Share

Setetes Racun Dalam Madu
Setetes Racun Dalam Madu
Penulis: Tiwit_TJ

1. Menjadi Seorang Istri

Aku sedang berbaring di tempat tidur sembari menatap langit-langit yang telah dihiasi dengan kain putih menjuntai dan juga bunga-bunga plastik warna biru di setiap sudut kamar. Cemas, gelisah, senang, bahagia dan juga deg-degan bercampur aduk memenuhi rongga dada. Bagaimana tidak, besok adalah hari digelarnya pernikahanku dengan Reza Mulyadi–lelaki yang sudah memenangkan hatiku.

Aku senyum-senyum sendiri membayangkan kehidupan rumah tangga yang indah bersama Mas Reza. Setiap pagi aku akan membangunkan Mas Reza dengan mesra, lalu dia akan membalas dengan kecupan mesra di keningku. Tak lupa aku menyiapkan sarapan dan juga segelas kopi panas kesukaannya. Malam harinya, saat akan tidur, Mas Reza akan mengusap rambutku hingga aku tidur di dadanya.

Saat akhir pekan kita akan menghabiskan waktu bersama dengan jalan-jalan di pantai. Mas Reza akan menggandeng tanganku dan kita menapakkan kaki di bibir pantai menikmati buih-buih yang menyapa. Duhai senangnya kehidupan rumah tanggaku bersama Mas Reza kelak.

Ngomong-ngomong soal Mas Reza. Aku jadi penasaran dengan apa yang saat ini dilakukan oleh lelaki tiga puluh tiga tahun yang sebentar lagi akan berstatus sebagai suamiku. Gegas kusambar gawai di atas tempat tidur, kulihat tak ada satu pun pesan dari Mas Reza. Jadi, aku berinisiatif untuk mengiriminya pesan.

[Mas Reza ….] Kukirim pesan itu memalui aplikasi hijau yang langsung centang dua, tetapi sudah dua menit tak ada balasan dari Mas Reza. Aku memaklumi, mungkin dia tak kalah gugupnya denganku.

Sampai detik ini aku masih tak menyangka. Rasanya semua berjalan sesuai dengan harapanku. Akan menikah di usia dua puluh lima, memiliki pendamping yang tampan nan penuh sopan santun. Duh, senangnya.

Aku terkesiap saat gawaiku berdering di tengah-tengah lamunanku. Buru-buru kusambar lagi ponselku yang tadi sempat aku letakkan kembali ke atas kasur dan kulihat ada nama Mas Reza di layar.

[Ada apa, Dek? Jangan bilang kamu rindu padahal besok kita sudah menikah!] Aku tersenyum membaca pesan Mas Reza. Entah ini betul atau hanya perasaanku saja, tapi pesan itu terasa sangat manis. Aku yakin, menikah dengan Mas Reza hidupku akan bahagia karena dia sangat mencintaiku meski kita hanya tiga bulan berpacaran.

[Aku deg-degan dan nggak nyangka kalu besok kita akan menikah, Mas. Apa Mas Reza juga merasakannya?] Setelah kukirim pesan itu, kini kutatap dengan malu-malu kebaya putih yang besok akan aku kenakan di hari bahagiaku. Hari di mana statusku akan berubah menjadi seorang istri dari Reza Mulyadi.

Tak lama kudengar ponselku berdering dan aku yakin itu pesan dari Mas Reza, jadi aku gegas membuka aplikasi hijau itu lagi. [Iya. Kalau sudah nikah nanti Dek Wulan pengin punya anak berapa?]

Anak? Kenapa Mas Reza bertanya seperti itu? Aku jadi malu, kulihat kedua pipiku yang sudah memerah dari layar ponsel. Ah, rasanya akan menggemaskan kalau mempunyai dua anak kecil yang menggemaskan. Yang satu nangis dan yang satunya lagi juga ikut nangis, pasti aku dan Mas Reza akan sesibuk itu untuk menenangkan mereka.

[Dua anak saja kurasa cukup, Mas. Pasti lucu karena kita akan kerepotan mengurusi mereka.] Aku menekan tombol kirim dengan perasaan malu.

Tak lama kemudian gawaiku berdering lagi. [Baiklah! Kita langsung gas full saja kalau sudah nikah, Dek!]

Aku terkekeh membaca pesan Mas Reza. Kuedarkan lagi pandanganku, di kamar inilah nanti akan aku habiskan malam panjang dengan Mas Reza. Apa seperti ini rasanya mau menikah? Deg-degan, tidak bisa tidur, bahkan malam terasa panjang untuk menyambut esok pagi.

Kuletakkan ponselku begitu saja tanpa membalas pesan Mas Reza setelah kudengar pintu kamarku diketuk. Tak lama terdengar derit pintu terbuka dan kulihat adikku masuk ke dalam kamar. Aku mengernyit heran karena tidak biasanya dia menemuiku kalau tidak ada sesuatu yang penting. Adikku bernama Kanina, dia adalah gadis yang introvert dan tak banyak bicara, tapi malam ini entah ada angin apa dia menemuiku.

“Ada apa, Nina?” tanyaku pada Kanina yang kini duduk di tepian tempat tidur. “Apa mau minta hotspot?" imbuhku.

Kanina menggelengkan kepalanya, aku pun semakin penasaran dengan tingkahnya ini. “Mbak Wulan apa bener besok menikah?” tanyanya.

