"Ini putra Bapak dan Ibu. Langsung disusui ya, Bu!" Suster di rumah sakit Surya Medika, menyerahkan putra pertama Embun dan Bumi.Semua orang di ruangan itu bersuka cita. Embun, Bumi, Bu Nadine, dan Pak Salim, berlomba-lomba ingin menggendong bayi tampan yang diberi nama Rayyan Hadinata."Matanya indah, seperti ibunya. Rambutnya bagus seperti ayahnya," ucap Bu Nadine sembari menimang-nimang cucu pertamanya. Bumi dan Embun tersenyum mendengar ucapan Bu Nadine. Benar. Wajah Rayyan merupakan perpaduan kedua orang tuanya. Kebahagiaan yang mereka rasakan saat ini tak dapat didefinisikan. Walau tanpa kehadiran ibunya, Bumi tetap bahagia menyambut putra pertamanya. —-----------------"Cih, sok bahagia." Lidya tak senang melihat story IG Bumi yang memperlihatkan foto kebersamaan keluarga mereka di rumah sakit."Kamu kenapa, Lid?" tanya Bu Retno pada menantunya."Ini, Bu! Lihat! Menantu kesayangan Ibu sudah melahirkan juga."Bu Retno melihat isi dari ponsel Lidya. Terlihat senyum merekah B
"Makanya yang bener naruh barang, Sayang. Apalagi barang berharga," ucap Bumi, menasehati istrinya."Kurang bener apa coba? Aku sudah taruh di laci paling dalam. Lagipula, aku juga di kamar terus. Paling keluar kalau lagi ambil minum atau ke toilet. Kamu juga ada di rumah, 'kan?" ucap Embun.Sebenarnya dia merasa curiga dengan Ibu mertuanya, tapi tak mungkin Embun ungkapkan di hadapan Bumi. Ingin bertanya secara langsung pun enggan. Barang tak kembali, malah makian yang didapat. Embun benar-benar ingin tenang sementara waktu.TriiingTriiingTriiingPonsel Embun berdering. Itu dari Bu Nadine."Halo, Ma," jawab Embun."Halo, Sayang. Maaf, ya, Nak. Besok Mama baru bisa ke sana. Kemarin, sehabis pulang dari rumah sakit, badan Mama sedikit meriang. Mama baru bangun malam-malam begini. Trus ingat kamu dan si ganteng" ucap Bu Nadine. Sebagai Nenek, ia pasti sangat merindukan cucu pertamanya itu. Maklum, Embun adalah anak tunggal. Sudah lama Bu Nadine dan Pak Salim tak merasakan menggendong
"Mobil siapa tuh, Ma? Mama dan Papa ganti mobil?" tanya Embun.Bu Nadine menggelengkan kepala sembari tersenyum. Ia lantas mengambil Rayyan dari gendongan Embun dan mendekapnya ke pelukan. Ia lantas menyuruh Embun untuk menghampiri mobil yang tengah dibawa oleh Pak Salim."Lihat lah, Nak! Berikan pendapatmu tentang mobil itu ke Papa."Embun dan teman-temannya lantas mendekati mobil berwarna putih dan masih terlihat kinclong. Bukan mobil yang mewah, namun masih tergolong bagus.Bu Retno juga ikut menghampiri mobil milik Embun yang ada di luar kontrakan. Ia tak sadar ikut mengelus body mobil itu sambil tersenyum. "Bagus sekali." Begitu lah isi pikiran Bu Retno saat ini.Setelah puas mencoba mobil baru, mereka pun kembali ke dalam kontrakan. Teman-teman Embun memberi ucapan selamat dan undur diri dari kontrakan itu."Eh … Bu. Ngapain masih di sana? Pengen, ya?" Nisa menghampiri Bu Retno yang masih berdiri dengan tatapan kagum ke arah mobil Embun. Nisa menggoda Bu Retno. Iya. Saat teman-
"Mau kemana, Mas?"Pagi-pagi sekali, Bumi sudah rapi dan bersiap untuk pergi. Embun heran melihat suaminya bangun lebih pagi. Padahal setau Embun, hari ini Bumi ada shift sore."Eh … kamu sudah bangun, Sayang? Aku mau ke bank dulu, ya.""Ngapain, Mas?""Kemarin pinjaman Mas sudah disetujui. Hari ini Mas mau ambil uang dan langsung membeli tanah milik teman Mas.""Wah … sat set sat set sekali sayangku ini. Semangat, ya, Mas.""Doain Mas, ya, Dek. Mas harus pergunakan uang ini secepat mungkin. Jika dibiarkan lama di tabungan, pasti ada saja yang memaksa Mas untuk memakai uang itu untuk keperluan lain. Mas terlalu malu sama Mama dan Papa. Mereka sudah banyak membantu kita. Mas gak mau mengecewakan mereka."Embun langsung memeluk suaminya dengan erat. Ucapan doa mengalir dari bibirnya untuk sang suami. Embun senang kalau Bumi memiliki tujuan yang sama dengannya."Oh iya ... Mama mana?" tanya Bumi."Kan kamu yang duluan bangun, Mas. Memangnya gak liat Mama?" Bumi menggeleng. Sudah beberapa
