Share

4. Segelas Kopi

“Mas Re ….”

Tak kulanjutkan ucapanku setelah kulihat Mas Reza tidak ada di tempat tidur. Samar-samar kudengar suara gemericik air dari bilik kamar mandi. Mungkin Mas Reza sedang membersihkan diri. Jadi, aku duduk di tepian tempat tidur untuk menunggunya.

Tak selang beberapa menit Mas Reza keluar dari kamar mandi menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya sampai menutup area lutut. Memperlihatkan perutnya yang rata dihiasi bentuk kotak-kotak berwarna kecoklatan. Membuatku mengingat kejadian semalam.

“Kamu dari mana?” tanya Mas Reza dengan suara terdengar sinis. Seketika senyumku menghilang, berganti dengan pertanyaan yang memenuhi kepala. Apa yang terjadi pada Mas Reza?

“Aku sarapan di dapur, Mas. Tadi aku sud ….”

“Besok-besok jangan makan kalau aku belum makan! Kamu mau jadi istri durhaka?” sela Mas Reza memotong ucapanku.

Deg! Dadaku sakit bukan main mendengar suamiku mengataiku sebagai istri durhaka. Namun, aku tetap berpikir positif dengannya, mungkin dia malu kalau makan sendirian, mengingat ini hari pertama dia tinggal di rumah orang tuaku. “Aku sengaja nggak membangunkanmu, Mas, karena kulihat kamu tidur sangat lelap,” ucapku.

“Sudahlah. Sekarang temani aku sarapan!” titahnya setelah memakai baju lengkap.

***

Mas Reza menjadi pria yang baik dan sopan seperti sebelumnya, dia juga telah meminta maaf atas perkataannya yang menyakitkan. Dia menyayangiku dan selalu memperlakukanku dengan lembut, aku bahagia. Hari ini tepat tiga hari kami menjadi pasangan suami-istri dan pagi ini aku harus kembali kerutinitasku sebagai seorang guru TK A.

Bapak, ibu dan Kanina pagi-pagi sudah pergi. Bapak ke ladang, ibu ke rumah Bu RT untuk bantu-bantu masak dalam rangka acara arisan habis dzuhur dan Kanina, dia sudah pasti berada di sekolah pagi ini. Sementara aku masih di rumah mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah tempatku mengajar.

“Kamu mau berangkat sekarang, Dek?” tanya Mas Reza sedang duduk santai sambil nonton TV dan menikmati segelas kopi panas. Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaannya. “Memangnya gaji guru TK berapa?” imbuhnya.

“Sekitar delapan ratus ribu. Lumayanlah daripada nganggur ‘kan?” ucapku.

“Kamu nyindir aku? Sombong amat baru jadi guru TK. Kamu tenang saja! Nanti aku cari kerja, biar kamu nggak merasa terbebani.”

Aku sedikit tersentak mendengar ucapannya. Apa mungkin aku salah bicara sampai-sampai Mas Reza berkata seperti itu? Memang dia belum bekerja saat ini, tetapi sedikit pun tidak ada niatan diri ini untuk menyidirnya. Bahkan aku sama sekali tidak merasa terbebani olehnya.

“Bukan seperti itu, Mas. Aku hanya mensyukuri berapa pun yang aku dapat,” jawabku dengan sebenar-benarnya.

“Ya sudah, pergilah!” titahnya. Aku pun pergi dari rumah setelah mencium tangan suamiku dengan takzim.

Sudah biasa aku berangkat mengajar dengan jalan kaki. Toh jarak rumah dan sekolah juga dekat, itung-itung sekalian berolahraga. Butuh waktu sekitar lima sampai tujuh menit hingga akhirnya aku sampai di sekolah TK A.

“Ayo, anak-anak kita akan mewarnai gambar!” ajakku pada anak-anak untuk memulai pembelajaran sembari membagi kertas yang ada gambar bunga untuk diwarnai anak murid.

Pembelajaran berlangsung dengan seru. Ada yang kecapekan, ada yang main-main dan ada yang menangis, tetapi itu wajar karena mereka masih kanak-kanak. Tepat pukul setengah sebelas, pembelajaran berakhir. Aku langsung pulang usai membereskan peralatan belajar.

Aku berjalan pulang di jalur yang sama saat aku pergi. Kulihat ibu-ibu sedang ngerumpi di teras salah satu tetangga di kampung ini. Kulemparkan senyum ramah kepada mereka, pun mereka membalas senyumanku. Namun, belum juga aku menghilang dari pandangan mereka sudah kudengar ibu-ibu itu bercerita tentangku.

“Eh, si Wulan itu sudah nikah sama anaknya almarhum Burhan, to? Kok, kemarin aku lihat mereka gandengan tangan?” tanya salah satu ibu.

“Iya. Nikahnya diam-diam, hanya manggil sanak saudara dan tetangga kanan-kiri saja,” sahut salah satu ibu yang sepertinya turut hadir di acara pernikahanku.

“Apa mungkin dia sudah hamil duluan?” tanya ibu satunya yang berbadan paling kurus.

Aku hanya bisa menghela napas mendengar gosip tentang diriku. Hidup di kampung memang harus tebal telinga. Tidak menikah dicap sebagai perawan tua, menikah cepat katanya ngebet kawin. Beda lagi kalau pesta besar dibilang sok banyak uang dan nikah diam-diam dikiranya hamil duluan. Yah, itu hak mereka, lebih baik aku segera pulang.

