“Tahun kedua, dia hanya diam di kamarnya. Menolak siapapun masuk bahkan Dokter sekalipun hanya bisa memeriksanya saat ia tidur. Mencoret-coret semua baju, tempat tidur sampai dinding dengan apapun itu yang dia temukan di kamarnya. Sedikitpun tidak bisa aku dekati, padahal aku papanya. Dia bahkan pernah mengalami retak kepala karena terpeleset menolak aku bantu di kamar mandi. Pilar enam tahun dengan berat badan memprihatinkan dan mental rusak parah oleh seorang wanita yang ia panggil mama.” Eliot menajamkan ucapannya membuat Gayatri tersedak tiada ampunan.
Jeda, hanya terdengar isak pelan dari Gayatri akan tetapi tidak Eliot hiraukan. “Kamu boleh marah dan kecewa dengan pernikahan kita dulu. Tapi kamu jauh lebih jahat dari ibu manapun di dunia. Sungguh sampai seumur hidup aku tidak akan melupakan bagaimana perjuangan keras Pilar untuk sembuh dan tumbuh sebagaimana anak pada umumnya walau jauh di lubuk hatinya terluka parah. Waktu ... aku yakin bukan mengobati, ia hanya menyamarkan luka itu sendiri. Saat Pilar berhadapan dengan kamu, luka-luka itu terpampang nyata di depan mata dia. Sekarang kamu sudah tahu apa akibat fatal dari perbuatan kamu? masihkah kamu ingin menumpuk luka kembali untuk Pilar? Jika iya maka bukan lagi Pilar yang kamu hadapi, tapi aku. Langkahi dulu mayat aku jika kamu masih melukainya.” Setelah berbicara panjang lebar, Eliot langsung bangun dan meninggalkan Gayatri yang tergugu. Gayatri menunduk dalam dengan meremas dadanya yang terasa amat sesak, ia tahu Pilar terluka. Ia tahu telah begitu jahat meninggalkan putri kecilnya, tapi ia sungguh tidak tahu Pilar mengalami itu semua karena keegoisannya. Pilar anak yang ceria yang dulu kala selalu menghujaninya dengan panggilan mama kini membencinya mungkin selamanya. “Maafkan Mama Pilar, sungguh maafkan Mama,” ratap Gayatri tidak memedulikan beberapa pengunjung lainnya mulai memperhatikan dirinya yang menangis semakin dalam. Gayatri meninggalkan kedai kopi dengan lunglai, ingin rasanya ia memutar waktu saat ia memutuskan meninggalkan Pilar dan Eliot tiba-tiba setelah mengirimkan pengajuan cerai ke rumah Eliot. Meninggalkan Indonesia untuk keegoisannya mengejar karier yang mana harus terputus karena ia hamil Pilar dahulu. Gayatri kembali ke Indonesia untuk menebus dosanya, bukan pada Eliot karena sudah pasti Eliot tidak akan pernah memberikan maaf. Tapi pada Pilar, Zailen Pilar Dirgantara. Ia rela berlutut di kaki putri kecilnya yang sekarang beranjak remaja jika memang itu yang Pilar inginkan. Tapi luka Pilar tidak akan langsung sembuh hanya dengan ia berlutut dan memohon maaf. Gayatri tahu sekali ia saja setersiksa itu selama sepuluh tahun, apa lagi Pilar. “Papa ... tumben jemput hari senin?” Pilar menyalami sang papa sebelum dibelai kepalanya lembut saat melihat papanya melambaikan tangan saat ia keluar dari tempat les bahasa Jepang. “Hari ini Papa enggak ada jadwal lembur, mau ajak anak gadis ngedate. Sudah lama sepertinya kita enggak keluar. Kamu ingin ke mana?” Eliot memastikan sang putri mengenakan seatbelt sebelum melajukan mobil hitam legamnya. “Asyik ... ke Gramedia boleh? aku sudah ketinggalan beberapa series,” seringai Pilar lebar.Eliot tertawa kecil. “Baiklah pemburu anime ... kita ke toko buku. Anak lain pasti kalau ditawari minta ke Mall belanja. Anak Papa memang paling berbeda sendiri.” “Belanja apa lagi, semuanya sudah punya, palingan nanti aku mau makan sushi ya Pa. Ada yang baru dan aku ingin sekali. Cuma kemarin-kemarin Papa sakit dan sibuk sekali ya sudah aku enggak minta,” tambah Pilar. “Terima kasih ya sudah mengerti, kita pulang malam hari ini. Eh tapi kamu belum mandi bau asem nanti,” ledek Eliot. “Ih papa.” Pilar tertawa lebar dengan mencubit lengan papanya yang sudah melepas jasa dan menggulung lengannya hingga bawah siku. Menemani Pilar di toko