Share

Setelah Tiga Tahun Pernikahan
Setelah Tiga Tahun Pernikahan
Author: Ina R

Dikira Cupu Ternyata Suhu

"Kamu ini gimana sih Lang? Mama bilang butuh 5 juta malah dikirim dua juta?" protes Mama begitu masuk ke rumah dari pintu depan, suaranya menggema di ruang tamu.

Aku dan Mas Langit yang tengah duduk di sofa ruang tamu, seketika langsung menoleh. Mama berjalan ke arah kami sambil memegangi barang belanjaan bersama Fariza adiknya Elang.

"Iya, gara-gara kak Elang aku gak jadi beli sepatunya?" keluh gadis yang biasa di panggil Iza itu sambil memberengut. Lalu, menghempaskan bo kongnya dengan kasar ke atas sofa. Gurat kecewa terpancar di wajahnya.

Mama dan Iza baru saja pulang dari salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Harusnya mereka senang. Tapi, nyatanya begitu pulang wajah mereka malah terlihat kesal.

"Kan sepatu kamu banyak dan masih pada bagus, Za," balas Mas Elang.

"Ih ... Tapi, 'kan aku sukanya yang itu Kak," ucap Iza, sambil memajukan bibirnya.

Mas Elang terlihat menghela napas, menghadapi kelakuan Iza yang memang terlihat manja. Gadis yang baru duduk di kelas dua SMA itu, merajuk pada sang Kakak. Sebagai anak laki-laki satu-satunya Mas Elang memang berkewajiban menafkahi Mama dan Iza, terlebih saat Papa meninggal sebelum kami menikah.

Menurutku keluarga Mas Elang memang cukup berada, terlebih dulu Papa salah satu karyawan PT perta**na, dan tentu saja Mama masih menerima pensiunan Papa. Ditambah lagi posisi Mas Elang di kantor sebagai manager harusnya keuangan bukan masalah. Namun, gaya hidup Mama dan Iza yang hedon membuat mereka selalu merasa kurang.

"Iya lain kali aja ya, bulan ini kakak lagi banyak pengeluaran mau servis mobil," terang Mas Elang.

"Iya kalau sepatunya masih ada, kalau gak gimana?"

"Kan bisa cari yang lain," jawab Mas Elang sambil tersenyum, berusaha menenangkan adik satu-satunya itu.

Mendengar jawaban sang kakak membuat Iza semakin kesal. "Au ah," jawab Iza membuang muka, sembari melipatkan tangan di dada.

Tidak lama setelahnya terdengar suara mobil berhenti di depan rumah, membuat kami menoleh ke arah pintu luar.

"Siapa yang datang?" tanya Mama. "Coba kamu lihat!" titah Mama padaku.

Aku pun mengangguk, dan lekas beranjak dari tempat duduk, demi memastikan siapa yang datang, ternyata karyawan dari toko mesin cuci yang tadi kubeli. Mereka pun langsung menurunkan barangnya dari mobil.

"Taruh di dalam aja, Pak!" pintaku ke pada dua karyawan toko tersebut.

"Baik, Mbak!" Dengan hati-hati dua karyawan tersebut langsung mengangkat mesin cucinya.

"Lho, lho mesin cuci siapa itu? Siapa yang pesan?" Mama bertanya heran saat dua karyawan tersebut meletakkan mesin cucinya di dalam. Saking penasarannya Mama sampai berdiri.

"Maaf, Bu kami hanya mengantarkan pesanan. Mari, Bu!" ucap dua karyawan tersebut dengan ramah. Lalu, berpamitan.

"Terima kasih, Pak!" ucapku sebelum mereka pergi, dan dibalas mereka dengan senyum dan anggukan.

Setelah mereka pergi aku kembali duduk ke sofa.

"Kamu yang beli mesin cucinya, kenapa? Bukannya Mesin cuci yang lama masih bisa di pake?" Cerca Mama penasaran.

"Iya, Ma. Soalnya mesin cuci di belakang rusak lagi. Cuma pengeringnya aja yang masih bisa di pakai," jawabku.

"Kamu, 'kan bisa cuci pake tangan, atau panggil tukang servis ke sini, bukannya biasanya juga begitu? jangan manja mentang- mentang biasa nyuci pake mesin jadi gak mau nyuci pake tangan," terang Mama panjang lebar.

Aku bukannya gak mau panggil tukang servis, pasalnya entah sudah beberapa kali itu mesin cuci dibenarin, hasilnya gak sampai bertahan dua bulan sudah rusak lagi. Aku pikir memang sudah saatnya ganti.

"Iya, Ma. Tapi, sepertinya mesin cucinya memang sudah saatnya diganti. Karena, kebetulan juga uangnya ada," jelasku.

Aku sengaja tidak menanggapi saat Mama bilang jangan manja dan menyuruh nyuci pakai tangan. Bukan gak mau. Tapi, rasanya tenagaku tak cukup kuat harus mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Belum lagi kalau Kinara lagi rewel.

