LOGINPernikahan Marieana dan David pun terlaksana beberapa hari kemudian. Orang tua David mau tidak mau merestui mereka karena David mengancam akan pergi dari rumah.
Pesta pernikahan itu digelar secara tertutup, hanya beberapa kerabat yang hadir. Orang tua David tidak ingin pernikahan itu diketahui oleh publik. Marieana tidak keberatan. Ia tidak peduli dengan semua itu karena tujuan utamanya bukanlah menjadi bagian dari keluarga Valdemar yang kaya raya. “Sekarang aku sudah semakin dekat,” bisik Marieana lirih. Gadis itu menatap cincin pernikahan yang melingkari jari manisnya. Senyum sinis menghiasi wajahnya yang cantik alami. Sejak belia, Marieana hidup menderita karena Maxim Valdemar. Pria itu telah merenggut semua miliknya tanpa sisa. Dulu, keluarga Marieana menjalin kerja sama bisnis dengan keluarga Valdemar. Namun, saat bisnis mereka berada di puncak, keluarga Valdemar berkhianat. Mereka menarik semua investasi hingga akhirnya perusahaan keluarga Marieana jatuh bangkrut. Tak hanya itu, Maxim adalah dalang di balik kematian yang menimpa keluarganya. Dengan mata kepalanya sendiri, Marieana melihat ayah, ibu dan kakak laki-lakinya tewas bersimbah darah di hadapan seorang pria yang dipanggil Tuan Valdemar. Saat itu, Marieana berhasil menyembunyikan diri di dalam kotak perkakas. Masih segar dalam ingatannya saat pria itu mengacungkan pistol dan menembak keluarganya satu per satu. Marieana yang masih berusia lima belas tahun harus menelan banyak kepahitan dan trauma yang mendalam. Setelah kehilangan sosok keluarga, ia diasuh oleh neneknya di desa. Marieana hidup serba kekurangan. Ia harus banting tulang untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup bersama neneknya yang sudah renta. Maxim mengira bahwa semua keluarganya telah tiada. Namun, Marieana mati-matian bertahan hidup meski kadang ia ingin menyerah. Ia tidak sudi mati sebelum melihat Maxim dan keluarganya tewas di tangannya. Seperti apa yang pria itu lakukan pada Marieana dan keluarganya. Maka, setelah dewasa, Marieana kembali ke kota Fratz dengan identitas yang baru. Ia tidak menggunakan nama belakang keluarganya untuk menghindari kecurigaan. Lewat David yang lugu, Marieana berhasil masuk dan kini menjadi bagian dari keluarga Valdemar. Gadis cantik itu memejamkan mata dan meremas gaun tidur yang membalut tubuhnya. Ia membiarkan air mata jatuh membasahi pipinya. Mengingat masa-masa kelam itu masih terasa menyakitkan. Bayangan saat melihat keluarganya tewas mengenaskan… ayah, ibu, dan kakak kesayangannya dikebumikan … semuanya berkelebat hingga membuatnya sesak. Marieana menekan dadanya, berharap rasa sakit itu segera berlalu. “Aku tidak akan melepaskanmu, Maxim. Kau harus merasakan apa yang aku rasakan selama ini.” Marieana buru-buru mengusap air matanya saat mendengar suara langkah mendekat. David masuk ke dalam kamar itu dan tersenyum manis pada Marieana. "Kau sudah menungguku lama, Sayang?" Marieana berjalan menghampirinya sambil menggeleng. "Tidak, Dav," jawabnya. David langsung memeluknya dengan erat. Pria itu menatapnya dengan hangat dan penuh damba. "Sekarang kita sudah resmi menjadi sepasang suami istri, Marieana. Aku berjanji akan menjadi suami yang baik untukmu," bisik David mesra, lalu mengecup kening Marieana lembut. Andai tidak ada dendam, Marieana pasti sudah jatuh hati pada pria sebaik David. Pria itu begitu tulus, bahkan menerimanya apa adanya, sama sekali tidak peduli pada status sosialnya. Namun, cinta tidak ada dalam agenda Marieana saat ini. Ia hanya ingin menghancurkan keluarga Valdemar tanpa sisa. "Aku juga akan berusaha menjadi istri yang baik. Terima kasih atas pernikahan ini, Dav," kata