Arya yang sedang menyetir mengendus-endus udara, keningnya berkerut. Setelah dua kali batuk kecil, ia melirik ke arah Uma yang duduk diam di kursi belakang bersama Vivi.
“Uma, kamu tadi mencuci piring tapi lupa mencuci tangan ya?” tanyanya sembari memegang kemudi dengan satu tangan dan tangan satunya mengibas-ngibas di depan hidung.
Uma yang tengah memandangi jalan dari balik jendela langsung menoleh. “Tidak, Mas," sahutnya singkat.
“Lalu, ini bau sabun cuci piring dari mana? Mobil ini baru dicuci, pengharumnya juga beraroma lavender. Tapi kok sekarang jadi bercampur bau lemon segala?” suara Arya meninggi. Ia memang alergi pada aroma buah yang menusuk.
Uma terdiam. Ia sedang mencari alasan yang logis. Tadi dia membuat sabun-sabun dengan berbagai aroma, termasuk lemon dan sereh. Minyak esensial yang cukup kuat pasti meninggalkan aroma yang menempel di bajunya. Bu Mirna tadi melarangnya berganti pakaian, akibatnya ya seperti ini.
Namun sebelum Uma sempat menjawab, Bu Mirna menyela cepat.
“Itu mungkin dari parfum baru yang tadi Ibu coba di pusat perbelanjaan. SPG-nya bilang parfumnya beraroma buah-buahan segar yang sedang tren. Makanya Ibu beli."
Uma menoleh dan menatap ibu mertuanya dengan sorot tak terbaca. Senyum kecil mengembang di bibirnya. Selama tiga tahun pernikahannya, belum pernah sekalipun Bu Mirna membelanya dari Arya. Tapi demi Arya tidak mengeluarkan uang untuk membantu pengobatan ayahnya, mertuanya ini bersedia jadi kambing hitam.
Arya mendengus. “Aroma segar apaan. Aromanya menyengat begitu. Seperti sabun toilet hotel murahan.”
Bu Mirna tertawa sinis, lalu menoleh sekilas pada Uma. “Benar juga. Aromanya murahan sekali. Membuat orang yang menghirupnya sakit kepala.” Uma tahu, ibu mertuanya menyindirnya. Tapi ia pura-pura tidak mendengarnya. Ia santai saja menatap ke luar jendela. Terserah mereka mau berkata apa. Yang penting ia bisa berkarya dan menghasilkan uang.
Di tengah perjalanan Vivi mulai rewel. Lama kelamaan ia gelisah dan mulai menangis. Dari mulai tangis merengek hingga tangis kencang karena tidak nyaman. Arya mendecakkan lidah kesal.
"Uma, diamkan anakmu. Aku tidak bisa menyetir kalau Vivi menjerit-jerit begitu!" omel Arya.
Bu Mirna menimpali," kamu ini jadi ibu bagaimana sih? Anak menangis saja tidak bisa dibujuk."
Uma mengayun pelan tubuh mungil Vivi sambil berbisik lembut, "Sayang, tidur lagi, ya? Mama di sini…."
"Vivi ngantuk," ujar Uma lirih. "Tidur siangnya terganggu karena—"
"Aku tidak peduli!" potong Arya tajam. "Kamu itu ibunya. Harusnya kamu bisa mengontrol anak sendiri!"
Uma hanya bisa diam, menahan sesak di dada. Ia peluk Vivi lebih erat. Untunglah, dalam pelukannya, tangisan Vivi mereda dan perlahan ia pun tertidur.
Kurang lebih 45 menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan butik mewah bertuliskan Gunawan Hartanto Couture. Arya dan Bu Mirna melangkah cepat, sementara dirinya tertinggal, menggendong Vivi yang masih terkantuk-kantuk.
AC dingin menyambutnya saat pintu otomatis terbuka. Di dalam butik, puluhan gaun elegan menggantung di rak kaca bening. Setiap helai tampak bersinar, seolah ingin berbisik, aku mahal.
