Malam sunyi ditemani indah cahaya rembulan, kami tenggelam dalam lautan gelora asmara. Dua jiwa merengkuh kenikmatan surga di peraduan cinta. Berlabuh mengarungi asmaraloka dengan bahtera birahi.
"Dek, bangun nanti terlambat!" Sentuhan hangat di pipi perlahan-lahan menarikku ke dunia nyata. Sayup kudengar suara lelaki memanggil namaku.
"Ning, bangun ning!"
Kukerjap-kerjapkan mata beberapa kali lalu memicingkan mata pada jarum jam di dinding. Hampir subuh ternyata, tubuhku masih enggan bangkit dari kasur empuk, bangkit dari mimpi indah tepatnya. Pergumulan panas kami semalam terbawa sampai alam mimpi.
Sejak ada Anton, kami jarang melakukan hubungan badan. Terlebih dia suka rewel pada malam hari. Semalam tidurnya sangat pulas. Tidak menangis saat haus ataupun buang air kecil. Sehingga kami punya sedikit waktu untuk melepas rindu.
"Ning, males kerja, Mas!"
Aku masih menggeliat di balik selimut. Ada rasa lelah dan bosan hampir tiap hari bekerja. Kurengkuh bayi kami mendekat dalam pelukan, matanya terpejam ia tertidur pulas.
"Apa mau kuantar?" Mas harto menawarkan akan mengantar berangkat kerja.
"Ndak usah, Mas. Ning naik angkutan saja. Kasian Anton kalau ditinggal, Simbok juga repot kalau sepagi ini harus ngurus dia," jawabku sambil memberikan beberapa alasan, agar suamiku tak perlu mengantar.
Aku berpaling menatap wajah bayiku yang sudah semakin besar. Memindai wajahnya yang pulas tertidur, lalu mengelus-elus rambutnya yang sedikit ikal.
"Ibuk, pengen nemenin Anton tapi ibuk harus kerja buat masa depan kamu, kita semua nak," bisikku di telinga Anton yang masih tertidur pulas. Kukecup pipinya yang halus. Kusibakkan selimut, berdiri lalu menuju kamar mandi.
Usia Anton kini menginjak satu tahun, ia mulai belajar berjalan, berpegangan pada kursi atau lemari lalu melangkah beberapa kali. Walaupun terjatuh dan menangis, dia selalu mencoba berdiri lagi.
Simbok yang mulai renta kadang kewalahan menjaganya. Ia merangkak kesana kemari tak mau diam.
"Anton, ndak bisa diam sekarang, Ning. Kalau minta titah gak diturutin nangis dia," adu Simbok padaku suatu sore saat pulang dari pabrik.
"Namanya juga anak laki-laki, Mbok! pasti gak bisa diem," jawabku ketika itu.
πππ
[Mas, tolong jemput Ning sekarang di depan pabrik.]
Kuketik pesan singkat pada layar gawai lalu kukirim pada nomor di selembar kertas.
"Makasih ya, Mbak, sudah boleh pinjam telepone genggamnya," ucapku pada Mbak Juminah, seorang rekan kerja yang berbaik hati meminjamkan gawainya. Tempat duduk kami bersebelahan saat bekerja.
Bukan aku tak sanggup membeli gadget sendiri, namun jemariku tak pandai mengoperasikan benda pipih itu. Pernah suatu hari Mas Harto mengajari cara mengetik pesan singkat. Beberapa kali mencoba aku tetap lupa caranya.
Beruntung Mbak Juminah berbaik hati meminjamkan gawainya, aku hanya tinggal mengetik pesan dan memasukkan nomor Mas Harto.
Deretan angka yang kucatat pada selembar kertas, kusisipkan dalam dompet dan selalu kubawa untuk berjaga-jaga jika ada hal penting.
Benda pipih di saku Mbak Juminah berbunyi. Ia merogoh saku dan mengambilnya. Ditekan-tekan beberapa kali, lalu ditatapnya layar gawai. Mungkin ada pesan masuk, balasan dari suamiku.
"Dibales Ok, sama suamimu. Sudah sana pulang, maaf gak bisa antar sampai depan," ucapnya.
"Iya, gak apa-apa, Mbak. Makasih, ya?"
Aku mengucapkan terimakasih sekaligus berpamitan padanya. Hari ini badanku terasa lemas, kepala juga pusing. Setelah jam istirahat aku meminta izin dari mandor bagian untuk pulang lebih awal.
Berjalan perlahan menuju pintu gerbang, kutahan rasa pusing di kepala. Tekanan darahku mungkin turun lagi. Sesampainya di pintu gerbang kutengok ke kanan dan kiri, tak nampak sosok yang sedang kutunggu.
Kuputuskan duduk di pinggir trotoar sambil menunggu. Setengah jam kemudian Mas Harto datang, aku melambaikan tangan dan berdiri, ia membunyikan klakson, dan mengarahkan motor menuju tempatku.
"Kenapa pulang awal?" tanyanya.
"Kepala Ning, pusing, badan lemes rasanya," jawabku lalu naik di boncengan motor.
