"Kesambet apa sih istrimu itu, sampai berani bicara begitu? Seumur hidup baru kali ini Mama hanya makan sambal terasi sama tempe goreng," umpat Mama kesal begitu usai makan, sembari berjalan ke ruang tengah.
Aku yang hendak membereskan meja makan hanya tersenyum mendengar ucapan Mama, sambil mengelus dada."Iya tau nih, mana sambelnya pedas banget sampai nempel di lidah. Rasanya aneh," timpal Iza."Sudahlah, Ma tidak perlu di perpanjang. Mungkin stok bahan bakunya di kulkas memang hanya tinggal itu. Lagian bukannya Mama sendiri yang bilang ke Hanin kalau harus hemat?""Iya. Tapi, bukan gini caranya. Ini namanya nge-prank. Keterlaluan orang tua disuruh makan yang kayak begituan.""Eum ... Tapi, menurut Elang lumayan enak.""Idih, Kak Lang apaan sih makanan kayak gitu dibilang enak," timpal Iza.Setelahnya aku tidak lagi mendengar pembicaraan mereka. Entah kemana? Biarlah sesekali dikasih makan yang sederhana itu perlu, biar tahu gimana orang-orang diluaran sana yang mengalami hidup susah, kadang makan nasi putih saja bahkan sampai puasa. Karena, tidak ada makanan yang bisa di makan.***"Ma remot AC di kamar Iza mana?" Iza berteriak. Suaranya sampai ke dapur."Mama gak tau, remot AC di kamar Mama juga gak ada?" Mereka saling bertanya.Jarak ruang keluarga memang tidak jauh dari dapur. Jadi, aku bisa mendengar percakapan mereka, dan aku tengah membuat kopi untuk Mas Elang."Hanin kamu lihat remot AC di kamar Iza sama Mama?" tanya Mama tau-tau sudah ada dibelakang, aku yang tengah mengaduk kopi dalam gelas langsung menjeda aktivitas."Oh itu, remotnya aku simpan. Mulai sekarang pemakaian AC nya siang hari saja, itu pun kalau cuacanya benar-benar panas," jawabku sembari tersenyum."Apa-apaan kamu Hanin kamu mau buat Mama sama Iza mati kepanasan?" Teriak Mama tak terima, wajahnya terlihat geram sembari menatapku dengan tajam."Aku tidak bermaksud begitu, Ma. Aku hanya berusaha meminimalisir pengeluaran," jawabku lembut."Oh jadi kamu sungguh ingin meminimalisir pengeluaran?" tanya Mama, kemudian ia tersenyum. "Baik kalau begitu, kamu juga tidak boleh mencuci pakai mesin cuci, masak nasi pakai magic com!" Mama berkata dengan bangga.Mendengar itu aku langsung syok, bagaimana mungkin aku bisa mencuci semua pakaian orang di rumah ini dengan tangan, tenagaku bukan tenaga kuda atau mesin.Mama dan Iza langsung terlihat senang melihatku diam tak berkutik. Kemudian aku langsung tersenyum ketika sebuah ide langsung melintas di kepalaku."Kenapa kamu malah senyum, memangnya ada yang lucu?" tanya Mama.Aku menggeleng. "Enggak kok, Ma. Baiklah kalau begitu aku setuju."Aku sengaja menjeda kalimatku, membuat Mama dan Iza semakin merasa berada di atas angin."Tapi, mulai sekarang kita mencuci bajunya masing-masing. Kalau punya Mama aku masih bisa toleransi. Tapi, untuk Iza baiknya dia mencuci pakaiannya sendiri.Hitung-hitung belajar sebelum berumah tangga. Syukur-syukur kalau dapat sultan. Tapi, kalau enggak, dan bernasib seperti Mbak setidaknya kamu sudah punya bekal bisa mengerjakan pekerjaan rumah, minimal mencuci baju sendiri," terangku panjang lebar.Mata Iza langsung membulat, mungkin tidak percaya dengan apa yang barusan keluar dari mulutku. Selama ini, akulah yang selalu mencuci baju gadis itu termasuk pakaian dalam. Karena, begitu usai mandi ia selalu menaruhnya di dalam ember yang berisi air, bahkan CD yang habis dipakainya