Beranda / Romansa / Seumur Hidup Terlalu Lama / 9. Tak Pernah Dihargai.

Share

9. Tak Pernah Dihargai.

Penulis: Suzy Wiryanty
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-14 14:09:42

Arya yang sedang menyetir mengendus-endus udara, keningnya berkerut. Setelah dua kali batuk kecil, ia melirik ke arah Uma yang duduk diam di kursi belakang bersama Vivi.

“Uma, kamu tadi mencuci piring tapi lupa mencuci tangan ya?” tanyanya sembari memegang kemudi dengan satu tangan dan tangan satunya mengibas-ngibas di depan hidung.

Uma yang tengah memandangi jalan dari balik jendela langsung menoleh. “Tidak, Mas," sahutnya singkat.

“Lalu, ini bau sabun cuci piring dari mana? Mobil ini baru dicuci, pengharumnya juga beraroma lavender. Tapi kok sekarang jadi bercampur bau lemon segala?” suara Arya meninggi. Ia memang alergi pada aroma buah yang menusuk.

Uma terdiam. Ia sedang mencari alasan yang logis. Tadi dia membuat sabun-sabun dengan berbagai aroma, termasuk lemon dan sereh. Minyak esensial yang cukup kuat pasti meninggalkan aroma yang menempel di bajunya. Bu Mirna tadi melarangnya berganti pakaian, akibatnya ya seperti ini.

Namun sebelum Uma sempat menjawab, Bu Mirna menyela cepat.

“Itu mungkin dari parfum baru yang tadi Ibu coba di pusat perbelanjaan. SPG-nya bilang parfumnya beraroma buah-buahan segar yang sedang tren. Makanya Ibu beli."

Uma menoleh dan menatap ibu mertuanya dengan sorot tak terbaca. Senyum kecil mengembang di bibirnya. Selama tiga tahun pernikahannya, belum pernah sekalipun Bu Mirna membelanya dari Arya. Tapi demi Arya tidak mengeluarkan uang untuk membantu pengobatan ayahnya, mertuanya ini bersedia jadi kambing hitam.

Arya mendengus. “Aroma segar apaan. Aromanya menyengat begitu. Seperti sabun toilet hotel murahan.”

Bu Mirna tertawa sinis, lalu menoleh sekilas pada Uma. “Benar juga. Aromanya murahan sekali. Membuat orang yang menghirupnya sakit kepala.” Uma tahu, ibu mertuanya menyindirnya. Tapi ia pura-pura tidak mendengarnya. Ia santai saja menatap ke luar jendela. Terserah mereka mau berkata apa. Yang penting ia bisa berkarya dan menghasilkan uang. 

Di tengah perjalanan Vivi mulai rewel. Lama kelamaan ia gelisah dan mulai menangis. Dari mulai tangis merengek hingga tangis kencang karena tidak nyaman. Arya mendecakkan lidah kesal.

"Uma, diamkan anakmu. Aku tidak bisa menyetir kalau Vivi menjerit-jerit begitu!" omel Arya.

Bu Mirna menimpali," kamu ini jadi ibu bagaimana sih? Anak menangis saja tidak bisa  dibujuk."

Uma mengayun pelan tubuh mungil Vivi sambil berbisik lembut, "Sayang, tidur lagi, ya? Mama di sini…."

"Vivi ngantuk," ujar Uma lirih. "Tidur siangnya terganggu karena—"

"Aku tidak peduli!" potong Arya tajam. "Kamu itu ibunya. Harusnya kamu bisa mengontrol anak sendiri!"

Uma hanya bisa diam, menahan sesak di dada. Ia peluk Vivi lebih erat. Untunglah, dalam pelukannya, tangisan Vivi mereda dan perlahan ia pun tertidur. 

Kurang lebih 45 menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan butik mewah bertuliskan Gunawan Hartanto Couture. Arya dan Bu Mirna melangkah cepat, sementara dirinya tertinggal, menggendong Vivi yang masih terkantuk-kantuk.

