Share

Bab. 7 Rezeki Tak Terduga.

Malam sunyi ditemani indah cahaya rembulan, kami tenggelam dalam lautan gelora asmara. Dua jiwa merengkuh kenikmatan surga di peraduan cinta. Berlabuh mengarungi asmaraloka dengan bahtera birahi.

"Dek, bangun nanti terlambat!" Sentuhan hangat di pipi perlahan-lahan menarikku ke dunia nyata. Sayup kudengar suara lelaki memanggil namaku.

"Ning, bangun ning!"

Kukerjap-kerjapkan mata beberapa kali lalu memicingkan mata pada jarum jam di dinding. Hampir subuh ternyata, tubuhku masih enggan bangkit dari kasur empuk, bangkit dari mimpi indah tepatnya. Pergumulan panas kami semalam terbawa sampai alam mimpi.

Sejak ada Anton, kami jarang melakukan hubungan badan. Terlebih dia suka rewel pada malam hari. Semalam tidurnya sangat pulas. Tidak menangis saat haus ataupun buang air kecil. Sehingga kami punya sedikit waktu untuk melepas rindu.

"Ning, males kerja, Mas!"

Aku masih menggeliat di balik selimut. Ada rasa lelah dan bosan hampir tiap hari bekerja. Kurengkuh bayi kami mendekat dalam pelukan, matanya terpejam ia tertidur pulas. 

"Apa mau kuantar?" Mas harto menawarkan akan mengantar berangkat kerja.

"Ndak usah, Mas. Ning naik angkutan saja. Kasian Anton kalau ditinggal, Simbok juga repot kalau sepagi ini harus ngurus dia," jawabku sambil memberikan beberapa alasan, agar suamiku tak perlu mengantar.

Aku berpaling menatap wajah bayiku yang sudah semakin besar. Memindai wajahnya yang pulas tertidur, lalu mengelus-elus rambutnya yang sedikit ikal.

"Ibuk, pengen nemenin Anton tapi ibuk harus kerja buat masa depan kamu, kita semua nak," bisikku di telinga Anton yang masih tertidur pulas. Kukecup pipinya yang halus. Kusibakkan selimut, berdiri lalu menuju kamar mandi.

Usia Anton kini menginjak satu tahun, ia mulai belajar berjalan, berpegangan pada kursi atau lemari lalu melangkah beberapa kali. Walaupun terjatuh dan menangis, dia selalu mencoba berdiri lagi.

Simbok yang mulai renta kadang kewalahan menjaganya. Ia merangkak kesana kemari tak mau diam.

"Anton, ndak bisa diam sekarang, Ning. Kalau minta titah gak diturutin nangis dia," adu Simbok padaku suatu sore saat pulang dari pabrik.

"Namanya juga anak laki-laki, Mbok! pasti gak bisa diem," jawabku ketika itu.

πŸ’žπŸ’žπŸ’ž

[Mas, tolong jemput Ning sekarang di depan pabrik.] 

Kuketik pesan singkat pada layar gawai lalu kukirim pada nomor di selembar kertas.

"Makasih ya, Mbak, sudah boleh pinjam telepone genggamnya," ucapku pada Mbak Juminah, seorang rekan kerja yang berbaik hati meminjamkan gawainya. Tempat duduk kami bersebelahan saat bekerja.

Bukan aku tak sanggup membeli gadget sendiri, namun jemariku tak pandai mengoperasikan benda pipih itu. Pernah suatu hari Mas Harto mengajari cara mengetik pesan singkat. Beberapa kali mencoba aku tetap lupa caranya.

Beruntung Mbak Juminah berbaik hati meminjamkan gawainya, aku hanya tinggal mengetik pesan dan memasukkan  nomor Mas Harto.

Deretan angka yang kucatat pada selembar kertas, kusisipkan dalam dompet dan selalu kubawa untuk berjaga-jaga jika ada hal penting.

Benda pipih di saku Mbak Juminah berbunyi. Ia merogoh saku dan mengambilnya. Ditekan-tekan beberapa kali, lalu ditatapnya layar gawai. Mungkin ada pesan masuk, balasan dari suamiku.

"Dibales Ok, sama suamimu. Sudah sana pulang, maaf gak bisa antar sampai depan," ucapnya.

"Iya, gak apa-apa, Mbak. Makasih, ya?" 

Aku mengucapkan terimakasih sekaligus berpamitan padanya. Hari ini badanku terasa lemas, kepala juga pusing. Setelah jam istirahat aku meminta izin dari mandor bagian untuk pulang lebih awal.

Berjalan perlahan menuju pintu gerbang, kutahan rasa pusing di kepala. Tekanan darahku mungkin turun lagi. Sesampainya di pintu gerbang kutengok ke kanan dan kiri, tak nampak sosok yang sedang kutunggu.

