Share

BAB 3 MALAM ITU

Author: Starisborn
last update Last Updated: 2025-11-15 20:02:47

Ruang kerja dosen itu terlalu sunyi.

Terlalu rapi.

Terlalu… menakutkan untuk Alea.

Begitu masuk, ia merasa tubuhnya mengecil. Ruangan itu dipenuhi rak buku, aroma kopi hitam, dan kertas-kertas administrasi yang tertata sempurna. Di tengahnya, duduk seorang pria dengan kemeja putih yang digulung rapi, kacamata bertengger di hidung mancungnya. kepala sedikit menunduk, menandatangani beberapa berkas—seolah ia tidak pernah mengalami malam gila itu dua minggu lalu.

Seolah Alea tidak pernah ada.

Disisi lain Alea terdiam sesaat di depan pintu ruang Darren. Dia menatap takjub pada pria matang tersebut, dalam hati memuji ketampanan Darren. Hingga bayangan malam itu melintas sekilas dalam memorinya.

Wajah Alea sedikit memerah, dia langsung menggelengkan kepalanya dengan pelan guna mengusir pikiran itu.

Darren bahkan tidak mengangkat wajah ketika Alea mengetuk pintu dan masuk dengan canggung.

“Silakan,” katanya datar.

Nada suaranya begitu formal, sampai-sampai Alea bertanya-tanya apakah lelaki ini benar-benar orang yang sama… orang yang menariknya dengan penuh kebutuhan, membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan itu, menatapnya dengan mata panas dalam gelap.

Sekarang, pria itu seperti patung marmer tanpa perasaan.

Matanya fokus pada dokumen, tangannya bergerak stabil.

Alea berdiri kaku di depan meja, menggenggam map kuning yang harus ditandatangani. “Pak… ini berkas untuk ditandatangani karena saya pindah dosen wali.”

“Letakkan saja,” Darren menjawab tanpa menatap.

Alea menelan ludah. Ia meletakkan map itu pelan-pelan di atas meja kayu. Jemarinya sedikit gemetar, tapi ia berusaha menyembunyikannya.

Darren membuka map itu, meninjau halaman depan, lalu mengambil pena.

Masih… tanpa menatap Alea.

Ketika tanda tangan pertamanya tercetak, Alea melihat garis rahangnya bergerak—seolah ia sedang menahan sesuatu. Mungkin amarah. Mungkin kesal. Atau… mungkin ia memang sedang pura-pura lupa.

Darren menyelesaikan tanda tangan terakhir, menutup map itu dengan pelan, lalu menyandarkan punggung di kursi.

Hening.

Alea menunggu ia menyuruhnya pergi.

Tapi Darren hanya menatap map itu, tidak mengembalikannya.

Ia hanya… diam.

Dan itu membuat Alea semakin gugup.

Tiba-tiba Darren mengangkat wajah. Tatapannya tajam—terlalu tajam untuk seorang dosen yang seharusnya tidak mengenal mahasiswinya secara pribadi.

“Ada hal lain yang ingin kamu sampaikan?” tanyanya perlahan.

Alea menggeleng cepat. “Tidak, Pak.”

Darren mengamati raut wajahnya lama, seakan mencoba menembus pikirannya. Ia tidak buru-buru berbicara, membiarkan tekanan itu tumbuh dan mencekik dalam diam.

Alea menggigit bibir. “Kalau sudah… saya pamit.”

Ia baru akan merebut berkasnya yang di tanda tangani Darren tadi, tapi pria itu lebih dulu menahan berkasnya.

“Duduk.”

Alea mematung.

“Duduk, Alea,” ulangnya, kali ini lebih lembut—namun tegang.

Alea patuh. Ia duduk di kursi depan meja, kakinya bersentuhan satu sama lain karena gugup.

Darren merapikan lengan kemejanya, lalu menautkan jari-jarinya di meja.

Hening lagi.

“Dua minggu lalu,” katanya tenang, “kamu… buk—”

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Alea langsung menutup mulut, wajahnya kembali memanas. “T-tidak! Saya tidak—saya tidak ingat apa pun malam itu dan saya… saya–”

Darren menaikkan satu alis. “Saya belum selesai bicara.”

Alea menunduk cepat. “Maaf.”

Darren menggeser kursinya sedikit mendekat. “Seperti yang saya bilang, dua minggu lalu kamu buk—”

“Kita tidak perlu bahas itu,” potong Alea lagi, cepat, gugup, jelas ketakutan. Dia membuang wajahnya ke samping menyembunyikan rona merah yang kini muncul lebih parah.

