Home / Romansa / Seumur Hidup Terlalu Lama / 5. Burung Dalam Sangkar Emas.

Share

5. Burung Dalam Sangkar Emas.

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2025-08-04 09:41:35

Pintu pagar rumah itu terbuka lebar saat mobilnya berhenti perlahan di depan rumah. Uma tersenyum haru. Ibunya berdiri di ambang pagar, seolah telah menanti sejak pagi. Begitu ia turun dari mobil, tangan ibunya langsung menggamitnya hangat, membawanya masuk ke dalam rumah yang telah lama tak ia sambangi.

Di ruang tengah, Rauda dan Raima duduk santai menonton televisi. Keduanya tampak berdandan rapi. Ini hari Minggu—kakak-kakaknya pasti akan keluar dengan pacar masing-masing.

"Apa kabar, Mbak Uda, Mbak Ima?" Uma menyapa kakak-kakaknya penuh kerinduan.

"Ya beginilah. Kami semakin tua dan makin susah mencari uang," sahut Rauda asal-asalan. Sementara Raima hanya menoleh sekilas, tanpa niat menjawab sapaan adik bungsunya yang egois.

“Vivi nggak diajak, Ma? Ibu kangen padanya,” tanya Bu Rahayu, mencoba mencairkan suasana.

Alih-alih Uma yang menjawab, Raima langsung menyambar dengan mulut mencebik.

“Mana mungkin Uma mau mengajak anak? Bisa luntur nanti dandanannya. Itu sih katanya suami dan mertuanya ya, bukan kataku.”

Uma menghela napas. Ia sudah terbiasa dengan sindiran seperti itu setiap kali berkunjung.

“Vivi tidur siang, Bu. Lagian, Arya janji mau mengajaknya jalan-jalan. Ini kan hari Minggu. Kalau Uma bawa ke sini, nanti Vivi mengantuk dan rewel di jalan,” jawab Uma pelan. Namun, jawabannya malah ditanggapi dengan cibiran dari Raima.

Tak lama, dari arah kamar terdengar batuk kering panjang. Pak Anwar, ayahnya, muncul dengan langkah tertatih, menggenggam tongkat kayu tua. Wajahnya berseri melihat kedatangan putri bungsunya.

“Ayah batuk lagi, ya? Kalau begitu, Ayah istirahat saja di kamar. Biar kita ngobrolnya sambil tiduran,” bujuk Uma, menyambut ayahnya dengan penuh perhatian. Ada satu kursi goyang dan sebuah kursi rotan di sana.

Mereka pun masuk ke kamar, diikuti oleh Bu Rahayu. Tapi belum sempat mereka duduk dengan tenang, Rauda membuka suara sambil menyilangkan tangan di dada.

“Seharusnya kamu membelikan Ayah ranjang seperti di rumah sakit yang ada katrolnya, Ma. Jadi gampang mengatur posisi tidurnya.”

Uma tercekat. Ia tahu maksud Rauda, tapi sulit menjelaskannya. Rauda pasti tidak percaya kalau dirinya tidak punya uang. Uma memilih diam. Karena tidak mendapat respons, Raima ikut menimpali sambil menyeringai.

“Uma… Uma. Gayamu saja yang elit, tapi ekonomi... sulit.”

Pak Anwar terbatuk pelan, lalu menegur, “Sudah, jangan begitu. Tempat tidur seperti itu mahal. Uma kan tidak bekerja seperti kalian. Lagi pula, Uma sering mengirim makanan untuk kita. Itu saja sudah sangat membantu.”

Rauda mencibir.

“Makanan seuprit dua kali seminggu Ayah sebut sangat membantu? Terus aku yang tiap bulan membayar biaya makan, listrik, air, Ayah sebut apa? Atau Raima yang menanggung biaya rumah sakit, obat, dan kebutuhan mendadak kita, Ayah sebut apa juga? Kok rasanya tidak adil, ya?” protes Rauda.

“Kami bekerja siang malam seperti kuda sampai lupa menikah demi orangtua. Sementara Uma, cuma ongkang-ongkang kaki, bersuamikan orang kaya, tidak pernah membantu sama sekali,” Raima ikut bersuara.

Uma mengangkat wajah perlahan, matanya berkaca-kaca.

“Bukan tidak mau, Kak. Aku memang tidak pernah memegang uang lebih. Setiap kali Mas Arya memberi uang, selalu pas-pasan untuk membeli susu dan popok Vivi. Katanya toh semua kebutuhan hidupku sudah ditanggung.”

Raima tersenyum tipis, lalu melirik perhiasan dan pakaian Uma.

“Kalau begitu, jual saja tas, sepatu, dan perhiasan-perhiasan mewahmu. Itu kalau kamu memang berniat membantu Ayah ya. Ada peribahasa yang mengatakan : banyak jalan menuju Roma. Kecuali memang kamunya yang tidak mau berkorban. Itu sih lain cerita.”

