannya itu."Apa aku terlihat tengah becanda, Ay? Apa aku pernah becanda jika menyangkut orang yang aku kasihi? Yang kamu sayangi?" tanya Victor dengan nada lembut, tidak sedikitpun ia marah dengan kecurigaan Halwa padanya.Halwa menggelengkan kepalanya, ia munduru beberapa langkah ke belakangnya,"Itu tidak mungkin ... Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri vanessaku itu sudah tidak bernapas, Vic!" sangkalnya, ia menangkup mulutnya dengan kedua mata yang membola,"Itu tidak mungkin ... " lanjutnya, air mata mulai membasahi kedua
"Poppa ... Aku punya dedek!" pekiknya dengan riang dan Victor mengangguk, ia pun menghapus air mata di sudut matanya. Ia dan juga sahabatnya yang lain, sama terharunya saat melihat pertemuan ayah dan anak itu yang mengharu biru. Edson kembali ,mengalihkan perhatiannya ke Edzhar, "Jadi kapan aku bisa ketemu sama dedek Vanessa?" tanyanya dengan nada tidak sabar. "Secepatnya ... " jawab Edzhar. Ia tidak bisa menjanjikan kapannya, karena ia juga belum tahu Halwa bersedia bertemu dengannya atau tidak. Tapi seandainya pun Halwa tidak mau bertemu dengannya, ia akan tetap mempertemukan Edson dengan saudarinya, meski putranya itu tidak mengetahui kalau Vanessa adalah adik kandungnya. Edzhar mengangkat dan menggendong Edson, lalu beralih menatap Victor, "Apa Halwa bersedia bicara denganku?" tanyanya. "Satu-satu, Ed. Membawa Edson padamu saja sudah membuatku d
Edson baru akan menghampiri Victor ketika Halwa menggendongnya, dan tanpa repot basa-basi lagi, ia langsung membawa putranya itu kembali masuk ke dalam Villa. "Aku akan bicara dengan Aira sebentar!" seru Victor lalu berdiri dan segera menyusul tunangannya itu. "Ay, tunggu Ay!" Halwa menghentikan langkahnya, ia memberikan tatapan dongkolnya pada Victor, "Kenapa pria itu masih berada di sini? Kenapa kamu bersikap baik padanya?" cecarnya. "Kalian di sini rupanya? Tamu-tamu sudah mencari kalian, ayo ke belakang lagi!" seru mama sambil menarik lengan Halwa. "Poppa ... " rengek Edson mengangkat kedua tangannya minta digendong Victor. "Berikan Edson padaku, kamu temani tamu-tamu saja terlebih dahulu yaa," bujuk Victor. "Sebentar, Ma. Ada yang ingin aku bicarakan pada Victor dulu," ujar Halwa sambil melepaskan lengannya dari genggaman mamanya itu. "Tapi tamu-tamu ... "
"Jadi insiden kapal pesiar itu sengaja direncanakan Tita untuk menjebak Aira?" tanya Victor setelah Edzhar selesai menceritakan semuanya.Tragedi itulah awal dari penderitaan Halwa. Ia lolos dari perangkap jahat Tita, tapi malah jatuh ke dalam jerat Edzhar. Victor yakin betul, saat mengetahui semua kebenaran itu, pasti Edzhar tersiksa oleh rasa bersalahnya.Bagaimana tidak? pria itu dengan kejam telah melakukan hal buruk pada Halwa, membuat Halwa tersiksa lahir dan batin, menjadikan dua bulan hidup wanita itu laksana berada di dalam neraka."Ya ... Kalian pasti menertawakan kebodohanku, ya kan? Tertawa dan hina saja aku, kalian tidak salah, aku memang terlalu mudah dibodohi wanita itu," desah Edzhar sambil menatap sendu satu-persatu sahabatnya itu."Tidak ada satupun dari kami yang akan menertawakanmu, Ed. Di banding orang lain, kami yang paling tahu betapa pandai dan cakapnya kau dalam hal apapun, ya kecuali dalam hal asmara. Kau pintar dengan se
