Home / Romansa / Seumur Hidup Terlalu Lama / 7. Bertemu Sahabat Masa lalu.

Share

7. Bertemu Sahabat Masa lalu.

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2025-08-14 14:07:06

Uma belum sempat membalas sindiran pedas Genta saat sebuah suara nyaring memanggil namanya dari kaca mobil yang terbuka. Arumi Hanenda—adik Genta. Arumi dulu adalah teman sebangkunya. Ternyata, Genta ke toko ini bersama Arumi rupanya.

"Uma?! Astaga, ini beneran kamu?" Arumi keluar dari mobil dan langsung memeluknya erat.

“Iya dong, Rum.Masa bayangannya?” Uma membalas pelukan Arumi. Aroma stroberi yang segar menerpa indera penciumannya. Uma merasa dejavu. Ia seketika rindu pada masa-masa sekolahnya dulu.

"Kita sudah lama sekali tidak bertemu ya, Ma? Terakhir bertemu saat mengambil ijazah di sekolah." Arumi melepaskan pelukannya dan sekarang memegangi tangan Uma dengan hangat.

Uma mengangguk. "Iya. Kita semua jarang berkabar setelah hari kelulusan. Entah ke mana teman-teman sekelas kita semua."

“Ada semua kok di grup,” Genta tiba-tiba menyeletuk.

"Rumi masih sering jalan-jalan dengan mereka yang kuliah di sini. Kamu saja yang tiba-tiba keluar grup dan menjauh karena sudah menjadi nyonya kaya."

“Jangan mulai ya, Mas?” Arumi melirik kakaknya.

“Kita tiba di mobilku yuk, Ma?” usul Arumi. "Mas kan mau belanja? Sana, belanja dulu.” Arumi mengusir kakaknya. Genta mengangkat bahu dan masuk ke dalam toko, sementara Arumi menggamit lengan Uma ke sisi mobil.

“Kita ngobrolnya sebentar saja ya, Rum. Aku nggak bisa lama-lama.” Uma menyelipkan selai di pergelangan tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.45.

"Iya, aku tahu. Kamu ini istri pengusaha yang sibuk." Arumi melepaskan genggamannya sejenak, lalu memandang Uma dari ujung kepala sampai kaki. “Kamu sekarang berubah banget nih, Ma. Penampilanmu seperti istri-istri pejabat di sinetron.” Arumi terkekeh. Dulu mereka berdua selalu membayangkan bahagianya tokoh istri-istri pejabat yang hidupnya serba glamor. Ternyata, Uma sekarang telah menjadi salah satunya.

Uma tersenyum masygul. “Apa yang kamu lihat belum tentu sama dengan yang kamu pikirkan. Begitu juga dengan seumur hidup, Rum.”

Arumi menjawab. Ia sudah mengenal Uma sejak berseragam putih-merah. Hanya dengan sepotong kalimat ini saja, Arumi sudah bisa menebak maknanya.

“Kamu bisa mencariku kalau perlu apa-apa ya, Ma. Ayo, kita tukeran nomor telepon dulu.” Arumi mengeluarkan ponselnya, siap mencatat nomor telepon Uma. Uma pun melakukan hal yang sama.

“Kalau kamu memerlukan sesuatu, jangan segan-segan untuk menghubungiku ya, Ma. Aku akan selalu ada untukmu, meski hanya untuk mendengarkan curhatanmu,” ucap Arumi sungguh-sungguh.

“Terima kasih ya, Rum. Kamu memang sahabatku yang paling pengertian.” Uma menggenggam tangan Arumi. Ia senang sekali bertemu dengan sahabat lamanya ini.

Namun kehangatan itu segera terusik oleh suara Genta yang sudah selesai berbelanja. Ia menekan remote mobil yang sontak membuat Uma menjauh.