Di salah satu sofa empuk, tampak seorang pria flamboyan dengan jas berbunga, duduk berdampingan dengan pasangan muda. Pria itu jelas Gunawan Hartanto. Sambil tertawa renyah, ia berbincang ramah dengan sang tamu.
Arya menghampiri Gunawan, begitu pula Bu Mirna. Uma mengekor di belakang.
"Hallo, Bu Tjokro. Lama tidak berjumpa." Gunawan menyambut Bu Mirna ramah.
"Ayo, kita naik ke lantai dua. Di sana banyak model gaun-gaun terbaru yang pasti cocok untuk Ibu." Seperti biasa Gunawan Hartanto sangat piawai mempromosikan koleksi-koleksi terbarunya.
"Kamu memang tahu seleraku. Aku memang maunya hanya gaun-gaun koleksi terbaru," ujar Bu Mirna sombong sambil mengembangkan kipasnya.
"Harus dong. Bagi saya, pelanggan itu adalah ratu. Apalagi pelanggannya VVIP seperti Bu Tjokro. Silakan, Bu." Dengan luwes Gunawan mempersilakan Bu Mirna naik ke lantai dua. Memuji dan membesar-besarkan hati pelanggan adalah keahliannya. Saat melihat ibu mertuanya mulai naik ke tangga, Uma pun melangkah mengikuti.
Namun, Bu Mirna langsung menoleh dan mengangkat alis. "Ngapain kamu ikut, Uma? Kamu tunggu di sini saja bersama Vivi dan Arya."
Seketika langkah Uma surut. Ia mengangguk kecil dan mundur, lalu duduk di sofa lain, memangku Vivi yang kini tertidur. Ia merasa asing, kecil di ruangan megah itu.
Arya datang dan duduk di sampingnya. Wajahnya terlihat jengkel.
"Kamu mau ngapain ikut Ibu ke atas?" tanya Arya.
Uma menatap gaun-gaun indah di sekitar mereka. "Saya ingin melihat-lihat gaun, Mas. Gaun pesta saya itu-itu saja. Belikan saya satu gaun baru ya, Mas?" pinta Uma dengan nada memohon. Selama ini ia selalu mengenakan baju-baju lamanya sewaktu gadis. Apabila ia berkunjung ke rumah orang tuanya atau menghadiri acara-acara yang mengharuskannya ikut serta, ibu mertuanya akan meminjamkan gaun-gaun lamanya yang sudah ketinggalan zaman. Ia jadi terlihat tua dibanding usianya. Ia ingin punya gaun sendiri walaupun hanya sehelai saja.
"Mau membeli gaun baru?" Arya menyipitkan mata. "Kamu punya uang tidak? Lagian, buat apa membeli gaun baru? Mau memamerkan kecantikanmu pada orang lain? Kamu itu sudah laku. Sudah menjadi istri dan ibu. Jadi tidak usah macam-macam!" hardik Arya dengan suara tertahan. Ada orang lain di dalam ruangan soalnya. Uma pun meminta maaf tersendat. Ia malu karena Arya memarahinya di depan orang lain.
"Justru karena sudah 'laku', yang membeli harus bisa merawatnya. Jadi yang dibeli bahagia, dan yang membeli juga bangga." Sekonyong-konyong terdengar sindiran dari sofa seberang. Uma menoleh. Suara dari sepasang kekasih dari sofa seberang. Laki-laki tampan itu membelanya. Sang wanita pun mendukungnya. Karena wanita itu menatapnya dengan pandangan membela. Uma tersentuh. Alih-alih suami, justru orang lain yang membelanya.
Arya menoleh sekilas. "Bukan begitu, Mas. Saya cuma mau mendisiplinkan istri saya. Dia tidak perlu susah-susah mempercantik diri. Toh, dia sudah laku," kata Arya dingin.
Pria itu tersenyum tipis. "Analogi seperti itu salah, Mas. Baju yang sudah laku di toko pun bisa diretur kalau tidak sesuai selera, bukan?"