AC dingin menyambutnya saat pintu otomatis terbuka. Di dalam butik, puluhan gaun elegan menggantung di rak kaca bening. Setiap helai tampak bersinar, seolah ingin berbisik, aku mahal.

Di salah satu sofa empuk, tampak seorang pria flamboyan dengan jas berbunga, duduk berdampingan dengan pasangan muda. Pria itu jelas Gunawan Hartanto. Sambil tertawa renyah, ia berbincang ramah dengan sang tamu.

Arya menghampiri Gunawan, begitu pula Bu Mirna. Uma mengekor di belakang.

"Hallo, Bu Tjokro. Lama tidak berjumpa." Gunawan menyambut Bu Mirna ramah. 

"Ayo, kita naik ke lantai dua. Di sana banyak model gaun-gaun terbaru yang pasti cocok untuk Ibu." Seperti biasa Gunawan Hartanto sangat piawai mempromosikan koleksi-koleksi terbarunya. 

"Kamu memang tahu seleraku. Aku memang maunya hanya gaun-gaun koleksi terbaru," ujar Bu Mirna sombong sambil mengembangkan kipasnya. 

"Harus dong. Bagi saya, pelanggan itu adalah ratu. Apalagi pelanggannya VVIP seperti Bu Tjokro. Silakan, Bu." Dengan luwes Gunawan mempersilakan Bu Mirna naik ke lantai dua. Memuji dan membesar-besarkan hati pelanggan adalah keahliannya. Saat melihat ibu mertuanya mulai naik ke tangga, Uma pun melangkah mengikuti.

Namun, Bu Mirna langsung menoleh dan mengangkat alis. "Ngapain kamu ikut, Uma? Kamu tunggu di sini saja bersama Vivi dan Arya."

Seketika langkah Uma surut. Ia mengangguk kecil dan mundur, lalu duduk di sofa lain, memangku Vivi yang kini tertidur. Ia merasa asing, kecil di ruangan megah itu.

Arya datang dan duduk di sampingnya. Wajahnya terlihat jengkel.

"Kamu mau ngapain ikut Ibu ke atas?" tanya Arya.

Uma menatap gaun-gaun indah di sekitar mereka. "Saya ingin melihat-lihat gaun, Mas. Gaun pesta saya itu-itu saja. Belikan saya satu gaun baru ya, Mas?" pinta Uma dengan nada memohon. Selama ini ia selalu mengenakan baju-baju lamanya sewaktu gadis. Apabila ia berkunjung ke rumah orang tuanya atau menghadiri acara-acara yang mengharuskannya ikut serta, ibu mertuanya akan meminjamkan gaun-gaun lamanya yang sudah ketinggalan zaman. Ia jadi terlihat tua dibanding usianya. Ia ingin punya gaun sendiri walaupun hanya sehelai saja.

"Mau membeli gaun baru?" Arya menyipitkan mata. "Kamu punya uang tidak? Lagian, buat apa membeli gaun baru? Mau memamerkan kecantikanmu pada orang lain? Kamu itu sudah laku. Sudah menjadi istri dan ibu. Jadi tidak usah macam-macam!" hardik Arya dengan suara tertahan. Ada orang lain di dalam ruangan soalnya. Uma pun meminta maaf tersendat. Ia malu karena Arya memarahinya di depan orang lain. 

"Justru karena sudah 'laku', yang membeli harus bisa merawatnya. Jadi yang dibeli bahagia, dan yang membeli juga bangga." Sekonyong-konyong terdengar sindiran dari sofa seberang. Uma menoleh. Suara dari sepasang kekasih dari sofa seberang. Laki-laki tampan itu membelanya. Sang wanita pun mendukungnya. Karena wanita itu menatapnya dengan pandangan membela. Uma tersentuh. Alih-alih suami, justru orang lain yang membelanya.

Arya menoleh sekilas. "Bukan begitu, Mas. Saya cuma mau mendisiplinkan istri saya. Dia tidak perlu susah-susah mempercantik diri. Toh, dia sudah laku," kata Arya dingin. 

