LOGINHari telah berganti malam. Margaret merasa senang tinggal di rumah baru ini. Selain rumah yang megah dan hangat, ternyata Maxim juga membawa Kepala Pelayan Letiti di sana. Malam ini, Margaret tengah menghabiskan makan malamnya. Ditemani oleh Pelayan Letiti yang berdiri di sampingnya. "Di mana Maxim? Kenapa tidak makan malam?" tanya Margaret menatap wanita setelah baya di sampingnya. "Tuan masih menunggu tamunya, Nyonya," jawab wanita itu. "Katanya, Dokter Hanes akan ke sini malam ini." Dokter Hanes? Dokter yang memeriksa Nenek? Margaret langsung menghentikan kegiatan makan malamnya saat itu juga. "Apa dia sudah datang?" "Belum, Nyonya." Setelah itu, Margaret kembali melanjutkan makan malamnya. Margaret juga ingin tahu perkembangan kondisi kesehatan Neneknya meskipun sulit baginya untuk datang ke sana. Usai menyelesaikan makan malamnya, Margaret berjalan perlahan mendekati ruangan kerja Maxim di lantai satu. Gadis itu berjalan tanpa suara ke arah pintu yang sedikit ter
Beberapa hari berada di rumah sakit, sungguh membuat Margaret merasakan jemu. Namun, sore ini dokter sudah mengizinkannya untuk pulang. Kini, Margaret baru saja keluar dari dalam kamar rawat inapnya. Ia berjalan bersama Maxim yang merangkulnya. "Kita pulang ke mana, Maxim?" tanya gadis itu. "Ke rumah baru kita," jawab laki-laki itu sambil tersenyum. Kening Margaret mengernyit. "Ru-rumah baru?" tanyanya. Laki-laki itu mengangguk. Ekspresi di wajah tampannya begitu hangat. Margaret tidak tahu, Maxim akan mengajaknya pulang ke rumah mana lagi. Namun, ke manapun laki-laki itu membawanya, Margaret akan ikut. Mereka berdua segera masuk ke dalam mobil. Margaret menyandarkan kepalanya pada pundak Maxim. Sepanjang perjalanan pulang, Margaret menikmati pemandangan kota dan cuaca yang cerah sore ini. Namun saat jalur perjalanan mulai berubah, Margaret sadar kalau Maxim tidak mengajaknya pulang ke villa, ataupun ke kediaman keluarga Valdemar. Margaret bertanya-tanya dalam hati.
Keesokan harinya, Maxim sudah kembali pergi ke kantor dan meninggalkan Margaret di rumah sakit. Meskipun Logan harus berada di sana menjaga Margaret. Di dalam kamar rawat inapnya, Margaret duduk di atas ranjang membaca semua pesan-pesan yang masuk di ponselnya. Ada banyak puluhan panggilan dari Bibi Erika yang tidak ia jawab. Hingga pagi ini Margaret memutuskan untuk menghubungi Bibi Erika. Cukup lama Margaret menunggu panggilannya dijawab. Dengan penuh rasa khawatir, Margaret berharap segera mendapatkan jawaban. Sampai akhirnya panggilannya pun terjawab. "Halo..." Margaret gemetar mendengar suara lemas Bibi Erika di balik panggilan itu. "Bibi," panggil gadis itu dengan suara lirih. "Maafkan aku ... aku baru bisa menghubungi Bibi sekarang." Hening di seberang sana. Kedua mata Margaret berkaca-kaca, ia tidak tahu apa yang terjadi di sana. "Bi, apakah Nenek baik-baik saja?" tanya Margaret seperti tidak ada apa-apa. "Bagaimana mungkin bisa baik-baik saja?” jawab Bibi Er
Margaret terbangun seorang diri di dalam kamar rawat inapnya. Tidak ada Maxim di sana, ia tidak tahu ke mana laki-laki itu saat ini.Gadis itu duduk di tepi ranjang menatap ke arah kaca jendela kamar. Di luar, langit terlihat sangat cerah siang ini. "Sudah berapa hari aku tidak melihat dunia luar?" gumam gadis itu pelan. Dalam lamunannya, tiba-tiba saja Margaret mengingat terakhir saat Bibi Erika menghubunginya dan Margaret belum sempat membalas pesan-pesannya. "Ponselku?" Margaret tampak bingung. Perlahan, ia turun dari atas ranjang. Margaret membawa tuang infusnya dan berjalan perlahan membuka pintu kamar rawat inapnya. Begitu pintu terbuka, sosok Maxim sudah berdiri di hadapannya, sepertinya laki-laki itu baru saja datang dan ingin menemuinya. "Kau mau ke mana, Sayang?" tanya Maxim, tatapannya berubah khawatir dan posesif. "A-aku..." Margaret menjadi gugup. "Ayo kembali masuk," ajak Maxim. Laki-laki itu merangkulnya dan meraih tiang infus yang Margaret bawa. Begitu sampai
Brian dan Arzura tercengang mendengar apa yang diucapkan oleh Maxim. Wajah mereka berdua sedetik berubah menegang tak percaya. "A-apa maksudmu? Kau membela gadis itu, Maxim?!" seru Brian menatapnya sengit. "Dia sudah membuat David seperti ini, Maxim! Cepat atau lambat, dia berusaha mendekatimu dan menghabisi kita semua!" Maxim menyentak krah kemeja Brian yang ia cengkeram kuat. "Aku tidak peduli," jawab Maxim tegas. "Maxim, kau tidak bisa seperti ini pada keluargamu sendiri hanya karena gadis itu!" protes Arzura. Maxim menoleh mendengar ucapan Arzura barusan. Ia bergelak pelan sebelum menggeleng-gelengkan kepalanya dan air muka wajahnya kembali datar seperti dinding es. "Keluarga?" tanyanya. "Kalian?" Maxim tersenyum smirk dan menatap tajam. "Kalian bukan keluargaku. Kalau bukan karena belas kasihan Papaku pada suamimu ini, Arzura ... dia tidak akan menyandang nama Keluarga Valdemar. Dia hanya anak seorang peternak dari desa Paladania. Dia tidak ada hubungan darah dengan kam
Pagi ini Maxim menemui dokter. Setelah dua hari Margaret dilarikan ke rumah sakit, Maxim ingin memantau bagaimana perkembangan kondisi Margaret. Meskipun banyak hal yang harus segera ia selesaikan, tetapi Maxim tidak ingin mengecualikan Margaret sebentar saja. Apalagi, setelah gadis itu mengungkapkan padanya, kalau dia mencintainya. Maxim semakin tidak ingin membuat Margaret kecewa meskipun dalam hal kecil sekalipun. "Bagaimana perkembangan kondisi kesehatan Margaret, dokter?" tanya Maxim pada laki-laki berjas putih di hadapannya kini. "Kondisi Nyonya sudah sedikit lebih baik, Tuan. Namun, kami juga masih perlu mengawasi untuk beberapa hari ke depan," jelas dokter. "Luka-luka lebam di wajah dan tubuhnya juga sudah berkurang. Tetapi masih ada pemeriksaan lagi terkait luka pukulan di bagian kepala Nyonya yang sebelah kiri. Kami takutkan pukulan itu bisa menimbulkan efek yang serius." Maxim mengembuskan napasnya pelan. Namun penuh kekhawatiran. "Baiklah kalau begitu, dok," jawab M







