Dalam kondisi yang tertekan, Indah dikagetkan dering ponselnya. “Apa?!” jawab Indah, setelah menerima panggilan dari ponselnya.
Asti seketika ikut panik, melihat ekpresi kaget Indah.
Indah menutup telepon, dan segera melangkah keluar ruangannya. Dia berlari kecil dan memasuki ruangan bertuliskan Public Relations Devision.
“Ada apa ini?” tanya Indah.
“Memo dari pak Rakha, Bu,” jawab wanita di hadapannya, dan menyerahkan selembar dokumen. Wanita itu adalah staf Divisi PR.
Indah membaca selembar dokumen yang diserahkan wanita itu. Sejenak Indah terpaku. “Bagaimana mungkin ini disebut keputusan, tanpa ada rapat bersama?”
“Pak Rakha, minta saat ini juga di eksekusi, Bu.”
Tanpa jawaban, Indah langsung keluar dari ruangan tersebut, masih memegang selembar kertas yang dibacanya tadi. Dia tampak berjalan menuju ruang Pimpinan.
“Bisa dijelaskan maksud memo ini, Pak Rakha?” ucap Indah, setelah berada di hadapan R
Memenuhi janji pada Aditya, Asti benar-benar menemani pria itu makan malam. Aditya tampak menjemput Asti di lobby Big Land. “Pak, boleh kita makan malam di sekitar pasar malam saja?” pinta Asti. “Boleh. Di sana kebetulan ada restoran langganan kami sekeluarga.” Asti tersenyum. “Oh ya. Kamu gak usah panggil Pak, Pak. Emangnya di kantor?” “Jadi, saya harus manggil apa, Pak?” “Tuh, Pak lagi. Panggil ‘Mas’ saja. Supaya lebih dekat kesannya.” Asti menarik bibir, tersenyum. Dia menghela napas. “Baik, Mas.” “Gitu dong.” Aditya menyalakan mobil dan segera meninggalkan halaman Big Land. Beberapa saat menelusuri jalan, akhirnya mereka tiba. “Ayo Asti,” ajak Aditya. “Ehm, Pak?” “Kok Pak lagi. Kita kan sudah sepakat?” Asti salah tingkah. Lidahnya begitu berat. “Iya, Mas.” “Gitu kan lebih enak. Iya ada apa, ada yang ingin kamu sampaikan?” “Boleh gak, untuk m
Pagi yang tak biasa. Indah terlihat ada di rumah sakit. Dia sedang berbicara dengan Asti. “Terima kasih ya. Kamu langsung ke kantor saja. Saya sudah menghubungi pak Aditya. Hari ini saya menemani ibu dulu.” “Baik, Mbak.” Asti pun melangkah meninggalkan Indah yang masih berdiri di lobby rumah sakit. Semalam, dia dikagetkan kabar ibunya dibawa ke rumah sakit. Wanita paruh baya itu menderita mag yang cukup serius. Sejak tinggal di apartemen, Indah sudah jarang menemui ibundanya. Kondisi yang membuatnya merasa sangat bersalah pada ibu yang membesarkannya dengan kasih sayang utuh. Walaupun kenyataan menegaskan bahwa tak ada ikatan darah antara mereka. Dari jarak yang tak begitu jauh, tampak kakaknya, Desi melangkah ke arahnya. Semakin dekat, makin jelas, rona kesedihan terpancar di wajah Desi. Dia langsung memeluk adiknya itu, erat. “Makasih kamu sudah menemani ibu semalam.” “Mbak Desi kok ngomong gitu?” “Maaf,” sa
Menikmati masa cuti, membawa suasana berbeda bagi Indah. Dia tampak menikmati kebersamaan bersama Dona dan karyawan Liebe Box. Tak ada rasa canggung, yang ada suasana penuh kehangatan. “Bagaimana kesannya beberapa hari ini, menjadi bagian dari Liebe Box?” tanya Dona, saat mereka berdua bersantai di lantai dua, ruang kantor Liebe Box. “Keseruannya sulit aku gambarkan, Don. Aku kini menyadari alasanmu memilih di sini. Aku sangat menikmati segalanya.” “Ehm, kalau gitu, kami membuka pintu selebar-lebarnya, jika suatu hari nanti, kamu benar-benar bisa bergabung dengan kami. Terasa terhormat bisa mendapatkan seorang Manajer andal seperti kamu. Jelas, Liebe Box punya masa depan yang mengagumkan.” Indah menghela napas. “Jujur, beberapa waktu terakhir, aku pun mulai merasakan kejenuhan dengan aktivitasku di Big Land. Tapi aku tidak bisa meninggalkannya di saat-saat seperti ini. Aku ingin menciptakan
Suasana Big Land pagi ini, kembali gaduh. Lagi, seluruh anggota Direksi berkumpul di ruang rapat, dan Rakha menjadi pusat perhatian. Direktur Marketing tampak berdiri dan meletakkan beberapa koran di hadapan Rakha. Seperti biasa, Rakha tetap bersikap dingin. “Pimpinan Tower Electrics Mahakarya dan Big Land tampak mabuk-mabukkan di klab malam,” ucap salah satu anggota Direksi. Yang kemudian di sambung anggota lainnya. “Apakah Pak Rakha punya penjelasan atas berita ini?” “Ini memang benar, apa yang perlu saya jelaskan?” sahut Rakha, masih dengan sikap cueknya. “Ini jelas masalah bagi kredibilitas Big Land. Anda mungkin bebas berbuat sesuka hati, selama di Tower Electrics, tapi ingat, anda sekarang bagian dari Big Land. Anda perlu tahu, nama besar Big Land, kami tidak dapatkan dengan mudah. Jadi tolong berhati-hati bersikap!” Salah satu anggota Direksi tampak mulai menaikkan volume su