"Aku mau pulang ke kontrakan, Bu. Mau siap-siap berangkat kerja. Maaf, ya, belum bisa ngajak kalian jalan-jalan." Bumi menolak secara halus. Tapi perkataannya justru membuat ibunya marah."Kamu gimana, sih? Ibu sampai bela-belain ke sini karena semangat mau diajak jalan-jalan. Arista sampai Ibu titip di tetangga. Semua itu Ibu lakuin demi bisa jalan-jalan."Huft. Bumi menghela nafas kasar. Dia pusing terus ditekan seperti ini oleh keluarganya. Dia sengaja tak mampir ke rumah untuk menghindari masalah, tapi mereka justru bertemu di luar rumah. "Kalau kamu memang sibuk kerja, ya sudah. Mobilnya tinggalin di rumah! Biar Ibu bisa pergi jalan-jalan dianter sama Bastian.""Betul itu, Bu. Lidya setuju.""Bagus juga ide Ibu. Nanti biar aku yang nganter kalian keliling kota."Bu Retno, Lidya, dan Bastian sangat kompak. Mereka bertiga ingin menguasai mobil yang bukan hak-nya."Tapi Bastian belum lancar mengendarai mobil, Bu. Ini juga mobil milik Embun. Aku tak mungkin meminjamkan mobil ini tan
"Aku ingin bercerai, Bu."Ucapan Bara berhasil membuat ibunya terkejut. Begitu pun dengan Bastian dan Lidya. "Memangnya kenapa, Nak? Kenapa kamu ingin bercerai?""Aku sudah tak tahan dengan Elsa, Bu. Dia tak bisa menghormatiku sebagai suami," ucap Bara. Dia menceritakan perlakuan istrinya selama ini. Dia merasa telah melakukan tugas sebagai suami yang baik dan bertanggung jawab, tapi Elsa—istrinya, selalu memperlakukan Bara dengan tidak adil."Mentang-mentang anak orang kaya, seenaknya memperlakukan anakku seburuk itu. Ya, sudah. Kalian bercerai saja! Ambil semua harta hasil jerih payahmu selama ini, Bara! Rumah yang kalian tempati, itu hasil jerih payahmu, 'kan? Ambil sertifikatnya dan jual! Setelah itu baru kalian bercerai."Bara mengangguk dengan ragu. Seperti ada yang dia tutupi pada ibunya."Trus mobil yang di depan itu siapa yang beli? Mas, 'kan? Bukan Mbak Elsa?" tanya Bastian.Lagi-lagi, Bara mengangguk pelan. Gerakannya terpatah-patah, seperti orang gugup."Ya jelas, Mas-mu
Dua bulan berlalu. Saat ini, Bu Retno mulai kesulitan memberikan makan tiga kepala di rumah ini. Bara yang kini telah tinggal di rumah Bu Retno, hanya menghabiskan waktunya untuk makan dan tidur. Sama seperti kebiasaannya dulu saat masih di rumah mewahnya."Bu, kasi tahu Mas Bara buat kerja juga, dong! Masa aku saja yang kerja. Gak cukup buat makan kita berempat. Mas Bumi juga mulai susah dimintain uang," protes Bastian pada ibunya."Kamu saja yang bilangin, lah!""Ibu pilih kasih. Mas Bara yang kerjaannya makan tidur makan tidur doang tapi gak diomelin. Enak saja kelakuannya bak raja di rumah ini.""Sudah lah, diam! Mending kamu minta uang sama Bumi saja dibanding memaksa Bara untuk kerja. Nanti kita gak diizinin pakai mobilnya Bara. Memangnya kamu mau seperti itu?""Aaah …." Bastian begitu kesal. Dia lantas memilih keluar rumah. Nongkrong di pangkalan ojek sembari mencari penumpang.Bu Retno sebenarnya juga kesal dengan tingkah anak keduanya yang hanya menghabiskan waktunya untuk ti
"Anakmu belum lancar merangkak, Mbak? Kok bisa, ya? Ini lihat Arista! Sudah pintar merangkak."Embun hanya tersenyum tipis saat Lidya membandingkan anaknya dengan Rayyan. Di usia Rayyan yang ke-enam bulan, dia memang belum lancar merangkak. Tapi Embun terus bersabar untuk mengajarkan dan menemani anaknya bertumbuh."Ya, Arista kan memang bayi cerdas. Ibu bangga punya cucu kayak dia."Lagi-lagi, Embun harus mendapatkan sindiran yang membuat hatinya perih. Itu dari ibu mertuanya.Entah apa yang membuat keluarga suaminya tiba-tiba datang beramai-ramai ke kontrakan milik Embun dan Bumi. Bahkan Embun juga baru tahu kalau Mas Bara, kakak iparnya, telah resmi bercerai dengan istrinya. "Ternyata kontrakanmu sempit, ya, Mbak? Lebih lega di rumah," ucap Lidya. Matanya memandang ke setiap sudut rumah.Huft. Lagi-lagi Embun tak merespon ucapan dari semua orang."Heh … dari tadi gak nyahut-nyahut terus. Lidya bertanya tuh!" Embun ditegur Bu Retno."Maaf, Bu. Aku mau nyiapin MPASI-nya Rayyan dulu.