Share

Bab. 6 Bahagia Bertiga.

Deru mobil berhenti pada sebuah rumah kecil. Dengan atap genteng berwarna merah terbuat dari tanah. Dindingnya masih berupa susunan bata dan semen yang belum dicat, tak mengurangi rasa syukur kami pada Tuhan. Pintunya telah terbuka, mungkin Simbok atau Lilik telah berada di dalam.

Rumah Kecil dan sederhana, namun di dalamnya terdapat sejuta rasa bahagia. Saat pasangan lain banyak yang menanti hadirnya buah hati, atau masih menumpang pada orangtuanya. Aku telah memiliki semua itu. Rasa syukur membuat kita selalu merasa cukup.

"Akhirnya kita sampai, kita pulang, nak," bisikku lirih pada Anton yang tertidur dalam gendongan, ia hanya menggeliat. 

Mas Harto membuka pintu mobil, ia mengambil Anton dari dalam gendonganku. Menuntunku turun perlahan dari mobil. Saat kakiku telah menginjak tanah dan siap menggendong Anton, diberikannya bayi kecil itu dalam rengkuhanku lagi. 

"Eh, sudah datang …," Simbok berseru dan melangkah dari pintu. 

"Cah Ganteng ... cucunya Mbok udah pulang, sini-sini," Simbok berkata, sambil berjalan mendekat. Tak sabar melihat dan menggendong cucu laki-lakinya. Aku tersenyum melihat tingkah Simbok, saat menjenguk di rumah sakit ia hanya menatap iba pada bayiku. Belum berani menggendongnya.

Mas Harto mengambil beberapa barang bawaan kami lalu menaruhnya di teras. Kemudian berbalik dan melakukan pembayaran pada supir. 

"Terimakasih ... besok-besok kalo butuh mobil lagi, cari saya saja Pak." Pak supir yang merupakan tetangga itu, berterimakasih dan meminta izin pulang. Ada keperluan lain katanya.

"Siap, Pak!" jawab suamiku.

Kami melangkah ke dalam rumah, tak sabar untuk membaringkan badan di kasur empuk sendiri. Setelah semalaman terjaga menunggui Si Bayi kecil di rumah sakit.

Pada siang dan sore harinya beberapa tetangga berdatangan, menjengukku dan jagoan kami. Sebuah tradisi di kampung kecil ini, bila ada tetangga yang punya hajat, sakit, baru melahirkan atau membutuhkan pertolongan, kami akan bergantian datang untuk membantu.

Mbok Nah, dan Lilik yang sedari pagi sudah sibuk, membersihkan rumah dan memasak beberapa menu untukku telah pamit pulang. Selepas isya' kami masuk kamar, lelah seharian menemui beberapa tetangga sekitar juga teman yang datang menjenguk.

Kuelus pipi halus itu, perpaduan wajah Mas Harto dan wajahku tergambar pada raut Anton kecil. Senyumku merekah, teringat perjuangan ketika melahirkan dan masa-masa kehamilan. Semua rasa lelah itu terbayar, ketika melihat jagoanku lahir.

Mas Harto mendengkur halus, ia tertidur. Kelelahan seharian mengurus banyak hal untuk kami. Tak sengaja mataku menangkap pantulan bayangan kami dalam cermin. Senyumku kembali merekah, ada aku, Anton kecil juga suamiku. Andaikan pantulan bayangan itu bisa abadi, atau tercetak dalam kertas.

Akan kubingkai, kugantung di langit tinggi. Semoga harapan dan doa melambung hingga rumah Tuhan.

💞💞💞

Masa cuti hamilku telah selesai, tiga bulan terhitung sejak kehamilan akhir hingga Anton berusia dua bulan lebih. Kini aku sudah kembali bekerja lagi. Pada pagi hari, Anton dirumah bersama Bapaknya. Saat Mas Harto akan bekerja, ia akan mengantar jagoan kami untuk diasuh Mbok Nah.

Terpaksa, aku memberikan susu formula agar Anton terpenuhi gizinya. Sejak kembali bekerja, aku tak bisa memberi asi eksklusif pada bayiku. Sekitar pukul tiga atau empat pagi aku sudah bangun, memasak nasi dan mencuci piring. Lalu bersiap menunggu angkutan di tepi jalan raya yang akan membawaku ke pabrik. Pukul tiga atau empat sore aku sudah tiba di rumah, jika lembur selepas magrib aku baru sampai rumah kembali.