tergulung seperti risol membuat mata ini empet kala melihatnya."Bagaimana? Apa kalian setuju?" tanyaku."Apa-apaan? Gak! aku gak setuju. Mbak Hanin tau sendiri, 'kan kalau aku sibuk belajar. Jadi, mana sempat aku ngerjain hal kayak gitu.""Aku tau, kamu sibuk main tik-tok bukan belajar, jadi aku pikir itu hanya alasan saja." Gadis berusia 15 tahun itu langsung terlihat memerah, entah malu karena ketahuan atau menahan marah. Tapi, aku menduga dua-duanya."Ma..." Iza merengek berharap Mama dapat memberi solusi."Ya sudahlah, kalau masalah itu kamu boleh pakai mesin cuci. Tapi, kamu tetap tidak boleh menggunakan megic com," ucap Mama."Baik, kalau itu aku setuju," jawabku.***"Gi la, istrimu benar-benar sudah gi la," teriak Mama geram sembari berjalan ke arah ruang tamu."Ada apalagi sih, Ma?" tanya Mas Elang, fokusnya langsung teralihkan pada sang Mama yang berjalan dari arah dapur. Sementara, aku diam-diam berjalan dibelakang mereka."Itu lho, masa remot AC di kamar Mama sama Iza di umpetin." Mama berkata dengan nada kesal."Iya, malahan nyuruh aku nyuci baju sendiri," timpal Iza."Masa sih?" tanya Mas Elang dengan nada tak percaya."Bukan diumpetin, Ma. Cuma di simpan," ucapku sambil berlalu melewati Mama dan Iza yang masih berdiri dengan wajah kesal. Lalu, meletakkan segelas kopi ke meja."Ya apa bedanya?" tanya Mama dengan nada ketus."Sebenarnya ada apa sih?" tanya Mas Elang penasaran."Bukan apa-apa, Mas aku hanya sedang berusaha untuk hemat," terangku. Lalu, duduk di sebelah Mas Elang.***Usai subuh aku tengah sibuk di dapur seperti mana biasanya, membuat sarapan untuk kami sekeluarga. Aku tengah memasak mie instan untuk sarapan pagi ini, tidak perlu menunggu lama 4 piring mi instan sudah terhidang di atas meja.Tidak lama kemudian Mas Elang datang. Aku tersenyum."Kinara masih tidur, Mas?" tanyaku sembari menuangkan air putih ke gelas."Masih," jawab Mas Elang singkat. Lalu, menarik kursi di bawah meja. "Cuma mie aja gak ada temannya?" Tanya Mas Lang begitu melihat sarapan di atas meja."Tidak ada, Mas cuma itu yang masih tersisa di kulkas." jawabku jujur. Karena selain menghemat, cuma itu yang bisa dimasak untuk sarapan pagi ini.Mas Elang tidak lagi bertanya, kemudian terlihat ia hanya menghela napas. Tidak lama kemudian Mama datang. Melihat hanya mie saja yang terhidang Mama pun sama herannya dengan Mas Elang."Gak ada menu lainnya?""Gak ada, Ma. Cuma itu.""Memangnya gak ada nasi, buat kamu bikin nasi goreng? Elang tu kerja banting tulang masa kamu kasih sarapan mi instan aja, mana ada tenaganya ini," protes Mama."Aku belum sempat masak nasi, Ma. Maaf ya, Mas cuma ini adanya. Sebagai gantinya nanti siang aku akan antar makanan siang untuk, Mas," ucapku merasa tak nyaman."Tidak perlu, Mas bisa makan di luar," jawab Mas Elang."Kak, Iza mau berangkat mana uang sakunya!" Iza yang baru saja datang ke meja makan langsung menadahkan tangan ke Mas Elang.Tanpa banyak bicara Mas Elang pun langsung mengangsurkan selembar 20 ribuan."Yah, kok cuma 20 ribuan sih kak, kuranglah!"Mas Elang pun kembali mengeluarkan uang 50 ribuan, dan memberikannya ke Iza."Nah gitu dong, Kak. Jangan pelit-pelitlah sama adik sendiri," ucap Iza dengan gaya manjanya. Tapi, belum sampai ke tangannya aku sudah lebih dulu mengambilnya. Iza kalah cepat denganku."Ih Mbak Hanin apaan sih? Balikin gak?""Kita, 'kan lagi berhemat. Uang yang 50 ribunya, Mbak