"Aku ingin bercerai, Bu."Ucapan Bara berhasil membuat ibunya terkejut. Begitu pun dengan Bastian dan Lidya. "Memangnya kenapa, Nak? Kenapa kamu ingin bercerai?""Aku sudah tak tahan dengan Elsa, Bu. Dia tak bisa menghormatiku sebagai suami," ucap Bara. Dia menceritakan perlakuan istrinya selama ini. Dia merasa telah melakukan tugas sebagai suami yang baik dan bertanggung jawab, tapi Elsa—istrinya, selalu memperlakukan Bara dengan tidak adil."Mentang-mentang anak orang kaya, seenaknya memperlakukan anakku seburuk itu. Ya, sudah. Kalian bercerai saja! Ambil semua harta hasil jerih payahmu selama ini, Bara! Rumah yang kalian tempati, itu hasil jerih payahmu, 'kan? Ambil sertifikatnya dan jual! Setelah itu baru kalian bercerai."Bara mengangguk dengan ragu. Seperti ada yang dia tutupi pada ibunya."Trus mobil yang di depan itu siapa yang beli? Mas, 'kan? Bukan Mbak Elsa?" tanya Bastian.Lagi-lagi, Bara mengangguk pelan. Gerakannya terpatah-patah, seperti orang gugup."Ya jelas, Mas-mu
Dua bulan berlalu. Saat ini, Bu Retno mulai kesulitan memberikan makan tiga kepala di rumah ini. Bara yang kini telah tinggal di rumah Bu Retno, hanya menghabiskan waktunya untuk makan dan tidur. Sama seperti kebiasaannya dulu saat masih di rumah mewahnya."Bu, kasi tahu Mas Bara buat kerja juga, dong! Masa aku saja yang kerja. Gak cukup buat makan kita berempat. Mas Bumi juga mulai susah dimintain uang," protes Bastian pada ibunya."Kamu saja yang bilangin, lah!""Ibu pilih kasih. Mas Bara yang kerjaannya makan tidur makan tidur doang tapi gak diomelin. Enak saja kelakuannya bak raja di rumah ini.""Sudah lah, diam! Mending kamu minta uang sama Bumi saja dibanding memaksa Bara untuk kerja. Nanti kita gak diizinin pakai mobilnya Bara. Memangnya kamu mau seperti itu?""Aaah …." Bastian begitu kesal. Dia lantas memilih keluar rumah. Nongkrong di pangkalan ojek sembari mencari penumpang.Bu Retno sebenarnya juga kesal dengan tingkah anak keduanya yang hanya menghabiskan waktunya untuk ti
"Anakmu belum lancar merangkak, Mbak? Kok bisa, ya? Ini lihat Arista! Sudah pintar merangkak."Embun hanya tersenyum tipis saat Lidya membandingkan anaknya dengan Rayyan. Di usia Rayyan yang ke-enam bulan, dia memang belum lancar merangkak. Tapi Embun terus bersabar untuk mengajarkan dan menemani anaknya bertumbuh."Ya, Arista kan memang bayi cerdas. Ibu bangga punya cucu kayak dia."Lagi-lagi, Embun harus mendapatkan sindiran yang membuat hatinya perih. Itu dari ibu mertuanya.Entah apa yang membuat keluarga suaminya tiba-tiba datang beramai-ramai ke kontrakan milik Embun dan Bumi. Bahkan Embun juga baru tahu kalau Mas Bara, kakak iparnya, telah resmi bercerai dengan istrinya. "Ternyata kontrakanmu sempit, ya, Mbak? Lebih lega di rumah," ucap Lidya. Matanya memandang ke setiap sudut rumah.Huft. Lagi-lagi Embun tak merespon ucapan dari semua orang."Heh … dari tadi gak nyahut-nyahut terus. Lidya bertanya tuh!" Embun ditegur Bu Retno."Maaf, Bu. Aku mau nyiapin MPASI-nya Rayyan dulu.