“Assalamu’alaikum …,” salamku dan langsung masuk ke dalam rumah. Kulihat Mas Reza masih asyik nonton TV.

“Wa’alaikumussalam. Sudah pulang kamu? Cepat bikinin aku kopi!” titahnya tanpa peduli padaku yang sedikit capek. Namun, dia suamiku dan aku harus berbakti kepadanya.

“Iya, Mas, tapi aku mau ganti baju dulu,” sahutku hendak masuk kamar.

“Nggak usah ganti! Cepat bikinin kopi! Kepalaku sudah pusing karena belum ngopi.”

Terpaksa aku beranjak menuju dapur tanpa berganti pakaian dan masih menggunakan baju mengajar. Kudidihkan air selagi aku meracik kopi. Kutahu Mas Reza tidak suka kopi yang manis, jadi aku memasukkan satu setengah sendok bubuk kopi dan satu sendok gula pasir, kemudian kusiram dengan air yang sudah mendidih.

Dengan rasa hormat dan bakti kepada suami, aku membawa kopi buatanku yang penuh cinta untuk suamiku. Kubawa segelas kopi dengan hati-hati. Namun, saat mataku beralih melihat Mas Reza yang tertawa sambil menonton TV, tiba-tiba kakiku tersandung karpet lantai membuat kopi di tanganku sedikit terguncang, lalu kopi itu sedikit menyumpahi Mas Reza.

Plak!

Bruugghh!

Aku ternganga saat tangan Mas Reza menamparku begitu keras hingga aku tersungkur di lantai. Kulihat dia sibuk membersihkan celananya yang tersiram kopi panas. Aku sudah menangis dan memegangi pelipisku yang sudah berdarah akibat terbentur sudut meja.

“Bodoh! Matamu buta, hah? Istri nggak becus!” bentak Mas Reza.

Deg! Jantungku terasa seperti dicubit oleh ucapannya. Ini memang salahku yang tak hati-hati, tetapi tidakkah dia sedikit iba padaku yang terluka? Aku hanya menangis tergugu merasakan sakit di hati dan di dahiku. Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan terulur lalu memelukku.

“Sayang kamu tidak apa-apa? Maafkan aku, aku khilaf, Sayang.” Mas Reza memelukku dengan hangat, bahkan suaranya berubah lembut tidak seperti tadi. Aku menatapnya sembari sesenggukan, kulihat wajahnya yang kini berubah teduh dan penuh sesal.

“Pasti sakit ya, Sayang? Ayo, biar aku obati!” Mas Reza memapahku menuju ke kursi sofa, lalu mendudukkanku di sana. Selagi ia sibuk mencari kotak obat, aku menatapnya dengan tatapan kosong.

“Ya Allah, ya Rab, apa yang terjadi kepada suamiku?” monolog hatiku.

Tak lama Mas Reza menghampiriku dengan membawa kotak obat, lalu ia duduk di sampingku. Aku tak bisa berkata-kata dan masih terkejut dengan perbuatan suamiku. Namun, dengan lembut Mas Reza meniup lukaku untuk mengurangi rasa nyeri.

“Sakit?” tanyanya, aku mengangguk pelan. “Aku obati dulu!” Mas Reza mulai mengambil beberapa bahan yang ia butuhkan, seperti kain kasa, obat merah dan perekat, lalu ia mulai merawat luka di pelipisku.

“Mas …,” panggilku ragu-ragu. Kutatap wajahnya yang begitu serius mengobatiku.

“Hmmm …,” jawabnya singkat sambil memerban lukaku.

“Kamu kenapa?” tanyaku.

“Maafkan aku, Dek. Aku khilaf tadi. Pikiran Mas sedang kacau gara-gara belum dapat pekerjaan. Aku malu, Dek. Mohon maafkan Mas ya, Dek!” ucapnya penuh penyesalan.

Aku hanya mengangguk mengiyakan. Mungkin memang benar Mas Reza merasa tertekan karena belum bekerja sampai saat ini. Mengingat percakapan kami tadi pagi saja sudah membuatnya sedikit tersinggung. Aku bisa memahami posisinya dan aku memaafkan perbuatannya padaku.

Saat malam setelah salat magrib, semua keluarga akan duduk melingkar di ruang makan. Aku dan Mas Reza keluar dari kamar bersama-sama, tetapi kulihat raut wajah bapak dan ibuku yang menatapku sedikit curiga. Namun, aku mencoba tenang dan duduk di kursi kosong yang memang telah disiapkan untukku dan Mas Reza.

“Itu, pelipismu kenapa, Cah Ayu?” tanya bapak yang sejak tadi pasti sudah penasaran melihat perban di pelipisku. Aku yang hendak menyendok nasi seketika menghentikannya saat bapak bertanya.

“A-aku, aku ha-hanya ….”

“Dek Wulan tadi ceroboh sampai kakinya kesandung kursi, terus dia jatuh dan kepalanya kebentur meja. Benar ‘kan, Dek?” tanya Mas Reza. Aku hanya tertunduk bingung. Haruskah aku membohongi bapak dan menutupi apa yang terjadi sebenarnya atau menuruti kebohongan yang diciptakan Mas Reza, suamiku?

“Benar ‘kan, Dek?” ulangnya, tetapi Kini mata Mas Reza bersorot tajam ke arahku, seolah memaksaku untuk mengakui kebohongannya.

“Ya Allah, jawaban apa yang harus kuberikan kepada Bapak?” batinku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status