Mata Darren menyipit, muncul kilatan nakal yang hanya terlihat sekilas. “Oh? Kamu tidak ingin membahasnya?”

Alea menggeleng, terlalu cepat, terlalu keras. “Tidak, Pak.”

“Tapi kamu memotong pembicaraan saya dua kali.”

Nada suaranya terdengar seperti seseorang yang memegang kendali penuh atas permainan yang bahkan Alea tidak tahu ia ikuti.

Alea mengehela napas gemetar. “Maaf… saya hanya tidak… tidak nyaman.”

“Tidak nyaman,” Darren mengulang sambil mengangguk pelan, seolah mencatat sesuatu tentang dirinya. “Padahal saya belum menanyakan hal apa pun yang… seharusnya membuatmu tidak nyaman.”

Alea ingin pingsan.

Darren mencondongkan tubuh sedikit, tatapannya turun ke wajah Alea. Hal itu membuat Alea menatapnya sekilas sebelum matanya melebar karena kaget, refleks dia kembali membuang wajahnya.

"Saya hanya ingin memastikan sesuatu,” katanya pelan. “Malam itu, kamu buk—”

“Bukan salah Anda!” Alea membentak spontan karena panik.

Begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya, ia langsung menutup bibir dengan tangan.

Darren tersenyum—senyum kecil, ramping, yang tidak cocok dengan wajah profesionalnya.

“Ah,” gumamnya. “Jadi kamu ingat.”

Alea menutup wajah dengan kedua tangan. “Astaga…”

Darren menyandarkan tubuhnya lagi ke kursi. Ekspresi puas yang amat halus muncul di wajahnya. Ia tidak mengejek, tidak menghakimi—ia hanya tampak… menikmati melihat Alea terjebak oleh kata-katanya sendiri.

“Tenang,” katanya sambil menahan senyum. “Saya tidak akan melaporkan kejadian itu ke pihak kampus.”

Alea mengangkat wajah. “Tentu saja tidak boleh dilaporkan! Itu—itu—itu sangat memalukan!”

“Memang.”

Darren menahan tawa.

Alea hampir melempar tas ke wajahnya.

Darren akhirnya menggeser map kuning itu ke arah Alea. “Silakan tanda tangan berkas ini juga. Tadi saya tanda tangan untuk bagian dosen wali. Sekarang kamu.”

Alea menandatangani berkas itu dengan gugup dan gemetar, lalu bangkit. “Kalau… sudah, saya permisi.”

“Silakan.”

Alea berjalan cepat menuju pintu.

Namun saat ia membuka gagang pintu, Darren menambahkan kalimat terakhir—pelan, seperti bisikan yang sengaja diletakkan tepat di belakang kepalanya.

“Saya senang akhirnya kamu mengakui malam itu.”

Alea hampir menabrak pintu karena kaget.

Ia buru-buru keluar, wajah panas seperti bara.

Pintu tertutup.

Di dalam ruangan, Darren menatap ke arah pintu yang baru saja ditutup itu. Lalu, tanpa bisa menahan diri, ia tersenyum kecil, meremas jemari sendiri, dan menggeleng.

“Gadis itu…” gumamnya.

Ia benar-benar menikmati membuat Alea salah tingkah.

---

Setelah jam perkuliahan, Alea langsung berangkat kerja di coffee shop kecil dekat kampus. Ia sudah bekerja di sana sejak semester dua, membantu di bagian kasir dan kadang menjadi barista jika sedang sepi.

Namun sore itu, baru beberapa jam bekerja, Alea mulai merasa aneh.

Pertama, perutnya terasa kosong meski ia sudah makan.

Kedua, kepalanya ringan.

Ketiga… aroma kopi yang biasanya ia suka tiba-tiba membuat perutnya—

“Mual…” bisiknya.

Ia menutup mulut, berlari ke kamar mandi staf.

Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan wajah pucat. Kaila kebetulan mampir ke coffee shop itu dan langsung melihat wajahnya.

“Lea, lo pucat banget! Lo sakit?”

Alea menggeleng. “Aku cuma… mual.”

“Mual? Lo gak hamilkan? tanya Kaila dengan nada bercanda. Pertanyaan itu membuat Alea membeku.

Ia menghitung.

Mundur.

Mengingat.

Dua minggu lalu. Malam itu.

Alkohol.

Pelukan.

Napas.

