Home / Romansa / Setelah Satu Malam dengan Dosenku / BAB 2 tatapan yang tidak seharusnya kembali

Share

BAB 2 tatapan yang tidak seharusnya kembali

Author: Starisborn
last update Last Updated: 2025-11-15 15:36:53

Alea membeku.

Tubuhnya kaku seperti batu ketika nama “Darren Vahl” terucap dari bibir pria yang berdiri di podium. Suara itu terlalu familiar. Terlalu dekat dengan sesuatu yang semestinya ia kubur rapat-rapat.

Begitu tatapan mereka bertemu, hanya sepersekian detik, tetapi cukup untuk membuat dunia Alea runtuh kedua kalinya dalam dua minggu.

Refleks, ia langsung menutup wajah dengan buku bacaannya.

Buku itu hampir menempel ke hidung, saking paniknya ia ingin lenyap dari permukaan bumi. Napasnya memburu. Jemarinya gemetar tak terkendali. Ia bisa merasakan detak jantungnya menghantam tulang rusuk, keras, terburu-buru—seolah berusaha kabur darinya.

Di lain sisi, Kaila—sahabatnya—memandang bingung.

“Alea, lo kenapa? Astaga, lo sakit?” bisiknya.

Alea hanya menggeleng cepat tanpa menurunkan buku sedikit pun. Ia tidak punya keberanian untuk mengintip ke atas, bahkan sekadar memastikan posisi Darren. Yang ia tahu, Darren ada di depan, sangat dekat, terlalu dekat, dan yang lebih parah…

Darren melihatnya.

---

Darren berdiri diam di depan kelas, spidol di tangan kanannya, sementara matanya tak lepas dari satu titik: mahasiswi yang sejak tadi menutup wajah dengan buku seperti sedang bersembunyi dari dunia.

"Jangan bilang… itu dia," gumamnya di dalam hati

Ia memicingkan mata sedikit. Napasnya pelan tapi teratur, berusaha menjaga ekspresi tetap netral. Ia tak bisa langsung memastikan, tapi caranya duduk, bentuk rambutnya, ukuran tubuhnya…

Semua terlihat familiar.

Tidak mungkin secepat ini… Tidak mungkin dia di kelas ini…

Namun rasa penasaran bercampur kecemasan mulai menusuk dadanya.

Ia clearing throat pelan. “Baik. Sebelum mulai, saya ingin memastikan daftar kehadiran.”

Ruangan hening.

Darren mengabsen satu persatu mahasiswa berdasarkan urutan NIM mereka. Hingga saat nama Alea di panggil dia masih saja bersembunyi membuat Darren terheran.

"Apakah dia tidak hadir?" tanya Darren pada mahasiswa di kelas. Tapi tatapan mereka mengarah pada seorang gadis yang menutup wajahnya dengan buku terbalik. Di sisinya ada gadis lain yang terlihat membisikan sesuatu.

“Kamu,” ujar Darren datar namun tegas. “Yang duduk di baris ketiga, kedua dari kiri.”

Alea menegang. Jemarinya mencengkram buku lebih kuat.

Kaila menatapnya. “Lea… itu lo dipanggil, tuh.”

Alea pura-pura tidak dengar. Ia tidak bergerak sedikit pun.

Darren mempersempit pandangan, masih kalem.

“Kamu,” ulangnya, kali ini lebih jelas, “yang menutup wajah dengan buku.”

Kaila mencolek lengan Alea. “LEA, itu lo. Jawab, woy.”

Alea menggeleng panik, masih menutup wajah. Napasnya makin kacau.

Darren memanggil lagi—kali ketiga.

Nada suaranya berubah.

Lebih berat.

Lebih tegas.

Dan jelas ada ketidaksabaran yang ditahan.

“Kamu,” katanya, kali ini nadanya turun setingkat.

“Turunkan bukunya.”

Seluruh kelas masih menoleh ke arah Alea. Sunyi. Tidak ada yang berani bersuara. Ketegangan itu seperti tali yang ditarik terlalu kencang.

Alea menutup mata, pasrah.

Ia tahu ia tidak bisa terus bersembunyi.

