Uma belum sempat membalas sindiran pedas Genta saat sebuah suara nyaring memanggil namanya dari kaca mobil yang terbuka. Arumi Hanenda—adik Genta. Arumi dulu adalah teman sebangkunya. Ternyata, Genta ke toko ini bersama Arumi rupanya.
"Uma?! Astaga, ini beneran kamu?" Arumi keluar dari mobil dan langsung memeluknya erat.
“Iya dong, Rum.Masa bayangannya?” Uma membalas pelukan Arumi. Aroma stroberi yang segar menerpa indera penciumannya. Uma merasa dejavu. Ia seketika rindu pada masa-masa sekolahnya dulu.
"Kita sudah lama sekali tidak bertemu ya, Ma? Terakhir bertemu saat mengambil ijazah di sekolah." Arumi melepaskan pelukannya dan sekarang memegangi tangan Uma dengan hangat.
Uma mengangguk. "Iya. Kita semua jarang berkabar setelah hari kelulusan. Entah ke mana teman-teman sekelas kita semua."
“Ada semua kok di grup,” Genta tiba-tiba menyeletuk.
"Rumi masih sering jalan-jalan dengan mereka yang kuliah di sini. Kamu saja yang tiba-tiba keluar grup dan menjauh karena sudah menjadi nyonya kaya."“Jangan mulai ya, Mas?” Arumi melirik kakaknya.
“Kita tiba di mobilku yuk, Ma?” usul Arumi. "Mas kan mau belanja? Sana, belanja dulu.” Arumi mengusir kakaknya. Genta mengangkat bahu dan masuk ke dalam toko, sementara Arumi menggamit lengan Uma ke sisi mobil.
“Kita ngobrolnya sebentar saja ya, Rum. Aku nggak bisa lama-lama.” Uma menyelipkan selai di pergelangan tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul 14.45.
"Iya, aku tahu. Kamu ini istri pengusaha yang sibuk." Arumi melepaskan genggamannya sejenak, lalu memandang Uma dari ujung kepala sampai kaki. “Kamu sekarang berubah banget nih, Ma. Penampilanmu seperti istri-istri pejabat di sinetron.” Arumi terkekeh. Dulu mereka berdua selalu membayangkan bahagianya tokoh istri-istri pejabat yang hidupnya serba glamor. Ternyata, Uma sekarang telah menjadi salah satunya.
Uma tersenyum masygul. “Apa yang kamu lihat belum tentu sama dengan yang kamu pikirkan. Begitu juga dengan seumur hidup, Rum.”
Arumi menjawab. Ia sudah mengenal Uma sejak berseragam putih-merah. Hanya dengan sepotong kalimat ini saja, Arumi sudah bisa menebak maknanya.
“Kamu bisa mencariku kalau perlu apa-apa ya, Ma. Ayo, kita tukeran nomor telepon dulu.” Arumi mengeluarkan ponselnya, siap mencatat nomor telepon Uma. Uma pun melakukan hal yang sama.
“Kalau kamu memerlukan sesuatu, jangan segan-segan untuk menghubungiku ya, Ma. Aku akan selalu ada untukmu, meski hanya untuk mendengarkan curhatanmu,” ucap Arumi sungguh-sungguh.
“Terima kasih ya, Rum. Kamu memang sahabatku yang paling pengertian.” Uma menggenggam tangan Arumi. Ia senang sekali bertemu dengan sahabat lamanya ini.
Namun kehangatan itu segera terusik oleh suara Genta yang sudah selesai berbelanja. Ia menekan remote mobil yang sontak membuat Uma menjauh.
“Aku balik dulu ya, Rum.Astaga, sudah jam tiga!” Uma terperanjat. Asyik menggerakkannya membuatnya lupa waktu. Mertuanya pasti mengomel kalau ia molor dari waktu yang disepakati. Ia segera buru-buru menghampiri Pak Alwi yang sudah berdiri nyaman di sisi mobil. Mereka harus segera pulang kalau tidak mau terlambat terlalu lama.
"Dulu saja kalau Uma datang ke rumah, Mas capernya bukan kepalang. Eh, sekarang udah ketemu, malah julidnya nggak kurang-kurang. Heran deh," Arumi mengomeli kakaknya.
"Itu kan dulu. Saat si Uma masih menjadi gadis jujur tapi ambisius—yang katanya ingin mengangkat derajat keluarganya dengan bekerja keras. Aku suka dengan tipe perempuan yang seperti itu," ujar Genta sambil membuka pintu mobil.
“Terus, kalau dia menikah, apa salah?” bantah Arumi sambil duduk di samping kakaknya.
"Tidak salah memang. Tapi dia jadi tidak konsisten dengan ucapannya. Dan aku paling anti dengan orang yang munafik."
“Kok munafik sih?” Arumi mengerutkan alisnya. Genta melirik Arumi melalui sudut mata. Hal kecil seperti ini saja ternyata tidak masuk akal adiknya.
