LOGIN"Tuan Maxim, rupanya Tuan Brian tidak menyerah juga. Beliau tetap mencari banyak bantuan dari perusahaan lain untuk mempermudah proyeknya di Barchen." Andrew membuka sebuah berkas dan menunjukkan di hadapan Maxim. "Dari beberapa orang-orang ini, mereka percaya kalau tambang berlian akan segara dibuka. Meskipun mereka semua tidak tahu, kalau Brian belum mendapatkan perizinan dari pimpinan kota. Jadi, saya takut para investor ini akan ikut kesal pada Tuan bila tahu, bahwa Brian sedang kita permainkan." Maxim terdiam. Laki-laki itu menatap dan membaca beberapa berkas-berkas penting yang Andrew laporkan padanya. Saat Maxim tiba di Fratz, ia langsung menemui Andrew dan meminta ajudannya itu untuk menceritakan semua informasi yang dia bawa. "Lalu? Apa lagi?" Maxim membuka suara. "Tuan Brian ... sekarang, diam-diam mencari Nona Margaret, Tuan," ucap Andrew. "Tanpa ada tanda tangan Nona, tambang itu tidak akan pernah mendapatkan surat perizinan. Apalagi fakta bahwa Nona Margaret mas
Semilirnya angin sejuk bersama aroma rerumputan dan pepohonan segar, masuk ke dalam kamar Margaret dari jendela kayu kamar itu yang terbuka. Margaret berbaring di atas ranjang kamar menatap dedaunan dari pepohonan yang terlihat dari jendela kamarnya. Ia berbaring dan menjadikan lengan Maxim sebagai bantalnya. "Maxim, bolehlah kita menginap di sini satu Minggu?" tanya Margaret. Gadis itu membalikkan badannya dan menatap Maxim yang kini memejamkan kedua matanya. Karena udara yang sejuk dan menenangkan, Maxim memilih untuk beristirahat dan menenangkan diri di tempat itu. Tapi Margaret yang sudah terbiasa dengan kehidupan sederhana ini, ia terus merecoki Maxim yang menikmati ketenangan. "Kau pura-pura tidur, kan?" tanya gadis itu, ia mengecup pipi Maxim saat laki-laki tidak meresponnya. Nyatanya, laki-laki itu tetap tidak bangun dan setia memejamkan kedua matanya. "Ayolah, Maxim..." Margaret merengek. Gadis itu meletakkan kepalanya di atas dada bidang Maxim. Hingga Margaret
Setelah acara makan malam selesai, Margaret dan Maxim menikmati acara minum teh dan memakan kue kering buatan Bibi Erika. Baru kali ini Maxim mengikuti perbincangan hangat orang-orang tua yang pembahasannya begitu ringan, namun terdengar menyenangkan hingga Margaret tersenyum manis dan sangat bahagia. Setelah acara itu selesai dan malam telah datang, Maxim dan Margaret pun masuk ke dalam kamar mereka untuk beristirahat. Margaret duduk di tepi ranjang sambil mengusap perutnya. "Apakah dia baik-baik saja," lirih Margaret. "Aku merasa—" "Mengapa, Sayang?" Margaret mendekatinya. Laki-laki itu duduk di belakangnya dan mengusap perut Margaret dari belakang. "Aku merasakan ada gerakan kecil," jawabnya lirih. Maxim tidak bisa merasakannya. Laki-laki itu mengecup pipi Margaret sekilas. "Sudahlah, cepat istirahat." Margaret berbaring dan ia menatap Maxim yang masih duduk di sampingnya, menatapnya sambil mengelus kening Margaret dengan penuh perhatian dan kasih sayang. "Maxim
Suasana malam hari yang nyaman dan tenang. Maxim berdiri di teras samping rumah milik Nenek Bellinda. Laki-laki itu memperhatikan gelapnya pemandangan di sekitar sana. Hanya ada lampu-lampu bercahaya kuning, di sepanjang tepi jalan dan aliran anak sungai. Suara-suara nyaring serangga yang berbunyi, dan gemericik air pegunungan yang terdengar jelas di antara embusan angin sejuk yang membuat Maxim merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan. "Tuan Maxim, di mana Margaret?" Suara lembut dan serak tua itu membuat Maxim menoleh. "Margaret sedang tidur, Nyonya," jawabnya. "Aku akan membangunkannya nanti." Bellinda mengangguk. "Nenek sudah meminta Bibi Erika untuk memasakkan makanan kesukaannya. Dia pasti sangat senang," ujar wanita tua itu. Maxim hanya tersenyum lembut dan tulus. Setelah itu, Bellinda duduk di sebuah kursi kayu, di samping Maxim yang kini ikut duduk di sana. "Tuan Maxim ... Margaret adalah cucuku satu-satunya. Sejak dia berusia menginjak empat belas ta
Hari ini menjadi hari yang Margaret tunggu sejak semalam. Setelah hampir satu bulan, ia kembali pulang ke Yards bersama Maxim dan menghabiskan waktu di sana untuk beberapa hari. Sepanjang perjalanan, Margaret menikmati pemandangan indah jalanan-jalanan desa. Pepohonan Yang daunnya mulai menguning, memerah, hingga cokelat dan berguguran di sepanjang jalan. Anak-anak sungai yang jernih, dan juga udara kawasan itu yang terbilang sangat segar. "Wahh, pohon Chestnutnya..." Wajah Margaret berbinar-binar saat melihat pepohonan Chestnut di sekitar sana tampak menunjukkan waktunya panen. "Kita sebentar lagi sampai," ujar Maxim pada gadis itu. "Heem. Aku sudah mengabari Bibi Erika kalau aku akan pulang," ujar Margaret. "Aku berharap ... Nenek menyambutku dengan hangat seperti dulu-dulu." Maxim tersenyum lembut. "Jangan khawatir, Sayang." Tak berselang lama, mobil berwarna hitam itu berhenti di depan gerbang kayu pekarangan rumah Bellinda Florence. Rerumputan di hamparan pekaranga
Saat malam tiba, Margaret mengganti pakaiannya dengan gaun tidur panjang. Gadis itu berdiri di depan meja riasnya dan menggerai rambutnya yang kini sepanjang paha. Dari belakang, Margaret merasakan Maxim yang tiba-tiba memeluknya dan menghirup aroma wangi rambut panjangnya. "Jangan memotong rambutmu, Sayang," bisik laki-laki itu. "Kau sangat cantik saat rambutmu digerai seperti ini." "Oh ya?" Margaret tersenyum lembut. "Ya," gumamnya lirih, Maxim menjejakkan bibirnya di kulit leher halus dan putih milik Margaret. "Apalagi, saat rambut panjangmu berserakan di atas bantal, dan kau mendesahkan namaku—""Maxim!" Margaret memukul lengan laki-laki itu dan mendongak menatapnya dengan alis bertaut. Laki-laki itu terkekeh gemas. Alih-alih menanggapinya serius, Maxim justru mengecup singkat bibir Margaret. Ia berdiri menatapnya sambil melingkarkan kedua tangannya di tubuh mungil gadis itu. "Aku sudah meminta seseorang untuk mengurus berkas pengajuan pernikahan kita. Sebelum hari itu data