Dengan gerakan sangat pelan, ia menurunkan buku itu sampai wajahnya terlihat.

Hal itu membuat Darren membeku.

Hanya satu detik.

Satu detik yang terasa seperti satu jam.

Tatapan Alea, wajahnya yang sama seperti malam itu—matanya, pipinya yang memerah karena malu, sentuhan panik yang terlihat jelas, semuanya muncul kembali seperti potongan gambar dari malam di mana mereka saling menghilangkan logika.

Darren sempat berhenti bernapas. Tapi ia cepat menguasai diri, terlalu cepat.

Seolah ia sudah terlatih puluhan tahun menyembunyikan reaksi.

Wajahnya kembali datar.

Suara dan sikapnya kembali profesional.

“Baik,” katanya ringan, seolah tidak terjadi apa-apa.

“Selamat datang di kelas pertama kalian.”

Alea merasa ingin pingsan di tempat.

Kaila menatapnya, sangat bingung. “Lea… lo kenapa? Lo kenal sama dosen itu?”

Alea hanya menggeleng keras, meski wajahnya pucat.

Dan sepanjang satu jam pelajaran, Alea tidak mendengar apa pun selain suara jantungnya sendiri.

Sementara Darren… tetap mengajar dengan tenang. Seakan ia tidak pernah menyentuhnya. Seakan dua minggu lalu hanya mimpi buruk yang tidak pernah terjadi.

Namun beberapa kali, Alea merasa Darren melirik ke arahnya.

Sekilas. Cepat.

Tapi cukup untuk membuat perutnya mual dan telapak tangannya berkeringat.

---

Usai kelas, Alea berusaha kabur secepat mungkin. Ia memasukkan buku seenaknya ke tas, menunduk, dan berjalan cepat menuju pintu.

Tapi baru beberapa langkah, suara panggilan staf administrasi kampus terdengar:

“Mahasiswa Alea Devina?”

Alea berhenti. Menutup mata sebentar. Tolong jangan hari ini. Rasanya dia benar-benar lelah, belum lagi dia harus segera ke coffe shop untuk pergantian shift kerjanya. Tapi akhirnya dia menjawab.

“Iya,” jawabnya lemah.

“Silakan ke administrasi prodi ya. Ada pemberitahuan soal dosen wali baru.”

Alea menelan ludah keras. Sedikit takut jika mendapatkan dosen wali yang tidak pedulian.

Ia mengikuti staf itu menuju ruang administrasi. Ruangan dingin dengan aroma tumpukan kertas lama. Di atas meja tergeletak beberapa berkas.

“Dosen wali kamu sedang studi lanjut ke luar negeri, jadi kamu dipindahkan ke dosen baru yang masuk semester ini,” jelas staf itu sambil mencari map.

Alea mengangguk, setengah sadar. Ia hanya ingin mengambil berkas, pulang, lalu tidur seminggu.

Staf itu memberikan satu map kuning dengan nama dosen wali barunya tertulis jelas di sampul depan.

Alea membuka map itu.

Dan saat itulah napasnya tersangkut di tenggorokan.

Tertulis jelas di sana:

DOSEN WALI BARU:

Dr. Darren Vahl, M.Ling.

Alea menjatuhkan map itu ke meja.

“Tung—tunggu… ini salah, kan?” suaranya gemetar.

Staf administrasi menggeleng. “Tidak. Itu nama dosen wali kamu mulai semester ini. Ada berkas yang harus kamu tanda tangani bersama beliau.”

Alea terpaku. Ia merasa seluruh dunia mengejeknya.

Pintu ruang administrasi tiba-tiba diketuk.

Dan masuklah seseorang dengan langkah tenang, suara sepatu kulit menyentuh lantai marmer, dan aura wibawa yang langsung memenuhi ruangan.

Darren Vahl.

Ia tidak tersenyum.

Tidak kaget.

Tidak gugup.

Namun matanya langsung menangkap Alea—dan di balik ketenangannya, ia jelas tahu situasinya jauh lebih rumit dari apa pun yang pernah ia bayangkan.