"Lantas apa sebutan untuk orang lain yang diucapkan, tapi lain pula yang dilakukan? Katanya mau bekerja keras, tapi menemukan jalan pintas menikahi om-om kaya." Arumi menjawab. Untuk argumen ini, dia memang tidak bisa membantahnya. Dirinya dan teman-teman sekelasnya dulu juga bingung, apa yang mendasari Uma memilih menikah alih-alih melanjutkan kuliah.
***
Uma batang kembali membuat sabun-sabun mandinya. Ia bekerja di dapur belakang yang biasanya digunakan oleh Mbok Jum dan Tini untuk memasak. Dapur kecil yang memang dibuat untuk para ART itu jarang sekali didatangi oleh Bu Mirna. Makanya, Uma merasa aman bekerja di sana. Dibantu oleh Mbok Jum dan Tini, Uma mulai bekerja setelah Vivi tidur siang atau saat Bu Mirna keluar rumah.
Kini, dapur itu sudah menjadi pusat produksi kecil yang dipenuhi aroma lavender, jeruk, manis mawar, dan sesekali, bau pahit dari ampas kopi yang ia jemur di sudut rak.
“Sabun kopi ini sudah bisa dipotong belum ya Bu?” tanya Mbok Jum sambil memeriksa cetakan sabun yang baru berusia tiga hari.
"Boleh, Mbok. Tapi hati-hati memotongnya ya? Masih agak lembek soalnya," jawab Uma sambil menuang air dan soda api dengan sangat hati-hati—reaksinya menghasilkan panas yang menguar perlahan. Lalu, ia tuangkan minyak kelapa dan zaitun, diaduk perlahan hingga membentuk adonan yang kental. Aroma lemon dari minyak esensial mulai memenuhi ruangan, ringan dan menenangkan.
“Sudah dipotong-potong sesuai cetakan, terus diangin-anginkan kayak biasa kan, Bu?” tanya Mbok Jum. Ia salah takut melakukan tahap-tahapnya.
"Iya. Saat menyusunnya, beri jarak ya? Terus tulis tanggal pembuatannya, biar kita ingat kapan sabunnya sudah boleh digunakan," ucap Uma sambil menuangkan adonan ke dalam wadah silikon.
“Bentuk sabunnya bagus-bagus ya, Bu?” Tini yang baru selesai beres-beres di rumah utama mengamati berbagai cetakan sabun yang indah. Ada yang berbentuk bunga, kotak, hingga bundar berjajar rapi. Sebagian saja ditanamkan dan masih lembek, sebagian lagi sedang menjalani masa curing—penjemuran alami yang memakan waktu setiap bulan agar sabun baru benar-benar mengeras dan layak pakai.
Taksi online berhenti di depan gedung kantor Daniel. Pintu mobil terbuka, Uma keluar dengan mata sembab dan wajah kusut. Sepanjang perjalanan tadi, ia tak henti-hentinya menangis, dadanya sesak oleh bayangan buruk yang menghantui pikirannya.Begitu masuk ke dalam kantor, Genta yang sudah menunggunya langsung menyambut. Ia kaget melihat kondisi Uma yang kacau balau.“Uma…” Genta segera meraih bahunya, menuntunnya masuk, “ada apa? Tenang dulu. Tarik napas pelan-pelan.”Namun Uma justru semakin terisak. Suaranya parau, terputus-putus di antara tangisnya.“Mas Genta, Arya sekeluarga pindah tiba-tiba … aku… aku dengar dari tetangga… Vivi sering kasar sama Adek. Dia bilang anak tiri itu beban. Bagaimana kalau lama-lama dia kehabisan sabar? Bagaimana kalau dia menyiksa Adek?”Uma langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tubuhnya bergetar hebat, histeris membayangkan hal-hal terburuk.“Sekarang ini banyak berita anak-anak meninggal di tangan ibu tiri mereka, Mas. Aku takut… aku
Sudah dua belas kali Uma mencoba menghubungi Arya. Namun ponselnya selalu dalam keadaan tidak aktif. Hari ini adalah jadwalnya mengunjungi Adek. Seperti biasa, ia akan menelepon Arya dua jam sebelumnya untuk memastikan kalau Adek sudah pulang les dan ada di rumah.Namun kali ini berbeda. Nomor Arya tak kunjung bisa dihubungi. Padahal dua hari lalu masih aktif. Uma menggigit bibirnya, rasa cemas mulai merayapi dada. Ia mencoba cara lain—menghubungi Pak Alwi, supir yang dulu sering memberinya kabar soal Adek. Tapi segera ia tersadar, itu mustahil. Sebulan lalu Pak Alwi sudah diberhentikan keluarga Tjokro dengan alasan perusahaan bangkrut dan tidak mampu lagi membayar gajinya.Uma menarik napas panjang, lalu menekan nomor Bu Mirna. Biasanya, meski ketus, mantan mertuanya itu tetap menjawab telepon. Namun kali ini, sama saja—ponselnya tidak aktif.Perasaan Uma semakin tidak enak. Opsi terakhir: Aryani dan Andika. Ia berharap besar pada adik ipar dan suaminya itu. Tapi hasilnya tetap nihi
