“Iya, Mbok. Tapi belum bisa dipakai ya, sabunnya masih harus didiamkan tiga puluh hari,” jawab Uma seraya merapikan cetakan kosong.
“Sabun yang sebelah sini sudah bisa dipaking ya, Bu?” Tini menunjuk tumpukan sabun yang sudah dipisahkan.
“Sudah, Tin. Paking sesuai urutan nomor rumah clusternya ya, biar Pak Alwi gampang mengantarnya,” terang Uma. Pak Alwi biasanya datang ke dapur belakang selepas jam kerja. Sebelum pulang, ia akan mengambil paketan dan mengantarnya. Pak Alwi dengan senang hati membantunya mengantar paketan. Ia menyebut pekerjaannya ini sebagai ladang rezeki karena Uma memberikan upah yang lumayan. Bu Sulis dan Ima—anak dan istri Pak Alwi—juga rajin promosi. Ima promosi pada teman-teman sekolahnya dan Bu Sulis pada teman-teman pengajiannya. Uma memberikan harga khusus pada keduanya agar bisa mendapat untung.
“Siap, Bu.” Tini dengan semangat mengikat pita rafia kecil ke plastik pembungkus. Aroma harum sabun membuatnya terus mengendus-endus udara. Tiba-tiba, notifikasi ponsel Tini berbunyi. Tini tersenyum gembira setelah membaca pesan yang masuk.
“Bu, ada pesanan lagi. Bu Suci di Cluster Angsana memesan satu lusin sabun mawar, dan ART-nya Bu Ayu minta dua lusin sabun kopi.”
“Wah, berarti sabun kopi yang baru dibuat ini sudah habis,” ucap Uma seraya menatap sabun kopi yang baru saja dicetak. Jujur, ia senang sekali karena sabunnya laris manis. Masalahnya, ia kehabisan modal untuk membeli bahan baku. Bulan lalu, ia sudah menjual kalung kesayangannya yang dulu ia beli dari hasil mengajar les privat dan penjualan sabun. Kini, ia tidak punya apa pun lagi untuk dijual. Padahal, ia sudah punya rencana untuk mengembangkan bisnisnya dengan membuat sabun untuk mencuci piring dan pakaian dari lerak. Modal memang merupakan kendala utamanya. Ia butuh investor.
Saat ia tengah berpikir keras, terdengar suara langkah-langkah mendekati dapur. Menilik irama langkahnya yang pendek-pendek dan berat, sepertinya yang datang adalah Bu Mirna.
“Mbok, tadi Mbok bilang Ibu pergi ke rumah Bu Sulis, kan?” bisik Uma tegang. Gerakannya menuang adonan sabun terhenti.
“Tadi sih katanya begitu. Entah kenapa kok ini balik lagi ya?” sahut Mbok Jum dengan suara tercekat. Pasti ia akan dimarahi majikannya habis-habisan karena membantu Uma.
“Bagaimana ini, Bude?” Tini juga ketakutan. Dengan tangan bergetar, ia segera membuka celemek dan sarung tangannya. Setelah dua bulan kucing-kucingan membuat sabun, sepertinya hari ini mereka akan ketahuan juga.
“Orang-orang di rumah ini pada ke mana sih? Dipanggil-panggil dari tadi tidak ada yang muncul. Uma! Mbok Jum! Tini!” Teriakan Bu Mirna makin dekat ke dapur. Uma menarik napas panjang dua kali sebelum menjawab.
“Iya, Bu. Saya di sini.” Uma keluar dari dapur setelah melepas celemek, sarung tangan dan maskernya.
“Kami juga di sini, Bu.” Mbok Jum dan Tini ikut berdiri di samping Uma.
“Heh, ngapain kalian semua siang-siang di sini?” Bu Mirna yang berdiri di ambang pintu memandang ketiganya dengan wajah penuh curiga.
“Dapur ini juga berbau aneh. Apa yang sebenarnya kalian lakukan?” Bu Mirna yang curiga menerobos dapur.
“Saya sedang membuat sabun, Bu,” jawab Uma seraya mengikuti langkah Bu Mirna menuju meja kerjanya. Pemandangan bermacam-macam sabun dalam cetakan maupun yang sudah dipaking rapi terhampar di sana.
“Apa-apaan ini? Kamu membuat dapurku berantakan dengan sabun-sabun murahanmu ini?” Bu Mirna yang emosi bermaksud membuang sabun-sabun yang tengah didinginkan.
“Jangan, Bu! Sabun-sabun ini akan saya jual untuk membantu pengobatan Ayah. Kalau Ibu membuangnya, saya terpaksa akan meminta uang tambahan pada Mas Arya.” Uma mengancam tipis-tipis. Ia tahu betapa kikirnya Bu Mirna. Memikirkan Arya akan mengeluarkan uang ekstra untuknya, pasti akan membuatnya berpikir dua kali.