“Aku balik dulu ya, Rum.Astaga, sudah jam tiga!” Uma terperanjat. Asyik menggerakkannya membuatnya lupa waktu. Mertuanya pasti mengomel kalau ia molor dari waktu yang disepakati. Ia segera buru-buru menghampiri Pak Alwi yang sudah berdiri nyaman di sisi mobil. Mereka harus segera pulang kalau tidak mau terlambat terlalu lama.

"Dulu saja kalau Uma datang ke rumah, Mas capernya bukan kepalang. Eh, sekarang udah ketemu, malah julidnya nggak kurang-kurang. Heran deh," Arumi mengomeli kakaknya.

"Itu kan dulu. Saat si Uma masih menjadi gadis jujur tapi ambisius—yang katanya ingin mengangkat derajat keluarganya dengan bekerja keras. Aku suka dengan tipe perempuan yang seperti itu," ujar Genta sambil membuka pintu mobil.

“Terus, kalau dia menikah, apa salah?” bantah Arumi sambil duduk di samping kakaknya.

"Tidak salah memang. Tapi dia jadi tidak konsisten dengan ucapannya. Dan aku paling anti dengan orang yang munafik."

“Kok munafik sih?” Arumi mengerutkan alisnya. Genta melirik Arumi melalui sudut mata. Hal kecil seperti ini saja ternyata tidak masuk akal adiknya.

"Lantas apa sebutan untuk orang lain yang diucapkan, tapi lain pula yang dilakukan? Katanya mau bekerja keras, tapi menemukan jalan pintas menikahi om-om kaya." Arumi menjawab. Untuk argumen ini, dia memang tidak bisa membantahnya. Dirinya dan teman-teman sekelasnya dulu juga bingung, apa yang mendasari Uma memilih menikah alih-alih melanjutkan kuliah.

***

Uma batang kembali membuat sabun-sabun mandinya. Ia bekerja di dapur belakang yang biasanya digunakan oleh Mbok Jum dan Tini untuk memasak. Dapur kecil yang memang dibuat untuk para ART itu jarang sekali didatangi oleh Bu Mirna. Makanya, Uma merasa aman bekerja di sana. Dibantu oleh Mbok Jum dan Tini, Uma mulai bekerja setelah Vivi tidur siang atau saat Bu Mirna keluar rumah.

Kini, dapur itu sudah menjadi pusat produksi kecil yang dipenuhi aroma lavender, jeruk, manis mawar, dan sesekali, bau pahit dari ampas kopi yang ia jemur di sudut rak.

“Sabun kopi ini sudah bisa dipotong belum ya Bu?” tanya Mbok Jum sambil memeriksa cetakan sabun yang baru berusia tiga hari.

"Boleh, Mbok. Tapi hati-hati memotongnya ya? Masih agak lembek soalnya," jawab Uma sambil menuang air dan soda api dengan sangat hati-hati—reaksinya menghasilkan panas yang menguar perlahan. Lalu, ia tuangkan minyak kelapa dan zaitun, diaduk perlahan hingga membentuk adonan yang kental. Aroma lemon dari minyak esensial mulai memenuhi ruangan, ringan dan menenangkan.

“Sudah dipotong-potong sesuai cetakan, terus diangin-anginkan kayak biasa kan, Bu?” tanya Mbok Jum. Ia salah takut melakukan tahap-tahapnya.

"Iya. Saat menyusunnya, beri jarak ya? Terus tulis tanggal pembuatannya, biar kita ingat kapan sabunnya sudah boleh digunakan," ucap Uma sambil menuangkan adonan ke dalam wadah silikon.