Uma mengangkat wajah perlahan.“Aku bilang kalau aku tidak punya hubungan khusus denganmu. Memang begitu kenyataannya bukan?" Uma balik bertanya.Sunyi sejenak. Hanya suara napas keduanya yang terdengar. Air muka Genta tampak gusar.“Lantas Ibu bilang apa lagi?” tanya Genta penasaran. Ia mengabaikan pertanyaan Uma.Uma menghela napas panjang. Pertanyaan inilah yang paling ia takutkan. Ya sudahlah. Terlanjur basah, ia akan mandi sekalian.“Beliau bilang kalau kamu… menyukaiku. Bahwa kamu sering datang ke sidang diam-diam, selalu mendukungku dari belakang. Beliau juga bilang… akhirnya beliau jadi tahu alasan kamu menolak perjodohan dengan Puri. Semua itu karena aku."Uma menarik napas pendek, buru-buru menambahkan dengan panik,“Tapi aku tahu itu semua tidak benar. Itu hanya perasaan ibumu saja!”Hening.Genta terdiam cukup lama. Tatapannya kosong menembus lantai, rahangnya mengeras. Uma menahan napas. Genta pasti marah.Lalu, dengan suara berat dan tegas, Genta berkata,“Itu semua… ben
Genta segera mendorong pintu hingga tertutup rapat, lalu menarik Uma masuk ke dalam butik. Tatap matanya tajam, penuh tanda tanya."Ibu barusan bicara apa sama kamu?" tanyanya tajam.Uma membisu. Hatinya diliputi dilema. Seperti ucapannya pada Bu Ermi tadi-ia tidak bisa mengkhianati Genta. Tapi sebaliknya, ia juga tidak bisa mengkhianati Bu Ermi.Genta memandangi Uma lama, lalu helaan napasnya terdengar berat. Ia tahu kalau Uma adalah tipe orang yang tidak bisa berkhianat. Ia akhirnya mengubah pertanyaan."Apakah Ibu sering menemuimu?"Uma menelan ludah, lalu menjawab jujur, "Tidak sering... tapi pernah."Genta terdiam. Ia menunduk sejenak, seolah menimbang sesuatu, lalu mengangkat wajahnya kembali."Kalau begitu... bolehkah aku berbincang sebentar denganmu?"Uma menarik napas dalam, memindai arlojinya sekilas."Boleh. Tapi hanya sebentar ya, Mas. Sudah malam."Genta mengangguk setuju."Nanti aku akan mengantarmu, kalau kamu mau.""Tidak usah repot-repot, Mas," potong Uma cepat, suara
"Apa isinya, Bu?" tukas Uma ragu."Coba kamu buka saja dulu," ucap Bu Ermi pelan.Uma menatap amplop itu, sedikit ragu. Namun akhirnya ia menarik napas dan membukanya. Dari dalam, ia mengeluarkan beberapa lembar foto yang dicetak cukup besar.Begitu melihat isi foto-foto itu, jantung Uma seolah berhenti berdetak. Ada dirinya bersama Genta dalam berbagai acara Karang Taruna-tersenyum bersama menatap kamera, berdiri berdampingan. Foto-foto itu jelas diambil diam-diam, dari sudut jauh, tapi semuanya tampak jelas. Bu Ermi ke sini ingin mengonfrontasinya rupanya, bukan ingin membuat gaun, batin Uma.Uma tercekat. Jemarinya sedikit bergetar saat memasukkan lembaran-lembaran foto itu ke dalam amplop.Bu Ermi menyilangkan tangan di dada, suaranya lembut namun tajam menusuk."Selama ini kamu selalu bilang kalau kamu tidak pernah punya hubungan khusus dengan Genta. Lalu ini apa? Kamu tega membohongi kami semua, padahal kamu tahu kalau kami kelimpungan mencarinya," tukas Bu Ermi dengan wajah sen
Perhelatan akbar Jakarta Fashion Rising Designer sukses besar. Begitu juga dengan koleksi pakaian muslimah modern karya Uma. Gaya Umaira banyak dipuji karena mampu menggabungkan pakaian tertutup namun tetap fashionable. Apalagi harganya masih terjangkau. Nama Uma mulai diperhitungkan dalam kancah fashion; bahkan para sponsor berdatangan mengajaknya bekerja sama dengan brand-brand yang mereka usung.Gunawan menasihati Uma untuk menerima kerja sama para sponsor dan melepaskan diri dari nama Swan Butik. Uma harus membangun brand-nya sendiri. Dan sekarang adalah saat yang paling tepat-ketika namanya sedang berada di atas angin.Gunawan juga berpesan agar Uma memilih bentuk kerja sama berupa dana tunai, bukan produk atau layanan. Biasanya sponsor ditawarkan dalam empat tipe: dana tunai, pemberian produk atau layanan, promosi, hingga kemitraan inovatif. Dengan memilih dana tunai, Uma bisa berinovasi dengan leluasa tanpa harus terpaku pada salah satu produk tertentu.Akhirnya, Uma menjatuhka