"Kamu ini gimana sih Lang? Mama bilang butuh 5 juta malah dikirim dua juta?" protes Mama begitu masuk ke rumah dari pintu depan, suaranya menggema di ruang tamu.
Aku dan Mas Langit yang tengah duduk di sofa ruang tamu, seketika langsung menoleh. Mama berjalan ke arah kami sambil memegangi barang belanjaan bersama Fariza adiknya Elang."Iya, gara-gara kak Elang aku gak jadi beli sepatunya?" keluh gadis yang biasa di panggil Iza itu sambil memberengut. Lalu, menghempaskan bo kongnya dengan kasar ke atas sofa. Gurat kecewa terpancar di wajahnya.Mama dan Iza baru saja pulang dari salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Harusnya mereka senang. Tapi, nyatanya begitu pulang wajah mereka malah terlihat kesal."Kan sepatu kamu banyak dan masih pada bagus, Za," balas Mas Elang."Ih ... Tapi, 'kan aku sukanya yang itu Kak," ucap Iza, sambil memajukan bibirnya.Mas Elang terlihat menghela napas, menghadapi kelakuan Iza yang memang terlihat manja. Gadis yang baru duduk di kelas dua SMA itu, merajuk pada sang Kakak. Sebagai anak laki-laki satu-satunya Mas Elang memang berkewajiban menafkahi Mama dan Iza, terlebih saat Papa meninggal sebelum kami menikah.Menurutku keluarga Mas Elang memang cukup berada, terlebih dulu Papa salah satu karyawan PT perta**na, dan tentu saja Mama masih menerima pensiunan Papa. Ditambah lagi posisi Mas Elang di kantor sebagai manager harusnya keuangan bukan masalah. Namun, gaya hidup Mama dan Iza yang hedon membuat mereka selalu merasa kurang."Iya lain kali aja ya, bulan ini kakak lagi banyak pengeluaran mau servis mobil," terang Mas Elang."Iya kalau sepatunya masih ada, kalau gak gimana?""Kan bisa cari yang lain," jawab Mas Elang sambil tersenyum, berusaha menenangkan adik satu-satunya itu.Mendengar jawaban sang kakak membuat Iza semakin kesal. "Au ah," jawab Iza membuang muka, sembari melipatkan tangan di dada.Tidak lama setelahnya terdengar suara mobil berhenti di depan rumah, membuat kami menoleh ke arah pintu luar."Siapa yang datang?" tanya Mama. "Coba kamu lihat!" titah Mama padaku.Aku pun mengangguk, dan lekas beranjak dari tempat duduk, demi memastikan siapa yang datang, ternyata karyawan dari toko mesin cuci yang tadi kubeli. Mereka pun langsung menurunkan barangnya dari mobil."Taruh di dalam aja, Pak!" pintaku ke pada dua karyawan toko tersebut."Baik, Mbak!" Dengan hati-hati dua karyawan tersebut langsung mengangkat mesin cucinya."Lho, lho mesin cuci siapa itu? Siapa yang pesan?" Mama bertanya heran saat dua karyawan tersebut meletakkan mesin cucinya di dalam. Saking penasarannya Mama sampai berdiri."Maaf, Bu kami hanya mengantarkan pesanan. Mari, Bu!" ucap dua karyawan tersebut dengan ramah. Lalu, berpamitan."Terima kasih, Pak!" ucapku sebelum mereka pergi, dan dibalas mereka dengan senyum dan anggukan.Setelah mereka pergi aku kembali duduk ke sofa."Kamu yang beli mesin cucinya, kenapa? Bukannya Mesin cuci yang lama masih bisa di pake?" Cerca Mama penasaran."Iya, Ma. Soalnya mesin cuci di belakang rusak lagi. Cuma pengeringnya aja yang masih bisa di pakai," jawabku."Kamu, 'kan bisa cuci pake tangan, atau panggil tukang servis ke sini, bukannya biasanya juga begitu? jangan manja mentang- mentang biasa nyuci pake mesin jadi gak mau nyuci pake tangan," terang Mama panjang lebar.Aku bukannya gak mau panggil tukang servis, pasalnya entah sudah beberapa kali itu mesin cuci dibenarin, hasilnya gak sampai bertahan dua bulan sudah rusak lagi. Aku pikir memang sudah saatnya ganti."Iya, Ma. Tapi, sepertinya mesin cucinya memang sudah saatnya diganti. Karena, kebetulan juga uangnya ada," jelasku.Aku sengaja tidak menanggapi saat Mama bilang jangan manja dan menyuruh nyuci pakai tangan. Bukan gak mau. Tapi, rasanya tenagaku tak cukup kuat harus mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Belum lagi kalau Kinara lagi rewel."Umh ... Jadi, ini alasannya kenapa Elang hanya kirim