“Bentuk sabunnya bagus-bagus ya, Bu?” Tini yang baru selesai beres-beres di rumah utama mengamati berbagai cetakan sabun yang indah. Ada yang berbentuk bunga, kotak, hingga bundar berjajar rapi. Sebagian saja ditanamkan dan masih lembek, sebagian lagi sedang menjalani masa curing—penjemuran alami yang memakan waktu setiap bulan agar sabun baru benar-benar mengeras dan layak pakai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   98. Akhir Bahagia ( End)

    Lima Tahun KemudianUma menatap bayangannya di depan cermin.Di sana tampak seraut wajah wanita muda penuh percaya diri, mengenakan kebaya khas wisuda berwarna gading lembut. Senyumnya merekah, matanya berbinar.Hari ini adalah hari yang sudah lama ia nantikan.Hari ketika ia resmi diwisuda sebagai seorang Sarjana Desain.Setelah perjalanan panjang dan berliku, setelah air mata, luka, dan pembuktian yang tak mudah, akhirnya ia berhasil menyelesaikan studinya di jurusan Tata Busana.Dari luar kamar terdengar suara lembut ibunya memanggil.“Uma… Genta sudah datang, Nak. Katanya kalian mau berangkat bersama.”Uma menatap pantulan dirinya sekali lagi, lalu menarik napas panjang. “Sebentar, Bu…”Ia mengambil tas tangannya dan segera keluar.Begitu membuka pintu, ia mendapati Genta sudah berdiri di ruang tamu, mengenakan batik biru tua dan senyum yang menenangkan seperti biasa. Tatapan itu masih sama — hangat, sabar, dan penuh cinta.“Siap, calon Sarjana Desain?” godanya lembut.Uma meringi

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   97. Semesta Punya Kuasa.

    Genta dan Uma telah sampai di rumah Bu Rahayu. Mobil tua itu berhenti perlahan di depan pagar besi yang berkarat, diselimuti bunga melati yang kini merambat hingga ke tiang teras.Uma terdiam di kursinya.Matanya menatap rumah itu lama sekali — rumah yang dulu menjadi saksi delapan belas tahun hidupnya.Rumah tempat ia tumbuh, bermimpi, dan akhirnya pergi dalam duka.Genta menoleh pelan. “Kita masuk?”Uma mengangguk. “Ini rumahku, tapi rasanya aku seperti pertama kalinya pulang,” ucap Uma dengan suara nyaris tak terdengar.“Kini kamu akan benar-benar pulang dan kembali mewujudkan mimpi-mimpimu dari sini,” Genta menyemangati Uma.“Bismillah.” Uma melangkah masuk. Seketika hawa rumah langsung menyergapnya — wangi sabun produksi kakak-kakaknya, sofa tua merah marun tempat mereka sekeluarga menonton televisi, berbagai macam piala dan penghargaan yang ia dapat di sekolah — semua masih terpajang rapi. Tiada yang berubah.Kecuali sosok ayahnya yang tak lagi menyambutnya saat ia pulang ke rum

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   96. Akhir Kisah Cinta.

    Di dalam mobil yang belum dihidupkan mesinnya, Genta menatap Uma dengan senyum lembut.“Bagaimana kalau kita mulai semuanya dari awal?”Uma mengangguk. “Tapi tanpa janji-janji harus menikah kapan, punya anak berapa, harus berhenti bekerja, dan sebagainya. Aku muak diatur-atur oleh laki-laki patriarki,” pungkas Uma tegas.Genta tertawa kecil. “Tentu saja. Kamu lupa dulu aku tidak menembakmu karena aku ingin kamu serius menggapai cita-cita, hm?” Genta mencubit cuping hidung Uma gemas. Dari zaman sekolah dulu, ia paling suka melihat Uma dalam mode tegas begini. Selain cantik ia tampak mempesona sekaligus cerdas. “Itu kan dulu, saat kita masih remaja. Sekarang usia kita sudah bertambah. Apa Mas sungguh-sungguh tidak keberatan menunggu hingga bertahun-tahun?” Uma menyipitkan mata, meragukan kesungguhan Genta.“Bagiku, dulu dan sekarang tidak ada bedanya. Aku mencintaimu beserta semua mimpi-mimpimu. Dan insyaallah, akan kita wujudkan bersama.”Uma menyipitkan mata. Kemurahhatian Genta nyar

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   95. Gerbang Kebebasan.

