LOGINKeesokan paginya, Marieana berjalan menuruni anak tangga sambil memeluk lengan David mesra.
Mereka berjalan menuju ruang makan di mana semua anggota keluarga sudah menunggu di sana. "Selamat pagi," sapa Marieana pada mereka semua. Tapi tidak ada yang membalas sapaannya. "Ayo cepat sarapan, Dav," sahut Arzura, ibu David, tanpa mempedulikan Marieana. David memperhatikan raut Marieana yang terlihat murung. "Ayo duduk, Sayang," bujuknya, lalu menarik satu kursi untuk istrinya itu. "Terima kasih, Sayang," balas Marieana, sambil tersenyum tipis. Marieana duduk berhadapan dengan Camila Bailey—wanita yang seharusnya ia panggil dengan sebutan Bibi. Camila adalah saudara sepupu jauh dari Keluarga Valdemar. Karena orang tuanya sudah meninggal, Camila yang hidup sebatang kara akhirnya diizinkan untuk tinggal bersama di sini. Wanita cantik berambut sebahu itu tampak tak acuh, seolah Marieana tidak benar-benar berada di sana. Bahkan caranya menatap Marieana begitu merendahkan, seolah ingin menunjukkan kalau posisinya jauh lebih tinggi dari Marieana. Marieana tahu bila semua orang di rumah ini tidak ada yang menyukainya, karena ia bukan berasal dari kalangan yang setara dengan mereka. Namun, itu tidak jadi soal. Selama ada David, mereka tidak akan bisa menyingkirkan dirinya. Marieana lantas menatap Maxim yang duduk di sebelah Camila. "Paman Maxim," panggil Marieana pelan. Suaranya yang lembut membuat semua mata tertuju padanya. Maxim ikut mengangkat wajah, dan membalas tatapan Marieana dengan alis terangkat. Marieana tersenyum manis, tak peduli semua orang kini menatapnya, termasuk Camila yang langsung memasang wajah tidak suka. "Terima kasih untuk semalam, Paman sudah menemaniku menunggu suamiku pulang," ucap Marieana dengan polosnya. Maxim hanya mengangguk tak acuh. Semua orang di sana menatap ke arah Marieana dan Maxim bergantian. Camila jelas tidak senang mendengarnya. Ia tidak suka melihat Maxim didekati oleh perempuan manapun. Meskipun ia hanya sepupu, tapi sejak lama Camila menginginkan Maxim Valdemar. Wanita itu menggenggam sendok dan garpu di tangannya dengan kuat, hingga buku-buku jemarinya memutih. "Apa maksudmu, Marieana?" Suara dingin Camila pun terdengar. Wajahnya tampak kaku saat menatap Marieana. "Kenapa pula kau meminta tolong pada Kak Maxim?" Marieana mengerjapkan kedua matanya polos. "Bibi Camila—” “Panggilan aku Nona! Nona Camila Bailey!” perintah wanita itu dengan tegas dan ketus, seolah-olah dialah nyonya besar di rumah ini. Semua orang di sana diam, termasuk Maxim yang tampak tidak tertarik dengan obrolan dua wanita itu. Marieana tertunduk seketika. “Ba-baiklah … maaf, Nona Camila.” “Jawab pertanyaanku! Kenapa kau harus meminta Kak Maxim untuk menemanimu? Apa kau tidak punya cara lain, selain meminta tolong padanya?!” tekannya. Marieana lantas mendongak, sepasang mata biru safirnya menatap Camila takut-takut. “No-nona Camila, aku tidak bermaksud apa-apa. Paman Maxim hanya menemaniku sebentar saja. Lagipula Paman Maxim juga tidak menolaknya." Cengkeraman Camila pada sendoknya semakin kuat. "Kau—!" "Bibi Camila, istriku hanya meminta tolong pada Paman Maxim untuk menemaninya sebentar. Marieana belum terbiasa di sini, wajar saja kalau dia takut saat aku meninggalkannya sendiri," sahut David tiba-tiba, membela istrinya. “Apa katamu?” Camila tampak tidak terima. “Tapi dia—” "Hentikan, Camila." Suara bariton dingin milik Maxim membungkam mereka semua. Ruangan itu pun kembali sunyi. Ketegangan menggantung di udara. Mau