buku adalah favorit Eliot, ada satu kesamaan dari mereka yaitu jika sudah berselancar dengan buku maka dunia runtuh juga seolah tidak peduli. Lihatlah sekarang, setelah hampir dua jam memutari rak demi rak dan menghasilkan sepuluh buku anime dan novel serta satu buku bahasa Jepang, Pilar menekuri sebuah novel dan mendiamkan sushi yang katanya sangat ia ingin makan. “Pilar ... makan dulu. Kamu punya banyak waktu baca di rumah nanti,” tegur Eliot. “Iya Pa,” jawab Pilar namun tangan dan matanya masih fokus pada lembar-lembar buku barunya. “Zailen Pilar Dirgantara anak bapak Eliot Dorgantara .... ““Baik Pa, maaf.” Pilar langsung menegakkan punggung dan menyeringai lebar mendengar nama lengkapnya dipanggil yang tandanya Eliot menegur dengan keras dan tidak ingin dibantah.“Tidak boleh maraton baca dan tidur larut, ok? Papa akan mengecek nanti malam-malam,” ancam Eliot yang dijawab anggukan dan jari jempol dari Pilar.Mereka berdua sudah menikmati makanan masing-masing dengan sesekali berbincang ringan. Eliot tidak melihat binar kesedihan lagi seperti semalam, namun ia tahu itu bukan karena Pilar melupakan namun mencoba tidak larut lebih lama.“Ice cream?” tawar Eliot saat mereka sudah akan pulang karena Pilar menolak diajak menonton.“Di rumah masih banyak Pa, aku sudah sangat kenyang. Papa mau ice cream? Aku temani kalau begitu,” jawab Pilar.“Papa tanya kamu bukan berarti Papa ingin makan. Pulang saja berarti ya,” tegas Eliot kembali.“Iya Pa, Pa ... aku boleh tanya?” tanya Pilar sudah memiringkan badan menghadap Eliot.Eliot menoleh dan mengangguk. “Tanya apa, Sayang?” “Papa habis ketemu mantan ya?” tanya Pilar.“Iya habis ketemu mantan.” Eliot tertawa geli dengan bahasa mantan yang Pilar gunakan.“Bicarakan aku?” Pilar melanjutkan pertanyaannya.Eliot mengangguk kecil. “Betul, Papa tanya kenapa mama kamu menemui kamu tanpa seizin Papa dan tetap menemui kamu padahal kamu menolak. Mama kamu bilang dia hanya ingin bertemu karena kangen. Papa sudah memberi penegasan sama mama kamu kalau sekali lagi dia menemui dan memaksa kamu pergi tanpa seizin Papa dan kamu tidak ingin ikut, maka akan Papa proses secara hukum. Terlepas dia adalah mama kamu, dia membuat kamu tidak nyaman jadi harus diberikan penegasan.” Pilar diam beberapa lama memandang wajah Eliot yang sudah bersih dari semua bakal jambang yang ketika sakit tidak dibersihkan. “Papa selalu membela aku dan membuat aku merasa sangat dicintai, Papa sendiri bagaimana?” tanya Pilar pelan. Kini Eliot yang gantian diam, ia tidak pernah menduga jika Pilar akan menanyakan hal tersebut padanya. Menyunggingkan senyum hangat, Eliot meraih tangan mungil sang putri dan ia belai lembut. “Papa sudah cukup kamu cintai, Papa sudah cukup kamu bahagia di samping Papa dan tumbuh sehat baik fisik maupun mental. Papa tidak membutuhkan hal lain di dunia ini selain kebahagiaan kamu. Jadi Pilar ... jangan pernah ragu bilang apa pun itu yang kamu rasakan. Papa tidak akan pernah menghakimi, Papa tidak menyalahkan maupun menyudutkan kamu. Terkecuali memang kamu salah, maka tegas Papa akan memberikan hukuman.” Eliot menjelaskan dengan lembut. “Papa tidak ingin menikah lagi? Papa tidak kesepian?” Pertanyaan mencengangkan kedua dari gadis remaja di depan Eliot. “Kamu mau Papa menikah lagi?” kekeh Eliot. “Enggak!” tandas Pilar kuat.“Kangen sekali, aku enggak bisa meninggalkan mereka lagi ah Sayang. Bawa semuanya setiap perayaan aniversary kita.” Gayatri meletakan tasnya di bangku belakang sebelum mengenakan seatbeltnya. Mereka berdua meninggalkan hotel setelah satu malam menginap, Gayatri dibuat lepas kendali berkali-kali oleh Eliot dengan caranya memuja sang istri. Jika bukan karena kerinduan mendalamnya pada kedua anak merek, Gayatri tidak keberatan memperpanjang acara di hotel dengan banyak kejutan dari suaminya. Eliot memberinya hadiah jam tangan setelah memutuskan jam Gayatri tidak sengaja di tengah bangunan butik milik sang istri. “Baiklah Sayang, baiklah,” kekeh Eliot. “Aku kok payah sekali sampai meninggalkan kado buat kamu, Sayang. Mana aku juga yang menuduh kamu enggak ingat hari pernikahan kita. Kenapa kepikiran belikan aku jam ini? ini jam keluaran lawas dan sudah sangat susah dapatkannya. Aku sangat suka.” Gayatri mengamati pergelangan