"Eh Mas, semua yang kamu sebutkan tadi memang sudah menjadi tugasmu sebagai seorang suami. Kalau saya harus membayar, mendingan saya cari majikan yang lebih kaya yang loyal. Bukan menjadi babu gratisan di rumah sendiri," balas Uma tak kalah ganas. "Kalau memang mau hitung-hitungan, saya yang rugi banyak, Mas. Keperawanan saya, anak yang saya lahirkan, kepatuhan saya melayani Mas lahir batin, coba Mas bayar? Nominalnya tidak terhitung bukan?" Uma kian menunjukkan taringnya. "Lantas, apa maumu?" Arya berkacak pinggang. Ia ingin melihat sejauh apa Uma berani mendebatnya. "Saya mau Mas memperlakukan saya selayaknya seorang istrimu, bukan babu. Perlakukan saya dengan hormat, berikan juga saya nafkah lahir batin yang memang seharusnya menjadi hak saya," ucap Uma tegas."Woho. Kamu sudah mulai menuntut macam-macam ya sekarang? Hebat... hebat..." Arya bertepuk tangan dengan air muka mengejek. "Baru sehari keluar rumah saja, kamu sudah berani memberontak. Saya peringatkan kamu ya, jangan m
Saat Uma tiba di rumah, mobil Arya tidak terlihat di garasi. Itu berarti suaminya belum pulang. Namun, ibu mertuanya sudah ada di rumah.Tini menyambut Uma dan segera membantunya mengangkat beberapa bahan sabun yang berat dari dalam bagasi mobil."Biar saya saja yang bawa, Bu," ucap Tini menawarkan bantuan.Arumi pun kemudian berpamitan. "Aku langsung pulang ya, Uma. Sudah malam juga."Uma mengangguk. Ia tahu betul, suasana pasti akan canggung jika Arumi tetap tinggal saat Bu Mirna ada di rumah.Begitu masuk ke ruang tengah, Uma melihat ibu mertuanya duduk di sofa menonton televisi. Vivi sedang bermain boneka bersama Mbok Jum di karpet.Bu Mirna meliriknya sekilas. "Harusnya kamu pulang lebih cepat. Kamu itu sudah berkeluarga, punya tanggung jawab sebagai istri dan ibu. Baru diberi sedikit kebebasan saja langsung lupa pulang," decihnya tajam. Nada bicaranya menghakimi seperti biasa. Berharap Uma merasa bersalah. Tapi kali ini reaksi Uma berbeda. Ia tidak mau bersikap seperti dulu yan
"Perang? Maksudnya?" tanya Uma bingung."Perang urat saraf antara Mas Genta dan orang tuaku." Arumi lagi-lagi mendecakkan lidah.Uma semakin bingung. "Memangnya kenapa sih?"Arumi melirik sekilas ke Uma, lalu kembali fokus ke jalan. "Kamu ingat nggak, aku pernah cerita soal Mas Genta yang mau dikenalkan sama anak kenalannya Mama? Namanya Mbak Puri."Uma mengangguk cepat. "Iya, ingat. Memangnya kenapa?""Nah… mendadak Mas Genta menolak mentah-mentah rencana itu. Dia tidak mau bertemu, tidak mau dijodohkan, pokoknya menolak apa pun yang berhubungan dengan Mbak Puri. Mama sampai marah besar. Soalnya si Puri ini sudah ngebet banget ingin dijodohkan dengan Mas Genta. Katanya, dari dulu dia sudah suka sama Mas Genta."Uma mengangkat alis. "Kenapa Genta tiba-tiba tidak mau ya?" Uma sekarang ikut bingung.""Itulah! Mas Genta tidak mau menyebutkan alasannya. Tidak etis katanya. Entah apa yang tidak etis. Mama sudah bilang, 'Ya sudah, kenalan aja dulu, ngobrol sebentar juga cukup.’ Tapi Mas Gen