tak mau, mereka melanjutkan sarapan dalam diam. Tetapi, Camila sudah kehilangan nafsu makan. Wanita itu menatap sinis ke arah Marieana yang menikmati sarapan seolah tidak terjadi apa-apa. Camila tidak terima! Apalagi, Maxim yang dingin dan tak acuh itu bisa-bisanya menerima tawaran menemani gadis asing ini! Setelah acara sarapan selesai, David bersiap untuk pergi ke kantor. Marieana mengantarkannya sampai ke teras. "Aku akan usahakan pulang cepat hari ini, Sayang," ujar David mengecup pipi Marieana. "Sore nanti, aku akan mengajakmu jalan-jalan." Marieana mengangguk dan membalas kecupan di pipi David. Dari belakang mereka berdua, tampak Camila dan Maxim berjalan bersama. Camila tak mau kalah. Ia memeluk lengan Maxim dengan manja meskipun sesekali Maxim melepaskan tangan wanita itu dan memintanya bersikap sewajarnya sebagai saudara sepupu. “Apa Kakak akan pulang cepat hari ini? Bisakah Kakak menemaniku membeli perhiasan nanti?” tanya Camila, wanita itu memeluk manja lengan Maxim sambil mendongak menatapnya dengan begitu manis. Maxim meliriknya sekilas, tampak tidak tertarik. “Aku sibuk. Pergilah sendiri,” sahutnya dingin, lalu menjauhkan tangan Camila dan berjalan lebih dulu. Camila mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras. Selalu saja begitu! Maxim menganggap dirinya tidak pernah ada! Marieana menoleh pada Maxim yang menatapnya sejenak, sebelum beralih pada David. "Sore nanti kau harus ikut meeting bersama bawahanku, Dav," ujar Maxim tanpa ekspresi. Kening David mengerut. "Sore nanti? Bukankah itu meeting utama? Kenapa tidak Paman saja?" Maxim membalik badan dan menatapnya tajam. "Kau mengaturku?" David menelan ludah. “Bukan begitu maksudku, Paman. Aku hanya ….” David tidak menyelesaikan kalimatnya. Maxim tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia segera masuk ke dalam mobil, diikuti salah satu ajudannya. Di sana, tersisa Camila yang melihat Marieana dan David tampak berbincang serius. "Tidak apa-apa 'kan, kalau hari ini aku pulang malam lagi?" tanya David terdengar lesu. "Tidak apa-apa, Sayang. Jangan khawatir," jawab Marieana sambil tersenyum menenangkan. David kembali memeluk Marieana sebelum laki-laki itu bergegas menuruni anak tangga menuju mobilnya dan segera pergi. Marieana melambaikan tangannya hingga mobil David tidak terlihat lagi. Marieana membalik badannya dan melihat Camila ternyata masih di sana menunggunya. Camila berjalan beberapa langkah mendekatinya. "Apa yang lakukan dengan Maxim semalam, selain memintanya untuk menemanimu, huh?" tanya wanita itu. Marieana menggeleng pelan. "Aku tidak meminta apapun dari Paman Maxim. Hanya menemaniku saja, tidak lebih." Camila mendengus sinis. "Jangan coba-coba menggoda Maxim, Marieana,” katanya dengan nada tajam. “Kau pikir aku tidak tahu niat busukmu itu?” Marieana berusaha terlihat tenang. Ia memiringkan sedikit kepalanya, pura-pura bingung. Meskipun sebenarnya ia sudah menduga bila Camila sangat menyukai Maxim. Wanita itu tidak peduli bahwa Maxim adalah sepupunya. “Aku tidak mengerti maksud Nona,” kata Marieana dengan polos. “Aku sudah memiliki suami yang mencintaiku dengan tulus. Aku tidak membutuhkan pria lain.” Camila mengepalkan tangan mendengar ucapan Marieana yang seolah sedang menyindirnya. “Terserah apa katamu!” sahut Camila kesal. “Yang jelas, kalau bukan karena Maxim, kau tidak akan berada di sini sekarang!” Marieana menatap Camila sambil tersenyum. “Aku tahu, Nona Camila. Karena itu aku berterima kasih pada Paman