“Ah,” ujar staf administrasi, senang tanpa tahu masalah apa yang sebenarnya terjadi,

“Pak Darren, pas sekali. Kaprodi sudah memutuskan untuk mengalihkan dosen wali mahasiswa ini kepada dirimu"

Darren menoleh pada Alea. Tatapannya sulit terbaca.

Alea ingin lari.

Ingin menghilang.

Ingin kembali ke dua minggu lalu dan menampar dirinya sendiri karena minum.

Namun ia hanya berdiri diam, sementara Darren perlahan mendekatinya.

“Baik,” ujar Darren, suaranya rendah, profesional… tapi ada ketegangan halus yang hanya Alea bisa rasakan.

“Kita perlu bicara setelah ini.”

Alea menelan ludah.

Dan dia tahu—

Ini baru awal dari kekacauan yang tidak bisa ia hentikan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 8 Ruang USG

    Alea berjalan sedikit lebih dulu menuju pintu ruang USG, sementara Darren mengikutinya dengan langkah ragu—bukan karena tidak ingin masuk, tetapi karena seluruh situasi terasa seperti sesuatu yang belum siap ia hadapi. Genggaman Alea pada tangan kanannya seolah menyerap segala ketidaksiapannya. Tangannya yang lain masuk ke kantong celana, kebiasaannya setiap kali gugup. Pintu ruangan tertutup perlahan di belakang mereka, meninggalkan keheningan yang membuat jantung Alea berdebar lebih keras.Ruangan itu terang, putih, dan beraroma antiseptik. Tempat tidur pemeriksaan berada di tengah, layar monitor USG menyala redup. Alea duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang. Darren berdiri di sampingnya, tubuhnya tegak seperti sedang menghadapi sidang akademik.Tidak ada ekspresi manis atau kalimat penenang keluar dari bibirnya. Ia hanya menatap instrumen USG seolah-olah sedang memeriksa alat penelitian yang asing.“Kalau… kamu nggak nyaman saya di sini, bilang aja,” ucapnya datar. Lebih sepe

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 7 RUANG BARU, DEGUP BARU

    Malam itu, ketika suara mobil Darren berhenti tepat di depan Alea, dunia yang baru saja runtuh perlahan-lahan menemukan bentuknya kembali. Alea masuk mobil tanpa banyak bicara, wajahnya masih sembab, matanya terus menatap ke luar jendela, takut kalau suaranya kembali pecah. Darren tidak memaksa bertanya. Yang Darren lakukan hanyalah menurunkan suhu pendingin di dalam mobil, menarikkan seatbelt Alea perlahan, dan menepuk punggung tangannya sejenak sebelum ia kembali ke kursi pengemudi. Jeda singkat itu saja membuat Alea terisak pelan. “Kalau kamu masih ingin menangis… menangislah,” kata Darren sambil menyalakan mesin. Alea mengangguk, membiarkan malam itu berlalu dengan mereka berkendara menuju hotel dekat pusat kota. Saat sampai, Darren langsung memesan 2 kamar hotel yang bersebelahan dan dia meminta untuk di sterilkan semaksimal mungkin. Di kamar hotel itu, Alea hanya duduk di tepi ranjang sambil memegang hoodie lengan panjang pemberian Darren. Darren berdiri di dekat pintu, ra

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 6 RUMAH BARU?

    Alea bersandar pada sandaran ranjang IGD, wajahnya masih pucat, selimut rumah sakit diselimuti aroma antiseptik yang menusuk. Perawat sudah keluar, dan ruangan itu kini hanya berisi dia dan Darren. Lelaki itu berdiri dengan kedua tangan disilangkan, rahangnya tegang. Dari tadi ia menolak terlibat perdebatan lagi, namun Alea tetap keras kepala.“Alea,” suara Darren rendah tapi jelas, “saya rasa kamu perlu menginap di sini malam ini. Kondisi kamu belum stabil.”Alea menggeleng pelan sebelum menjawab, “Saya sudah bilang… saya baik-baik saja, Pak Darren. Saya tidak terbiasa tidur di rumah sakit. Saya ingin pulang.”“Kamu bilang begitu tadi, tapi kamu hampir terjatuh saat ke kamar mandi.” Darren meremas jemarinya sendiri, jelas menahan kesal. “Saya enggak bisa membiarkan kamu pulang sendirian.”“Saya tidak sendirian,” bantah Alea pelan tapi tegas. “Saya punya rumah.”Darren menarik napas panjang. “Rumah yang saat ini harusnya kamu tempati untuk istirahat, bukan memaksakan diri pulang hanya