Pria itu tersenyum tipis. "Analogi seperti itu salah, Mas. Baju yang sudah laku di toko pun bisa diretur kalau tidak sesuai selera, bukan?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   80. Bertemu Rival.

    Taksi online berhenti di depan gedung kantor Daniel. Pintu mobil terbuka, Uma keluar dengan mata sembab dan wajah kusut. Sepanjang perjalanan tadi, ia tak henti-hentinya menangis, dadanya sesak oleh bayangan buruk yang menghantui pikirannya.Begitu masuk ke dalam kantor, Genta yang sudah menunggunya langsung menyambut. Ia kaget melihat kondisi Uma yang kacau balau.“Uma…” Genta segera meraih bahunya, menuntunnya masuk, “ada apa? Tenang dulu. Tarik napas pelan-pelan.”Namun Uma justru semakin terisak. Suaranya parau, terputus-putus di antara tangisnya.“Mas Genta, Arya sekeluarga pindah tiba-tiba … aku… aku dengar dari tetangga… Vivi sering kasar sama Adek. Dia bilang anak tiri itu beban. Bagaimana kalau lama-lama dia kehabisan sabar? Bagaimana kalau dia menyiksa Adek?”Uma langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar hebat, histeris membayangkan hal-hal terburuk.“Sekarang ini banyak berita anak-anak meninggal di tangan ibu tiri mereka, Mas. Aku takut… aku

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   79. Menghilang!

    Sudah dua belas kali Uma mencoba menghubungi Arya. Namun ponselnya selalu dalam keadaan tidak aktif. Hari ini adalah jadwalnya mengunjungi Adek. Seperti biasa, ia akan menelepon Arya dua jam sebelumnya untuk memastikan kalau Adek sudah pulang les dan ada di rumah.Namun kali ini berbeda. Nomor Arya tak kunjung bisa dihubungi. Padahal dua hari lalu masih aktif. Uma menggigit bibirnya, rasa cemas mulai merayapi dada. Ia mencoba cara lain—menghubungi Pak Alwi, supir yang dulu sering memberinya kabar soal Adek. Tapi segera ia tersadar, itu mustahil. Sebulan lalu Pak Alwi sudah diberhentikan keluarga Tjokro dengan alasan perusahaan bangkrut dan tidak mampu lagi membayar gajinya.Uma menarik napas panjang, lalu menekan nomor Bu Mirna. Biasanya, meski ketus, mantan mertuanya itu tetap menjawab telepon. Namun kali ini, sama saja—ponselnya tidak aktif.Perasaan Uma semakin tidak enak. Opsi terakhir: Aryani dan Andika. Ia berharap besar pada adik ipar dan suaminya itu. Tapi hasilnya tetap nihi

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   78. Cinta Sejati.

    Uma mengangkat wajah perlahan.“Aku bilang kalau aku tidak punya hubungan khusus denganmu. Memang begitu kenyataannya bukan?" Uma balik bertanya.Sunyi sejenak. Hanya suara napas keduanya yang terdengar. Air muka Genta tampak gusar.“Lantas Ibu bilang apa lagi?” tanya Genta penasaran. Ia mengabaikan pertanyaan Uma.Uma menghela napas panjang. Pertanyaan inilah yang paling ia takutkan. Ya sudahlah. Terlanjur basah, ia akan mandi sekalian.“Beliau bilang kalau kamu… menyukaiku. Bahwa kamu sering datang ke sidang diam-diam, selalu mendukungku dari belakang. Beliau juga bilang… akhirnya beliau jadi tahu alasan kamu menolak perjodohan dengan Puri. Semua itu karena aku."Uma menarik napas pendek, buru-buru menambahkan dengan panik,“Tapi aku tahu itu semua tidak benar. Itu hanya perasaan ibumu saja!”Hening.Genta terdiam cukup lama. Tatapannya kosong menembus lantai, rahangnya mengeras. Uma menahan napas. Genta pasti marah.Lalu, dengan suara berat dan tegas, Genta berkata,“Itu semua… ben

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   77. Pengakuan.

