Home / Romansa / Setelah Satu Malam dengan Dosenku / BAB 4 NERAKA BERKEDOK RUMAH

Share

BAB 4 NERAKA BERKEDOK RUMAH

Author: Starisborn
last update Last Updated: 2025-11-15 20:23:06

Alea berdiri cukup lama di depan gerbang rumah orang tuanya. Bukan karena rindu—melainkan karena ia butuh beberapa detik untuk menyiapkan hati. Kontrakan sempit yang ia tinggali memang jauh dari kata layak, tapi setidaknya di sana ia tidak merasa jadi orang asing. Tidak seperti rumah ini, yang seharusnya memberi kehangatan, namun justru terasa lebih dingin daripada angin malam di musim hujan.

Pintu bergemerincing ketika ia buka perlahan. Bau khas rumah itu—campuran detergen, minyak goreng, dan udara pengap yang tidak pernah diperbarui—menyergapnya. Dari ruang tengah, suara televisi terdengar keras, seperti biasanya. Ayahnya duduk di sofa dengan baju singlet, sedangkan ibunya sibuk mengupas bawang sambil marah-marah pada seseorang di telepon.

Tidak ada yang menyambut Alea. Tidak ada yang menoleh. Tidak ada kalimat “kamu sudah pulang”. Tidak ada hangat-hangat manis yang biasanya ada di rumah orang lain.

Alea menarik napas samar.

"Ya seperti inilah… rumahku." batinnya.

Baru saja ia melangkah menuju dapur untuk mengambil air minum, suara ibunya melengking.

“Alea! Baru juga pulang sudah mau ngeloyor? Bantuin sini! Kamu kan gak pernah ada gunanya di rumah!”

Alea menelan ludah perlahan. “Iya, Bu,” sahutnya, meletakkan tas ranselnya di kursi.

Tak lama kemudian, kedua kakak laki-lakinya turun dari lantai dua. Tubuh mereka penuh aroma parfum mahal dan pakaian mereka rapi. Mereka hanya sekilas melirik Alea sebelum saling membicarakan rencana nongkrong malam ini.

“Lea, ambilin air minum,” ucap kakaknya yang kedua sambil duduk berselonjor, seakan adiknya adalah pembantu rumah ini.

Alea tidak menjawab. Ia langsung mengambil gelas, menuangkan air, lalu memberikannya.

Seperti biasa, ia tidak dihargai.

Seperti biasa, ia dianggap tidak penting.

Seperti biasa, ia tetap bertahan.

Karena hanya satu alasan: suara langkah kecil berlari dari arah kamar belakang.

“Kak Aleaaa!”

Bocah berusia lima tahun itu langsung menabrak pinggang Alea, memeluknya seakan Alea baru pulang dari perang.

Ini… satu-satunya bentuk cinta yang ia punya di rumah sialan ini.

“Kamu kangen, ya?” Alea mengusap rambut adiknya yang lembut.

Anak itu mengangguk dan mencium pipi Alea sebelum kembali bermain. Senyum itu—senyum polos dan tanpa tuntutan—adalah alasan kenapa Alea tidak menyerah sepenuhnya pada hidup.

---

Kamar lamanya sudah tidak lagi disebut kamar oleh keluarganya. Itu lebih mirip gudang yang dipoles asal jadi. Bau apek menusuk hidung, dindingnya lembap dan mengelupas, jendela selalu macet sehingga udara tidak pernah benar-benar bergerak.

Alea memandangi ruang sempit itu.

"Dulu aku nangis di sini tiap malam.

Sekarang… aku cuma ingin tidur dan melupakan semuanya sebentar"

Ia menumpuk beberapa barang lama di sudut, membersihkan debu yang menempel di meja kecil, lalu merapikan kasur tipis yang permukaannya sudah tak rata lagi.

Belum lima menit ia merapikan beberapa tumpukan buku tua, rasa mual itu datang lagi. Kali ini jauh lebih kuat dari sebelumnya.

Alea menutup mulutnya, buru-buru berlari ke kamar mandi di ujung lorong. Ia hampir tersandung karpet yang melipat, tapi terus memaksa kaki membawanya ke wastafel. Dan saat tubuhnya membungkuk, isi perutnya keluar semua.

Hingga tenggorokannya perih.

Hingga matanya panas.

Hingga tubuhnya gemetar.

Ia tidak tahu apakah ia muntah karena hamil, atau hancur karena ketakutan.