Maxim. Aku janji akan bersikap baik padanya,” katanya. Camila mendengus. “Bersikap baik katamu? Kau hanya ingin merayunya, kan?!” Marieana terkekeh kecil. “Merayu? Untuk apa?” sahutnya. “Lagipula, bukankah harusnya Paman Maxim bisa menolak kalau memang dia tidak mau menemaniku?” Camila terdiam. Wajahnya tampak mengeras mendengar ucapan Marieana. Namun, dia tidak mau harga dirinya semakin terinjak. “Dia tidak menolak karena dia adalah pria yang baik. Tidak seperti kau yang tidak tahu diri!” ujar Camila sambil menuding wajah Marieana. Setelah itu, wanita dengan dress berwarna putih itu melenggang pergi begitu saja meninggalkan Marieana sendirian di teras. Marieana mendengus sinis. “Baik apanya?” gumamnya lirih. Gadis itu bersedekap. Menyadari sisi posesif Camila pada Maxim yang sama sekali tidak mempedulikannya itu. Salah satu sudut bibir Marieana terangkat. “Rupanya, wanita itu sangat mencintai saudaranya sendiri, hm?” gumamnya remeh. Ini akan menguntungkannya …. Marieana bisa menggunakan wanita itu untuk membuat drama di keluarga Valdemar!"Sialan! Bagaimana bisa gadis bodoh itu justru melindungi Maxim! Istrimu itu benar-benar bodoh, Dav!" Teriakan keras itu terdengar dari arah ruangan keluarga. Brian sangat marah setelah mendengar kabar kalau Marieana masuk ruang sakit karena luka tusuk akibat melindungi Maxim dari seseorang yang ingin menyerang Maxim. Orang itu adalah orang suruhan Brian. Padahal, Brian dan Arzura sudah bersiap menerima kabar bahagia tentang kematian Maxim, tetapi nyatanya justru Marieana yang melindungi Maxim. "Marieana memang gadis bodoh! Kalau dia tidak melindungi Maxim, pasti Maxim sudah mati dan kita bisa menikmati harta keluarga ini!" seru Arzura. "Semua ini gara-gara Marieana!" Sebagai seorang suami Marieana, David hanya diam dengan wajah sebal. Ia ikut kesal seperti apa yang orang tuanya rasakan. Karena David juga sempat menantikan harta keluarga Valdemar ini, jatuh ke tanganmu dengan kematian Maxim. Tetapi, pria itu sampai sekarang tetap masih hidup berkat Marieana yang menyelamatkann
Sesampainya di rumah sakit, dokter langsung menangani Marieana di dalam sebuah ruangan khusus. Sementara Maxim menunggu di luar ruang pemeriksaan bersama Logan. Maxim menatap mantel hangat berwarna merah muda milik Marieana yang kotor akan cairan merah segar. Raut wajah Maxim tampak sedih, marah, dan khawatir yang tidak kunjung usai. "Semoga kau baik-baik saja, Marie," ucap Maxim, ia berdiri menyandarkan kepalanya pada dinding. Logan berjalan mendekati Maxim setelah ia menerima panggilan telfon dari orang-orang Maxim. "Tuan, saat ini pelakunya sudah tertangkap dan sudah berada di kantor polisi. Saya akan ke sana untuk terus mengurus tindakan selanjutnya," ujar Logan. Wajahnya mengeras dalam hitungan detik. "Pastikan orang itu mengaku tentang apa tujuannya, dan siapa yang telah membayarnya untuk menghabisiku!" perintah Maxim. Logan mengangguk. "Baik, Tuan," jawabnya. "Saya akan segera menghubungi Tuan nanti." "Pergilah!" seru Maxim. Tanpa menjawabnya lagi, Logan pun be
