Surat cerai yang diurus oleh ayahnya, sudah berada dalam genggaman. Dengan tangan bergetar, Ega membuka dokumen tersebut dan membacanya."Kamu sudah bukan hak ku lagi, Zhia." Di dalam ruangan kerjanya, Ega menatap matahari yang hampir tenggelam. Masih menggenggam akta perceraiannya dengan Zhia, hati Ega kembali teriris setelah mendapatkan pesan singkat dari Danu."Kau boleh mengantarkan surat itu kepada Zhia. Hanya itu kesepakatan untuk bertemu dengannya. Setelah ini, bersiaplah untuk menikah dengan calon yang sudah Ibumu siapakan.""Apa maksudnya? Kenapa jadi seperti ini, Yah?" Ega bukanlah bayi yang harus di dikte untuk ini dah itu. Memutuskan segala sesuatu, apalagi hal besar dalam hidupnya bukanlah perkara kecil."Ayahmu tidak bisa menolak! Setelah urusan kita selesai dengan Abdullah, kita tidak perlu berlama-lama dengan dia. Perusahaan itu sudah dalam genggaman kita dan dia tidak akan berkutik, Ega! Pikirkan baik-baik soal berapa keuntungan yang akan keluarga kita dapatkan!""Uan
Karena tidak ingin membuat keributan, Ega membiarkan Zhia pergi. Walaupun ia merasa, belum tuntas menyelesaikan kerinduannya kepada Zhia."Dia sudah pergi, ada baiknya kita kembali ke hotel. Atau kau mau makan disini?" Danu muncul dari arah yang berlawanan dengan Zhia pergi."Kita pergi saja, Yah. Aku tidak berselera disini." Ega beranjak dari duduknya dan mengikuti ayahnya keluar dari restoran tersebut."Kita makan di luar sana, ayahmu ini lapar.""Terserah saja, Ega ngikut."Di saat Ega dan ayahnya sedang bersantap malam di salah satu kedai restoran di jalan Sumatra, Zhia kembali bekerja melayani tamu-tamu di Dvia yang semakin ramai."Halo, akhirnya kita ketemu Zhia." Seorang wanita berpenampilan seksi dan glamour menghampiri Zhia yang sedang menyalakan sound system untuk tamu berikutnya.Zhia bukan tidak mengenal wanita itu. Wina adalah salah satu dari rekan grup nongkrong Zhia setelah ia lulus kuliah. Wanita cantik yang merupakan anak salah satu petinggi bank ternama di Jakarta it
Ega dan Danu kembali ke Jakarta. Urusan dengan Zhia, Danu anggap sudah selesai. "Kamu yakin gak ke tempat Zhia dulu?" tanya Danu kepada anaknya."Gak deh, Yah. Zhia pasti sedang marah. Gak ke Ega, tapi ke Wina dan teman-temannya yang lain. Video itu sudah pasti menyebar di grup pertemanan mereka.""Ya sudah, kita langsung ke Juanda. Malam ini ada pertemuan dengan perwakilan Pak Irwan, kamu sudah kasih tahu Abdullah?""Sudah, Yah."Tercipta keheningannya diantara keduanya. Ega sedang berpikir, sepertinya sulit kembali bersama dengan Zhia untuk saat ini. Keuangan keluarganya sedang goyah dan rencananya dengan sang ayah belum sepenuh berhasil. Sedangkan Danu, ia tidak memikirkan apa-apa lagi selain pertemuan bisnisnya dengan perusahaan Irwan.Perjalanan dari hotel ke bandara menjadi sunyi, Ega dan Danu sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga keduanya sama-sama duduk di dalam pesawat. "Ega, ayah tahu kamu masih ingin kembali. Saran ayah, coba alihkan keinginanmu itu dengan b
Mirna dan Putri bergegas ke rumah sakit dimana Abdullah dirawat. Keduanya sama-sama takut jika terjadi sesuatu dengan Abdullah."Gimana keadaan Ayah, Mas." Putri datang menghampiri Ega yang duduk di kursi luar ruangan Abdullah berada."Sepertinya Abdullah kecapekan, Putri, Mirna. Saya minta maaf jika akhir-akhir ini kita memang sibuk." Danu yang baru saja datang dengan membawa minuman dingin menghampiri mereka. "Ayahmu baik-baik saja, kata dokter memang harus istirahat. Ini sudah warning kedua dari dokter kalau memang harus rehat sejenak." Ega mengusap puncak kepala Putri untuk menenangkan."Boleh kita masuk ke dalam?" Mirna yang tidak sabar ingin melihat keadaan suaminya mengajak anaknya masuk ke dalam ruangan. Tubuhnya lunglai melihat Abdullah tergolek tak berdaya di ranjang rumah sakit. Terdapat alat bantu medis yang menempel di dinding membuat Mirna seketika ingin berteriak."Andai saja Zhia ada disini, dia bisa tenangkan kita Put. Kamu gak bisa minta bantuan Ega cari dimana Mba