uangnya cuma dua juta, karena kamu mau minta di beliin mesin cuci?""Eum ... Kalau soal itu-""Bilangnya gak ada duit, ini istrimu malah dibeliin mesin cuci baru?" potong Mama cepat. "Udahlah kalau kayak gini, mulai bulan depan, Mama aja yang pegang gaji kamu.""Ta-pi, Ma?" ucapku hendak protes."Kalau kamu yang pegang, bisa habis uangnya."Mendengar Mama yang akan pegang kendali, Iza langsung tersenyum."Setuju, Ma," ucapnya girang."Kan sudah, Mas bilang beli mesin cucinya nanti aja." Bukannya membela Mas Elang malah ikut-ikutan menyalahkanku. Padahal sebelum pesan aku sudah izin untuk beli mesin cucinya, dengan uang sisa bulanan yang selama ini ia berikan."Tapi kan tadi aku sudah izin sama Mas dan pake uangku sendiri," jawabku."Dari mana kamu bisa punya uang sendiri? Kamu kan gak kerja?" selidik Mama."Sebenarnya itu hasil tabungan dari sisa uang bulanan yang Mas Elang kasih selama ini, Ma.""Ya sama aja itu, uangnya dari Elang. Harusnya kamu itu bisa hemat, jangan hambur-hamburin uang dengan hal-hal yang gak penting. Belum lagi paket yang suka kamu beli."Astaga, padahal aku hanya baru dua kali memesan paket dan itu pun untuk kebutuhan bersama, dan kebetulan memang Mama yang menerimanya."Kalau soal itu, bukannya Mama tahu sendiri barangnya untuk kita semua?" tanyaku balik."Ya tetap aja," jawab Mama. Aku langsung melihat ke arah Mas Langit berharap dia mau membelaku, minimal masalah gaji yang nantinya akan dikuasai Mama."Kurasa apa yang dibilang Mama benar, kamu harus hemat," jawab Mas Langit yang justru diluar dugaan."Sudahlah Mama mau istirahat kepala Mama pening," Mama bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar, dan begitu pun Iza.***Mas Elang, Mama dan Iza tengah duduk di meja makan, mereka sibuk memainkan ponsel sembari menungguku menghidangkan makan siangnya.Tak perlu menunggu lama akhirnya menu makan siang kali ini sudah terhidang di atas meja."Ayo makan!" ajakku, menghentikan mereka dari aktivitas gadgetnya.Tatapan Mama, Mas Elang dan Iza nampak kaget begitu mendapati menu makan siang kali ini."Mana daging sama sayur lainnya, kok cuma sambal terasi sama tempe goreng?" tanya Mama heran."Apa stok di kulkas sudah habis?" Mas Langit ikut bertanya. Kini wajah mereka terlihat begitu heran."Iya aapan ini, mana ada vitaminnya ini," timpal Iza.Aku tersenyum. "Iya. Hari ini, ini menunya, bukannya kalian bilang aku terlalu boros? Jadi mulai sekarang aku akan berhemat. Ayo makan mumpung nasinya masih panas!" ucapku sembari tersenyum dan mengambil sambal terasi dan tempe goreng. Lalu, menaruhnya di atas piringku."Udahlah, Ma sebaiknya kita pesan gofood aja, makanan apaan kayak gini?" ajak Iza pada Sang Mama."Baiknya begitu, Mama gak selera makan kamp ungan kayak gitu," jawab Mama.Mama dan Iza angsung bangkit dari duduk bersiap hendak pergi."Kenapa tidak dicoba saja dulu makan yang ada, kalau pesan gofood apa tidak pemborosan?" cegahku. "Bukannya kalian yang bilang harus hemat?" tanyaku tersenyum.Selama tiga tahun pernikahan, aku selalu berusaha menghormati, menyanyangi mereka seperti keluargaku sendiri, mengerjakan pekerjaan rumah dan lainnya. Aku tak pernah mengeluh. Karena, bagaimana pun Mama atau Iza selama aku masih sah sebagai istrinya Mas Elang mereka juga keluargaku.Sebagai menantu, dan istri aku sudah mengerjakan yang seharusnya kulakukan. Diam saat mereka keterlaluan. Tapi, bukan berarti aku lemah.Akhirnya Mas Elang memberi kode ke Mama dan Iza agar kembali duduk dan makan yang ada. Entah mengapa akhirnya Mama dan Iza menurut, mungkin mereka malu dengan ucapan sendiri. Melihat itu aku hanya tersenyum, ini baru permulaan tunggu kejutan berikutnya. Apa kalian sanggup untuk berhemat?Bersambung ..."Kesambet apa sih istrimu itu, sampai berani bicara begitu? Seumur hidup baru kali ini Mama hanya makan sambal terasi sama tempe goreng," umpat Mama kesal begitu usai makan, sembari berjalan ke ruang tengah.Aku