Marieana mendatangi kantor milik Maxim. Dengan langkah terburu-buru ia berjalan menuju ke ruangan CEO. Namun, saat Marieana membuka pintu, Maxim tidak ada di dalam sana. Hanya ada Logan yang kini tampak terkejut dengan kemunculan Marieana. "Nona Marieana?" sapa Logan dengan ekspresi terkejut. Marieana berjalan mendekati Logan dengan ekspresi cemas. "Di mana Paman Maxim?" tanyanya. "Tuan Maxim sedang ada pertemuan dengan kolega dari luar kota, Nona," jawab Logan. "Antarkan aku ke sana sekarang juga!" seru Marieana. "Ayo, Logan!" Logan kebingungan, namun ia tidak bisa menolak perintah Marieana karena gadis itu adalah gadis kesayangan Tuannya. Mau tidak mau, Logan mengantarkan Marieana ke tempat di mana Maxim berada. Sepanjang perjalanan, Marieana tampak sangat cemas. Dia juga tidak mengatakan alasan apapun pada Logan. Gadis itu mengepalkan jemari kedua tangannya menjadi satu, dan berdoa sepanjang jalan. "Apa ada hal buruk yang terjadi, Nona?" tanya Logan melirik Mariean
Udara dingin melingkupi tubuh Marieana. Gadis itu Masih bergelung dengan selimut tebal yang membungkusnya. Suara lonceng angin di depan jendela kamar bergemerincing merdu, mengusik tidur tenang Marieana hingga membuat gadis itu terbangun. Marieana mengulurkan tangannya meraba-raba ruang kosong di sampingnya. "Maxim..." Gadis itu membuka kedua matanya dan ia tidak mendapati Maxim di sana. Rasanya seketika hampa. Marieana perlahan-lahan bangun dan duduk di atas ranjang. Ia menatap tubuhnya yang tidak lagi lagi polos, tengah malam tadi, Maxim membangunkannya dan membantunya kembali memakai baju agar tidak kedinginan. Marieana bergeming menatap pemandangan langit putih di luar, dari jendela paviliun. "Pria itu... musuh yang sangat mencintaiku," ucap Marieana lirih. Marieana menyentuh perutnya yang rata. Masih terbayang-bayang jelas bagaimana Maxim mengusap perutnya dan berkata hanya anaknya lah yang akan tumbuh di dalam rahimnya. Itu semua terdengar lucu, namun juga men
Marieana tercengang mendengar ucapan Maxim. Bahkan usapan telapak tangan itu masih bergerak lembut di atas perutnya. Maxim kembali mengecup wajah Marieana sebelum pria itu berbaring di sampingnya dan memeluknya dari samping saat Marieana memiringkan tubuhnya. 'Hamil...' Kata-kata itu menggetarkan batin Marieana. Gadis itu tertunduk dan menyentuh punggung tangan Maxim, menghentikan elusan lembut di perutnya. Maxim tidak tahu bila Marieana sengaja meminum obat untuk menunda kehamilan. Ia sengaja melakukannya, karena hamil tidak pernah ada dalam misinya. Tetapi, bila Marieana tidak memikirkannya sejak awal, mungkin saat ini ia memang sudah benar-benar hamil anak Maxim, mengingat selama mereka melakukannya, Maxim seolah-olah sengaja ingin Marieana hamil anaknya. "Tidurlah," bisik Maxim mengecup pelipis Marieana. "Kau jangan ke mana-mana," bisik Marieana. "Tidak, Sayang." Pria itu mengecup punggung putih Marieana dan menarik tubuh kecil itu hingga punggung Marieana menempel
"Aku tidak tahu, tiba-tiba saja David mendesakku untuk segera hamil. Dan dia sangat marah padaku, Paman..." Marieana menyandarkan kepalanya pada dada bidang Maxim dan duduk di pangkuan pria itu dengan kedua kakinya yang melingkari tubuh kekar Maxim. Marieana menggigit ibu jarinya dan meringkuk dalam pelukan Maxim. "Entah bujukan siapa, sampai-sampai dia sampai mendesakku seperti tadi. Padahal dia sendiri yang memintaku untuk tidak hamil dan tidak punya anak. Tapi begitu aku bilang kalau aku keberatan, dia langsung memakiku, dia bilang aku istri yang tidak berguna. Dan ... dia juga mengatakan apa manfaatku di rumah ini." Marieana membenamkan wajahnya pada dada Maxim. "Jadi, selama ini aku dianggap apa di sini? Betapa tidak bergunanya aku di sini, Paman..." Mendengar cerita Marieana, wajah Maxim berubah mengeras. Dekapannya pada Marieana kian mengerat, pria itu menundukkan kepalanya dan mengecup pucuk kepala gadis itu. "Kau tidak bersalah, Marie. Kau berhak memilih keputusan







