Share

Masih Available

Gemi buru-buru menjatuhkan tubuhnya pada karpet bulu yang terhampar di depan teve. Bertelungkup lelah, meluruskan punggung yang sedari subuh sudah berkutat di dapur. Padahal, orang tuanya sudah memiliki asisten rumah tangga yang bisa disuruh-suruh, tapi tetap saja, sang ibu tidak akan pernah tenang, jika sedetik saja tidak memerintah Gemi untuk mengerjakan sesuatu di dapur.

“Gem, satenya sudah dicek semua? Udah dihitung 500 tusuk?”

“Astaga, Ibuu,” rengek Gemi yang kontan membalik tubuhnya. Menatap sang ibu yang sudah berdiri di ujung kakinya dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Yang bener aja, aku disuruh ngitung sate 500 tusuk?”

“Kalau kurang 1 kan nggak genap 500, Gem. Ibu yang rugi.”

Gemi bangkit untuk duduk dan menarik napas dalam-dalam. Beruntung, sifat perhitungan sang ibu tidak ada yang menurun baik dengan Gemi, maupun kakak perempuan yang saat ini tengah mengadakan tasyakuran khitan anak lelakinya, yang sebentar lagi akan masuk SD.

“Ya, bentar lagi aku hitung, sekalian sama pentol bakso yang di dapur, sekalian aku hitung, biar Ibu nggak rugi.”

“Pinter!” seru Audi mengacungkan jempol kepada putri bontotnya. Tidak peduli bahwa ucapan yang dilontarkan Gemi merupakan rentetan kalimat sarkas. “Habis itu kamu mandi, terus jangan di dalam aja, kamu mejeng di luar ikut jadi penerima tamu, siapa tahu ada jodoh kamu nyasar di undangan.”

“Iya, Bu,” kepala Gemi terantuk malas, begitu sang ibu meninggalkannya menuju kamar. Sementara itu, Gemi dengan berat melangkahkan kaki ke dapur untuk melaksanakan perintah Audi. Menghitung sate yang sudah tersusun rapi dengan asal, karena sesekali ia mengambil satu tusuk, dan memakannya seorang diri.

Setelah semua selesai, Gemi menitipkan semua hal di dapur kepada asisten rumah tangga sang ibu yang bernama Resti. Kemudian, Gemi melaksanakan perintah Audi selanjutnya, yakni masuk ke kamar dan mandi untuk menyegarkan diri.

Setelahnya, Gemi memakai dress batik yang memang sudah disediakan dan dijahit khusus, dua bulan sebelum acara khitan akan dilaksanakan. Surai bergelombang sepunggungnya hanya Gemi jepit separuh, dan menyisakan poni yang di tata miring.

Bukannya menjadi penerima tamu, seperti yang dititahkan oleh sang ibu. Gemi lebih memilih menjaga beberapa anak para undangan yang ‘lepas’ dan ikut bermain bersama beberapa bocah di kompleknya. Hal itu dilakukan Gemi hingga acara selesai siang harinya.

Kini tersisalah Gemi dengan seorang bocah perempuan cantik yang baru kali ini Gemi lihat di kompleknya. Yang ada di pikiran Gemi, gadis kecil tersebut, merupakan anak dari tamu undangan kakaknya.

“Chan, mama kamu kok gak keluar-keluar, kita masuk aja nyari di dalem, yuk!” ajak Gemi pada bocah cantik yang bernama Chandie.

Chandie menggeleng, masih asyik menaiki sepeda keponakan Gemi yang bernama Raka yang tengah dikhitan. Hanya berputar-putar di depan rumah sedari tadi. “Aku dititipin di sini sama papa, entar lagi dijemput! Papa masih ada meeting penting.”

Gemi mengerjab menyadari sesuatu, “Dititipin di sini itu di mana? Di rumah siapa?”

“Rumah Zaid, Tan. Aku sepupunya.”

Hembusan napas lega langsung keluar dari mulut Gemi. Dugaan sekilas, kalau Chandie adalah anak yang dibuang atau tersesat, lenyap seketika. Ternyata, bocah cantik itu merupakan keluarga dari tetangga di depan rumahnya. Jelas saja Gemi tidak tahu, karena selain ia jarang pulang ke rumah. Tetangga di depan rumahnya itu baru pindah sekitar tiga tahunan. Jadi, Gemi tidak terlalu mengenal akrab mengenai silsilah keluarga mereka. Hanya saling bertegur sapa untuk berbasa-basi ketika Gemi pulang ke rumah jika ia ingin.

“Ya udah Chandie pulang dulu, tidur siang, entar pas bangun papamu udah nyampe.”