Pada awal kembali bekerja, payudaraku sempat membengkak. Asi di dalamnya, berlimpah dan tak tersalurkan. Jangan tanya bagaimana aku menahan rasa sakit itu. Sedih, ketika teringat bayiku yang seharusnya masih minum Asi.

"Ning, bajumu basah itu lo!" bisik Mbak Juminah yang duduk di sebelahku.

"Aduh, Mbak! asiku netes terus ini," lirihku. Terlalu berkonsentrasi bekerja, aku tak menyadari seragam di sekitar payudaraku basah.

"Sumpal sapu tangan, Ning!" perintah Mbak Juminah saat itu. Tangannya menyodorkan sapu tangan miliknya di bawah meja.

Kuambil sapu tangan itu, kumassukkan dalam saku rok. Segera aku meminta ijin pergi ke kamar mandi pada Mandor bagianku. 

Di dalam kamar mandi, kuperas sebentar bagian baju yang basah. Warna kekuningan masih tersisa di bajuku, sapu tangan kusumpal di atas puting susu. Semoga sapu tangan ini mampu menahan deras asi yang keluar.

Saat pulang bekerja tak lupa aku membeli sayuran, dan beberapa makanan untuk oleh-oleh Simbok yang sudah menjaga Anton. Mungkin tak seberapa dibandingkan pengorbanannya untuk merawat anakku. Tapi apa mau dikata, gaji harianku belum cukup untuk dibagi.

"Assalamualaikum, mbok … mbok …." Aku mengucap salam sambil melangkah masuk ke rumah Simbok sore itu. Kuletakkan sayur, dan beberapa roti goreng di meja dapur.

"Wa-alaikum salam. Di kamar, sini Ning!" Simbok menjawab salamku, suaranya berasal dari dalam kamar.

Perlahan aku berjalan menuju kamar Simbok, ada rasa rindu tertahan setelah seharian bekerja tak bertemu bayi kecilku. Dua sudut di bibir terangkat naik, ketika menjumpai dua orang yang sangat kusayang di dalam kamar.

"Gantengnya anak ibu, sudah mandi, sudah wangi. Sini-sini sayangku …." 

Rasa lelah seharian bekerja sirna. Saat kujumpai Anton yang sedang bermain dengan Simbok di kamar. Nampaknya baru saja dimandikan. Saat kugendong masih terlihat bedak bayi memenuhi wajah, wangi minyak kayu putih bercampur minyak telon tercium hidung.

"Anton habis banyak susune, tinggal segitu di plastik!" Sambil menunjuk plastik susu dalam kotaknya Simbok berkata.

"Iya, besok tak beli sekotak lagi!" jawabku, sambil menimang Anton dalam gendongan, kucium dia beberapa kali.

"Pulang dulu ya, Mbok!" pamitku kemudian. Sambil berjalan menuju rumahku yang terletak di kebun belakang menghadap sawah.

Simbok telah membagi kebun belakang untuk rumah anak-anaknya. Sehingga walaupun kami telah berumah tangga hubungan dan jarak tetap saling dekat satu sama lain. Kami enam bersaudara, tiga laki-laki dan tiga orang perempuan.

💞💞💞

Uang yang didapat Mas Harto dari bekerja di proyek, sebagian diserahkan padaku. Sebagian lagi digunakan untuk membeli kebutuhan renovasi rumah. Sedikit demi sedikit kami memperbaiki rumah, menjadi lebih layak dan bagus.

"Dek, ini uang buat kamu. Gajian minggu ini uangnya sebagian buat beli semen sekarung sama pasir ya?" Mas Harto  memberi beberapa sisa lembaran berwarna biru.

"Iya Mas," jawabku sambil tersenyum. Bagiku tak masalah berapapun uang yang sanggup dia beri. Selama aku masih kuat bekerja, akan kubantu dia mencukupi kebutuhan rumah.

Untungnya, kami tidak perlu menambah banyak biaya untuk menyewa tukang membangun rumah ini. Mas Harto dan mertuaku cekatan dalam urusan membangun rumah. Mertuaku ikut membantu pembangunan rumah ini dulu.

Perlahan dinding rumah yang sebelumnya masih berupa bata merah dan semen. Kini telah diplester, beberapa hari ke depan jika semen sudah mengering suamiku akan melanjutkan untuk mem-plamir.

Pelan tapi pasti, kebahagiaan kami mulai tersusun nyata. Sebuah rumah sederhana, dan canda tawa mengisi tiap harinya.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status