Beberapa saat setelah mobil yang dikendarai Pak Alwi berlalu dari halaman, membawa ibu mertuanya, Vivi, dan Tini, sebuah mobil lain berhenti di depan gerbang. Uma yang sedang duduk di teras langsung berdiri. Pak Umar, seperti biasa, sigap membuka pintu pagar.Mobil itu adalah mobil Arumi.Uma menyambut kedatangan Arumi dengan senyum lebar. Hari ini mereka akan membeli bahan-bahan untuk membuat sabun di toko Kimia Jaya sebelum reuni kecil-kecilan dengan teman-teman SMA mereka. Karena itu, ia hanya berdandan sederhana. Sunscreen, bedak tabur, dan pelembap bibir sudah cukup. Ia mengenakan celana jeans, kaos lengan panjang, jilbab pastel, dan sepatu kets kesayangannya."Ya ampun, Uma," seru Arumi begitu turun dari mobil. "Orang yang tidak mengenalmu, pasti mengira kalau kamu masih SMA."Uma terkekeh. "Padahal aku ini ibu-ibu yang sudah punya anak satu ya?" Uma menyengir."Iya. Dan herannya masih tetap terlihat muda. Tidak sepertiku yang mukanya tampak boros. Sungguh tidak adil." Arumi pur
Bu Mirna mengalihkan pandangannya pada Uma, yang masih berdiri tenang di dekat kursi makan. Tatapan mereka bertemu sejenak. Uma tak berkata apa-apa. Ia hanya menunduk sedikit, menunggu. Ingin tahu, kali ini ibu mertuanya akan memarahinya dengan kalimat-kalimat hinaan apa lagi. Ibu dan anak ini memang kerap merudungnya.Beberapa detik berlalu sebelum Bu Mirna berkata—nada suaranya tenang,"Hanya masalah sepele saja, ributnya sampai terdengar ke luar sana," omel Bu Mirna sembari duduk perlahan di kursi.Uma termangu. Tumben, ibu mertuanya tidak ikut-ikutan menghujatnya.Arya merengut. "Tapi, Bu—"Namun, ibunya mengangkat tangan, memotong kalimat itu."Duduk dan lanjutkan sarapanmu, Arya. Kamu juga, Uma. Duduk sini," perintah Bu Mirna tegas.Arya dan Uma menarik kursi dan duduk mengelilingi meja."Dengar, Arya. Uma itu tidak selamanya ada untukmu. Sekarang dia sibuk mengurus anak. Nantinya bisa saja dia sibuk mengurus hal lain. Kamu harus mulai belajar dilayani oleh orang lain juga."Kat
Pagi datang terlalu cepat. Uma bangun dan berkali-kali menguap saat menyiapkan sarapan bersama Mbok Jum. Ia terjaga semalaman dan baru bisa tidur menjelang pagi. Saat ini, dapur dipenuhi aroma kaldu dari bubur ayam yang menguar dari mangkuk hangat. Uma duduk di ujung meja, menyuapi Vivi yang duduk di baby chair sambil mengayun-ayunkan kaki mungilnya."Aaa..." Uma tersenyum lembut sambil menyodorkan sesendok bubur ke mulut anaknya.Vivi menyambutnya dengan gembira, meski sebagian bubur menempel di pipinya.Sejurus kemudian, Mbok Jum meletakkan pinggan berisi nasi goreng, telur mata sapi, dan ayam suwir. Tini menyusul meletakkan potongan timun, tomat segar, kerupuk, dan seteko jus jeruk.Beberapa saat kemudian, pintu dapur terbuka. Arya masuk dalam keadaan sudah rapi. Ia mengenakan kemeja biru muda dengan dasi menggantung di leher. Wajahnya seperti biasa—dingin, angkuh, merasa dirinya raja di rumah sendiri.Uma tidak melihat ke arah Arya sedikit pun. Ia tetap duduk dan sibuk menyuapi bu