Chandie menghentikan sepedanya di depan Gemi yang duduk pada kursi kayu yang dibangun di atas selokan. “Tante, temeni aku beli marsmellow di minimarket depan, sama es krim juga.”

Gemi berpikir sejenak, sepertinya, menyeruput es krim di siang hari seperti ini sangatlah menyegarkan. Ia pun menyetujui ajakan Chandie pada akhirnya. Berjalan ke minimarket dan membeli beberapa jajan untuk mereka berdua. Tentunya, Gemilah yang membayar semuanya. Mana tega ia membiarkan seorang anak kecil yang sedang bersamanya membayar barang belanjaannya.

Setibanya di belokan komplek, Gemi melihat beberapa orang yang panik. Hingga Gemi pun mempercepat langkahnya sembari menggandeng Chandie yang sedang memakan es krim dengan begitu lahap.

“Pak Eko, ada apaan?” tanya Gemi pada salah satu tetangga yang tinggal di sudut komplek.

“Ah, itu Neng Gemiii … lah ini Si Chandienya!” detik itu juga Eko berteriak heboh, memanggil semua orang karena telah menemukan gadis kecil yang sedari tadi mereka cari-cari.

“Chandie sama kamu, ternyata, Gem?” ucap Abdi, pria paruh baya yang merupakan ayah Gemi.

Gemi hanya mengangguk-angguk tidak mengerti. Mereka hanya berjalan ke mini market, tapi mengapa pulang-pulang, sudah heboh seperti ini. Memang sedikit lama, karena yang namanya perempuan, pasti lebih mengutamakan cuci mata terlebih dahulu sebelum membeli barang tujuannya.

Audi datang-datang langsung memukul lengan putrinya itu dengan gemas. “Kamu ke mana aja, bawa anak orang nggak pamit! Kita semua nyariin!”

Gemi mendesis nyeri mengusap lengannya naik turun. “Apaan, sih, Bu,” berjongkok sebentar lalu membawa Chandie ke dalam gendongannya. “Kami ke mini market, nih, beli es krim. Ya, kan, Chand?”

Chandie hanya mengangguk mengiyakan. Mulutnya sudah belepotan dengan es krim rasa vanila yang berbalut cokelat kacang dan baru saja habis tidak bersisa.

Asri, tante Chandie, yang sedari tadi sibuk menelepon para tetangga di blok yang berbeda akhirnya menghampiri Gemi dengan rasa lega.

“Ya ampun, Gem. Jantungku mau copot, tahu nggak. Papanya sudah jemput, terus anaknya hilang.” Asri menjulurkan tangan untuk membawa Chandie ke gendongannya, namun gadis kecil itu menolak. Chandie malah menyembunyikan wajahnya yang belepotan pada ceruk leher Gemi, dan menimbulkan rasa dingin dari lelehan es krim yang baru saja menempel di pipi gadis kecil itu.

“Ayo, Chand, ikut Tante,” bujuk Asri, namun Chandie masih saja menggelengkan kepalanya.

“Papanya mana, Mbak As?” tanya Gemi menyerahkan kantung kresek belanjaannya ke sang ibu begitu saja.

“Keliling komplek, sama Mas Riko,” terang Asri. Riko sendiri adalah suami Asri yang merupakan kakak ipar dari papa Chandie. “Tapi, sudah aku telpon barusan ... lah itu.”

Semua mata tertuju ke mana telunjuk Asri mengarah. Lantas Gemi, hanya bisa membuka mulutnya lebar tidak percaya, kalau pria yang baru saja turun dari motor bersama Riko adalah papa dari gadis yang tengah digendongnya saat ini.

“Pa-pak Lee?” sapa Gemi tergagap. Tangan yang memangku tubuh Chandie, reflek mengerat

“Gemini?” balas Lee sama terkejutnya, ketika melihat putri berada erat pada gendongan Gemi. Keduanya seperti sudah mengenal cukup lama, tapi mengapa, Chandie tidak pernah bercerita mengenai Gemi kepadanya. Padahal, Lee tidak jarang menitipkan Chandie pada Asrie jika ada pertemuan mendadak seperti hari ini.

“Kalian saling kenal?” Asri menimpali, kembali mengangkat telunjuknya dan mengarahkan bergantian pada Lee dan Gemi yang masih saja saling tatap.

“Ya mungkin aja kenal, Gemi kan wartawan,” serobot Riko. “Bisa aja kan mereka sering ketemu dan wawancara.”

“Gem … Gemi, mending Chandie dibawa ke tempat Mbak Asri sana.” Audi mencolek pinggang Asri, mengkode dengan lirikan mata tajamnya agar mengajak Gemi untuk ke rumah wanita itu.