“Ya sudah. Terserah kamu. Asal kamu ingat tugasmu sebagai seorang istri dan ibu.” Bu Mirna mengalah.
Tebakannya benar. Bu Mirna tidak jadi merusak sabun-sabunnya.
“Tapi kamu tidak boleh meminta bantuan Mbok Jum ataupun Tini. Gaji mereka aku yang bayar, bukan kamu!” Bu Mirna menunjuk Mbok Jum dan Tini yang berdiri tegang karena ketakutan.
“Kalau mereka tidak membantu, saya kekurangan tenaga, Bu. Kalau saya mencari orang lagi, nanti uangnya tidak cukup. Tidak mungkin kan kalau saya memintanya pada Mas Arya?” keluh Uma pura-pura bingung.
“Ya sudah! Mereka boleh membantumu. Tapi… kalau pekerjaan mereka sudah selesai.” Bu Mirna terpaksa kembali mengalah.
“Bu, Uma tidak ada di kamar. Ibu melihat Uma, tidak?” Samar-samar terdengar suara Arya di ruang makan. Uma makin heran. Tumben Arya sudah pulang dari kantor siang-siang begini.
“Uma di dapur. Kamu tunggu di depan saja. Kami akan segera ke sana.” Bu Mirna buru-buru menghalangi Arya agar tidak ke dapur belakang. Uma tersenyum dalam hati. Ibu mertuanya melindungi kegiatannya dari Arya. Baguslah. Dengan begitu, ia tetap bisa bekerja.
“Kamu bangunkan Vivi sekarang. Kita akan ke butik Gunawan Hartanto untuk membuat gaun. Aku sudah janji padanya akan datang pukul dua ini,” perintah Bu Mirna.
“Baik, saya mandi sebentar dan menukar pakaian ya, Bu? Baju saya yang ini kotor.”
Bu Mirna menggeleng. “Tidak usah. Nanti kita terlambat. Si Gunawan itu orang sibuk. Kalau kita terlambat, jadwal kita akan diberikan pada orang lain.”
Demikianlah, dengan berpakaian lusuh apa adanya, Uma ikut dengan ibu mertuanya ke butik langganan para sosialita Ibu Kota.
Taksi online berhenti di depan gedung kantor Daniel. Pintu mobil terbuka, Uma keluar dengan mata sembab dan wajah kusut. Sepanjang perjalanan tadi, ia tak henti-hentinya menangis, dadanya sesak oleh bayangan buruk yang menghantui pikirannya.Begitu masuk ke dalam kantor, Genta yang sudah menunggunya langsung menyambut. Ia kaget melihat kondisi Uma yang kacau balau.“Uma…” Genta segera meraih bahunya, menuntunnya masuk, “ada apa? Tenang dulu. Tarik napas pelan-pelan.”Namun Uma justru semakin terisak. Suaranya parau, terputus-putus di antara tangisnya.“Mas Genta, Arya sekeluarga pindah tiba-tiba … aku… aku dengar dari tetangga… Vivi sering kasar sama Adek. Dia bilang anak tiri itu beban. Bagaimana kalau lama-lama dia kehabisan sabar? Bagaimana kalau dia menyiksa Adek?”Uma langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar hebat, histeris membayangkan hal-hal terburuk.“Sekarang ini banyak berita anak-anak meninggal di tangan ibu tiri mereka, Mas. Aku takut… aku
Sudah dua belas kali Uma mencoba menghubungi Arya. Namun ponselnya selalu dalam keadaan tidak aktif. Hari ini adalah jadwalnya mengunjungi Adek. Seperti biasa, ia akan menelepon Arya dua jam sebelumnya untuk memastikan kalau Adek sudah pulang les dan ada di rumah.Namun kali ini berbeda. Nomor Arya tak kunjung bisa dihubungi. Padahal dua hari lalu masih aktif. Uma menggigit bibirnya, rasa cemas mulai merayapi dada. Ia mencoba cara lain—menghubungi Pak Alwi, supir yang dulu sering memberinya kabar soal Adek. Tapi segera ia tersadar, itu mustahil. Sebulan lalu Pak Alwi sudah diberhentikan keluarga Tjokro dengan alasan perusahaan bangkrut dan tidak mampu lagi membayar gajinya.Uma menarik napas panjang, lalu menekan nomor Bu Mirna. Biasanya, meski ketus, mantan mertuanya itu tetap menjawab telepon. Namun kali ini, sama saja—ponselnya tidak aktif.Perasaan Uma semakin tidak enak. Opsi terakhir: Aryani dan Andika. Ia berharap besar pada adik ipar dan suaminya itu. Tapi hasilnya tetap nihi