yang hendak membereskan meja makan hanya tersenyum mendengar ucapan Mama, sambil mengelus dada."Iya tau nih, mana sambelnya pedas banget sampai nempel di lidah. Rasanya aneh," timpal Iza."Sudahlah, Ma tidak perlu di perpanjang. Mungkin stok bahan bakunya di kulkas memang hanya tinggal itu. Lagian bukannya Mama sendiri yang bilang ke Hanin kalau harus hemat?""Iya. Tapi, bukan gini caranya. Ini namanya nge-prank. Keterlaluan orang tua disuruh makan yang kayak begituan.""Eum ... Tapi, menurut Elang lumayan enak.""Idih, Kak Lang apaan sih makanan kayak gitu dibilang enak," timpal Iza.Setelahnya aku tidak lagi mendengar pembicaraan mereka. Entah kemana? Biarlah sesekali dikasih makan yang sederhana itu perlu, biar tahu gimana orang-orang diluaran sana yang mengalami hidup sus
"Ma, usu!" Bocah yang baru disapih itu, mengangsurkan botol susunya yang kosong ke arahku.Aku tersenyum gemas, melihat pipinya yang semakin hari semakin gembul."Ara mau susu?" Kinara langsung mengangguk. "Tunggu sebentar ya, Mama bikin dulu susunya!" Aku pun langsung bergegas ke dapur untuk membuatkannya susu, setelahnya kembali ke kamar, dan memberikan padanya.Begitu menerima dot yang sudah terisi penuh, Ara langsung berguling ke atas ranjang dan meminum susunya sampai tertidur. Tak ingin menyiakan waktu, aku pun gegas ke dapur, tugasku bertambah karena tidak boleh memasak nasi menggunakan megic com. Saat ini aku tengah sibuk di halaman belakang, memulai rutinitas baru. Ternyata, untuk memasak nasi dengan menggunakan tungku tidak semudah yang dibayangkan.Tidak lama kemudian. Dari dalam, aku mendengar Mama terbatuk-batuk, sambil berteriak memanggilku."Hanin ... Apa yang kamu lakukan?" tanya Mama, langkahnya mendekat ke arah belakang dimana aku berada."Asap apa ini? Apa rumah k
"Nin, sedang apa kamu?" Tau-tau Mas Elang sudah keluar dari kamar mandi. Sementara aku masih sibuk dengan pikiran sendiri, mengamati lelaki yang saat ini tengah berjalan ke arahku, sembari mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk. Dalam hati ada keinginan bertanya kenapa kemeja yang baru saja dipakainya bau minyak wangi perempuan."Jujur saja, Mas itu wangi parfum di bajumu milik siapa?" Akan tetapi, kalimat itu hanya tertahan di tenggorokan."Nin?" Mas Elang mengibaskan tangannya di depan wajah, membuatku langsung mengerjap, dan tersadar dari lamunan."Ah iya. Ada apa, Mas?""Kamu lagi ngapain? Dari tadi, Mas tanya malah bengong.""Eh, masa sih. Enggak kok aku gak lagi ngapa-ngapain," jawabku. Lalu, langsung berjalan ke arah pojok kamar, menaruh pakaian kotor milik Mas Elang. "Apa, Mas mau makan?""Mas masih kenyang, tadi di kantor di bawain teman makan."Aku mengangguk. "Oh gitu? Temanmu pasti baik banget ya, sampai bawain makanan segala.""Eum ... E-enggak juga sih. Katanya
"Apa-apaan tagihan listrik bisa sampai segitu?" Mama berseru penuh emosi begitu pulang ke rumah, wajahnya langsung terlihat kesal.Aku yang tengah menyapu di teras depan langsung menghentikan aktifitas."Ada apa, Ma?""Masa iya tagihan listrik hampir satu juta? WIFi lima ratus ribu, belum lagi tagihan sofa yang kemarin kamu beli 750 ribu," keluh Mama."Harusnya berapa, Ma? Biasanya aku juga bayarnya segitu kok," jawabku."Kalau kayak gini bisa tekor, Mama. Elang kasih uang buat kamu?" Aku menggeleng. "Kan, uangnya sudah Mas Elang kasih sama Mama semua.""Ya sudahlah." Wajah Mama semakin terlihat kesal. Pasalnya selama ini mereka hanya taunya ada, dan kebutuhan terpenuhi. Tidak peduli dengan cicilan yang harus segera di bayar.Mama pun berlalu masuk ke rumah. Sementara aku melanjutkan menyapu teras. Biar saja, Mama yang katanya mau mengurus keuangan, aku tak peduli toh yang penting, Mas Elang masih memberi jatah untuk jajan Kinara.Usai menyapu di depan, aku kembali masuk. Mengerjakan
