Setetes Racun Dalam Madu

Setetes Racun Dalam Madu

Oleh:  Tiwit_TJ  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
5Bab
519Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Asmani Wulandari, 25 tahun, seorang wanita yang mendambakan sebuah kehidupan rumah tangga yang indah bak negeri dongeng. Dia dinikahi oleh Reza Mulyadi setelah tiga bulan mereka berpacaran. Awal pernikahan yang indah. Reza selalu memperlakukan Wulan dengan baik, melakukan hal-hal romantis dan menuruti semua keinginan Wulan layaknya pasangan pengantin baru. Wulan merasa impian pernikahannya telah terwujud. Seiring waktu, kehidupan rumah tangganya jauh dari kata indah saat Reza sudah menampakkan wajah aslinya yang posesif dan arogan, bahkan Reza tak segan mengangkat tangan dan menyiksa istrinya. Wulan tersiksa batin dan juga fisiknya, terlebih saat ia harus keguguran dan kehilangan calon bayinya akibat siksaan dari Reza. Apa keputusan yang akan diambil Wulan kedepannya? Akankah Wulan bisa menikmati manisnya madu dalam pernikahan atau justru meneguk racun yang kian menyakitkan?

Lihat lebih banyak
Setetes Racun Dalam Madu Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
5 Bab
1. Menjadi Seorang Istri
Aku sedang berbaring di tempat tidur sembari menatap langit-langit yang telah dihiasi dengan kain putih menjuntai dan juga bunga-bunga plastik warna biru di setiap sudut kamar. Cemas, gelisah, senang, bahagia dan juga deg-degan bercampur aduk memenuhi rongga dada. Bagaimana tidak, besok adalah hari digelarnya pernikahanku dengan Reza Mulyadi–lelaki yang sudah memenangkan hatiku. Aku senyum-senyum sendiri membayangkan kehidupan rumah tangga yang indah bersama Mas Reza. Setiap pagi aku akan membangunkan Mas Reza dengan mesra, lalu dia akan membalas dengan kecupan mesra di keningku. Tak lupa aku menyiapkan sarapan dan juga segelas kopi panas kesukaannya. Malam harinya, saat akan tidur, Mas Reza akan mengusap rambutku hingga aku tidur di dadanya. Saat akhir pekan kita akan menghabiskan waktu bersama dengan jalan-jalan di pantai. Mas Reza akan menggandeng tanganku dan kita menapakkan kaki di bibir pantai menikmati buih-buih yang menyapa. Duhai senangnya kehidupan rumah tanggaku bersama Ma
Baca selengkapnya
2. Sisi Lain Mas Reza
Kuputuskan keluar dari kamar meninggalkan Mas Reza yang sudah lelap dalam tidurnya. Kulihat ibuku yang mulai renta menata satu demi satu perkakas dapur sendirian. Suasana Rumah juga sudah sepi, para sanak saudara dan tetangga telah pulang sejak tadi. “Harusnya Ibu manggil Wulan buat bantu! Nanti kalau Ibu capek, bagaimana?” tanyaku sembari mengangkat tumpukkan piring. Kutatap ke arah ibu yang sedikit terkejut saat menyadari kehadiranku secara tiba-tiba. “Eh, Wulan … sudah bangun, Ndhuk?” Aku tersenyum, lalu meletakkan piring yang kubawa ke dalam rak kabinet berbahan kayu kokoh. “Nggak apa-apa, Ndhuk. Ibu 'kan belum tua-tua amat, jadi masih kuat buat beresin ini,” sahut Ibu dengan seutas senyum. Tidak kusela lagi perkataan ibu. Percuma saja, beliau juga tidak akan mendengarkan perkataanku. Sejak dulu ibu dikenal sebagai wanita yang tidak bisa diam, apalagi saat melihat rumah yang sedikit berantakan tangan dan kakinya langsung gatal untuk membereskannya. “Reza tidur?” tanya Ibu. “Iy