"Aduuuh … capek banget.""Iya, nih, Mas. Jauh banget, ya?"Bara dan Bastian lantas merebahkan dirinya di sofa ruang tamu. Mereka terlihat sangat kelelahan. Sedangkan Bumi langsung membersihkan diri ke kamar mandi. Dia ingin segera memeluk anaknya."Kalian sudah pulang?" Bu Retno muncul dari dalam kamar."Iya, Bu. Capek banget," ucap Bastian. "Loh, istrimu mana?" Bu Retno bertanya pada Bastian."Kok malah nanya sama aku, Bu? Bukannya Lidya dari tadi di sini sama Ibu?"Bu Retno mengangkat kedua bahunya. Tadi, saat ia terbangun dari tidur lelapnya, Lidya dan Arista sudah tak lagi di sampingnya. Ia mengira Lidya ada di ruang tamu."Astaga."Bu Retno dan Bastian menoleh ke arah Bumi. Suami Embun itu terlihat berdiri di pintu kamarnya dan melihat ke arah dalam."Ada apa, Mi?" tanya Bu Retno. Ia lantas menghampiri anaknya. Ikut melihat objek yang ditangkap mata oleh Bumi."Astaga, Lidya. Ngapain kamu tidur di bawah?" Bu Retno berteriak.Embun yang tertidur di kamar yang sama, ikut terkejut
"Bu …." Bara mendekati ibunya.Bu Retno yang sedang memotong sayur untuk dimasak pun menoleh ke arah anaknya."Kenapa?" "Ada yang mau aku bicarakan sama Ibu." Bara berbicara sambil menundukkan kepalanya."Mau bicara apa? Bicara lah!"Bu Retno lantas menyuruh Bara duduk di sampingnya. "Tanah Ayah yang deket persimpangan itu masih ada, Bu?" "Masih. Mau ngapain?" "Boleh gak Bara pinjam sertifikatnya? Mau Bara gadaikan sertifikat itu agar bisa memberikan Elsa uang.""Memberikan uang? Buat Elsa? Untuk apa?"Bara lantas kembali mengingatkan ibunya tentang kewajibannya untuk menafkahi anak-anaknya sebesar sepuluh juta rupiah per bulan. Bara juga mengungkapkan rasa cemas dan khawatirnya jika dia tak memenuhi tanggung jawabnya. Elsa akan terus membuat dirinya menderita."Tapi Ibu gak akan kasi sertifikat itu ke kamu. Tanah itu untuk pegangan Ibu nanti saat duit Ibu benar-benar habis."Bu Retno tetap bersikukuh mempertahankan sertifikat tanah peninggalan suaminya. Dia tak mau ada seorang pu
"Sabar, Bas! Tahan emosimu!"Semua orang berusaha menenangkan Bastian. Persekusi itu bukan lah solusi. Mereka harus bisa menyelesaikan masalah perselingkuhan ini sesuai norma dan hukum yang berlaku."Kalian semua tak mengerti sakit hatiku! Gampang bagi kalian memberi solusi ini dan itu. Gampang bagi kalian untuk berkata sabar."Bastian kembali berteriak. Kali ini untuk semua orang yang hadir. Dia sulit untuk ditenangkan."Permisi … permisi."Pak RT akhirnya datang memecah keramaian. Ia lantas berdiri di tengah-tengah Bastian dan Bara."Duduk, Pak. Silahkan!" Mpok Sari mewakili sang tuan rumah untuk menyambut kedatangan salah satu tokoh di kampung mereka.Pak RT mengangguk dan menyambut baik keramahan Mpok Sari."Sini, Nak! Duduk di samping saya!"Setelah menempati tempat duduk yang telah disediakan, Pak RT lantas meminta Bastian untuk mendekat ke arahnya. Ia akan menjadi tembok pembatas antara Bastian dan Bara."Saya ingin mereka dipermalukan, Pak! Arak mereka keliling kampung! Setela
TokTokTokEmbun yang sedang berdua dengan Rayyan di kontrakannya, terkejut dengan suara ketukan pintu yang terus menerus."Itu siapa, ya? Apa Mas Bumi? Ada barang yang ketinggalan, ya?" Embun bergumam.Pasalnya, Bumi baru saja berangkat kerja. Siang hari yang cukup hening di kompleks perumahan ini, membuat Embun waspada akan suara ketukan pintu di depan rumah."Siapa, ya? Mas Bumi, ya?" Embun berteriak. Namun, tak ada jawaban. Hanya suara ketukan pintu yang terus berlanjut tanpa jeda.Tak mungkin itu Bumi. Jika itu adalah suami Embun, ia pasti akan langsung masuk ke dalam kontrakan. Toh, Bumi punya kunci cadangan. Kalau pun kuncinya tertinggal, Bumi akan mengetuk sembari memanggil nama istrinya. Embun mulai cemas. Dia ingat akan rumor pencuri kejam di kompleks perumahan itu. Tempo hari, ada kasus pencurian yang berujung pembunuhan di daerah itu. Pelakunya belum tertangkap. Sama sekali tak merasa takut, justru pencuri itu beraksi saat siang hari. Menyasar rumah-rumah tanpa penghuni
TokTokTokPercakapan antara Bumi dan Bastian disela oleh suara ketukan pintu dari arah depan. Embun juga ikut menghentikan aktivitasnya dan menengok ke arah pintu depan."Biar aku yang buka," ucap Bumi. Dia mencegah istrinya untuk menyambut tamu yang datang.Ceklek"Bastian mana?"Tanpa basa-basi, Bu Retno langsung menerobos masuk ke kontrakan Bumi, sesaat setelah pintu dibuka."Mau apa lagi Ibu ke sini?" tanya Bastian."Ayo, pulang, Nak! Ibu minta maaf."Bu Retno bersimpuh di hadapan anak bungsunya. Ia terus meminta Bastian untuk kembali. Sedangkan Bumi dan Embun merasa heran akan situasi yang terjadi saat ini. Masalah apa yang tengah dihadapai Bastian dan ibunya? Bumi tak tahu. Pasalnya, adiknya itu belum sempat menceritakan masalahnya secara lengkap."Nggak. Aku nggak mau pulang kalau orang itu masih di rumah Ibu." Bastian menunjuk ke arah pintu depan. Sontak Embun dan Bumi menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh Bastian."Mas Bara?" gumam Bumi. "Memangnya ada apa nih, Bu? Ada apa