"Mau periksa ke dokter sekalian?" tanyanya lagi, menawarkan untuk mengantar ke dokter langganan.
"Boleh, kalau Mas gak keberatan." Kueratkan pegangan pada pinggangnya.
πππ
Sesampainya di dokter langganan, kusampaikan keluhan penyakit yang kurasa. Ia mengambil alat untuk mengecek tekanan darah. Melilitkannya di atas lengan siku kananku. Beberapa kali ia terus memompa udara, hingga lilitan di lengan menjadi sangat erat.
"Tekanan darahnya normal, Bu," jelas Bu Dokter Ida senyumnya selalu tersungging saat memeriksa.
"Kapan terakhir Ibu menstruasi?" tanyanya kemudian.
"Ta-tanggal menstruasi?" ucapku terbata kembali mengulangi pertanyaan Dokter cantik itu.
Sial, aku lupa kapan terakhir kali aku kedatangan tamu.
Setiap hari sibuk bekerja, membuatku lupa mengingat kapan terakhir kali aku menstruasi. Seingatku, sekitar tiga bulan lalu ketika membeli pil KB disini, itu adalah seminggu setelah aku selesai datang bulan.
Segera kubuka tas, memasukkan tangan ke dalamnya. Kubuka resleting, lalu merogoh ke dalamnya.
"Astaghfirulloh β¦," lirih kuberucap.
Mataku menatap pil KB berbentuk tablet dengan tiga puluh lima butir pil itu nyaris utuh. Baru beberapa butir yang kosong dari tempatnya.
"Coba kita tes urine, ya, Bu." Ia menyodorkan wadah kecil berwarna putih berbentuk bulat dari plastik.
"Silahkan Ibu, buang air kecil lalu tampung sedikit airnya dalam wadah ini." Dokter Ida, menunjukkan letak kamar mandi. Aku bergegas menuju ruangan kecil di ujung koridor tempat praktek ini.
Aku melewati Mas Harto, yang duduk menunggu di depan ruang periksa. Saat ia melihatku keluar ruangan, berjalan menuju ruangan kecil di ujung koridor. Keningnya berkerut, seakan-akan bertanya apa yang sedang kulakukan.
Selesai melakukan yang diarahkan Dokter Ida, segera aku kembali menuju ruangan praktek tadi. Kuberikan wadah tadi padanya.
"Ini, Bu!"
Perempuan cantik berumur sekitar empat puluhan ini membuka bungkus lalu memasukkan ujung alat tes kehamilan ke dalam wadah berisi air seniku tadi.
Tak berapa lama, dikibas-kibaskan sisa air yang menempel pada ujungnya. Bu bidan cantik itu menunggu tanda merah di alat test kehamilan terlihat dengan jelas. Tak lama ia tersenyum lalu melirikku sekilas.
"Selamat ya, hasilnya positif , Ibu sedang hamil," ucapnya memberi selamat.
Aku mematung. Terdiam tanpa kata kemudian mengernyit, bingung harus bagaimana. Sedikit terkejut mengetahui hasil tes. Entah harus merasa senang atau sebaliknya?
"Gimana Dek, hasil pemeriksaannya?sakit apa katanya." Mas Harto melongok dari pintu yang terbuka. Entah ia sudah mendengar perkataan Dokter Ida, atau memastikan pendengarannya.
"A-aku ha-hamil, Masβ¦," terbata aku menjawab pertanyaan Mas Harto.
"Mas Harto tersenyum, menampakkan sederet gigi putih." Ia terlihat senang.
"Rezeki takkan tertukar, cukup kita harus terus bersabar. Rezeki tak perlu dicari, bila masanya akan datang sendiri." Kata-kata Simbok terngiang di telinga. Bagaimana ia memberi nasihat juga penyemangat kepada anak-anaknya agar tak putus asa dalam mencari rezeki.
Dalam perjalanan pulang menuju rumah, kueratkan pelukanku pada pinggang Mas Harto. Antara ragu, juga senang menerima kehamilanku ini. Bagaimana nasib Anton yang masih kecil dan adiknya nanti, jika sekarang saja aku jarang mengurusi mereka.
Sanggupkah aku merawat dua orang balita sekaligus, sambil tetap bekerja? duh Gusti, berilah kekuatan padaku untuk tetap kuat menjalani hari demi anak-anakku nanti.
Tolong aku gusti!Bersambung...