pegang dulu ini cukup untuk jatah kamu dua hari ke depan, besok baru akan Mbak kasih," ucapku."Ih apaan sih, Mbak. Itu, 'kan uangnya Mas Elang sudah dikasihin ke aku, dan Mbak gak ada hak buat ngatur-ngatur aku.""Siapa bi-" ucapanku langsung terhenti begitu mendengar Mas Elang menegurku."Hanin, kamu ini apa-apa sih, sudahlah jangan keterlaluan. Berikan uangnya pada Iza!"Sebenarnya aku ingin menolak. Tapi, ini masih pagi dan tak ingin berdebat. Akhirnya aku mengalah dan memberikan uangnya. Melihat itu Mama dan Iza langsung tersenyum penuh kemenangan, seolah ini adalah permainan dan aku tengah kalah.Aku tetap tenang dan tersenyum manis. Mereka pikir selama ini aku nurut dan diam karena takut.Usai sarapan Iza dan Mas Elang pun berangkat. Membereskan sisa makan, dan mencuci piring bagiku bukan hal yang asing lagi, sudah menjadi rutinitas setiap hari."Hanin, ingat kamu tidak boleh masak menggunakan megic com," tegur Mama saat aku akan memindahkan piring ke wastafel. Lalu, Mama pun berlalu pergi.Aku tidak kaget, dan tersenyum memikirkan sesuatu yang nantinya akan kulakukan.Bersambung ...Kira-kira Hanin bakal ngelakuin hal apa ya?Reflek aku pun melangkah ke arah keributan. Begitu sudah dekat, dan melihat yang terjadi seketika mataku terbelalak tak percaya."Makanya kalau gak punya duit, mainnya jangan disini. Udah salah gak mau ngaku lagi," teriak perempuan paru baya itu memaki ke arah Iza.Iza menggeleng. "Tapi, saya gak mencuri, Bu!""Halah, maling mana ada yang mau ngaku?" ucap Ibu itu terlihat begitu emosi."Ada apa ini?" tanyaku kemudian. Tadinya aku tak ingin peduli. Karena, aku tak ada lagi urusan dengan keluarganya Mas Elang. Tapi, entah mengapa tiba-tiba saja hatiku tergerak.Iza yang melihat kedatanganku langsung berlari. "Eh mau kemana kamu?" teriak perempuan itu."Tenang, Bu. Semuanya bisa dibicarakan baik-baik," ucapku berusaha menenangkan."Kamu siapa? Jangan ikut campur ya!" sergahnya."Saya Kakaknya!" Tiba-tiba kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirku."Oh jadi kamu kakaknya? Tolong ya diajarin adiknya jangan jadi pencuri!" ucap perempuan itu masih terlihat emosi."Bukan saya ingin membel
"Apa maumu?" Aku kembali bertanya dengan perasaan yang sudah tak karu-karuan. Takut, marah, emosi seketika bercampur jadi satu.Bukannya menjawab ia malah tertawa, entah apa yang lucu."Jangan main-main! Kalau tidak aku akan berteriak!" ancamku."Teriak saja sekeras yang kau mau, tidak akan ada yang mendengarmu."Ia melangkah semakin dekat, sementara aku semakin melangkah mundur, hingga tubuhku tersandar ke mobil."Kenapa kau tidak jadi berteriak?" tanyanya.Badanku mulai gemetar kala jarak kami semakin dekat, bahkan untuk berlari rasanya tidak mungkin."Apa maumu?" tanyaku dengan suara bergetar, dengan keringat dingin.Dengan segenap keberanian, aku langsung menarik kain yang menutupi sebagian wajahnya. Tapi, aku tak mengenalinya. Setelah kain yang menutupi wajahnya terbuka, dengan cepat ia langsung mengayunkan pisau itu ke wajahku. Aku yang menyadari bahaya langsung menangkisnya dengan tangan, dan hingga akhirnya tanganku yang terluka hingga mengeluarkan cairan segar. Melihatku ter