Gayatri menggeliat pelan dan langsung membuka mata saat mendengar kata aduh dari samping tempatnya berbaring. “Maaf,” kekeh Gayatri setelah melihat siapa yang tidak sengaja ia gaplok. “Untung sayang,” gumam Eliot. “Sayang saja?” Gayatri meringsek ke dada polos suaminya. “Habis menggaplok wajah aku minta dibilang cinta?” Eliot rapikan rambut di kening Gayatri yang tenggelam dalam ceruk lehernya. “Gaploknya pakai cinta,” kekeh Gayatri. “Aduh aku digombali bangun tidur. Are you ok? aku sepertinya lepas kendali ya?” Eliot merangkum wajah mengantuk istrinya yang tersenyum memandang dirinya, didaratkan kecupan lembut pada kening, mata, hidung dan bibirnya. “Iya kamu menggila, but i’m ok. Hanya capek saja, sama lapar, sama ingin berendam sama ingin pijat.” Gayatri melepas tawa saat jawaban panjangnya membuat suami menghujani wajahnya dengan ciuman bertubi-tubi.
Gayatri melepas tawa lebar hanya beberapa detik saja, kemudian menjerit histeris saat Eliot bangun dari duduk dengan seringai menyeramkan. Eliot siap memakan dirinya hidup-hidup, Gayatri langsung mundur menjauh tanpa alas kakinya. “Eliot berhenti.” Gayatri sontak berlari penuh tawa, menjauh dari Eliot yang terus menyeringai lebar. “Kamu yang mulai Sayang, lihat? celana aku jadi sangat sempit.” Eliot menunjuk celana bahannya dan tawa Gayatri semakin menggema. “Kamu duluan yang mulai, kok malah menyalahkan aku. Lagian baru dibelai dikit sudah siap perang saja,” kelakar Gayatri. Eliot berjalan santai mendekati Gayatri yang heboh memintanya berhenti serta terus tertawa. Bahkan Gayatri menaiki ranjang dan melompatinya saat ia hampir tertangkap oleh tangan-tangan panjang suaminya. “Sayang kamu seram sumpah, berhenti,” kekeh Gayatri saat terjebak antara nakas dan ranjang dalam sekali lompat Eliot
“Kamu yakin, Sayang? tante Rachel kadang keluar kumatnya,” bisik Gayatri pada Pilar. “Tante Gayatri mendengar di sini, Mama Gaya,” sindir Rachel.Gayatri tertawa kecil. “Telepon Mama jika terjadi sesuatu ya, harusnya enggak perlu seperti ini juga.” “Enggak apa-apa Mama, aku juga lama enggak main ke tempat Tante Rachel. Apalagi Mahatma pertama kali. Ada sus juga ikut. Mama tenang saja, kalau adek menangis dijahili tante Chel nanti aku yang jewer,” kelakar Pilar. Rachel selesai menaikkan Mahatma ke carseat dan meminta Pilar segera naik juga. “Kamu takut anak-anak aku siksa ya, sudah senang-senang saja kalian. Eliot sedang jalan pulang katanya. Akan aku kembalikan anak-anak besok sore,” kelakar Rachel. “Kalau Pilar enggak apa-apa menginap lama juga tempat kamu. Yang bayi janganlah, enak saja,” kekeh Gayatri. “Buka kado dari aku, aku taruh di nakas kamu tadi sory menyelinap.” Ra
“Tambah Zean, kamu juga Chel. Dari pagi dia belum makan, Zean. Menangis mulu,” ledek Gayatri. “Jangan bocor deh,” gerutu Rachel. Gayatri dan Pilar yang menolak makan karena sedang bermain dengan adiknya tertawa mendengar gerutuan Rachel. “Baru mau tanya apa boleh tambah,” kekeh Zean. “Makanan banyak di luar, buat malu saja minta makan rumah orang.” Rachel menepuk paha Zean namun tetap mengisi kembali piring makan suaminya yang sudah kosong. “Rachel memang mulutnya kadang asal ceplos, Zean. Tapi kamu lihat kan tetap diambilkan makan lagi, mulut, hati sama kepala enggak sinkron dia,” kekeh Gayatri. “Iya memang, ngeselin tapi sayang. Aduh-aduh jangan dicubit, benar sayang kok.” Zean mengelus pahanya yang mendapat cubitan dari Rachel yang wajahnya merah karena ia bilang sayang. Gayatri dan suaminya kembali melepas tawa melihat bagaimana seorang Rachel yang ketus,