Baca selengkapnya
3. Tangan Yang Bicara
Malam pertama yang aku lakukan dengan Mas Reza ternyata ampuh merubah sikapnya. Sejak saat itu Mas Reza tak pernah marah atau berbuat kasar padaku, dia kembali penuh sopan santun dan selalu memperlakukanku dengan lembut, aku bahagia. Aku harap dia akan seperti itu seterusnya. Pagi ini, tepat tiga hari aku berstatus sebagai seorang istri, tetapi aku juga harus kembali kerutinitasku sebagai tenaga pengajar di sekolah TK A karena aku adalah seorang guru. Kini aku telah rapi dengan baju keki, tinggal pakai sepatu dan berangkat. Namun, sebagai seorang istri aku juga harus mempersiapkan kebutuhan suamiku. Bapak, ibu dan Kanina sudah pergi. Bapak ke ladang, ibu ke rumah Bu RT sejak pagi untuk bantu-bantu masak buat acara arisan dan Kanina, dia sudah pasti berada di sekolah pagi ini. Sementara Mas Reza sedang duduk santai di teras depan. Setelah semuanya siap, aku keluar dengan membawa segelas kopi panas kesukaannya. “Silakan diminum, Mas!” Kuletakkan segelas kopi ke atas meja. Lalu aku du
Baca selengkapnya
4. Segelas Kopi
“Mas Re ….” Tak kulanjutkan ucapanku setelah kulihat Mas Reza tidak ada di tempat tidur. Samar-samar kudengar suara gemericik air dari bilik kamar mandi. Mungkin Mas Reza sedang membersihkan diri. Jadi, aku duduk di tepian tempat tidur untuk menunggunya. Tak selang beberapa menit Mas Reza keluar dari kamar mandi menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya sampai menutup area lutut. Memperlihatkan perutnya yang rata dihiasi bentuk kotak-kotak berwarna kecoklatan. Membuatku mengingat kejadian semalam. “Kamu dari mana?” tanya Mas Reza dengan suara terdengar sinis. Seketika senyumku menghilang, berganti dengan pertanyaan yang memenuhi kepala. Apa yang terjadi pada Mas Reza? “Aku sarapan di dapur, Mas. Tadi aku sud ….” “Besok-besok jangan makan kalau aku belum makan! Kamu mau jadi istri durhaka?” sela Mas Reza memotong ucapanku. Deg! Dadaku sakit bukan main mendengar suamiku mengataiku sebagai istri durhaka. Namun, aku tetap berpikir positif dengannya, mungkin dia malu kalau makan
Baca selengkapnya
5. Permintaan Maaf Mas Reza
"Yang diucapkan Mas Reza benar, Pak. Tadi Wulan nggak sengaja jatuh dan pelipisku menatap meja,” kilahku. Sebenarnya aku tak terbiasa berbohong, apalagi kepada kedua orang tuaku, tetapi kali ini terpaksa kulakukan demi kebaikan keluarga kecilku.Tak ada jawaban dari bapak atas pernyataanku dan entah kenapa, aku justru takut menghadapi kediaman bapak. Sedikit pun aku tak berani menatap wajahnya karena aku tahu bahwa bapak adalah tipikal orang yang jika marah hanya diam. Aku hanya menundukkan kepala dan dengan cemas menanti penghakiman selanjutnya.“Kenapa diam, Ndhuk? Kamu ndak mau makan?” tanya Bapak.Aku mengangkat wajahku dan menatap bapak setelah beliau berbicara. Syukurlah, berarti bapak percaya dengan ucapanku. Dengan perasaan lega aku mengambil nasi dan beberapa lauk ke dalam piring. Kami semua makan dengan khidmat, diiringi dengan suara dentingan sendok yang nyaring.Aku alihkan pandangan pada bapak yang sedang memamah makanannya dengan tenang. Lalu kutatap ibu juga melakukan h
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status