"Astagfirullah, Nduk! Istighfar Nduk, istighfar!" cecar Bulik saat melihat pergelangan tanganku sudah mengeluarkan darah segar bekas goresan silet yang kupegang. Dengan cepat tangan Bulik meraih silet yang sudah berlumuran darah dari tangan kananku. Bibirnya terus saja mengomel sambil bergerak cepat mengambil tisu untuk mengusap darah yang masih saja mengalir."Ros! Rosii!" teriak Bulik sambil terus memegang luka sayatan. "Ambilkan kotak p3k."Sementara aku diam saja, sedikit banyak darah yang keluar itu membuat tubuhku terasa lemas. Perihnya luka fisik bercampur dengan perih di hati membuatku makin erat memejamkan mata, menikmati rasa yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata.Rosi datang dengan cepat sambil membawa kotak obat. Ia merawat lukaku dengan baik tanpa banyak bicara seperti Bulik."Ngapain kamu kayak gini! Jalan hidupmu masih panjang, masa depanmu dan Naila juga panjang. Tanpa Rasyid atau dengan adanya Rasyid bersama perempuan itu kamu harus tetap kuat. Tidak ada yang bi
"Cerai? Jangan bercanda, Dek!" ucap Mas Rasyid tak terima. Ia mengubah posisinya menjadi duduk di sebelah dan menghadapku. Binar matanya menyiratkan rasa cemas yang amat sangat.Ya, sengaja memang. Harus begini agar Mas Rasyid tahu rasanya kehilangan orang yang dicintainya. Ini juga sebagai pelajaran agar ia menjaga hati dan perasaannya untuk wanita yang telah mengabdi padanya. Jika pun kami telah bercerai, ini harusnya bisa jadi pelajaran untuk wanita yang akan hadir dimasa depannya.Dendam? Tidak. Aku hanya ingin dia belajar bagaimana caranya mensyukuri nikmat."Aku ngga bercanda, Mas!" pekikku seraya menatap matanya tajam. "Lalu bagaimana dengan Naila? Apa kamu tega membiarkan Naila hidup tanpa bapak?" Sorot mata itu kian sayu seiring dengan nada bicaranya yang mulai melemah. Tingginya nada suaraku rupanya cukup membuatnya sedikit tersadar."Naila pasti akan mengerti, Mas. Lagi pula aku tidak minta diceraikan sekarang, aku akan menunggu dua bulan lagi sampai Naila selesai ujian ak
Sejak setelah sarapan, aku selalu mengamati gerak-gerik Mas Rasyid. Hatiku masih tak percaya dengan apa yang terjadi ini. Sungguhkah apa yang terjadi semalam adalah bagian dari rencananya untuk membuatku terikat padanya dan tetap berada di sisinya sekalipun badai sedang menerjang?Sungguh, egois jika memang benar demikian. Tapi sayangnya, aku sudah meminum obat penangkal yang akan menghentikan apa yang diharapkannya. Bukan aku ingin membunuh calon janin yang sudah terlanjur masuk ke dalam rahimku, hanya saja aku mencoba menghentikan apa yang seharusnya tidak terjadi sebab aku butuh waktu untuk menenangkan diri.Menambah momongan tidak bisa hanya diinginkan oleh satu pihak saja, harus berdasarkan keputusan bersama. Karena istri juga akan turut menanggung semuanya, terlebih jarak kami yang sudah terbentang jauh. Akan berat untukku menjalani jika memang benar-benar aku mengandung. Bahkan aku tak bisa membayangkan bagaimana kami akan merawat anak itu nanti setelah hatiku tak sepenuhnya u
Aku melengos. Bosan mendengar permintaannya yang itu-itu saja. Selalu memintaku untuk menghargai orang lain tapi mereka lupa caranya menghargaiku."Dek, dia sudah datang jauh-jauh untuk mendekatkan dirinya padamu dan Naila. Sambut dia sebagai wujud kepedulian terhadap sesama," ucap Mas Rasyid sedikit meyakinkan.Aku menghadapkan wajahku ke arah Mas Rasyid lagi. Mataku menatap wajah yang sedang memohon di depanku dengan tatapan memohon. Seharusnya ia tahu bahwa di dalam mataku terdapat kobaran amarah yang tercipta karena perbuatannya. Tapi sayang, ia tidak mau tahu akan hal itu."Sudahlah, Mas. Aku bosan dengan permintaanmu yang seperti itu. Aku memberi izin kamu menikah dengan dia, tapi jangan paksa aku untuk menerima kehadirannya di rumah ini. Ini berat buatku, Mas! Tidakkah kamu sadar bahwa ini menyakitiku?""Mas tahu. Kamu hanya butuh waktu untuk bisa menerimanya di sini. Maka belajarlah untuk hal itu mulai saat ini. Hargai dia karena sudah berbaik hati untuk mau dekat denganmu."A