πππ"Rezeki takkan tertukar, cukup kita terus bersabar. Rezeki tak perlu dicari, bila masanya akan datang sendiri. Rezeki mengalir deras bagi orang-orang yang selalu bekerja keras, rezeki takkan terputus bagi mereka yang memberi dengan tulus." Semua kata-kata Simbok masih terngiang di telinga selama perjalanan menuju rumah.Dalam perjalanan pulang menuju rumah, kueratkan pelukan pada pinggang Mas Harto. Antara ragu, juga senang menerima kehamilanku ini. Bagaimana nasib Anton yang masih kecil dan adiknya nanti, jika sekarang saja aku tak bisa sehari penuh merawat dan mengurusi Anton."Selamat ya, hasilnya positif, Ibu sedang hamil," kata-kata Dokt
Ayam jantan bekokok bersahut-sahutan menandakan hari berganti pagi. Mentari telah mengintip di sela pepohonan. Aku siap menjemput rezekimu hari ini Tuhan, berikanlah kelancaran, kemudahan serta kesehatan agar hamba dapat bekerja dengan baik. Demi masa depan ke dua buah hati hamba, bismillah.Kulangkahkan kaki dengan penuh percaya diri, keyakinan bahwa usahaku takkan sia-sia. Demi kebahagiaan anak-anakku nanti, kerja keras akan kulalui, bersusah payah pun aku sudi. Demi masa depan anak-anakku, apapun akan kulakukan.Melangkah memasuki pintu gerbang unit delapan tempatku bekerja, telah banyak karyawan yang datang. Mereka berjalan teratur menuju unitnya masing-masing. Beberapa rekan kerja menyapa.
Aku duduk menghadap dinding, sembari menyisir rambut ikalku. Cermin kesayanganku telah pecah seribu, tak dapat disatukan lagi. Kini saat aku duduk di depan meja rias, hanya putih dinding yang kulihat.Kuraba dinding bekas cermin itu, paku untuk menggantung cermin itu masih disana. Cermin yang membersamaiku hampir selama pernikahan kami. Pecah, Sudah tak ada.Teringat lagi betapa sakitnya, melihat foto dan video dalam gawai Mas Harto. Bagaimana dengan penuh emosi kupukul cermin itu dengan tangan, hingga berlumuran darah. Sakit? jangan ditanya, namun sakitnya tak lebih perih dari hatiku.Maafkan aku Mas, yang lelah mencoba selalu bersabar dan terlihat tegar. Maaf Mas aku pergi meninggalkanmu. Hatiku tak sekuat itu, untuk terus diterpa cobaan bertubi-tubi. Jangankan
πππAnton menemaniku menghadiri sidang pertama di Pengadilan Agama. Mengenakan blouse putih lengan panjang bermotif sulur bunga, dan jilbab berwarna hitam, kami menunggu di depan ruangan."Bapak, gak keliatan, Buk?" Anton setengah berbisik bertanya padaku.Aku menengok ke kiri dan kanan, berusaha menemukan keberadaan sosok Mas Harto."Sepertinya Bapakmu memang gak datang, Anton," Jawabku kemudian."Ibuk, ndak usah takut. Anton akan membela
πππRoda motor Anton berhenti di halaman parkir yang cukup sesak, banyak kendaraan terparkir lebih dulu. Anton menengok ke kiri dan kanan, mencari celah memasukkan motornya."Sini, Mas!" Seorang Bapak tua melambai pada Anton, mengenakan topi, peluit dan jaket berwarna hijau.Anton menurut dan mengarahkan motornya menuju tempat di sebelah bapak yang melambai itu. Anton merogoh selembar uang pecahan dua ribu, diberikannya pada Bapak tadi."Ibuk, masuk dulu. Kamu tunggu disini aja!" Kulepas helm di kepala. Anton meraih dan mengg
πππMalam kian larut, mataku masih enggan terpejam. Kepalaku sungguh terasa berat, pusing di seluruh bagiannya.Suara-suara semalam, dan siang perlahan terngiang. Bayangan tiap kejadian berputar kembali dalam ingatan."Saya ... legowo yang mulia, saya bersedia berpisah dari istri saya!" jawab Mas Harto siang itu dengan suara lirih, seperti ada keraguan di dalam kalimatnya. Tapi, aku sangat lega mendengar kata-kata Mas Harto. Seperti ada rantai yang terlepas dari kakiku.Sebuah rasa kelegaan terlepas, dengan sebuah senyuman dari b
Bab : 14Judul Bab : Maling Dalam SelimutπππKepalaku semakin terasa berdenyut, pusing menjalar di seluruh bagian kepala. Kenapa semua masalah datang bertubi-tubi di waktu yang sama. Sebegitu sayangkah Tuhan padaku, hingga ia terus mengujiku?Uang pensiun yang kutitipkan pada Mbakyu Widuri, hilang segepok. Segepok uang itu ada empat juta rupiah, aku ingat betul terakhir memasukkan uang pesangon yang diberikan oleh pihak pabrik ada delapan gepok, sudah terpakai untuk banyak hal. Hanya tersisa lima gepok uang.
πππAku tak sabar menanti sidang ke tiga hari ini, pada sidang sebelumnya Mas Harto telah mengatakan jawabannya secara lisan bahwa ia bersedia berpisah.Hari ini adalah tanggal 16 Juni 2020, acara sidang ke tiga, semoga semuanya berjalan dengan lancar, perceraianku segera selesai, dan aku tak perlu bolak balik ke Pengadilan Agama lagi. Sungguh melelahkan rasanya.Kuawali pagi dengan mengambil air wudhu, membasuh segarnya air pada telapak tangan, berkumur tiga kali lalu membasuh pada bagian tubuh lainnya. Kemudian kukenakan mukena putih dengan hiasan brokat di tepiannya. Kuangkat kedua tangan setinggi telinga, m