Aku tengah berdiri di depan gedung pengadilan agama kota Bandung. Hari ini sidang perceraianku, dan Mas Elang.Lelaki itu tidak lagi berniat membujukku setelah kemarin betengkar hebat dengan Fahri di rumah makan depan kantor."Kenapa, Kak Elang mau balikan sama Mbak Hanin karena tahu Mbak Hanin kerja sebagai model, 'kan?" tanya Fahri kala itu.Mama dan Mas Elang yang mendengar pertanyaan Fahri langsung ke intinya terlihat kikuk."B--ukan begitu, kami melakukan semua ini demi Ara," terang Mama melakukan pembelaan.Tapi, Fahri tidak percaya begitu saja, dan akhirnya membuat Mama dan Mas Elang menyerah."Ibu yakin kamu kuat, Nduk!" Ibu yang saat ini tengah berdiri disamping kananku tiba-tiba membuyarkan lamunanku."Iya, Bu," jawabku.Kami pun akhirnya masuk ke dalam gedung. Aku tak pernah membayangkan jika pernikahanku akan berakhir disini, impian pernikahan sekali seumur hidup berakhir di pengadilan.Kulihat Mas Elang tertunduk lesu. Sementara Sava menatapku penuh kemenangan.Sidang pun
"Iya, Ibu mau," jawab Ibu yang akhirnya membuatku lega."Kalau begitu aku akan bicara sama Bude Maryam."Ibu mengangguk, akupun langsung memeluk tubuh Ibu dengan perasaan senang, dan berjanji pada diri sendiri disisa umurnya yang semakin tua aku akan berusaha untuk membuatnya bahagia."Yang bener kamu, Nin?" tanya Bude Maryam tak percaya saat kusuruh menempati rumah Ibu saja."Iya, Bude. Tadinya Ibu gak mau ikut denganku. Karena, khawatir rumah dan hewan ternaknya gak ada yang rawat," terangku."Ya begitulah, Ibumu," ucap Bude Maryam. "Keukeh dengan pendirian. Tapi, baik, dan mudah berempati. Sebenarnya, Ibumu juga ingin terus bersama sama kalian. Waktu pamit ke Bandung aja Ibumu bilang karena, khawatir sama kamu," lanjut Bude menjelaskan.Aku terdiam mendengar penjelasan Bude, merasa haru dengan apa yang Ibu lakukan untuk kami. Meski anaknya jauh, Ibu selalu tahu kalau anaknya tak baik-baik saja. Ah, Ibu sungguh pengorbananmu tidak akan bisa kubalas dengan apapun walaupun dunia dan s
"Mas Elang? Kamu ngapain disini?" Aku bertanya dengan ekpresi gugup. Karena terkejut melihatnya yang tiba-tiba ada di depanku."Eum ... Mas sengaja nungguin kamu.""Mau apa lagi, diantara kita sudah tak ada urusan. Aku sudah mengurus surat perceraian kita di pengadilan. Jadi, Mas tunggu saja!"Mas Elang menggeleng. "Tapi, Mas tidak ingin pisah dari kamu!"Entah apa maksudnya, setelah membuangku begitu saja sekarang ia ingin kembali. Setelah kemarin mengetahui kalau ternyata aku bekerja sebagai seorang model."Kenapa, Mas?" tanyaku. Ingin tahu alasannya."Kasian Ara kalau sampai kita pisah," ucapnya memberi alasan. Lalu, kemarin-kemarin saat aku sudah memberi waktu sekian lama kemana dia?"Kenapa baru sekarang kamu memikirkan Ara, Mas? Kemarin kemana saja?""Eum ... Maaf! Mas tahu salah makanya Mas kesini mau minta maaf, kamu mau, 'kan maafin Mas?""Mas apa-apaan kamu?" teriak seseorang yang sontak membuat aku dan Mas Elang menoleh ke arah sumber suara. Ternyata Sava."Aku pikir dianta
Kulihat Mas Elang hendak berangkat dari tempat duduknya. Tapi, dengan cepat Sava segera menahannya."Mau kemana kamu, Mas?" tanya Sava yang jaraknya hanya tersekat meja denganku. Meski pelan aku masih bisa mendengarnya. Bahkan, di kantor pun ia sudah memanggil Mas Elang dengan sebutan, Mas."Ingat sebentar lagi meeting dimulai!" ucap Sava memperingati. Sementara aku yang mendengar hanya berpura-pura sibuk dengan berkas di tanganku. Setelahnya tak lama kemudian meeting pun dilaksanakan, clien yang datang dari negara tetangga hanya berjumlah dua orang, dan sudah berada di ruangan.Seperti yang diperintahkan Ezra, aku mulai menjelaskan isi meeting kali ini, untungnya aku bisa berbahasa Inggris.Mas Elang, dan Sava hanya bisa tercengang setelah mengetahui posisiku di kantornya Ezra.Pihak clien terlihat puas mendengar penjelasanku, dan mereka setuju untuk bekerja sama. Selain, menampilkan produk busana muslimah pihak kantor juga memproduksi kain secara langsung, dan itu menjadi salah sat