"Naila salim dulu sama Ibu," ucap Mas Rasyid pada Naila. Ia hendak pulang untuk mengantar Naila ke tempat Ibu. Sebenarnya aku ingin Naila tetap di sini bersamaku, demi sebuah rencana yang ada di pikiranku. Tetapi Mas Rasyid bersikeras untuk membawa Naila pulang.Wajah Naila tampak berat untuk pergi setelah mendengar perdebatan aku dan Mas Rasyid barusan. Perubahan yang terlihat di wajahnya itu seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya."Besok kan Naila bisa ke sini lagi sama nenek setelah pulang sekolah. Sekarang Naila pulang dulu," rayu Aisyah. Ia merangkul bahu Naila untuk dituntun ke arahku."Benar ya, Yah, besok Naila boleh ke sini lagi? Naila tidak mau jauh-jauh dari Ibu. Naila mau nungguin Ibu," ucap Naila dengan suara berat sambil menatap Mas Rasyid dengan pandangan memohon."Boleh, Sayang. Besok kan kamu harus sekolah, kalau besok pagi berangkat dari sini Ayah bisa terlambat." Mas Rasyid menimpali.Mendengar penjelasan ayahnya, Naila tak lagi menyangkal. Ia tak berani
"Mbak, Mbak Nita," panggil seseorang yang seketika membuatku tersadar dari buruknya mimpi.Mataku mengerjap mencari Naila di sisiku. Seketika aku mengangkat badan untuk mencari keberadaan putriku itu."Dimana Naila?" ucapku panik. "Tadi dia badannya panas sekali," racauku lagi sambil mengitari sekeliling dengan dua ekor mataku.Dahi Aisyah mengernyit. Ia menatapku keheranan. Kemudian mengambil segelas air yang ada di atas nakas dan diulurkannya padaku."Minum dulu, Mbak. Mbak pasti mimpi buruk tadi," ucap Aisyah lagi. Ia mengamatiku yang sedang meneguk air dalam gelas pemberiannya dengan sabar.Usai menelan separuh air dalam gelas itu, barulah aku sadar sepenuhnya bahwa itu hanyalah mimpi. Tetapi mimpi itu terasa nyata dan seperti bukan mimpi. Lalu, apakah aku akan memaksakan diri pergi dengan kondisi seperti ini? Bagaimana jika apa yang kualami dalam mimpi tadi terjadi di dunia nyata? Kepalaku menunduk seketika. Bahuku jatuh seiring dengan helaan napas panjang dan dalam yang keluar
Aku berjalan menyusuri jalan raya yang padat menuju sebuah alamat. Dengan dada berkecamuk aku mempercepat langkah untuk bisa segera menghadap orang yang kumaksud. Bibirku sudah tidak sabar untuk mengungkapkan apa yang mengganjal di pikiran.Sambil berjalan, kepalaku kembali mengingat pembicaraanku dengan Ibu kemarin."Ibu mendukungmu. Ibu juga tidak habis pikir dengan mereka sampai meminta Naila memanggilnya dengan sebutan bunda. Apa-apaan itu!""Ibu tahu kalau itu mereka yang minta?" tanyaku kaget."Ibu tanya Naila sendiri. Dia bilang itu permintaan Aisyah atas persetujuan Rasyid. Menerima juga tidak begitu caranya. Dengan kamu memperlakukan dia secara baik saja sebenarnya itu sudah cukup. Ngga perlu meminta Naila memanggilnya dengan bunda!" kesal Ibu.Aku tertegun. Bagaimana bisa Mas Rasyid bersikap demikian dengan Naila. Dimana akal sehatnya?"Lalu bagaimana dengan respon Naila saat Ibu bertanya hal itu? Apa dia juga menerima?""Ngomong apa kamu! Ya nangis!" jawab Ibu kesal. "Rasan
"Apa yang kamu pikirkan, Dek! Mas kan sudah bilang untuk tidak membawa masalah ini kepihak sekolah! Ini bisa merusak semuanya! Mengapa tidak kau pikirkan ucapnku tempo hari?!" sungut Mas Rasyid dengan kilatan amarah di dalam kelopak matanya.Aku terdiam tak menjawab. Mataku hanya sibuk menikmati kilatan amarah yang tertuju padaku itu. kugigit bibirku bagian bawah, betapa luapan amarah di depanku ini demi melindungi wanita itu dari apa yang sudah kupinta pada kepala sekolah. Mas Rasyid bahkan lupa bahwa aku juga tersakiti atas apa yang mereka perbuat padaku. Astagfirullah."Aisyah kena sanksi gara-gara aduan kamu ke kepala sekolah. Dia sedih bukan kepalang. Mengapa tidak kamu pikirkan dahulu dampak dan akibatnya sebelum mengadu?""Astagaaa!!!" sungutnya keras sambil meraup wajahnya dengan kasar. Sesekali mata yang penuh kilatan amarah itu menatapku dengan tajam lalu kembali melengos.Sementara aku, tanganku mencengkeram ujung blouse yang kukenakan. Rasanya lelah untuk meladeni Mas Ras