    Gerbang KebebasanPagi itu langit tampak cerah. Semilir angin Subang berembus lembut, membawa aroma basah tanah yang baru saja disiram embun. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan gerbang Lapas Wanita. Dua orang pemuda dan tiga orang wanita turun dari mobil. Mereka adalah Anton, Thoriq, Bu Rahayu, Rauda, ​​dan Raima. Mereka berlima sudah tidak sabar menyambut kebebasan Uma.Pintu gerbang lapas tiba-tiba terbuka. Seorang perempuan muda melangkah keluar dari gerbang pintu. Ia menoleh sejenak pada pintu besi yang langsung tertutup rapat, seolah ingin mengucapkan selamat tinggal dengan pantas. Perempuan muda itu adalah Uma. Tubuhnya tampak lebih kurus, namun sorot matanya teduh. Ada ketenangan dan keputusan di sana—ketenangan yang lahir setelah berbulan-bulan menerima, memaafkan, dan belajar berdamai dengan diri sendiri.Begitu melihat kehadiran Uma, Bu Rahayu langsung berlari kecil dan memeluk putri bungsunya erat-erat. Kerinduan yang selama ini tertahan akhirnya terlampiaskan.“Ana

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   94. (Menjelang) Hari Bahagia.

    Setelah Sidang — Ruang Tahanan Kejaksaan Negeri SubangLangit sore di luar jendela sudah berwarna kelabu keemasan ketika Uma kembali ke ruang tahanannya. Petugas membuka pintu besi, mempersilakannya masuk, lalu menguncinya kembali. Suara logam yang mengunci itu terdengar nyaring, menggema di ruang sempit.Uma berdiri sejenak, menatap dinding kosong di hadapannya. Rasanya aneh — hari ini seharusnya menjadi puncak dari segala ketegangan yang menyesakkan, namun yang ia rasakan justru sebaliknya. Ia tenang sekali divonis satu tahun setengah penjara.Ia berjalan ke sudut ranjang, duduk perlahan, lalu menatap kedua tangannya yang pucat. Di sana, di dekat nadi, masih ada bekas goresan luka kecil yang dulu sempat ia buat sendiri — di malam setelah Adek pergi. Ia sempat ingin bunuh diri, sebelum akal sehat mengalahkan pikiran pendeknya.Uma baru saja ingin berbaring sejenak ketika seorang petugas menghampiri, membawa dua buah amplop berwarna putih.“Surat-surat untukmu. Sudah dari dua hari yan

  • Seumur Hidup Terlalu Lama   93. Semua Ada Hikmahnya.

    Sidang Kelima — Pembacaan PutusanUma duduk di kursi terdakwa dengan wajah tenang. Jemarinya menggenggam tasbih kecil pemberian ibunya — sesuatu yang selalu ia bawa sejak persidangan pertama.Di sisi kanan, Daniel sebagai kuasa hukumnya membisikkan sesuatu pelan. Tapi telinga Uma sudah tidak benar-benar mendengar. Hatinya lebih sibuk mendengarkan suara langkah dan detak jam dinding yang menggema.Barisan pengunjung tampak penuh hari itu.Bu Rahayu duduk di deretan depan, diapit oleh Rauda dan Raima yang berkali-kali menyeka air mata.Arumi, sahabat yang tak pernah absen di setiap sidang, duduk tak jauh dari mereka. Di sebelah Arumi, Genta menunduk dalam diam — memanjatkan doa tanpa suara.Beberapa saat kemudian, Genta menegakkan kepala, menatap Uma yang juga tengah memandangnya dengan tatapan menguatkan. Sejak pertama kali Uma ditahan, ia tak pernah sekalipun meninggalkannya. Ia menghadiri setiap sidang, memberi Uma kekuatan — baik sebelum maupun sesudahnya.Di barisan belakang, Gunaw

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status