“Aku yang bawa mobilnya.” Gayatri mengambil kunci di tangan Rachel. Rachel mengangguk, duduk di samping kemudi setelah mengantarkan Alea pulang. Sepanjang perjalanan ia kembali menekuri gambar-gambar dari Alea, tersenyum mengagumi keterampilan tangan teman lama sahabatnya. “Chel ... mau aku antar pulang apa mau gendong Mahatma?” tanya Gayatri. “Gendong Mahatma tentu saja, aku malas pulang. Biarkan saja Zean makan indomie,” jawab Rachel.Gayatri melepas tawa mengangguk. “Mahatma sudah merangkak tahu Chel, sudah enggak bisa diam sekali. Suka diikat sama bapaknya, benar-benar Eliot.” “Iya tadi pagi saja teriakannya lima oktaf pas aku goda. Pesanan aku belum sampai rumah kamu ya, Gaya?” Rachel meletakan ponsel di pangkuan dan duduk memutar menghadap Gayatri. “Pesanan apa? please deh Chel berhenti beli hadiah buat Mahatma dan Pilar.” Gayatri langsung paham saat Rachel terkekeh melipat tangan dan
“Ah kamu, aku sedang capek. Dan itu dua bocah ada di kamar kita.” Eliot membisiki Gayatri dengan kembali merapikan pakaiannya yang ia turunkan. “Lagian siapa yang mengajak sih, Sayang. Aku hanya mencoba salah satunya dan pas, hanya lupa ganti saja,” kelakar Gayatri. Eliot berdecap dan menarik pinggang Gayatri lebih menempelinya, sebelum mengangkat dagu sang istri dan mendaratkan ciuman dalam penuh tuntutan di sana. Gayatri melepas tawa dengan menepuk dada suami kesal saat ia dapat terlepas dari bibir candu penuh tuntutan tersebut. “Besok pagi-pagi ya, biarkan aku tidur. Yuk kamu juga harus tidur sebelum Mahatma kembali bangun minta asi dan kamu belum sempat merem. Aku akan tidur di kamar tentu saja, pakai kasur lipat. Biar kalau malam bisa gantian bangun jaga Mahatma.” Eliot bangun dan menarik tangan istrinya sebelum ia benar-benar lepas kendali menghabisi Gayatri di sofa ruang keluarga mereka. “Baiklah Sa
“Oh ya?” Gayatri melepas tawa kecil akan jawaban Eliot. Eliot mengangguk saja, ia juga membuka satu kotak lainnya, kotak berisi kaos bola untuk keluarganya. Matanya melirik Gayatri yang tersenyum begitu melihat isi kotak pesanannya. “Ini pilihan kamu apa kamu minta rekomendasi dari Victoria?” Gayatri menahan senyum setelah memeriksa isi dalam kotak ada lima pasang lingerie keluaran terbaru dengan model twopiece dan berjumlah lima pasang. “Yang dua aku pilih sendiri, yang tiga aku tanya paling baru dari koleksi mereka. Suka enggak? jangan tanya kenapa aku tahu ukurannya ya, aku cium sampai pingsan kamu nanti,” kelakar Eliot. Gayatri menengadahkan kepala tergelak pelan, suaminya memang selalu penuh kejutan. Ia menutup kembali kotak pakaiannya dan menggeser ke tengah meja untuk kemudian ia mendorong kaki kursi suaminya dengan kakinya sebelum bersandar pada tepi meja, berhadapan. “Ingin aku paka
“Mama ... adek mana?” tanya Pilar saat baru sampai rumah sepulang sekolah. “Di kamar Mama sama papa lagi berduaan biasa kalau pulang kerja papa kamu, pulang sekolah bukannya Mama dipeluk malah yang dicari adiknya. Mama sedih berasa enggak di sayang lagi.” Gayatri memasang wajah pura-pura terluka. Pilar melepas tawa dan memberikan pelukan erat pada mamanya yang sedang menyiapkan makanan di meja makan dengan dibantu mbak. Gayatri terkekeh kecil saat dipeluk si sulung yang kian tinggi menjulang. “Istirahat dulu Sayang, kamu capek hari ini kan? Mama siapkan makanan ya, turun makan dulu sebelum istirahat. Oh satu lagi ... Mama baru ganti seprei kamu karena ada noda tinta lebar. It’s ok?” Gayatri sudah sangat jarang merapikan kamar Pilar atau mengganti barang-barang di sana tanpa seizin sang anak karena ia sangat menghargai tempat pribadi anaknya walau dia memiliki akses penuh ke sana, kamar Pilar tidak pernah di kunci saat ia