"Umh ... Jadi, ini alasannya kenapa Elang hanya kirim uangnya cuma dua juta, karena kamu mau minta di beliin mesin cuci?"

"Eum ... Kalau soal itu-"

"Bilangnya gak ada duit, ini istrimu malah dibeliin mesin cuci baru?" potong Mama cepat. "Udahlah kalau kayak gini, mulai bulan depan, Mama aja yang pegang gaji kamu."

"Ta-pi, Ma?" ucapku hendak protes.

"Kalau kamu yang pegang, bisa habis uangnya."

Mendengar Mama yang akan pegang kendali, Iza langsung tersenyum.

"Setuju, Ma," ucapnya girang.

"Kan sudah, Mas bilang beli mesin cucinya nanti aja." Bukannya membela Mas Elang malah ikut-ikutan menyalahkanku. Padahal sebelum pesan aku sudah izin untuk beli mesin cucinya, dengan uang sisa bulanan yang selama ini ia berikan.

"Tapi kan tadi aku sudah izin sama Mas dan pake uangku sendiri," jawabku.

"Dari mana kamu bisa punya uang sendiri? Kamu kan gak kerja?" selidik Mama.

"Sebenarnya itu hasil tabungan dari sisa uang bulanan yang Mas Elang kasih selama ini, Ma."

"Ya sama aja itu, uangnya dari Elang. Harusnya kamu itu bisa hemat, jangan hambur-hamburin uang dengan hal-hal yang gak penting. Belum lagi paket yang suka kamu beli."

Astaga, padahal aku hanya baru dua kali memesan paket dan itu pun untuk kebutuhan bersama, dan kebetulan memang Mama yang menerimanya.

"Kalau soal itu, bukannya Mama tahu sendiri barangnya untuk kita semua?" tanyaku balik.

"Ya tetap aja," jawab Mama. Aku langsung melihat ke arah Mas Langit berharap dia mau membelaku, minimal masalah gaji yang nantinya akan dikuasai Mama.

"Kurasa apa yang dibilang Mama benar, kamu harus hemat," jawab Mas Langit yang justru diluar dugaan.

"Sudahlah Mama mau istirahat kepala Mama pening," Mama bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar, dan begitu pun Iza.

***

Mas Elang, Mama dan Iza tengah duduk di meja makan, mereka sibuk memainkan ponsel sembari menungguku menghidangkan makan siangnya.

Tak perlu menunggu lama akhirnya menu makan siang kali ini sudah terhidang di atas meja.

"Ayo makan!" ajakku, menghentikan mereka dari aktivitas gadgetnya.

Tatapan Mama, Mas Elang dan Iza nampak kaget begitu mendapati menu makan siang kali ini.

"Mana daging sama sayur lainnya, kok cuma sambal terasi sama tempe goreng?" tanya Mama heran.

"Apa stok di kulkas sudah habis?" Mas Langit ikut bertanya. Kini wajah mereka terlihat begitu heran.

"Iya aapan ini, mana ada vitaminnya ini," timpal Iza.

Aku tersenyum. "Iya. Hari ini, ini menunya, bukannya kalian bilang aku terlalu boros? Jadi mulai sekarang aku akan berhemat. Ayo makan mumpung nasinya masih panas!" ucapku sembari tersenyum dan mengambil sambal terasi dan tempe goreng. Lalu, menaruhnya di atas piringku.

"Udahlah, Ma sebaiknya kita pesan gofood aja, makanan apaan kayak gini?" ajak Iza pada Sang Mama.

"Baiknya begitu, Mama gak selera makan kamp ungan kayak gitu," jawab Mama.

Mama dan Iza angsung bangkit dari duduk bersiap hendak pergi.

"Kenapa tidak dicoba saja dulu makan yang ada, kalau pesan gofood apa tidak pemborosan?" cegahku. "Bukannya kalian yang bilang harus hemat?" tanyaku tersenyum.

Selama tiga tahun pernikahan, aku selalu berusaha menghormati, menyanyangi mereka seperti keluargaku sendiri, mengerjakan pekerjaan rumah dan lainnya. Aku tak pernah mengeluh. Karena, bagaimana pun Mama atau Iza selama aku masih sah sebagai istrinya Mas Elang mereka juga keluargaku.

Sebagai menantu, dan istri aku sudah mengerjakan yang seharusnya kulakukan. Diam saat mereka keterlaluan. Tapi, bukan berarti aku lemah.

Akhirnya Mas Elang memberi kode ke Mama dan Iza agar kembali duduk dan makan yang ada. Entah mengapa akhirnya Mama dan Iza menurut, mungkin mereka malu dengan ucapan sendiri. Melihat itu aku hanya tersenyum, ini baru permulaan tunggu kejutan berikutnya. Apa kalian sanggup untuk berhemat?

Bersambung ...

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
salah sendiri selama 3 th jd penurut kayak kebo. terlalu menikmati diatur dan jadi babu ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status