Share

3. Tangan Yang Bicara

Malam pertama yang aku lakukan dengan Mas Reza ternyata ampuh merubah sikapnya. Sejak saat itu Mas Reza tak pernah marah atau berbuat kasar padaku, dia kembali penuh sopan santun dan selalu memperlakukanku dengan lembut, aku bahagia. Aku harap dia akan seperti itu seterusnya.

Pagi ini, tepat tiga hari aku berstatus sebagai seorang istri, tetapi aku juga harus kembali kerutinitasku sebagai tenaga pengajar di sekolah TK A karena aku adalah seorang guru. Kini aku telah rapi dengan baju keki, tinggal pakai sepatu dan berangkat. Namun, sebagai seorang istri aku juga harus mempersiapkan kebutuhan suamiku.

Bapak, ibu dan Kanina sudah pergi. Bapak ke ladang, ibu ke rumah Bu RT sejak pagi untuk bantu-bantu masak buat acara arisan dan Kanina, dia sudah pasti berada di sekolah pagi ini. Sementara Mas Reza sedang duduk santai di teras depan.

Setelah semuanya siap, aku keluar dengan membawa segelas kopi panas kesukaannya. “Silakan diminum, Mas!”

Kuletakkan segelas kopi ke atas meja. Lalu aku duduk di kursi dan bersiap-siap akan menggunakan sepatu karena sudah hampir jam setengah delapan. Aku merasa malu karena Mas Reza memperhatikanku saat ini.

“Kamu mau berangkat sekarang, Dek?” tanya Mas Reza sembari menyeruput kopi panas yang asapnya masih mengepul. Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaannya. “Memangnya gaji guru TK berapa?” imbuhnya.

“Sekitar delapan ratus ribu, Mas,” sahutku.

“Oh, hanya sedikit, toh. Kirain jutaan,” remehnya.

“Lumayan lah, Mas, sediktit tapi ada buat kebutuhan. Daripada nganggur,” sahutku lagi. Kini aku telah selesai menggunakan sepatu.

“Kamu nyindir aku? Sombong amat baru jadi guru TK. Kamu tenang saja! Nanti aku cari kerja, biar kamu nggak merasa terbebani.”

Astagfirullahaladzim, aku mengelus dada. Adakah aku salah bicara sampai-sampai Mas Reza berkata seperti itu? Memang dia belum bekerja saat ini, tetapi sedikit pun tidak ada niatan diri ini untuk menyidirnya. Bahkan aku sama sekali tidak merasa terbebani olehnya.

“Bukan seperti itu, Mas. Aku hanya mensyukuri berapa pun yang aku dapat,” jawabku dengan sebenar-benarnya.

“Ya sudah, pergilah!” titahnya. Aku pun pergi dari rumah setelah mencium tangan suamiku dengan takzim.

Sudah biasa aku berangkat mengajar dengan jalan kaki. Toh jarak rumah dan sekolah juga dekat, itung-itung sekalian berolahraga. Butuh waktu sekitar lima sampai tujuh menit hingga akhirnya aku sampai di sekolah TK A.

“Ayo, anak-anak kita akan mewarnai gambar ,” ucapku memulai pembelajaran sembari membagi kertas yang ada gambar bunga untuk diwarnai anak murid.

Pembelajaran berlangsung dengan seru. Ada yang kecapekan, ada yang main-main dan ada yang menangis, tetapi itu wajar karena mereka masih kanak-kanak. Tepat pukul setengah sebelas, pembelajaran berakhir. Aku langsung pulang usai membereskan peralatan belajar.

Aku berjalan pulang di jalur yang sama saat aku pergi. Kulihat ibu-ibu sedang ngerumpi di teras salah satu tetangga di kampung ini. Kulemparkan senyum ramah kepada mereka, pun mereka membalas senyumanku. Namun, belum juga aku menghilang dari pandangan mereka sudah kudengar ibu-ibu itu bercerita tentangku.