"Mama sama Iza kenapa kok kayak lesu gitu, udah makan?" Mas Elang yang baru saja masuk ke rumah langsung bertanya.Mama menggeleng lemah, begitu pun Iza wajah mereka bahkan terlihat pucat."Nin mereka kenapa?" "Aku juga gak tahu, Mas.""Masa kamu juga gak tahu? Bukannya kamu sejak tadi di rumah?""Iya. Tapi, tadi sebelum makan siang baik-baik aja." Aku pun bingung, entah apa yang sebenarnya terjadi."Ya udah Mama sama Iza makan dulu! Ini Elang bawain makanan kesukaan kalian." Tak seperti biasanya Mama nampak tak bersemangat, begitu pun Iza.Aku melangkah mendekat meraih tubuh Mama, yang terasa dingin."Mama sakit, kita pergi ke rumah sakit aja ya!" bujukku.Mama menggeleng. "Mama cuma sakit perut. Sepertinya salah makan." Mama akhirnya bicara."Memangnya Mama sama Iza habis makan apa?" tanya Mas Elang."Cuma makan nasi sama ayam bakar aja," jawab Mama."Bukannya Mama udah biasa makan itu?" tanyaku heran. Pasalnya, kalau lagi malas makan Mama suka beli makanan di rumah makan langganan
"Nin ada makanan apa?" Tau-tau Mama sudah berdiri di belakangku membuatku terlonjak kaget."Mama? Mama udah sehat?" Aku bertanya balik."Udah mendingan, sekarang Mama laper." Mama langsung duduk di meja makan."Aku belum masak, Ma. Bahan di kulkas hanya tinggal daging ayam sepaha," jawabku."Ya sudah, kamu beli saja dulu bahannya. Ini uangnya!" Mama mengangsurkan dua lembar uang berwarna merah. "Kamu atur saja, kalau bisa bisa buat dua Minggu ke depan." ucap Mama.Kalau mau makannya sederhana mungkin bisa saja. Tapi, setiap hari harus ganti menu dan ada daging."Ya sudah aku ke warung dulu!""Emmm," jawab Mama singkat.Sambil berjalan aku membalas pesan yang tadi dikirim Vania. Tadi, Mama keburu datang jadi aku belum sempat membalasnya. Rencananya hari ini Vania ngajak ketemuan, selain membahas soal info pekerjaan yang kemarin kutanyakan, kami juga sudah lama tidak bertemu. Anggap saja sebagai reuni.Setelah ngobrol sama Vania lewat chat aku menyudahi topik pembicaraan, dan akan ketem
Saat menyadari keberadaanku, perempuan dengan kemeja putih yang dipadukan rok span itu langsung memindaiku dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu berganti menatap ke Ara."Maaf Ibu siapa, dan ada perlu apa? Kalau mau minta sumbangan, bukan di sini tempatnya." Perempuan dengan warna rambut pirang, dan memiliki wajah cantik itu bertanya dengan nada merendahkan.Entah, apa maksudnya? Apa aku terlihat seperti pengemis? Kuakui wajahnya memang cantik, tapi tak secantik kalimat yang baru saja keluar dari bibir merahnya."Maaf saya bukan pengemis!" Aku menekan pada kalimat terakhir. "Saya kesini mencari Mas Elang," lanjutku."Ada perlu apa ibu mencari Pak Elang? Kalau memang ada yang penting katakan saja, nanti akan saya sampaikan! Pak Elang sibuk tidak bisa diganggu," ucapnya ketus. Tangannya terlipat di dada.Aku langsung menarik napas dalam. Lalu, membuangnya dengan masygul. Marah? Ingin sekali rasanya. Tapi, kutahan. Entah menjabat dibagian apa perempuan ini hingga bisa berkata begitu.
"Pak ini berkas untuk meeting pagi ini, dan perlu Bapak tanda tangani," ucap seketarisku."Oh iya, taruh saja di situ!"Namaku Elang Dirgantara seorang manager di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pemasaran.Aku memiliki seorang istri bernama Hanindia, biasa di sapa Hanin, dan juga Puteri cantik yang kuberi nama Kinara. Selain itu aku juga masih punya tanggungan, Mama dan adikku-Fariza. Sementara Papa sudah lama meninggal.Sebelum menikah, Hanin adalah seorang perempuan yang cantik, dan bekerja di sebuah media cetak sebagai editor. Hanin adalah tipe penyanyang keluarga dan sangat menghormati orang tua.Kami pertama kali bertemu di sebuah acara pernikahan teman, saat itu dia tak sengaja menabrakku dan tak sengaja menumpahkan air digelasnya kebajuku. Seperti sinetron memang. Tapi, ya begitulah pertemuan kami. Sejak itu kami sering bertemu, dan akhirnya memilih untuk melanjutkan ke hubungan serius.Dalam bayanganku tak salah jika aku memilihnya sebagai istri, dia pastinya akan me