Ia baru bangkit ketika suara sandal ibunya berhenti tepat di depan pintu.

“Apa-apaan ini? Alea! Kamu muntah lagi? Dari tadi kamu gak jelas banget, ya!”

Alea mengusap bibirnya dengan tisu. Wajahnya pucat. “Gak apa-apa, Bu. Mungkin kecapekan—”

“Mungkin kecapekan apanya! Kamu jangan bikin malu keluarga! Kamu hamil ya?!”

Pertanyaan itu meluncur seperti tamparan keras.

Alea tersentak, tapi ia segera menahan sorot matanya. “Enggak, Bu. Beneran enggak.”

Ibunya memicingkan mata, penuh curiga, tapi tidak menekan lebih lanjut. “Sana bantu beresin dapur. Jangan malas.”

Alea hanya mengangguk. Tidak ada gunanya membela diri. Tidak ada yang akan percaya.

Setelah ibunya pergi, ia menatap pantulannya di cermin kecil kamar mandi itu. Wajah pucat. Mata lelah. Lingkaran hitam tebal. Tidak ada kebahagiaan di sana.

Hanya seorang gadis dua puluh tahun yang hidupnya seperti tali tipis, hampir putus.

---

Dua hari berlalu.

Dua hari juga ia tidak masuk kelas Darren. Dua kali perkuliahan terlewat. Dua kali ia membohongi Kaila bahwa ia sedang sakit. Dua kali ia menahan keinginan untuk menjatuhkan diri ke lantai dan menangis.

Ia takut menatap Darren.

Takut rahasianya terlihat.

Takut dirinya runtuh tepat di depan pria itu.

Darren mungkin dingin, tapi ia tajam. Terlalu tajam. Ia akan melihat sesuatu, memahami sesuatu, dan Alea belum siap untuk itu.

Ia belum siap menerima apapun.

Tapi Darren…

Darren merasakan ketidakhadiran itu seperti duri di tenggorokannya.

Ia bukan tipe yang memperhatikan mahasiswi secara personal. Tapi entah kenapa, ketidakhadiran Alea membuatnya gelisah. Ada sesuatu yang tidak beres, dan ia tahu itu.

Kaila sempat ia tanya sepintas saat kelas selesai.

“Dia sakit? Dua kali absen tanpa kabar,” gumam Darren sambil membereskan kertas.

Kaila mengangguk gugup. “Iya, Pak. Dia… kurang enak badan.”

Namun ekspresi Kaila jelas menyembunyikan sesuatu. Darren tahu itu. Tapi ia tidak mendesak. Setidaknya bukan di depan mahasiswa lain.

Sesampai di rumah, Darren membuka laptop dan mencoba fokus pada laporan mingguan perusahaan yang dikirimkan oleh sekretarisnya. Tapi matanya justru terus kembali pada layar ponselnya.

Nama “Alea Devina” muncul di bagian daftar kehadiran yang kosong. Dua kali.

Dua tanda merah yang tidak ia harapkan.

Ia memijat pangkal hidung, mendesah, lalu memutuskan tidur lebih cepat malam itu—tapi matanya tidak pernah benar-benar terpejam.

---

Hari ketiga.

Alea bekerja di coffee shop lebih lama dari biasanya. Mungkin ia ingin menghindari rumah.

Atau menghindari pikirannya sendiri.

Di sela-sela membersihkan meja, tubuhnya tiba-tiba goyah. Penglihatan berkunang-kunang. Dan mual itu—mual yang sudah ia kenal hari-hari terakhir—muncul lagi.

Ia bergegas ke belakang, menahan muntah.

“Lea? Kamu pucat banget,” tanya manajernya.

Alea tersenyum tipis. “Iya, Kak. Cuma pusing dikit.”

Tapi pusing itu buruk. Buruk sekali.

Setelah shift selesai, ia berjalan goyah menuju halte. Hatinya mengatakan ia harus memeriksakan diri. Apapun jawabannya nanti… ia harus tahu.

Ia menaiki bus, turun di depan rumah sakit yang agak jauh dari kampus dan rumahnya. Ia berjalan cepat menuju area rumah sakit, dan dari sana ia sudah jelas melihat papan nama ruangan yang ia tuju:

ARBOSI — Klinik Kebidanan dan Kandungan.

Alea menelan ludah, tangannya gemetar saat meraih gagang pintu.