“Eh, si Wulan itu sudah nikah sama anaknya almarhum Burhan, to? Kok, kemari aku lihat mereka gandengan?” tanya salah satu Ibu.

“Iya. Nikahnya diam-diam, hanya manggil sanak saudara dan tetangga kanan-kiri saja,” sahut salah satu Ibu yang sepertinya turut hadir di acara pernikahanku.

“Apa mungkin dia sudah hamil duluan?" tanya Ibu satunya yang berbadan paling kurus.

Aku hanya bisa menghela napas mendengar gosip tentang diriku. Hidup di kampung memang harus tebal telinga. Tidak menikah dicap sebagai perawan tua, menikah cepat katanya ngebet kawin. Beda lagi kalau pesta besar dibilang sok banyak uang dan nikah diam-diam dikiranya hamil duluan. Yah, itu hak mereka, lebih baik aku segera pulang.

Assalamu’alaikum …,” salamku dan langsung masuk ke dalam rumah. Kulihat Mas Reza masih asyik nonton TV.

Wa’alaikumussalam. Sudah pulang kamu? Cepat bikinin aku kopi!” titahnya tanpa peduli padaku yang sedikit capek. Namun, dia suamiku dan aku harus berbakti kepadanya.

“Iya, Mas, tapi aku mau ganti baju dulu,” sahutku hendak masuk kamar.

“Nggak usah ganti! Cepat bikinin kopi! Kepalaku sudah pusing karena belum ngopi.”

Terpaksa aku beranjak menuju dapur tanpa berganti pakaian dan masih menggunakan baju mengajar. Kudidihkan air selagi aku meracik kopi. Kutahu Mas Reza tidak suka kopi yang manis jadi aku memasukkan satu setengah sendok bubuk kopi dan satu sendok gula pasir, kemudian kusiram dengan air yang sudah mendidih.

Dengan rasa hormat dan bakti kepada suami, aku membawa kopi buatanku yang penuh cinta untuk suamiku. Kubawa segelas kopi dengan hati-hati. Namun, saat mataku beralih melihat Mas Reza yang tertawa sambil menonton TV, tiba-tiba kakiku tersandung karpet lantai membuat kopi di tanganku sedikit terguncang dan sedikit mengenai kaki Mas Reza.

Plak!

Bruugghh!

Aku ternganga saat tangan Mas Reza menamparku begitu keras hingga aku tersungkur di lantai. Sementara kopi yang aku bawa tercecer di mana-mana karena gelasnya pecah. Kulihat Mas Reza sibuk memedulikan dirinya sendiri. Aku sudah menangis dan memegangi pelipisku yang sudah berdarah akibat terbentur sudut meja.

“Bodoh! Matamu buta, hah? Istri nggak becus!” bentak Mas Reza.

Deg! Jantungku terasa seperti dicubit oleh ucapannya. Aku hanya tidak sengaja menumpahkan kopi, tetapi tangannya terlebih dahulu yang bicara daripada bibirnya. Ini memang salahku yang tak hati-hati, tetapi tidakkah dia sedikit iba padaku yang terluka? Aku hanya menangis tergugu merasakan sakit di hati dan di pelipisku. Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan terulur lalu memelukku.

“Sayang kamu tidak apa-apa? Maafkan aku, aku khilaf, Sayang.” Mas Reza memelukku dengan lembut, bahkan suaranya berubah lembut tidak seperti tadi. Aku menatapnya sembari sesenggukan, kulihat wajahnya yang kini berubah teduh dan penuh sesal.

“Pasti sakit ya, Sayang? Ayo, biar aku obati!” Mas Reza memapahku menuju ke kursi sofa, lalu mendudukkanku di sana. Selagi ia sibuk mencari kotak obat, aku menatapnya dengan tatapan kosong. Ya Allah, ya Rab, apa yang terjadi kepada suamiku?