Kuputuskan duduk di pinggir trotoar sambil menunggu. Setengah jam kemudian Mas Harto datang, aku melambaikan tangan dan berdiri, ia membunyikan klakson, dan mengarahkan motor menuju tempatku.

"Kenapa pulang awal?" tanyanya.

"Kepala Ning, pusing, badan lemes rasanya," jawabku lalu naik di boncengan motor.

"Mau periksa ke dokter sekalian?" tanyanya lagi, menawarkan untuk mengantar ke dokter langganan.

"Boleh, kalau Mas gak keberatan." Kueratkan pegangan pada pinggangnya. 

πŸ’žπŸ’žπŸ’ž

Sesampainya di dokter langganan, kusampaikan keluhan penyakit yang kurasa. Ia mengambil alat untuk mengecek tekanan darah. Melilitkannya di atas lengan siku kananku. Beberapa kali ia terus memompa udara, hingga lilitan di lengan menjadi sangat erat.

"Tekanan darahnya normal, Bu," jelas Bu Dokter Ida senyumnya selalu tersungging saat memeriksa.

"Kapan terakhir Ibu menstruasi?" tanyanya kemudian.

"Ta-tanggal menstruasi?" ucapku terbata kembali mengulangi pertanyaan Dokter cantik itu.


Sial, aku lupa kapan terakhir kali aku kedatangan tamu. 

Setiap hari sibuk bekerja, membuatku lupa mengingat kapan terakhir kali aku menstruasi. Seingatku, sekitar tiga bulan lalu ketika membeli pil KB disini, itu adalah seminggu setelah aku selesai datang bulan.

Segera kubuka tas, memasukkan tangan ke dalamnya. Kubuka resleting, lalu merogoh ke dalamnya.

"Astaghfirulloh …," lirih kuberucap.

Mataku menatap pil KB berbentuk tablet dengan tiga puluh lima butir pil itu nyaris utuh. Baru beberapa butir yang kosong dari tempatnya.

"Coba kita tes urine, ya, Bu." Ia menyodorkan wadah kecil berwarna putih berbentuk bulat dari plastik.

"Silahkan Ibu, buang air kecil lalu tampung sedikit airnya dalam wadah ini." Dokter Ida, menunjukkan letak kamar mandi. Aku bergegas menuju ruangan kecil di ujung koridor tempat praktek ini.

Aku melewati Mas Harto, yang duduk menunggu di depan ruang periksa. Saat ia melihatku keluar ruangan, berjalan menuju ruangan kecil di ujung koridor. Keningnya berkerut, seakan-akan bertanya apa yang sedang kulakukan.

Selesai melakukan yang diarahkan Dokter Ida, segera aku kembali menuju ruangan praktek tadi. Kuberikan wadah tadi padanya.

"Ini, Bu!" 

Perempuan cantik berumur sekitar empat puluhan ini membuka bungkus lalu memasukkan ujung alat tes kehamilan ke dalam wadah berisi air seniku tadi.


Tak berapa lama, dikibas-kibaskan sisa air yang menempel pada ujungnya. Bu bidan cantik itu menunggu tanda merah di alat test kehamilan terlihat dengan jelas. Tak lama ia tersenyum lalu melirikku sekilas.

"Selamat ya, hasilnya positif , Ibu sedang hamil," ucapnya memberi selamat.

Aku mematung. Terdiam tanpa kata kemudian mengernyit, bingung harus bagaimana. Sedikit terkejut mengetahui hasil tes. Entah harus merasa senang atau sebaliknya? 

"Gimana Dek, hasil pemeriksaannya?sakit apa katanya." Mas Harto melongok dari pintu yang terbuka. Entah ia sudah mendengar perkataan Dokter Ida, atau memastikan pendengarannya.

"A-aku ha-hamil, Mas…," terbata aku menjawab pertanyaan Mas Harto.

"Mas Harto tersenyum, menampakkan sederet gigi putih." Ia terlihat senang.

"Rezeki takkan tertukar, cukup kita harus terus bersabar. Rezeki tak perlu dicari, bila masanya akan datang sendiri." Kata-kata Simbok terngiang di telinga. Bagaimana ia memberi nasihat juga penyemangat kepada anak-anaknya agar tak putus asa dalam mencari rezeki.

Dalam perjalanan pulang menuju rumah, kueratkan pelukanku pada pinggang Mas Harto. Antara ragu, juga senang menerima kehamilanku ini. Bagaimana nasib Anton yang masih kecil dan adiknya nanti, jika sekarang saja aku jarang mengurusi mereka.

Sanggupkah aku merawat dua orang balita sekaligus, sambil tetap bekerja? duh Gusti, berilah kekuatan padaku untuk tetap kuat menjalani hari demi anak-anakku nanti.

Tolong aku gusti!

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status