Sejak makan malam terakhir, hubungan Aditya dan Asti kian berjarak. Tak ada lagi waktu keduanya walaupun sekadar ngobrol. Kondisi perusahaan yang memburuk, ditambah hubungan Indah dan Rakha yang sama buruknya, turut mengganggu hubungan keduanya. Saat Aditya berusaha mendekat, Asti akan setiap saat menjaga jarak. Terlalu banyak perbedaan, makin membuat Asti menghindar. Menunggu pesanan ojek online, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di hadapan Asti. Dan seperti biasa, sosok yang ada di dalam mobil, tidak lain adalah pria yang dihindarinya. Asti menunduk, berusaha tidak menatap ke arah Aditya. “Asti, saya mau ngobrol, bisa?” pinta Aditya. “Tidak ada lagi, yang harus dibicarakan Pak,” sahut Asti. Aditya menghela napas. Sebutan ‘Pak’, terasa sangat menyakitkan. “Please. Setelah ini, saya tidak mengganggumu lagi.” Mata pria itu berkaca-kaca. Asti kembali tidak bisa berkata-kata. Dia akhirnya menuruti permintaan Aditya
Hari baru, sebuah kejutan hadir. Dimas, sudah hadir di Big Land. Sejak pagi, beliau sudah ada di ruangannya. Ekspresi tak biasa, kembali menghiasi wajah pria paruh baya itu. Koran dengan headline persoalan Rakha, menjadi halaman yang terus saja ditatapnya. “Om Dimas sudah kembali?” Rakha dan Aditya tersentak, setelah mendapati mobil Dimas, sudah terparkir di basement. “Siapkan dirimu, Bos!” ucap Aditya, memperingatkan. Namun, seperti biasa, Rakha bersikap santai, dan berjalan menuju lantai sepuluh Big Land. Memasuki ruang Pimpinan, keduanya langsung disambut tatapan dingin Dimas. “Om kenapa gak kasih kabar? Kami bisa jemput ke bandara,” ucap Aditya, mencairkan suasana. Dimas melemparkan koran yang dipegangnya, ke badan Rakha, yang masih berdiri terpaku tak jauh dari darinya. “Om tidak menyangka, menitipkan Big Land padamu, menjadi sebuah dosa besar. Om berpikir kamu sudah berubah. Te
Hari ke lima, Indah menikmati hari-harinya di Liebe Box. Dia menjalani hari seperti biasanya. Senyuman hangat, selalu dia hadirkan pada siapa pun yang bertemu dengannya. Segala duka yang terus menemuinya, tampak tak sedikitpun memengaruhi perjalanannya. “Don, teman-teman kamu?” ujar Indah pada Dona, menunjuk ke arah pria-pria yang memasuki Liebe Box. Tanpa jawaban, Dona langsung menyambut di depan pintu. Indah pun langsung masuk ke dalam ruangan barista. Dia tampak mengamati keakraban Dona bersama pria-pria muda itu. “Hai, senang sekali melihat kalian kembali ke sini,” sambut Dona. “Iya dong Kak. Kami kan udah janji akan sering-sering ke sini,” sahut Desta. “Mau pesan apa?” Dona meletakkan daftar menu, di hadapan ke tiga pria itu. Dona lantas memanggil salah satu pelayannya untuk mempersiapkan pesanan yang telah dibuat. “Oh ya, Rakha kenapa gak ikutan? Aku pengen banget bertemu anak itu.” Ke tiga-nya tam
Dona sampai di rumah sakit. Ditemuinya sahabat-sahabat Rakha. Ade, Desta dan Beny. “Bagaimana kondisi Rakha?” tanya Dona. “Masih di ICU, Kak.” “Kenapa Rakha bisa kecelakaan seperti ini?” “Dia mabuk, Kak.” Dona menghela napas. Dia kehabisan kata, mewakili kesedihannya mendengar kondisi Rakha. Pria yang dikenalnya, hampir tak pernah bahagia. “Keluarga Rakha belum dikabari?” “Belum, Kak,” sahut Desta. “Kenapa?” tanya Dona. Ke tiga pria itu tampak saling berpandangan. Dona pun paham dengan respons itu. “Kenapa semua tampak panik?” tanya Dona, mendapati beberapa perawat keluar masuk ruangan Rakha dirawat. “Rakha butuh donor Kak. Stok darah yang sesuai kebutuhan Rakha, belum ditemukan Kak.” “Golongan darah Rakha?” “A-, Kak.” Dona terdiam. Dia tampak berpikir. “Syifa, golongan darahnya sama,” sebutnya. “Syifa? Siapa Kak?” “Putriku.” “Apakah memungkinkan bisa jadi pendonor untuk