Ya Tuhan…

Tapi ia tidak tahu, tepat di koridor belakang, seorang pria berdiri terpaku.

Darren.

Tangan kirinya menggenggam amplop hasil medical check-up kakeknya, tetapi pikirannya berhamburan.

Ia melihat Alea masuk ke ruangan arbosi.

Ruangan untuk ibu hamil.

Ruangan yang tidak akan dimasuki mahasiswi dua puluh tahun… kecuali…

Darren merasakan napasnya tercekat.

Asumsi itu muncul begitu saja.

Menyambar dadanya dengan brutal.

Tidak mungkin… Alea…?

Ia mengambil langkah perlahan, seperti tubuhnya bergerak sendiri. Pintu ruangan arbosi tertutup lembut di depan matanya.

Dan di belakang pintu itu, Alea duduk gugup, menahan napas, menahan ketakutan—sementara Darren berdiri di luar…

Dengan pikiran yang berputar antara kaget, takut, dan… rasa yang bahkan ia tak berani sebutkan.

Yang ia tahu hanyalah satu hal:

Sesuatu sedang terjadi pada Alea. Sesuatu yang besar. Dan ia tidak akan tinggal diam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 8 Ruang USG

    Alea berjalan sedikit lebih dulu menuju pintu ruang USG, sementara Darren mengikutinya dengan langkah ragu—bukan karena tidak ingin masuk, tetapi karena seluruh situasi terasa seperti sesuatu yang belum siap ia hadapi. Genggaman Alea pada tangan kanannya seolah menyerap segala ketidaksiapannya. Tangannya yang lain masuk ke kantong celana, kebiasaannya setiap kali gugup. Pintu ruangan tertutup perlahan di belakang mereka, meninggalkan keheningan yang membuat jantung Alea berdebar lebih keras.Ruangan itu terang, putih, dan beraroma antiseptik. Tempat tidur pemeriksaan berada di tengah, layar monitor USG menyala redup. Alea duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang. Darren berdiri di sampingnya, tubuhnya tegak seperti sedang menghadapi sidang akademik.Tidak ada ekspresi manis atau kalimat penenang keluar dari bibirnya. Ia hanya menatap instrumen USG seolah-olah sedang memeriksa alat penelitian yang asing.“Kalau… kamu nggak nyaman saya di sini, bilang aja,” ucapnya datar. Lebih sepe

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 7 RUANG BARU, DEGUP BARU

    Malam itu, ketika suara mobil Darren berhenti tepat di depan Alea, dunia yang baru saja runtuh perlahan-lahan menemukan bentuknya kembali. Alea masuk mobil tanpa banyak bicara, wajahnya masih sembab, matanya terus menatap ke luar jendela, takut kalau suaranya kembali pecah. Darren tidak memaksa bertanya. Yang Darren lakukan hanyalah menurunkan suhu pendingin di dalam mobil, menarikkan seatbelt Alea perlahan, dan menepuk punggung tangannya sejenak sebelum ia kembali ke kursi pengemudi. Jeda singkat itu saja membuat Alea terisak pelan. “Kalau kamu masih ingin menangis… menangislah,” kata Darren sambil menyalakan mesin. Alea mengangguk, membiarkan malam itu berlalu dengan mereka berkendara menuju hotel dekat pusat kota. Saat sampai, Darren langsung memesan 2 kamar hotel yang bersebelahan dan dia meminta untuk di sterilkan semaksimal mungkin. Di kamar hotel itu, Alea hanya duduk di tepi ranjang sambil memegang hoodie lengan panjang pemberian Darren. Darren berdiri di dekat pintu, ra

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 6 RUMAH BARU?

    Alea bersandar pada sandaran ranjang IGD, wajahnya masih pucat, selimut rumah sakit diselimuti aroma antiseptik yang menusuk. Perawat sudah keluar, dan ruangan itu kini hanya berisi dia dan Darren. Lelaki itu berdiri dengan kedua tangan disilangkan, rahangnya tegang. Dari tadi ia menolak terlibat perdebatan lagi, namun Alea tetap keras kepala.“Alea,” suara Darren rendah tapi jelas, “saya rasa kamu perlu menginap di sini malam ini. Kondisi kamu belum stabil.”Alea menggeleng pelan sebelum menjawab, “Saya sudah bilang… saya baik-baik saja, Pak Darren. Saya tidak terbiasa tidur di rumah sakit. Saya ingin pulang.”“Kamu bilang begitu tadi, tapi kamu hampir terjatuh saat ke kamar mandi.” Darren meremas jemarinya sendiri, jelas menahan kesal. “Saya enggak bisa membiarkan kamu pulang sendirian.”“Saya tidak sendirian,” bantah Alea pelan tapi tegas. “Saya punya rumah.”Darren menarik napas panjang. “Rumah yang saat ini harusnya kamu tempati untuk istirahat, bukan memaksakan diri pulang hanya