Zhia meminta Nola untuk mencari tahu tentang kondisi keluarganya. Sayangnya, wanita itu sedang berada di Singapore untuk perjalanan bisnisnya."Sorry, yah. Atau gue coba tanya Ega. Setidaknya infor dari dia lebih valid, Zhia.""Duh, gak ada lagi yang lain, La?""Sementara gak ada, gue pusing. Video Lo viral di grup komunitas kita, tapi gak masalah. Itu gak terlalu penting juga untuk dibahasa. Wina memang gila, jadi Lo harus hadapi dia dengan cara gila juga.""Sampai kayak gitu, ya?""Zhia, kita ada prioritas utama dalam hidup, bukan? Yang perlu Lo prioritaskan adalah hidup Lo dan keluarga Lo dulu. Persetan dengan yang lain, yang bisa bantu Lo ya cuma diri Lo sendiri. Paham?" Nola sejujurnya iba kepada sahabatnya, namun kali ini ia memilih lebih tegas kepada Zhia agar tidak semakin direndahkan oleh teman-temannya."Iya, gue paham. Makasih, La." Zhia sedikit bernafas lega setelah berbagai kegelisahannya dengan Nola. Satu-satunya teman yang tersisa diantara banyaknya teman Zhia yang hedo
Danu dan Ega bertemu dengan perwakilan Irwan. Pria kaya itu mengirimkan orang kepercayaannya untuk bertemu dengan keduanya. Mereka mengadakan pertemuan di room tertutup untuk menjaga privacy. Hal yang sering Irwan lakukan ketika mengadakan jamuan bisnis, walaupun ia hanya mengirim perwakilan saja."Selamat malam semua, mohon maaf kami sedikit terlambat." Perwakilan Irwan tersebut mempersilahkan Ega dan Danu duduk kembali."Malam, Bu. Bagaimana kabarnya? Saya dengar baru saja pulang dari Maldives," ucap Danu berbasa-basi."Ah iya, Bapak bisa saja. Memang saya sudah lama tidak ambil cuti. Kebetulan, Pak Irwan masih berada di New York, jadi saya mewakili beliau untuk menemui kalian."Pembicaraan basa-basi diantara mereka terjadi sampai makan malam selesai. Ega yang merasa mendapatkan celah untuk berbicara pada intinya, tidak menyia-nyiakan kesempatan."Mohon maaf, Bu. Mengenai email saya beberapa hari lalu bagaimana keputusan Pak Irwan. Seharusnya, Pak Abdullah ikut bersama kami. Sayan
Zhia menatap map coklat yang ia letakkan di meja. Setelah pertemuannya dengan Ega beberapa hari yang lalu, ia belum membuka map tersebut."Bener kata Nola, gue emang cantik dan pintar tapi salah pilih suami. Nasib! Andai saja akta cerai itu bisa kujual, aku lebih memilih seperti itu." Zhia meraih map itu dan membukanya. Selembar kertas yang menunjukan identitas terbarunya. Status sebagai seorang janda, yang tidak pernah ada dalam pikiran seorang Zhia."Huft, Lo dah resmi jadi janda. Usia dua puluh tiga tahun udah janda. Oke, tidak masalah. Lo harus kerja yang rajin biar tetap bisa makan, gak usah mikir yang lainnya apalagi laki-laki, Zhia." Wanita itu menyemangati diri sendiri.Zhia melanjutkan merias wajahnya, setelah mengeringkan rambut. Berangkat ke Dvia tepat pukul lima sore, Zhia tidak tau tipe pelanggan seperti apa lagi yang akan ia hadapi."Setiap hari dengan orang yang berbeda, semoga hari ini mereka baik-baik dan tidak pelit," gumam Zhia sambil membuka aplikasinya ojek online
Angga dan Zhia berbincang hingga menjelang pagi. Pria itu benar-benar menepati janjinya untuk tidak Mita dilayani. Timbul rasa iba Zhia kepada dokter muda itu. Hujan deras yang melanda Surabaya menjelang pagi itu membuat Zhia enggan keluar dari selimut. Terlebih, tangan Angga memeluknya dari samping."Astaga, jam berapa ini!" Angga kelabakan mencari ponselnya. Pria itu panik karena siang ini ada jadwal praktek."Jam delapan pagi, apa ada kerjaan?" Zhia ikut bangun karena tidak enak hati.Angga masih terdiam, berusaha mencerna keadaan di sekitarnya. Ia menatap Zhia dalam-dalam lalu menjambak rambut dengan kedua tangannya."Astaga! Sorry, aku tidak ngapa-ngapain, kan?" Angga begitu panik melihat Zhia sudah berganti pakaian tidur. Karena seingatnya, Zhia datang ke hotel mengenakan dress berwarna hitam seperti permintaannya."Hehehe, tidak. Dokter tidak ingkar janji kok. Kayaknya, dokter perlu mandi. Setidaknya, kita butuh sarapan. Perut saya sudah bergejolak ini," ucap Zhia terkekeh."Ah