Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 19
Amukan Di Pagi Hari.
"Bu, sudah enakan badannya?" tanyaku saat ibu menghampiriku di dapur. Setelah saat subuh tadi, aku pergi ke tukang sayur, belanja beberapa menu masakan. Mumpung masih ada sedikit rejeki, aku ingin memasak untuk keluarga di rumah. Bukan makanan mewah, hanya sedikit berbeda dari biasanya yang lebih sering makan dengan mi rebus dan telur.
"Sudah sehat. Kemarin ibu hanya syok saja. Ngga habis pikir sama si Seno itu." Tangan ibu mengambil alih pisau yang kupegang saat kutinggal untuk menggoreng lauk.
"Maklum saja, Bu. Namanya cinta, ya begitulah." Aku berucap sambil tersenyum. Tak bisa dipungkiri, begitulah cinta membutakan mata manusia.
"Cinta ya cinta, tapi logika harus jalan. Kalau nggak mampu membahagiakan ya jangan memaksakan diri, apalagi sampai mengambil hak saudaranya," sungut ibu. M
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 20Dua Gadis Kecil."Mas Bima!" teriakku saat melihat pintu kamar Mas Bima berubah posisi dari yang tadinya terbuka menjadi lebih rapat dengan kusen pintu. Segera kuletakkan Rani di atas lantai, lalu aku bergegas menuju kamar Mas Bima."Mas!" teriakku lagi saat melihat tubuhnya terkulai di lantai. Badannya lemas dengan air liur yang sudah mengalir dari sudut bibirnya.Kurengkuh kepalanya dalam pelukanku. Kupeluk erat kepala yang matanya sudah terpejam itu. Air mataku pun tak kuasa kutahan. Kubiarkan ia mengalir dengan sendirinya melihat keadaan di depanku ini. Suami yang sungguh mencintaiku mengapa kini engkau menjadi seperti ini.Ibu dan yang lainnya pun segera mengikutiku masuk ke dalam kamar. Melihat apa yang terjadi dengan Mas Bima."Bima kenapa, Nduk?!" teriak ibu kaget melihat Mas Bi
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 21Maafkan Saya Ibu."Bu, pesan nasi bungkusnya dua ya?" ucapku pada ibu penjual yang sedang sibuk di dalam ruangan. Mendengar ucapanku ibu penjual segera datang menghampiriku."Iya, Bu." Ibu penjual segera membungkuskan nasi pesananku.Setelahnya aku kembali menemani dua anak gadis ini minum es di teras warung. Sebenarnya aku sendiri sedang haus makanya mengajak mereka berdua untuk sejenak beristirahat di warung ini sambil bercerita banyak tentang kehidupan mereka berdua hingga menjadi pemulung seperti itu."Rumahmu di mana?" tanyaku penasaran."Di daerah situ, Bu. Kami tinggal di rumah peninggalan ayah," jelas gadis yang lebih tinggi sambil menunjuk sebuah perkampungan di seberang sungai, Dina namanya."Hanya tinggal bertiga dengan ibumu saja?"&nb
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 22Ada Apa Itu?Entah harus bagaimana aku menebus kesalahan yang kulakukan pada ibu ini. Bukan inginku mendapat musibah seperti ini, tetapi apa daya jika musibah datang menghampiri.Seketika aku teringat soal kartu nama pemberian Mas Damar kemarin. Lebih baik aku pergi ke kantornya sekarang saja agar lebih cepat aku bekerja untuk mendapat penghasilan. Atau meminta bayaran di muka lebih dulu agar bisa dipakai untuk menggantikan uang Ibu yang hilang. Biarlah kubuang rasa maluku agar kami bisa segera mendapatkan uangnya."Maafkan aku Ibu, akan kuganti secepatnya," ucapku sambil berdiri. Mengabaikan kondisi ibu yang masih memejamkan mata di atas sandaran kursi yang didudukinya.Aku berjalan dengan cepat menuju jalan raya. Menunggu angkutan umum untuk membawaku ke kantor milik Mas Damar. Beruntung kartu nama pember
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 23Bimantara Setya."Masih betah ngejomlo?" tanya Farid padaku saat main ke rumah. Ia adalah sahabat yang sudah seperti saudara bagiku."Masih belum nemu," jawabku sekenanya. Aku tidak semangat jika dia membahas soal jodoh karena aku sedang tidak ingin menikah."Coba lihat deh!" pintanya sambil membuka layar ponselnya. Ia menunjukkan sebuah gambar padaku. Gambar gadis desa yang sedang makan bersama teman-temannya. Terlihat dari cara pakaiannya yang biasa seperti khas gadis desa. Dalam gambar gadis itu memakai rok lebar selutut juga memakai blous lengan tiga per empat. Rambutnya ia biarkan tergerai indah dengan senyumnya yang menawan.Kurebut paksa ponsel milik Farid. Aku terpana melihat wajah gadis dalam gambar ini. Mataku tak mampu berkedip beberapa saat, tak percaya dengan apa yang kulihat.&nbs