Marieana sambil tersenyum manis. "Apapun untukmu, Sayang." David mendekatkan wajahnya pada sang istri, lalu mencium bibir wanita itu dengan lembut. Marieana membalas ciuman itu, meski semua terasa hambar baginya. Ciuman David lama-lama semakin menuntut. Ia merengkuh tubuh Marieana dan membawanya mendekati ranjang tanpa melepaskan tautan bibir mereka. Marieana meremas rambut hitam David dan memejamkan kedua matanya saat ciuman David turun ke lehernya. Marieana tidak merasakan apapun selain geli dan penolakan hebat dalam dirinya. Ia setengah mati ingin mendorong David menjauh, tapi ia tidak bisa melakukan itu tanpa menimbulkan kecurigaan. "Dav, ahh—" Marieana memekik pelan saat David meninggalkan sebuah tanda di leher jenjangnya. Sepertinya laki-laki itu sudah tidak sabar ingin menghabiskan malam pertama dengannya. Jantung Marieana berdegup kencang. Ia tahu cepat atau lambat ini akan terjadi. Ia harus rela memberikan tubuhnya pada pria yang tidak ia cintai demi menjalankan misinya. Namun, tetap saja, Marieana merasa nelangsa. Saat kegiatan mereka mulai memanas, tiba-tiba terdengar suara deringan ponsel milik David di atas nakas. David berusaha mengabaikan, dan terus mencumbu Marieana seolah tidak ada hari esok. Tapi dering ponsel kembali terdengar. “Angkatlah. Siapa tahu penting,” kata Marieana dengan napas terengah begitu David menyudahi ciuman panas mereka. Pria itu berdecak kesal, lalu beranjak dari atas ranjang. Marieana diam-diam menghela napas lega. "Halo! Apa tidak bisa besok? Ini sudah malam,” ujar David gusar. “Hari ini adalah hari pernikahanku!” Marieana menatap wajah suaminya dari samping sampai panggilan itu ditutup. David menyergah napasnya panjang dan berdecak sebal untuk kedua kalinya. "Kenapa, Sayang?" tanya Marieana lembut. Padahal ia tahu, seseorang dari kantor pasti meminta David datang. David menatapnya dengan rasa bersalah. "Ada telepon dari kantor memintaku untuk ke sana," katanya. "Padahal ini adalah malam pertama kita. Tidak mungkin aku meninggalkanmu." Marieana menyunggingkan senyum penuh pengertian. "Tidak apa-apa, Dav. Pekerjaanmu jauh lebih penting. Lagipula, kita masih punya banyak waktu,” katanya sambil tersenyum menggoda. Laki-laki itu mengusap pipi Marieana dan menatapnya dalam. "Kau tidak kecewa?" Mariena menggeleng, tersenyum manis hingga kedua matanya menyipit. "Kau tidak pernah mengecewakanku, Dav." Mendengar jawaban Mariena, David langsung memeluk dan mengecup keningnya. “Aku sangat mencintaimu, Marieana….” “Aku tahu, Dav,” sahut Marieana. Entah mengapa hatinya terasa nyeri ketika mengucapkannya. Baru setelah itu, David meraih mantel hangatnya di atas sofa. "Aku janji akan segera pulang, Sayang," ujar David mengelus pucuk kepala Marieana. "Aku akan menunggumu," jawab Marieana lembut. Mereka lantas berjalan menuruni anak tangga sambil bergandengan seperti layaknya pengantin baru. Marieana berdiri di teras depan dan melambaikan tangannya pada David yang sudah masuk ke dalam mobil. Tanpa Marieana sadari, seorang laki-laki tengah memperhatikannya dari arah teras samping. Maxim terkejut melihat istri keponakannya itu keluar dengan balutan gaun tidur tipis yang memperlihatkan lekuk tubuh indahnya yang begitu menggoda. Marieana membalikkan badannya dan terkesiap saat melihat Maxim yang tengah menatapnya. ‘Kebetulan sekali….’ Maxim segera membuang muka saat Marieana berjalan ke arahnya. "Paman kenapa belum tidur? Sedang apa sendirian di sini?" tanya gadis itu ramah, senyuman manis terlukis di bibir tipisnya. Maxim meliriknya sekilas, lalu meletakkan segelas scotch di atas meja. "Ini rumahku, apapun yang aku lakukan bukan urusanmu," jawab laki-laki itu dingin. Marieana tetap mempertahankan senyumannya. Dengan gerakan anggun, ia mengambil duduk di kursi, lalu menyilangkan kakinya hingga gaun tidurnya tersibak, memperlihatkan pahanya yang putih dan mulus. Maxim tak bisa melepaskan pandangan dari tubuh Marieana yang kecil, namun berisi di bagian-bagian tertentu. Gaun tidur berwarna marun itu tampak kontras dengan kulit putih gadis itu. Wajah cantiknya tampak segar, dengan rambut cokelat panjang bergelombang yang menambah kesan ayu dan memikat. Tiba-tiba, Maxim beranjak dari duduknya. Saat pria itu hendak melangkah masuk ke dalam rumah, Marieana mencekal pergelangan tangannya. "Paman mau ke mana?" tanya gadis itu, sambil menatapnya polos. Alis tebal Maxim mengerut. Ia menatap tangan Marieana yang masih menahan lengannya dengan erat. "Suamiku sedang pergi, Paman. Aku … belum biasa di rumah ini, dan aku takut sendirian," kata Marieana, tampak gugup. "Apa hubungannya denganku?" sahut laki-laki itu datar, hendak menarik tangannya. Namun, Marieana mempererat genggamannya. Ia mendongak, menatap Maxim dengan sepasang mata sendu. Ia membasahi bibir dengan gerakan sensual, tapi tetap terkesan natural. Marieana bisa melihat Maxim menelan ludah. Tatapan pria itu singgah di bibirnya, lalu turun ke leher … dan berhenti tepat di belahan dadanya. "Paman Maxim, tolong temani aku malam ini....""Sialan! Bagaimana bisa gadis bodoh itu justru melindungi Maxim! Istrimu itu benar-benar bodoh, Dav!" Teriakan keras itu terdengar dari arah ruangan keluarga. Brian sangat marah setelah mendengar kabar kalau Marieana masuk ruang sakit karena luka tusuk akibat melindungi Maxim dari seseorang yang ingin menyerang Maxim. Orang itu adalah orang suruhan Brian. Padahal, Brian dan Arzura sudah bersiap menerima kabar bahagia tentang kematian Maxim, tetapi nyatanya justru Marieana yang melindungi Maxim. "Marieana memang gadis bodoh! Kalau dia tidak melindungi Maxim, pasti Maxim sudah mati dan kita bisa menikmati harta keluarga ini!" seru Arzura. "Semua ini gara-gara Marieana!" Sebagai seorang suami Marieana, David hanya diam dengan wajah sebal. Ia ikut kesal seperti apa yang orang tuanya rasakan. Karena David juga sempat menantikan harta keluarga Valdemar ini, jatuh ke tanganmu dengan kematian Maxim. Tetapi, pria itu sampai sekarang tetap masih hidup berkat Marieana yang menyelamatkann
Sesampainya di rumah sakit, dokter langsung menangani Marieana di dalam sebuah ruangan khusus. Sementara Maxim menunggu di luar ruang pemeriksaan bersama Logan. Maxim menatap mantel hangat berwarna merah muda milik Marieana yang kotor akan cairan merah segar. Raut wajah Maxim tampak sedih, marah, dan khawatir yang tidak kunjung usai. "Semoga kau baik-baik saja, Marie," ucap Maxim, ia berdiri menyandarkan kepalanya pada dinding. Logan berjalan mendekati Maxim setelah ia menerima panggilan telfon dari orang-orang Maxim. "Tuan, saat ini pelakunya sudah tertangkap dan sudah berada di kantor polisi. Saya akan ke sana untuk terus mengurus tindakan selanjutnya," ujar Logan. Wajahnya mengeras dalam hitungan detik. "Pastikan orang itu mengaku tentang apa tujuannya, dan siapa yang telah membayarnya untuk menghabisiku!" perintah Maxim. Logan mengangguk. "Baik, Tuan," jawabnya. "Saya akan segera menghubungi Tuan nanti." "Pergilah!" seru Maxim. Tanpa menjawabnya lagi, Logan pun be