Uma kembali terdiam. Ia tidak berani mengatakan kalau  kemewahan itu hanyalah pinjaman dari ibu mertua dan adik iparnya. Mereka selalu menekankan agar ia menjaga harga diri suaminya. Bagaimana mungkin ia menjual barang yang bukan miliknya?

Melihat Uma tetap bungkam, Rauda mendekat. Ia berdiri di hadapannya sambil berkacak pinggang.

“Kamu tidak bersedia kan? Berarti kamu memang tidak niat untuk membantu. Alasan aja—tidak punya uang lah, ini lah, itu lah.”

Tangan Uma mengepal di atas lutut. Mulutnya tetap terkunci. Ia hanya bisa menunduk, menelan setiap ejekan itu dalam diam.

“Sudah! Cukup!” potong Bu Rahayu tegas. “Ayahmu sedang sakit. Jangan memperkeruh suasana!”

Dengan dengusan kasar, Rauda dan Raima akhirnya keluar kamar, meninggalkan Uma sendiri bersama Pak Anwar.

Keheningan menyergap. Ayahnya menggamit tangan Uma, memintanya duduk lebih dekat.

“Kamu bahagia, Ma?” tanya Pak Anwar pelan. 

Pertanyaan itu seperti belati yang perlahan menggores hati. Perih. Tapi Uma memaksakan senyum tipis dan mengangguk.

“Bahagia kok, Yah.”

“Syukurlah kalau begitu,” gumam ayahnya. “Tapi kalau pun tidak… rumah ini selalu terbuka untuk kamu pulang.”

Senyum Uma melebar, meski tak ada kebahagiaan di dalamnya.

“Terima kasih, Yah. Tapi semuanya baik-baik saja,” bohongnya. 

Suara klakson terdengar dari luar. Suasana sejenak berubah. Terdengar suara Rauda memanggil pacarnya, diikuti Raima.

“Kamu keluar dulu sana. Sapa Anton dan Thoriq,” ujar Pak Anwar.

Sempat ragu, Uma akhirnya keluar kamar juga. Di dalam, ibunya masih menemani sang ayah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   80. Bertemu Rival.

    Taksi online berhenti di depan gedung kantor Daniel. Pintu mobil terbuka, Uma keluar dengan mata sembab dan wajah kusut. Sepanjang perjalanan tadi, ia tak henti-hentinya menangis, dadanya sesak oleh bayangan buruk yang menghantui pikirannya.Begitu masuk ke dalam kantor, Genta yang sudah menunggunya langsung menyambut. Ia kaget melihat kondisi Uma yang kacau balau.“Uma…” Genta segera meraih bahunya, menuntunnya masuk, “ada apa? Tenang dulu. Tarik napas pelan-pelan.”Namun Uma justru semakin terisak. Suaranya parau, terputus-putus di antara tangisnya.“Mas Genta, Arya sekeluarga pindah tiba-tiba … aku… aku dengar dari tetangga… Vivi sering kasar sama Adek. Dia bilang anak tiri itu beban. Bagaimana kalau lama-lama dia kehabisan sabar? Bagaimana kalau dia menyiksa Adek?”Uma langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar hebat, histeris membayangkan hal-hal terburuk.“Sekarang ini banyak berita anak-anak meninggal di tangan ibu tiri mereka, Mas. Aku takut… aku

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   79. Menghilang!

    Sudah dua belas kali Uma mencoba menghubungi Arya. Namun ponselnya selalu dalam keadaan tidak aktif. Hari ini adalah jadwalnya mengunjungi Adek. Seperti biasa, ia akan menelepon Arya dua jam sebelumnya untuk memastikan kalau Adek sudah pulang les dan ada di rumah.Namun kali ini berbeda. Nomor Arya tak kunjung bisa dihubungi. Padahal dua hari lalu masih aktif. Uma menggigit bibirnya, rasa cemas mulai merayapi dada. Ia mencoba cara lain—menghubungi Pak Alwi, supir yang dulu sering memberinya kabar soal Adek. Tapi segera ia tersadar, itu mustahil. Sebulan lalu Pak Alwi sudah diberhentikan keluarga Tjokro dengan alasan perusahaan bangkrut dan tidak mampu lagi membayar gajinya.Uma menarik napas panjang, lalu menekan nomor Bu Mirna. Biasanya, meski ketus, mantan mertuanya itu tetap menjawab telepon. Namun kali ini, sama saja—ponselnya tidak aktif.Perasaan Uma semakin tidak enak. Opsi terakhir: Aryani dan Andika. Ia berharap besar pada adik ipar dan suaminya itu. Tapi hasilnya tetap nihi

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   78. Cinta Sejati.