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 24Tiga Rangkaian KembangAku berjalan sambil menjinjing paperbag bergambar bunga pemberian Mas Damar di tanganku. Mataku tak henti mengamati sekitar, tumben sekali kondisi kampung ramai di jam segini, apa yang sedang terjadi?"Eh Mbak Dewi, kemana saja? Nggak kasihan sama suaminya?" ucap Arum. Ia tengah ngerumpi bersama tetangga lain di depan rumahnya."Maksud kamu apa,Rum?" tanyaku penuh selidik. Kuhentikan langkahku untuk mendengar penjelasan atas ucapannya."Loh kok malah tanya sama kita, situ yang punya suami gimana? Masak keadaan suaminya ngga tahu?" sergah tetangga lainnya. Sedangkan Arum hanya mencebik sambil memandangku."Waah sudah pintar melayani tamu sekarang jadi suka pergi-pergi. Habis ini bebas mau kemana aja, Mbak!" sindir Arum. Keningku berkerut mendengarnya.
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 25Wanita Cantik"Om yang waktu itu?" seru Kirani saat melihat seseorang yang datang paling akhir di pemakaman ayahnya."Hai cantik, Om turut berduka cita ya?" jawab Mas Damar sambil mengusap kepala Kirani."Terima kasih, Om." Segaris senyuman terbit dari bibir Kirani. Ia yang sedari tadi hanya menunduk, kini sedikit sumringah saat Mas Damar datang menyapa."Mas Damar kenapa bisa sampai di sini?" tanyaku kaget. Aku lantas berdiri dari pusara Mas Bima, mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan lelaki di depanku ini. Setelah bersalaman denganku, Mas Damar ganti mengarahkan tangannya pada Mbak Sari juga Danisa. Keduanya tersenyum ramah menyambut kedatangan Mas Damar ke sini."Sebentar, saya berdoa dulu," ucapnya. Tanpa menunggu jawabanku, Mas Damar segera berjongkok di depan nisan Mas Bima.
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 26Kembali Mengubur Rasa"Ibu! Bapak!" teriakku melihat kedua orang tuaku datang setelah mengantar Sindy ke depan. Kondisi rumah kami yang berjauhan membuat mereka berdua tak bisa datang tepat waktu saat Mas Bima belum disemayamkan."Sabar ya, Nak!" ucap Ibu saat aku sudah berada dalam pelukannya. Tangisku pecah dalam pelukan wanita yang sudah melahirkanku ini. Betapa hatiku hancur mengalami beberapa musibah yang begitu menyayat hati tanpa beliau yang kukasihi di sisi. Ibu pun demikian, beliau menangis sambil memelukku.Sedangkan bapak hanya mengusap pundakku pelan sambil menahan air mata saat melihatku terisak dalam pelukan ibu. Aku tahu mata bapak itu mengeluarkan air mata kesedihan, karena ia yang telah menerima pinangan Mas Bima yang sekarang lebih dulu meninggalkan istrinya ini. Rasa bersalah itu tersirat dari matanya yang berair. Namun
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 27Sebuah Hadiah.Selama doa bersama aku menunduk dengan khusyuk. Dengan bibir bergetar kuikuti tiap bacaan yang diucap oleh sang pemimpin tahlil. Bahkan sesekali air mataku menetes mengingat tujuan doa ini adalah untuk Mas Bimaku. Mas Bima yang sudah berjanji untuk sehidup semati denganku.Saat nama Bimantara Setya dibaca sebelum doa dibacakan, air mataku jebol dari pertahanan. Sesak kian terasa mengingat kini gelarnya sudah berganti menjadi "Almarhum". Suara riuh "Aamin" dalam ruangan ini membuat kepalaku semakin pusing seiring sesak yang kian menghimpit dada. Namun aku terus memaksa diri untuk kuat bertahan hingga acara selesai.Meskipun sudah sekian bulan aku merawat Mas Bima, tapi tetap saja ada rasa kehilangan yang menyeruak dalam dada. Kebiasaan yang sudah rutin kulakukan tiap pagi hari, jelas esok akan berubah. Suasana kamar yan