    Genta segera mendorong pintu hingga tertutup rapat, lalu menarik Uma masuk ke dalam butik. Tatap matanya tajam, penuh tanda tanya."Ibu barusan bicara apa sama kamu?" tanyanya tajam.Uma membisu. Hatinya diliputi dilema. Seperti ucapannya pada Bu Ermi tadi-ia tidak bisa mengkhianati Genta. Tapi sebaliknya, ia juga tidak bisa mengkhianati Bu Ermi.Genta memandangi Uma lama, lalu helaan napasnya terdengar berat. Ia tahu kalau Uma adalah tipe orang yang tidak bisa berkhianat. Ia akhirnya mengubah pertanyaan."Apakah Ibu sering menemuimu?"Uma menelan ludah, lalu menjawab jujur, "Tidak sering... tapi pernah."Genta terdiam. Ia menunduk sejenak, seolah menimbang sesuatu, lalu mengangkat wajahnya kembali."Kalau begitu... bolehkah aku berbincang sebentar denganmu?"Uma menarik napas dalam, memindai arlojinya sekilas."Boleh. Tapi hanya sebentar ya, Mas. Sudah malam."Genta mengangguk setuju."Nanti aku akan mengantarmu, kalau kamu mau.""Tidak usah repot-repot, Mas," potong Uma cepat, suara

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   76. Kejutan Tak Terduga.

    "Apa isinya, Bu?" tukas Uma ragu."Coba kamu buka saja dulu," ucap Bu Ermi pelan.Uma menatap amplop itu, sedikit ragu. Namun akhirnya ia menarik napas dan membukanya. Dari dalam, ia mengeluarkan beberapa lembar foto yang dicetak cukup besar.Begitu melihat isi foto-foto itu, jantung Uma seolah berhenti berdetak. Ada dirinya bersama Genta dalam berbagai acara Karang Taruna-tersenyum bersama menatap kamera, berdiri berdampingan. Foto-foto itu jelas diambil diam-diam, dari sudut jauh, tapi semuanya tampak jelas. Bu Ermi ke sini ingin mengonfrontasinya rupanya, bukan ingin membuat gaun, batin Uma.Uma tercekat. Jemarinya sedikit bergetar saat memasukkan lembaran-lembaran foto itu ke dalam amplop.Bu Ermi menyilangkan tangan di dada, suaranya lembut namun tajam menusuk."Selama ini kamu selalu bilang kalau kamu tidak pernah punya hubungan khusus dengan Genta. Lalu ini apa? Kamu tega membohongi kami semua, padahal kamu tahu kalau kami kelimpungan mencarinya," tukas Bu Ermi dengan wajah sen

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   75. Gaya Umaira.

    Perhelatan akbar Jakarta Fashion Rising Designer sukses besar. Begitu juga dengan koleksi pakaian muslimah modern karya Uma. Gaya Umaira banyak dipuji karena mampu menggabungkan pakaian tertutup namun tetap fashionable. Apalagi harganya masih terjangkau. Nama Uma mulai diperhitungkan dalam kancah fashion; bahkan para sponsor berdatangan mengajaknya bekerja sama dengan brand-brand yang mereka usung.Gunawan menasihati Uma untuk menerima kerja sama para sponsor dan melepaskan diri dari nama Swan Butik. Uma harus membangun brand-nya sendiri. Dan sekarang adalah saat yang paling tepat-ketika namanya sedang berada di atas angin.Gunawan juga berpesan agar Uma memilih bentuk kerja sama berupa dana tunai, bukan produk atau layanan. Biasanya sponsor ditawarkan dalam empat tipe: dana tunai, pemberian produk atau layanan, promosi, hingga kemitraan inovatif. Dengan memilih dana tunai, Uma bisa berinovasi dengan leluasa tanpa harus terpaku pada salah satu produk tertentu.Akhirnya, Uma menjatuhka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status