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 5 DIANTARA TENANG DAN RUNTUH

    Pintu ruang arbosi itu terbuka dengan pelan. Alea melangkah keluar dengan langkah kecil, tergesa namun tidak stabil. Kepalanya berat, penglihatannya berbayang, dan suara di sekelilingnya seperti terdengar dari dalam air. Ia hanya ingin pulang. Tidur. Diam. Lalu tidak memikirkan apa pun. Tapi tubuhnya berhenti mendadak. Tepat di depan pintu, berdiri seseorang yang tidak pernah ia bayangkan akan melihatnya di tempat seperti ini. Darren. Pria itu berdiri tegap, wajahnya tegang namun tidak seram. Bukan marah. Bukan kecewa. Tapi seperti seseorang yang sedang mencoba memastikan apakah yang ia lihat benar-benar nyata. Sorot matanya langsung tertuju pada Alea. Dalam. Menembus. Seakan mencari jawaban yang sudah ia duga namun tak ingin ia akui. Alea menelan ludah, memalingkan wajah secepat mungkin. “s-saya… bukan… bukan untuk itu, saya hanya…” Suara Alea patah. Langkahnya goyah. Darren mengambil satu langkah mendekat. “Alea—” Belum sempat ia menyelesaikan namanya,

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 4 NERAKA BERKEDOK RUMAH

    Alea berdiri cukup lama di depan gerbang rumah orang tuanya. Bukan karena rindu—melainkan karena ia butuh beberapa detik untuk menyiapkan hati. Kontrakan sempit yang ia tinggali memang jauh dari kata layak, tapi setidaknya di sana ia tidak merasa jadi orang asing. Tidak seperti rumah ini, yang seharusnya memberi kehangatan, namun justru terasa lebih dingin daripada angin malam di musim hujan.Pintu bergemerincing ketika ia buka perlahan. Bau khas rumah itu—campuran detergen, minyak goreng, dan udara pengap yang tidak pernah diperbarui—menyergapnya. Dari ruang tengah, suara televisi terdengar keras, seperti biasanya. Ayahnya duduk di sofa dengan baju singlet, sedangkan ibunya sibuk mengupas bawang sambil marah-marah pada seseorang di telepon.Tidak ada yang menyambut Alea. Tidak ada yang menoleh. Tidak ada kalimat “kamu sudah pulang”. Tidak ada hangat-hangat manis yang biasanya ada di rumah orang lain.Alea menarik napas samar."Ya seperti inilah… rumahku." batinnya.Baru saja ia melan

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 3 MALAM ITU

    Ruang kerja dosen itu terlalu sunyi.Terlalu rapi.Terlalu… menakutkan untuk Alea.Begitu masuk, ia merasa tubuhnya mengecil. Ruangan itu dipenuhi rak buku, aroma kopi hitam, dan kertas-kertas administrasi yang tertata sempurna. Di tengahnya, duduk seorang pria dengan kemeja putih yang digulung rapi, kacamata bertengger di hidung mancungnya. kepala sedikit menunduk, menandatangani beberapa berkas—seolah ia tidak pernah mengalami malam gila itu dua minggu lalu.Seolah Alea tidak pernah ada.Disisi lain Alea terdiam sesaat di depan pintu ruang Darren. Dia menatap takjub pada pria matang tersebut, dalam hati memuji ketampanan Darren. Hingga bayangan malam itu melintas sekilas dalam memorinya. Wajah Alea sedikit memerah, dia langsung menggelengkan kepalanya dengan pelan guna mengusir pikiran itu.Darren bahkan tidak mengangkat wajah ketika Alea mengetuk pintu dan masuk dengan canggung.“Silakan,” katanya datar.Nada suaranya begitu formal, sampai-sampai Alea bertanya-tanya apakah lelaki

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status