Uma mengangkat wajah perlahan.“Aku bilang kalau aku tidak punya hubungan khusus denganmu. Memang begitu kenyataannya bukan?" Uma balik bertanya.Sunyi sejenak. Hanya suara napas keduanya yang terdengar. Air muka Genta tampak gusar.“Lantas Ibu bilang apa lagi?” tanya Genta penasaran. Ia mengabaikan pertanyaan Uma.Uma menghela napas panjang. Pertanyaan inilah yang paling ia takutkan. Ya sudahlah. Terlanjur basah, ia akan mandi sekalian.“Beliau bilang kalau kamu… menyukaiku. Bahwa kamu sering datang ke sidang diam-diam, selalu mendukungku dari belakang. Beliau juga bilang… akhirnya beliau jadi tahu alasan kamu menolak perjodohan dengan Puri. Semua itu karena aku."Uma menarik napas pendek, buru-buru menambahkan dengan panik,“Tapi aku tahu itu semua tidak benar. Itu hanya perasaan ibumu saja!”Hening.Genta terdiam cukup lama. Tatapannya kosong menembus lantai, rahangnya mengeras. Uma menahan napas. Genta pasti marah.Lalu, dengan suara berat dan tegas, Genta berkata,“Itu semua… ben
Genta segera mendorong pintu hingga tertutup rapat, lalu menarik Uma masuk ke dalam butik. Tatap matanya tajam, penuh tanda tanya."Ibu barusan bicara apa sama kamu?" tanyanya tajam.Uma membisu. Hatinya diliputi dilema. Seperti ucapannya pada Bu Ermi tadi-ia tidak bisa mengkhianati Genta. Tapi sebaliknya, ia juga tidak bisa mengkhianati Bu Ermi.Genta memandangi Uma lama, lalu helaan napasnya terdengar berat. Ia tahu kalau Uma adalah tipe orang yang tidak bisa berkhianat. Ia akhirnya mengubah pertanyaan."Apakah Ibu sering menemuimu?"Uma menelan ludah, lalu menjawab jujur, "Tidak sering... tapi pernah."Genta terdiam. Ia menunduk sejenak, seolah menimbang sesuatu, lalu mengangkat wajahnya kembali."Kalau begitu... bolehkah aku berbincang sebentar denganmu?"Uma menarik napas dalam, memindai arlojinya sekilas."Boleh. Tapi hanya sebentar ya, Mas. Sudah malam."Genta mengangguk setuju."Nanti aku akan mengantarmu, kalau kamu mau.""Tidak usah repot-repot, Mas," potong Uma cepat, suara
"Apa isinya, Bu?" tukas Uma ragu."Coba kamu buka saja dulu," ucap Bu Ermi pelan.Uma menatap amplop itu, sedikit ragu. Namun akhirnya ia menarik napas dan membukanya. Dari dalam, ia mengeluarkan beberapa lembar foto yang dicetak cukup besar.Begitu melihat isi foto-foto itu, jantung Uma seolah berhenti berdetak. Ada dirinya bersama Genta dalam berbagai acara Karang Taruna-tersenyum bersama menatap kamera, berdiri berdampingan. Foto-foto itu jelas diambil diam-diam, dari sudut jauh, tapi semuanya tampak jelas. Bu Ermi ke sini ingin mengonfrontasinya rupanya, bukan ingin membuat gaun, batin Uma.Uma tercekat. Jemarinya sedikit bergetar saat memasukkan lembaran-lembaran foto itu ke dalam amplop.Bu Ermi menyilangkan tangan di dada, suaranya lembut namun tajam menusuk."Selama ini kamu selalu bilang kalau kamu tidak pernah punya hubungan khusus dengan Genta. Lalu ini apa? Kamu tega membohongi kami semua, padahal kamu tahu kalau kami kelimpungan mencarinya," tukas Bu Ermi dengan wajah sen
Perhelatan akbar Jakarta Fashion Rising Designer sukses besar. Begitu juga dengan koleksi pakaian muslimah modern karya Uma. Gaya Umaira banyak dipuji karena mampu menggabungkan pakaian tertutup namun tetap fashionable. Apalagi harganya masih terjangkau. Nama Uma mulai diperhitungkan dalam kancah fashion; bahkan para sponsor berdatangan mengajaknya bekerja sama dengan brand-brand yang mereka usung.Gunawan menasihati Uma untuk menerima kerja sama para sponsor dan melepaskan diri dari nama Swan Butik. Uma harus membangun brand-nya sendiri. Dan sekarang adalah saat yang paling tepat-ketika namanya sedang berada di atas angin.Gunawan juga berpesan agar Uma memilih bentuk kerja sama berupa dana tunai, bukan produk atau layanan. Biasanya sponsor ditawarkan dalam empat tipe: dana tunai, pemberian produk atau layanan, promosi, hingga kemitraan inovatif. Dengan memilih dana tunai, Uma bisa berinovasi dengan leluasa tanpa harus terpaku pada salah satu produk tertentu.Akhirnya, Uma menjatuhka