Kulit.

Sentuhan.

“Sial…” bisiknya pelan.

Tanpa menunggu lama, ia mengambil jaket, meminta izin pulang lebih cepat, dan langsung menuju apotek terdekat. Tangannya gemetar saat mengambil test pack. Bahkan kasirnya sempat melihat wajahnya yang pucat.

Begitu sampai rumah kontrakannya, ia langsung masuk kamar mandi.

Duduk.

Mengambil napas.

Ia menggunakan test pack itu dengan tangan dingin.

Lima menit. Ia memejamkan mata. Jantungnya seperti akan meledak. Ketika ia akhirnya membuka mata…

Dua garis.

Jelas.

Tegas.

Tidak mungkin salah.

Alea menjatuhkan test pack itu ke lantai.

“Tidak…” bisiknya. Tapi kenyataannya tidak bisa ditolak.

Alea Devina—mahasiswi semester lima, pekerja paruh waktu, hidup pas-pasan—

hamil.

Dari satu-satunya pria yang tidak boleh menyentuhnya dalam keadaan sadar:

Darren Vahl.

Dosen barunya.

Dosen walinya.

Pria yang tidak boleh ia cintai.

Tidak boleh ia miliki.

Dan tidak boleh ia beri alasan untuk bertanggung jawab. Tapi garis itu tidak berbohong. Alea menutup wajah dengan kedua tangan dan menangis pelan.

“Kenapa ini harus terjadi…?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 8 Ruang USG

    Alea berjalan sedikit lebih dulu menuju pintu ruang USG, sementara Darren mengikutinya dengan langkah ragu—bukan karena tidak ingin masuk, tetapi karena seluruh situasi terasa seperti sesuatu yang belum siap ia hadapi. Genggaman Alea pada tangan kanannya seolah menyerap segala ketidaksiapannya. Tangannya yang lain masuk ke kantong celana, kebiasaannya setiap kali gugup. Pintu ruangan tertutup perlahan di belakang mereka, meninggalkan keheningan yang membuat jantung Alea berdebar lebih keras.Ruangan itu terang, putih, dan beraroma antiseptik. Tempat tidur pemeriksaan berada di tengah, layar monitor USG menyala redup. Alea duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang. Darren berdiri di sampingnya, tubuhnya tegak seperti sedang menghadapi sidang akademik.Tidak ada ekspresi manis atau kalimat penenang keluar dari bibirnya. Ia hanya menatap instrumen USG seolah-olah sedang memeriksa alat penelitian yang asing.“Kalau… kamu nggak nyaman saya di sini, bilang aja,” ucapnya datar. Lebih sepe

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 7 RUANG BARU, DEGUP BARU

    Malam itu, ketika suara mobil Darren berhenti tepat di depan Alea, dunia yang baru saja runtuh perlahan-lahan menemukan bentuknya kembali. Alea masuk mobil tanpa banyak bicara, wajahnya masih sembab, matanya terus menatap ke luar jendela, takut kalau suaranya kembali pecah. Darren tidak memaksa bertanya. Yang Darren lakukan hanyalah menurunkan suhu pendingin di dalam mobil, menarikkan seatbelt Alea perlahan, dan menepuk punggung tangannya sejenak sebelum ia kembali ke kursi pengemudi. Jeda singkat itu saja membuat Alea terisak pelan. “Kalau kamu masih ingin menangis… menangislah,” kata Darren sambil menyalakan mesin. Alea mengangguk, membiarkan malam itu berlalu dengan mereka berkendara menuju hotel dekat pusat kota. Saat sampai, Darren langsung memesan 2 kamar hotel yang bersebelahan dan dia meminta untuk di sterilkan semaksimal mungkin. Di kamar hotel itu, Alea hanya duduk di tepi ranjang sambil memegang hoodie lengan panjang pemberian Darren. Darren berdiri di dekat pintu, ra

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 6 RUMAH BARU?