Hampir saja aku terjungkal mendengar pertanyaannya itu. Bisa-bisanya dia masih belum percaya, padahal jelas-jelas rumah dan kamar sudah dihias sedemikian rupa. “Tentu Mbak akan menikah besok. Lihatlah! Rumah kita saja sudah dihias seperti ini.” Kulayangkan pandangan mengitari seisi kamar, Kanina pun melakukannya. “Memangnya ada apa? Kamu takut berjauhan dengan Mbakmu yang baik hati ini?”

Lagi-lagi Kanina menggeleng. “Aku takut Mbak Wulan akan menderita menikah dengan Mas Reza. Aku melihat aura jahat di wajah dan matanya,” tuturnya.

Aku menoyor kepala Kanina dan tertawa terbahak-bahak saat alisnya bertaut dan menatapku sinis. “Kamu kebanyakan nonton film horor, Dek! Asal kamu tahu, Mas Reza itu orangnya baik, penyayang dan penuh sopan santun. Sudah jangan ngaco kamu! Keluarlah, aku mau tidur besok sudah akad!”

***

Pagi ini, aku duduk dengan cemas di tepian tempat tidur. Dadaku berdebar hebat seiring bapak melafazkan kalimat ijab. Kugenggam erat-erat selembar tisu yang kubawa sejak tadi. Dalam kegugupanku terselip doa agar Mas Reza bisa mengucapkan ijab kabul dengan lancar dalam satu tarikan nafas.

“Saya terima nikah dan kawinnya, Asmani Wulandari binti Basuki dengan mahar tersebut tunai.”

“Sah!”

Semua orang berteriak dengan lantang setelah Mas Reza dengan lancar mengucapkan kalimat qabul. Di dalam kamar, air mataku luruh begitu saja. Ada perasaan lega sekaligus bahagia menyelimuti hatiku. Demi apa, kini aku sudah resmi menjadi istri Mas Reza.

Kanina masuk ke dalam kamarku. “Mbak, disuruh keluar!”

Kanina menuntunku keluar untuk menemui Mas Reza yang kini sudah bergelar sebagai suamiku. Rasa malu menggerayangiku saat kulihat orang-orang menjadikanku pusat perhatian mereka. Kukulum senyum saat kulihat Mas Reza menatapku. Ya Allah, tampannya suamiku.

Kini kami duduk berdampingan, lalu bergantian menandatangani buku nikah. Sesekali kulirik Mas Reza yang ternyata juga melirikku sambil senyum-senyum. Lagi-lagi aku tersipu seraya menandatangani buku nikah di hadapanku.

“Jangan lupa nanti malam kita gas full, oke!” bisik Mas Reza di telingaku.

“Apaan sih, Mas?” Aku menyikut pelan perut suamiku itu dan dia terkekeh akan tingkahku yang malu-malu.

Acara nikahan selesai saat menjelang waktu asar. Aku dan Mas Reza masuk ke kamar untuk beristirahat. Ada perasaan aneh di hatiku saat membawa seorang laki-laki ke dalam kamarku. Jujur aku malu, tetapi aku harus terbiasa mulai dari sekarang karena lelaki ini sudah halal untuk melihat dan menyentuh seluruh bagian tubuhku.

“Mas, bisa bantu aku melepaskan ini?” tanyaku yang kesulitan melepas kancing baju bagian belakang.

Berulang kali kuminta itu padanya, tetapi Mas Reza hanya sibuk ketawa-ketawa menonton video viral dari ponselnya, sampai-sampai ia tak mendengarku meminta bantuannya. Kurebut ponsel dari tangannya karena merasa gemas. Mas Reza gegas bangkit dari pembaringannya dan menatapku tajam, sementara aku hanya terkekeh geli melihat air mukanya.

“Jangan lancang kamu, Sialan!” sarkas Mas Reza sembari merebut kembali ponsel di tanganku dengan kasar, lalu dia kembali berbaring dan menonton video.

Deg! Senyumku memudar saat itu juga dan dadaku berdesir nyeri mendengar ucapan Mas Reza. Aku mematung, benar-benar tak mengerti dengan perubahan sikapnya. Adakah aku keterlaluan dengan bercanda merebut ponselnya?

“Aku hanya minta tolong untuk melepas kancing di belakang bajuku loh, Mas.” Aku masih bergeming di tempat, menatap lelaki yang telah berstatus sebagai suamiku.

“Alah, sana minta tolong sama keluargamu! Aku tuh capek tahu, nggak? Nggak usah manja deh jadi perempuan!” hardiknya.

“Tapi kamu suamiku, sudah sepatutnya aku meminta bantuanmu,” ucapku. Sejurus kemudian ada bantal terbang mendarat di wajahku. Aku terperangah, Mas Reza sengaja melemparnya hingga mengenaiku. Sakit rasanya diperlakukan seperti itu.

“Aku tak suka dibantah! Keluarlah jika kamu hanya ingin mengganggu tidurku!” titahnya. Mas Reza menaruh ponselnya lalu terpejam.

Air mata yang sejak tadi terbendung kini mengalir begitu saja. Dengan susah payah aku berusaha melepaskan kancing bajuku sendiri. Sebenarnya hatiku sakit sekali diperlakukan seperti ini oleh Mas Reza, tetapi dia adalah pilihanku dan aku akan menerima bagaiamanapun dia. Aku yakin Mas Reza adalah lelaki yang baik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status