    Uma mengangkat wajah perlahan.“Aku bilang kalau aku tidak punya hubungan khusus denganmu. Memang begitu kenyataannya bukan?" Uma balik bertanya.Sunyi sejenak. Hanya suara napas keduanya yang terdengar. Air muka Genta tampak gusar.“Lantas Ibu bilang apa lagi?” tanya Genta penasaran. Ia mengabaikan pertanyaan Uma.Uma menghela napas panjang. Pertanyaan inilah yang paling ia takutkan. Ya sudahlah. Terlanjur basah, ia akan mandi sekalian.“Beliau bilang kalau kamu… menyukaiku. Bahwa kamu sering datang ke sidang diam-diam, selalu mendukungku dari belakang. Beliau juga bilang… akhirnya beliau jadi tahu alasan kamu menolak perjodohan dengan Puri. Semua itu karena aku."Uma menarik napas pendek, buru-buru menambahkan dengan panik,“Tapi aku tahu itu semua tidak benar. Itu hanya perasaan ibumu saja!”Hening.Genta terdiam cukup lama. Tatapannya kosong menembus lantai, rahangnya mengeras. Uma menahan napas. Genta pasti marah.Lalu, dengan suara berat dan tegas, Genta berkata,“Itu semua… ben

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   77. Pengakuan.

    Genta segera mendorong pintu hingga tertutup rapat, lalu menarik Uma masuk ke dalam butik. Tatap matanya tajam, penuh tanda tanya."Ibu barusan bicara apa sama kamu?" tanyanya tajam.Uma membisu. Hatinya diliputi dilema. Seperti ucapannya pada Bu Ermi tadi-ia tidak bisa mengkhianati Genta. Tapi sebaliknya, ia juga tidak bisa mengkhianati Bu Ermi.Genta memandangi Uma lama, lalu helaan napasnya terdengar berat. Ia tahu kalau Uma adalah tipe orang yang tidak bisa berkhianat. Ia akhirnya mengubah pertanyaan."Apakah Ibu sering menemuimu?"Uma menelan ludah, lalu menjawab jujur, "Tidak sering... tapi pernah."Genta terdiam. Ia menunduk sejenak, seolah menimbang sesuatu, lalu mengangkat wajahnya kembali."Kalau begitu... bolehkah aku berbincang sebentar denganmu?"Uma menarik napas dalam, memindai arlojinya sekilas."Boleh. Tapi hanya sebentar ya, Mas. Sudah malam."Genta mengangguk setuju."Nanti aku akan mengantarmu, kalau kamu mau.""Tidak usah repot-repot, Mas," potong Uma cepat, suara

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   76. Kejutan Tak Terduga.

    "Apa isinya, Bu?" tukas Uma ragu."Coba kamu buka saja dulu," ucap Bu Ermi pelan.Uma menatap amplop itu, sedikit ragu. Namun akhirnya ia menarik napas dan membukanya. Dari dalam, ia mengeluarkan beberapa lembar foto yang dicetak cukup besar.Begitu melihat isi foto-foto itu, jantung Uma seolah berhenti berdetak. Ada dirinya bersama Genta dalam berbagai acara Karang Taruna-tersenyum bersama menatap kamera, berdiri berdampingan. Foto-foto itu jelas diambil diam-diam, dari sudut jauh, tapi semuanya tampak jelas. Bu Ermi ke sini ingin mengonfrontasinya rupanya, bukan ingin membuat gaun, batin Uma.Uma tercekat. Jemarinya sedikit bergetar saat memasukkan lembaran-lembaran foto itu ke dalam amplop.Bu Ermi menyilangkan tangan di dada, suaranya lembut namun tajam menusuk."Selama ini kamu selalu bilang kalau kamu tidak pernah punya hubungan khusus dengan Genta. Lalu ini apa? Kamu tega membohongi kami semua, padahal kamu tahu kalau kami kelimpungan mencarinya," tukas Bu Ermi dengan wajah sen

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   75. Gaya Umaira.

    Perhelatan akbar Jakarta Fashion Rising Designer sukses besar. Begitu juga dengan koleksi pakaian muslimah modern karya Uma. Gaya Umaira banyak dipuji karena mampu menggabungkan pakaian tertutup namun tetap fashionable. Apalagi harganya masih terjangkau. Nama Uma mulai diperhitungkan dalam kancah fashion; bahkan para sponsor berdatangan mengajaknya bekerja sama dengan brand-brand yang mereka usung.Gunawan menasihati Uma untuk menerima kerja sama para sponsor dan melepaskan diri dari nama Swan Butik. Uma harus membangun brand-nya sendiri. Dan sekarang adalah saat yang paling tepat-ketika namanya sedang berada di atas angin.Gunawan juga berpesan agar Uma memilih bentuk kerja sama berupa dana tunai, bukan produk atau layanan. Biasanya sponsor ditawarkan dalam empat tipe: dana tunai, pemberian produk atau layanan, promosi, hingga kemitraan inovatif. Dengan memilih dana tunai, Uma bisa berinovasi dengan leluasa tanpa harus terpaku pada salah satu produk tertentu.Akhirnya, Uma menjatuhka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status