    Alea bersandar pada sandaran ranjang IGD, wajahnya masih pucat, selimut rumah sakit diselimuti aroma antiseptik yang menusuk. Perawat sudah keluar, dan ruangan itu kini hanya berisi dia dan Darren. Lelaki itu berdiri dengan kedua tangan disilangkan, rahangnya tegang. Dari tadi ia menolak terlibat perdebatan lagi, namun Alea tetap keras kepala.“Alea,” suara Darren rendah tapi jelas, “saya rasa kamu perlu menginap di sini malam ini. Kondisi kamu belum stabil.”Alea menggeleng pelan sebelum menjawab, “Saya sudah bilang… saya baik-baik saja, Pak Darren. Saya tidak terbiasa tidur di rumah sakit. Saya ingin pulang.”“Kamu bilang begitu tadi, tapi kamu hampir terjatuh saat ke kamar mandi.” Darren meremas jemarinya sendiri, jelas menahan kesal. “Saya enggak bisa membiarkan kamu pulang sendirian.”“Saya tidak sendirian,” bantah Alea pelan tapi tegas. “Saya punya rumah.”Darren menarik napas panjang. “Rumah yang saat ini harusnya kamu tempati untuk istirahat, bukan memaksakan diri pulang hanya

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 5 DIANTARA TENANG DAN RUNTUH

    Pintu ruang arbosi itu terbuka dengan pelan. Alea melangkah keluar dengan langkah kecil, tergesa namun tidak stabil. Kepalanya berat, penglihatannya berbayang, dan suara di sekelilingnya seperti terdengar dari dalam air. Ia hanya ingin pulang. Tidur. Diam. Lalu tidak memikirkan apa pun. Tapi tubuhnya berhenti mendadak. Tepat di depan pintu, berdiri seseorang yang tidak pernah ia bayangkan akan melihatnya di tempat seperti ini. Darren. Pria itu berdiri tegap, wajahnya tegang namun tidak seram. Bukan marah. Bukan kecewa. Tapi seperti seseorang yang sedang mencoba memastikan apakah yang ia lihat benar-benar nyata. Sorot matanya langsung tertuju pada Alea. Dalam. Menembus. Seakan mencari jawaban yang sudah ia duga namun tak ingin ia akui. Alea menelan ludah, memalingkan wajah secepat mungkin. “s-saya… bukan… bukan untuk itu, saya hanya…” Suara Alea patah. Langkahnya goyah. Darren mengambil satu langkah mendekat. “Alea—” Belum sempat ia menyelesaikan namanya,

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 4 NERAKA BERKEDOK RUMAH

    Alea berdiri cukup lama di depan gerbang rumah orang tuanya. Bukan karena rindu—melainkan karena ia butuh beberapa detik untuk menyiapkan hati. Kontrakan sempit yang ia tinggali memang jauh dari kata layak, tapi setidaknya di sana ia tidak merasa jadi orang asing. Tidak seperti rumah ini, yang seharusnya memberi kehangatan, namun justru terasa lebih dingin daripada angin malam di musim hujan.Pintu bergemerincing ketika ia buka perlahan. Bau khas rumah itu—campuran detergen, minyak goreng, dan udara pengap yang tidak pernah diperbarui—menyergapnya. Dari ruang tengah, suara televisi terdengar keras, seperti biasanya. Ayahnya duduk di sofa dengan baju singlet, sedangkan ibunya sibuk mengupas bawang sambil marah-marah pada seseorang di telepon.Tidak ada yang menyambut Alea. Tidak ada yang menoleh. Tidak ada kalimat “kamu sudah pulang”. Tidak ada hangat-hangat manis yang biasanya ada di rumah orang lain.Alea menarik napas samar."Ya seperti inilah… rumahku." batinnya.Baru saja ia melan

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 3 MALAM ITU

    Ruang kerja dosen itu terlalu sunyi.Terlalu rapi.Terlalu… menakutkan untuk Alea.Begitu masuk, ia merasa tubuhnya mengecil. Ruangan itu dipenuhi rak buku, aroma kopi hitam, dan kertas-kertas administrasi yang tertata sempurna. Di tengahnya, duduk seorang pria dengan kemeja putih yang digulung rapi, kacamata bertengger di hidung mancungnya. kepala sedikit menunduk, menandatangani beberapa berkas—seolah ia tidak pernah mengalami malam gila itu dua minggu lalu.Seolah Alea tidak pernah ada.Disisi lain Alea terdiam sesaat di depan pintu ruang Darren. Dia menatap takjub pada pria matang tersebut, dalam hati memuji ketampanan Darren. Hingga bayangan malam itu melintas sekilas dalam memorinya. Wajah Alea sedikit memerah, dia langsung menggelengkan kepalanya dengan pelan guna mengusir pikiran itu.Darren bahkan tidak mengangkat wajah ketika Alea mengetuk pintu dan masuk dengan canggung.“Silakan,” katanya datar.Nada suaranya begitu formal, sampai-sampai Alea bertanya-tanya apakah lelaki

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status