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 5 DIANTARA TENANG DAN RUNTUH

    Pintu ruang arbosi itu terbuka dengan pelan. Alea melangkah keluar dengan langkah kecil, tergesa namun tidak stabil. Kepalanya berat, penglihatannya berbayang, dan suara di sekelilingnya seperti terdengar dari dalam air. Ia hanya ingin pulang. Tidur. Diam. Lalu tidak memikirkan apa pun. Tapi tubuhnya berhenti mendadak. Tepat di depan pintu, berdiri seseorang yang tidak pernah ia bayangkan akan melihatnya di tempat seperti ini. Darren. Pria itu berdiri tegap, wajahnya tegang namun tidak seram. Bukan marah. Bukan kecewa. Tapi seperti seseorang yang sedang mencoba memastikan apakah yang ia lihat benar-benar nyata. Sorot matanya langsung tertuju pada Alea. Dalam. Menembus. Seakan mencari jawaban yang sudah ia duga namun tak ingin ia akui. Alea menelan ludah, memalingkan wajah secepat mungkin. “s-saya… bukan… bukan untuk itu, saya hanya…” Suara Alea patah. Langkahnya goyah. Darren mengambil satu langkah mendekat. “Alea—” Belum sempat ia menyelesaikan namanya,

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 4 NERAKA BERKEDOK RUMAH

    Alea berdiri cukup lama di depan gerbang rumah orang tuanya. Bukan karena rindu—melainkan karena ia butuh beberapa detik untuk menyiapkan hati. Kontrakan sempit yang ia tinggali memang jauh dari kata layak, tapi setidaknya di sana ia tidak merasa jadi orang asing. Tidak seperti rumah ini, yang seharusnya memberi kehangatan, namun justru terasa lebih dingin daripada angin malam di musim hujan.Pintu bergemerincing ketika ia buka perlahan. Bau khas rumah itu—campuran detergen, minyak goreng, dan udara pengap yang tidak pernah diperbarui—menyergapnya. Dari ruang tengah, suara televisi terdengar keras, seperti biasanya. Ayahnya duduk di sofa dengan baju singlet, sedangkan ibunya sibuk mengupas bawang sambil marah-marah pada seseorang di telepon.Tidak ada yang menyambut Alea. Tidak ada yang menoleh. Tidak ada kalimat “kamu sudah pulang”. Tidak ada hangat-hangat manis yang biasanya ada di rumah orang lain.Alea menarik napas samar."Ya seperti inilah… rumahku." batinnya.Baru saja ia melan

  • Setelah Satu Malam dengan Dosenku   BAB 3 MALAM ITU

    Ruang kerja dosen itu terlalu sunyi.Terlalu rapi.Terlalu… menakutkan untuk Alea.Begitu masuk, ia merasa tubuhnya mengecil. Ruangan itu dipenuhi rak buku, aroma kopi hitam, dan kertas-kertas administrasi yang tertata sempurna. Di tengahnya, duduk seorang pria dengan kemeja putih yang digulung rapi, kacamata bertengger di hidung mancungnya. kepala sedikit menunduk, menandatangani beberapa berkas—seolah ia tidak pernah mengalami malam gila itu dua minggu lalu.Seolah Alea tidak pernah ada.Disisi lain Alea terdiam sesaat di depan pintu ruang Darren. Dia menatap takjub pada pria matang tersebut, dalam hati memuji ketampanan Darren. Hingga bayangan malam itu melintas sekilas dalam memorinya. Wajah Alea sedikit memerah, dia langsung menggelengkan kepalanya dengan pelan guna mengusir pikiran itu.Darren bahkan tidak mengangkat wajah ketika Alea mengetuk pintu dan masuk dengan canggung.“Silakan,” katanya datar.Nada suaranya begitu formal, sampai-sampai Alea bertanya-tanya apakah lelaki

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status