"Elang!" Tiba-tiba suara seorang perempuan yang kuhapal suaranya memanggil nama Mas Elang. Kami pun sontak menoleh ke arah sumber suara. Mataku membulat saat melihat perempuan itu bergerak maju ke arah kami."Ibu?" ucapku dan Mas Elang hampir berbarengan."I--bu kok bisa ada di sini?" tanyaku tergagap. Lalu, menyambut tangannya begitupun Mas Elang."Ibu baru saja dari rumah mertuamu. Ibu juga sudah tahu semuanya.""Eum ... Sebenarnya ini hanya salah paham, Bu. Aku bisa jelasin," ucap Mas Elang."Apa lagi yang ingin kamu jelaskan, Mas?" tanyaku."Bu!" Tiba-tiba Fahri datang, menghampiri kami. Aku yang tak tahu kalau Ibu datang bersama Fahri begitu kaget."Heh! Laki-laki bre ng sek kamu apakan kakakku?" tanya Fahri tiba-tiba wajahnya terlihat emosi. Aku tidak tahu apa yang dikatakan Mama pada Ibu dan Fahri hingga mereka tahu semuanya."Sudahlah, Bu, Fahri sebaiknya kita pergi! Ini kantor tidak enak kalau ada yang lihat!" tegurku. Malu, tentu saja. Kami pun memilih pergi masuk ke dalam k
"Jadi kamu sudah dapat tempat tinggal?" tanya Tante Sandra, saat aku datang ke rumah untuk berpamitan, dan mengambil beberapa barangku."Alhamdulillah iya, Tan." Tante Sandra tersenyum. "Tante hanya bisa mendoakan yang terbaik. Kapanpun kamu mau pintu rumah ini selalu terbuka untukmu.""Terima kasih banyak, Tan. Aku gak tau harus bilang apa? Sekali lagi terima kasih sudah merepotkan.""Tante sama Om tidak merasa direpotkan sama sekali," ucap Om Farhan yang tiba-tiba muncul dari arah dapur, dan membuat kami seketika menoleh."Om Farhan gak kerja?" tanyaku. Lalu, menyambut tangannya."Kerja, Om pulang makan siang. Soalnya gak ada masakan seenak masakan Tantemu," godanya sembari melirik Tante Sandra, membuat keduanya tersenyum.Aku senang melihat keromantisan yang tercipta diantara mereka. Usia bukan jadi penghalang untuk selalu menciptakan kehangatan. Ah, rasanya aku iri melihat keharmonisan diantara mereka, sementara aku? Pernikahan yang kuimpikan sekali seumur hidup nyata tengah bera
"Ini!" Ezra menyerahkan dua buah kunci ke arahku. "Apa ini?" tanyaku tak mengerti."Itu kunci mobil, dan apartemen untukmu. Fasilitas dari kantor," ucap Ezra. Aku yang baru datang, dan duduk tentu saja dibuat bingung dengan sikapnya itu."Untuk apa, bukankah masa kontrak kerja kita sudah berakhir?""Diperpanjang 5 tahun?" balasnya santai. "Jika kamu setuju, kamu bisa pakai mobil, dan apartemenya!" Mataku membulat, dengan mulut sedikit menganga mendengar penjelasan Ezra. Kaget, tentu saja. Ini seperti mimpi disiang bolong."Itu mulut tutup, nanti kemasukan lalat lagi," ucapnya Ezra sembari melipatkan tangan di dada.Dengan ekpresi kikuk aku langsung menutup mulutku. Ah, sial kenpa dari dulu sikapnya tidak berubah. Menyebalkan. Akukan jadi malu."Gimana apa kamu setuju?" Tuhan seperti menjawab doaku yang saat ini tengah bingung mencari tempat tinggal. Tapi, mobil aku tidak bisa menyetir.Aku mengangguk cepat. Kesempatan ini tidak boleh kusia-siakan. "Dan ini bayaran untuk bulan kema