Tak lama Mas Reza menghampiriku dengan membawa kotak obat, lalu ia duduk di sampingku. Aku tak bisa berkata-kata dan masih terkejut dengan perbuatan suamiku. Namun, dengan lembut Mas Reza meniup lukaku untuk mengurangi nyeri.

“Sakit?” tanyanya, aku mengangguk pelan. “Aku obati dulu!” Mas Reza mulai mengambil beberapa bahan yang ia butuhkan, seperti kain kasa, obat merah dan perekat, lalu ia mulai merawat luka di pelipisku.

“Mas …,” panggilku ragu-ragu. Kutatap wajahnya yang begitu serius mengobatiku.

“Hmmm …,”jawabnya singkat sambil memerban lukaku.

“Kamu kenapa?” tanyaku.

“Maafkan aku, Dek. Aku khilaf. Pikiran Mas sedang kacau gara-gara belum dapat pekerjaan. Aku malu, Dek. Mohon maafkan Mas ya, Dek!” ucapnya penuh penyesalan.

Aku hanya mengangguk mengiyakan. Mungkin memang benar Mas Reza merasa tertekan karena belum bekerja sampai saat ini. Mengingat percakapan kami tadi pagi saja sudah membuatnya sedikit tersinggung. Aku bisa memahami posisinya dan aku memaafkan perbuatannya padaku. Kini Mas Reza beranjak membersihkan tumpahan kopi.

***

Saat malam tiba aku keluar dari kamar sendirian untuk mengerjakan tugas yang akan aku berikan untuk para anak-anak didik esok hari. Kulihat bapak dan ibu sedang duduk menonton reality show kesukaan mereka. Kemudian, aku duduk di meja kerja tak jauh dari tempat bapak dan ibu bercengkrama.

“Reza mana, Ndhuk? Dari tadi belum keluar?” tanya ibu padaku.

“Oh, Mas Reza tadi pamit keluar sebentar, Bu. Katanya mau tanya pekerjaan sama temannya. Mungkin sebentar lagi akan pulang,” sahutku dengan sebenar-benarnya. Tadi memang Mas Reza pamit padaku akan bertemu dengan temannya.

“Itu, pelipismu kenapa, Cah Ayu?” tanya Bapak menatapku tajam. Sejak tadi pasti beliau sudah penasaran melihat perban di pelipisku.

“A-aku, aku ha-hanya–“

“Dek Wulan tadi ceroboh sampai kakinya kesandung karpet, terus dia jatuh dan kepalanya kebentur meja. Benar ‘kan, Dek?” Tiba-tiba Mas Reza datang dan memotong pembicaraanku pada bapak. Aku hanya terdiam konyol, karena tak mengerti harus menjawab apa. “Benar ‘kan, Dek?” ulangnya, tetapi Kini mata Mas Reza bersorot tajam ke arahku, seolah memaksaku untu mengakui kebohongannya.

“Yang diucapkan Mas Reza benar, Pak. Tadi Wulan terjatuh,” sahutku sebenarnya sesak untuk mengatakannya. Ya Allah, maafkan aku sudah membohongi kedua orang tuaku.

“Makannya to, Ndhuk, besok-besok itu hati-hati!” titah Bapak. Aku hanya terdiam merutuki kebohongan yang kulakukan.

“Dek, ayo ikut Mas sebentar!”

Mas Reza beranjak begitu saja menuju kamar. Aku yang mendengar perintahnya pun mengikuti langkah suamiku itu. Mungkinkan Mas Reza akan marah kepadaku?

Sesampainya di kamar, aku tak berani menatapnya. Kutundukkan kepala karena takut. Tiba-tiba sebuah cokelat terulur di depanku. Aku mendongak menatap wajah tampan suamiku.

“Apa ini, Mas?” tanyaku.

“Cokelat. Permintaam maafku,”sahutnya. Aku terdiam menatapnya. Dengan hati yang bingung, aku terima cokelat permintaan maaf Mas Reza.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status