"Halwa ... " panggil seseorang dari arah belakangnya, membuat langkah Halwa terhenti.Aroma yang pernah sangat Halwa kenali dulu menyeruak masuk memenuhi indra penciumannya, membuat Halwa seolah-olah Tersihir hingga punggungnya seketika itu juga membeku."Aku sangat merindukanmu," ujar Edzhar setelah sampai di samping Halwa."Edzhar ... " desah Halwa. Ia menatap penuh wajah yang tidak pernah ia lihat lagi selama tiga tahun ini, lalu hatinya kembali merasa sakit, hingga Halwa bergegas meninggalkannya.Halwa berpikir setelah bertahun-tahun terlewati, ia akan bisa menatap Edzhar tanpa merasakan kesakitannya yang dulu, dan menganggap pria itu layaknya sahabat Victor yang lainnya.Tapi ternyata ia salah ... Cukup melihat wajah itu satu kali, dan luka di hatinya langsung kembali terbuka lebar. Pria itu adalah sumber dari segala kesakitannya."Halwa tunggu!" cegah Edzhar sambil menahan lengannya."Lepas, Ed!" teriak Halwa samb
Pagi itu seperti biasa, selesai sarapan pagi Edzhar mengajak Vanessa main di halaman belakang. Membiarkan putrinya itu berlarian kesana-kemari mengejar kupu-kupu, sambil terus mengawasinya. Tidak lama kemudia terdengar notif pesan singkat di ponselnya, kedua matanya membulat saat membaca pesan singkat itu. 'Besok pagi Halwa dan Victor akan bertunangan di Paris. Tepatnya di X Villa!' Edzhar segera menghubungi nomor asing itu, tapi tidak tersambung, sepertinya siapapun yang memberi informasi ini menggunakan nomor sekali pakai untuk menghubunginya. "Yas!" teriak Edzhar, lalu menatap suster Mia, "Kamu, jaga Vanessa sebentar!" serunya dan suster Mia mengangguk. "Ya, Tuan?" "Majukan jadwal ke Parisnya hari ini! Halwa dan Victor akan bertunangan besok!" perintahnya. "Bertunangan? Anda kata siapa, Tuan?" tanya Yas. Alih-alih menjawab, Yas malah menyerahkan p
Hari kedua mereka di Paris, Victor mengajak Halwa dan juga Edson ke Penthouse orang tuanya, yang terletak di kawasan The Champs-Elysees, yang juga dikenal sebagai The Most Beautiful Avenue of the World, jalan paling indah sedunia. Kawasan tempat kalangan jetset juga selebrity ternama dan kaum sosialita menghamburkan uang mereka di sana, dengan berbagai macam barang dari brand ternama yang berada di sepanjang jalan itu. Edson nampak tertidur di pundak Victor saat mereka memasuki Apartment dan menuju lift pribadi yang akan membawa mereka ke lantai teratas Apartment ini, dimana Penthouse orang tua Victor berada. "Aku gugup, Vic!" aku Halwa, tangannya yang sudah mulai keluar keringat dingin, saling bertautan dengan telapak tangan Victor. "Sstt, santai saja. Seperti yang sudah pernah aku bilang padamu, mereka tidak akan mencampuri urusan pribadiku. Lagipula siapa yang akan menolak mendapatkan wanita secantik dan secerdas dirimu
Halwa menatap nanar Edson yang tengah jongkok di depan makam saudari kembarnya, Vanessa. Jemari mungil anak itu menyentuh batu nisan bertuliskan nama saudarinya itu.Ia sengaja mengajak Edson ke makam Vanessa hari ini, karena besok mereka akan berangkat ke Paris, acara lamaran akan dilangsungkan di sana, karena kedua orang tua Victor sedang berada di sana."Kenapa dedek meninggal?" tanya Edson.Sebenarnya itu pertanyaan yang selalu diulang Edson tiap kali Halwa mengajaknya ke makam Vanessa. Meski begitu Halwa tetap menjawabnya.Halwa ikut jongkok di samping Edson, lengannya merangkul bahu kecil putranya itu,"Amma melahirkan kalian secara prematur, dan dedek Vanes tidak bisa bertahan lama," jawabnya dengan suara parau.Halwa seolah-olah kembali ke saat paling menyakitkan di dalam hidupnya itu, saat melihat tubuh mung1l putrinya yang sudah tidak bernyawa, belum lagi suara tangisannya yang hingga kini masih terus hadir di dalam mim