Asri mengangguk-angguk mengerti, sekaligus paham akan maksud Audi. Wanita paruh baya itu memang kerap membicarakan putrinya, yang sampai berusia kepala tiga tapi belum juga kunjung menikah. Jadi, Asri bisa menarik kesimpulan, kalau Audi ingin Gemi dan Lee bisa mengenal lebih dekat.

Tidak ada masalah untuk itu, Asri juga merasa kalau adiknya itu memang sudah waktunya kembali membina rumah tangga. Hampir enam tahun menyendiri sejak mendiang istri Lee wafat, pria itu sama sekali tidak pernah terlihat menggandeng wanita manapun.

Beberapa orang yang sempat berkerumun akhirnya berpencar. Gemi mengikuti Asri sembari menggendong Chandie, yang masih enggan untuk turun dari gendongannya.

“Chandie, ayo turun dan ikut papa,” bujuk Lee ketika mereka sudah berada di ruang tamu rumah Asri. Namun, Chandie tidak merespon sama sekali, hingga Gemi tersadar dengan napas teratur yang dikeluarkan oleh gadis itu. Chandie telah tertidur di gendongannya.

"Tidur, Pak,” bisik Gemi kemudian menoleh pada Asri. “Kamarnya di mana Mbak As?”

Asri kemudian mengajak Gemi masuk lebih dalam lagi ke dalam rumahnya dan memasuki sebuah kamar. Lalu, Asri meminta Gemi untuk menidurkan bocah berusia lima tahunan tersebut di atas ranjang yang ada di dalam sana.

“Ada tisu basah, Mbak?” pinta Gemi ketika sudah meletakkan Chandie di atas ranjang. Memijat leher serta pundaknya yang penat karena terlalu lama menggendong Chandie.

Tidak berapa lama kemudian, Lee masuk ke kamar membawakan tisu basah. Bukan Asri seperti yang ada di pikiran Gemi sebelumnya.

Lee menyerahkan tisu tersebut pada Gemi dan menatap tanya tentang semua kejadian yang barusan terjadi.

Gemi menunduk, menarik sebuah tisu dan mengusap wajah serta mulut Chandie terlebih dahulu. Setelah selesai, ia kembali menarik sebuah tisu lagi untuk diusap ke ceruk leher, tempat Chandie menempelkan bibir yang penuh dengan es krim.

“Kayaknya, kita keluar aja deh, Pak. Nggak enak ngobrol di kamar.” Gemi meringis sungkan. Sedikit menunduk untuk melewati tubuh Lee setelah meletakkan tempat tisu basah di atas ranjang. Tangannya masih sibuk mengusap leher kemudian telapak serta punggung tangannya.

“Tunggu sebentar,” Lee mencekal tangan Gemi dengan lembut. Menarik tisu basah dari tempatnya yang belum di tutup oleh Gemi. Lalu, Lee mengusapkannya perlahan pada kerah leher wanita itu. “Ada yang lengket di kerah bajumu. Di rambutmu juga sepertinya.”

Tubuh Gemi meremang, saat punggung jari Lee menyentuh kulit lehernya. Entah mengapa deru jantungnya kini tiba-tiba memburu kencang. Hingga mengharuskan Gemi menjauh satu langkah dari tempat Lee berada.

“Ma-maaf, Pak Lee,” Gemi kembali tergagap, terlihat salah tingkah. Padahal, ia sudah lama tahu dan pernah dua kali mewawancarai seorang Leonard Arkatama, meskipun pria itu mungkin tidak pernah mengingatnya. Namun, entah mengapa kali ini, suasananya terasa berbeda baginya. “Sa—ya pulang dulu, permisi.”

Lee kembali meraih tangan Gemi yang hendak berbalik pergi, “Biar saya antar.”

Jantung Gemi hendak melompat keluar saja rasanya jika seperti ini. Efek dari kelamaan jomblo mungkin seperti ini, batin Gemi.

“Ru—mah saya di depan, Pak.”

“Oh, jadi … di depan itu rumah kamu?” tanya Lee masih tidak melepas genggaman tangannya. “Terus yang khitan …”

“Ohh, keponakan saya, Pak. Bukan anak saya. Karena saya masih jomblo!” seru Gemi tanpa sadar dan begitu terlihat antusias memamerkan status dirinya.

“Saya tahu, kok, kalau kamu masih available …”

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
nah gitu dong Gemi ayo buka hati untuk orang baru
goodnovel comment avatar
eddy hadarian
Jomblo bangga hahaha
goodnovel comment avatar
Sakura Asahara
mulai atur stategi nih duda bt modusin gemi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status