Marieana mendatangi kantor milik Maxim. Dengan langkah terburu-buru ia berjalan menuju ke ruangan CEO. Namun, saat Marieana membuka pintu, Maxim tidak ada di dalam sana. Hanya ada Logan yang kini tampak terkejut dengan kemunculan Marieana. "Nona Marieana?" sapa Logan dengan ekspresi terkejut. Marieana berjalan mendekati Logan dengan ekspresi cemas. "Di mana Paman Maxim?" tanyanya. "Tuan Maxim sedang ada pertemuan dengan kolega dari luar kota, Nona," jawab Logan. "Antarkan aku ke sana sekarang juga!" seru Marieana. "Ayo, Logan!" Logan kebingungan, namun ia tidak bisa menolak perintah Marieana karena gadis itu adalah gadis kesayangan Tuannya. Mau tidak mau, Logan mengantarkan Marieana ke tempat di mana Maxim berada. Sepanjang perjalanan, Marieana tampak sangat cemas. Dia juga tidak mengatakan alasan apapun pada Logan. Gadis itu mengepalkan jemari kedua tangannya menjadi satu, dan berdoa sepanjang jalan. "Apa ada hal buruk yang terjadi, Nona?" tanya Logan melirik Mariean
Udara dingin melingkupi tubuh Marieana. Gadis itu Masih bergelung dengan selimut tebal yang membungkusnya. Suara lonceng angin di depan jendela kamar bergemerincing merdu, mengusik tidur tenang Marieana hingga membuat gadis itu terbangun. Marieana mengulurkan tangannya meraba-raba ruang kosong di sampingnya. "Maxim..." Gadis itu membuka kedua matanya dan ia tidak mendapati Maxim di sana. Rasanya seketika hampa. Marieana perlahan-lahan bangun dan duduk di atas ranjang. Ia menatap tubuhnya yang tidak lagi lagi polos, tengah malam tadi, Maxim membangunkannya dan membantunya kembali memakai baju agar tidak kedinginan. Marieana bergeming menatap pemandangan langit putih di luar, dari jendela paviliun. "Pria itu... musuh yang sangat mencintaiku," ucap Marieana lirih. Marieana menyentuh perutnya yang rata. Masih terbayang-bayang jelas bagaimana Maxim mengusap perutnya dan berkata hanya anaknya lah yang akan tumbuh di dalam rahimnya. Itu semua terdengar lucu, namun juga men
Marieana tercengang mendengar ucapan Maxim. Bahkan usapan telapak tangan itu masih bergerak lembut di atas perutnya. Maxim kembali mengecup wajah Marieana sebelum pria itu berbaring di sampingnya dan memeluknya dari samping saat Marieana memiringkan tubuhnya. 'Hamil...' Kata-kata itu menggetarkan batin Marieana. Gadis itu tertunduk dan menyentuh punggung tangan Maxim, menghentikan elusan lembut di perutnya. Maxim tidak tahu bila Marieana sengaja meminum obat untuk menunda kehamilan. Ia sengaja melakukannya, karena hamil tidak pernah ada dalam misinya. Tetapi, bila Marieana tidak memikirkannya sejak awal, mungkin saat ini ia memang sudah benar-benar hamil anak Maxim, mengingat selama mereka melakukannya, Maxim seolah-olah sengaja ingin Marieana hamil anaknya. "Tidurlah," bisik Maxim mengecup pelipis Marieana. "Kau jangan ke mana-mana," bisik Marieana. "Tidak, Sayang." Pria itu mengecup punggung putih Marieana dan menarik tubuh kecil itu hingga punggung Marieana menempel
"Aku tidak tahu, tiba-tiba saja David mendesakku untuk segera hamil. Dan dia sangat marah padaku, Paman..." Marieana menyandarkan kepalanya pada dada bidang Maxim dan duduk di pangkuan pria itu dengan kedua kakinya yang melingkari tubuh kekar Maxim. Marieana menggigit ibu jarinya dan meringkuk dalam pelukan Maxim. "Entah bujukan siapa, sampai-sampai dia sampai mendesakku seperti tadi. Padahal dia sendiri yang memintaku untuk tidak hamil dan tidak punya anak. Tapi begitu aku bilang kalau aku keberatan, dia langsung memakiku, dia bilang aku istri yang tidak berguna. Dan ... dia juga mengatakan apa manfaatku di rumah ini." Marieana membenamkan wajahnya pada dada Maxim. "Jadi, selama ini aku dianggap apa di sini? Betapa tidak bergunanya aku di sini, Paman..." Mendengar cerita Marieana, wajah Maxim berubah mengeras. Dekapannya pada Marieana kian mengerat, pria itu menundukkan kepalanya dan mengecup pucuk kepala gadis itu. "Kau tidak bersalah, Marie. Kau berhak memilih keputusan







