Gemi menggeram sembari mengacak-acak surai bergelombang, yang diikat jadi satu ala kadarnya. Menendang dinding lift berulang kali, guna melampiaskan kekesalannya kepada Aries. Tentu saja dibarengi dengan umpatan yang bertubi-tubi pada pria itu.
Sesi wawancara yang ada beberapa saat yang lalu, berakhir dengan perdebatan dan saling singgung. Sebagai seorang wanita yang pernah disakiti, Gemi tidak bisa mengontrol perasaannya. Hingga profesionalismenya sebagai seorang jurnalis kandas begitu saja di depan Aries. Gemi terpancing, dan jelas saja ia tidak akan tinggal diam jika disinggung seperti itu.
“Ehm!”
Deheman dari seseorang yang berada di depan pintu lift membuat Gemi tersadar, bahwa pintu bilik yang terbuat dari alumunium itu telah terbuka dengan sempurna.
Manik mata Gemi melebar, melihat sosok yang pernah menjadi CEO salah satu stasiun televisi terkenal. Dan saat ini, duda berusia 38 tahun itu, masih menjabat sebagai ketua Perhimpunan Televisi Nasional.
“Sore, Pak Lee,” sapa Gemi sembari merunduk formal kepada Leonard Arkatama.
Pria yang memang kerap di sapa Lee itu, kemudian masuk ke dalam lift, dengan tangan kiri yang tenggelam pada saku celana. Konon, dari rumor yang beredar, rekan-rekan sejawatnya menyematkan nama Lee, karena wajah pria itu mirip dengan aktor sekaligus penyanyi Korea yang bernama Lee Seung-Gi. Hanya saja, warna kulit pria itu tidak seputih dan secerah aktor kenamaan tersebut.
“Sore,” balas Lee juga menganggukkan kepala dan tatapannya terjatuh pada name tag yang mengalung pada leher Gemi. “Gemini Kamaniya.”
“Eh,” Gemi juga menunduk untuk melihat name tag yang dipakainya sekilas, lalu kembali menatap Lee dengan memberi senyum formal sesopan mungkin. “Perkenalkan, saya Gemi, Pak. wartawan—”
“Redaktur madya Radar post, yang tadi siang menugaskan wartawan magangnya yang bernama Rinda untuk bertanya mengenai gaji serta tunjangan saya, benar begitu?”
Dagu Gemi terangkat tegak, menelan ludah dengan ketara. Perlahan ia melihat pintu lift yang berada di sampingnya tertutup pelan. Menyisakan dirinya dan Lee di bilik persegi yang hawanya tiba-tiba memanas.
Gemi tidak melihat Lee menekan tombol mana pun ketika pria itu memasuki lift. Itu berarti, pria itu akan melesat ke lantai di mana kantor Radar berada. Sebelumnya, Gemi bertemu Lee di lantai 20, tempat stasiun tv Glory berada, atau yang lebih dikenal dengan nama GTV. Jadi, sudah bisa dipastikan kalau Lee saat ini akan menuju kantor Gemi yang berada di lantai 35.
“Bapak, mau ke Radar?” Gemi mencoba memastikan dan mengalihkan pertanyaan Lee. Jantungnya berdegup liar karena khawatir, kalau pria itu akan bertemu dengan Rudi dan mengadukan segalanya.
Dasar wartawan magang! Seharusnya pertanyaan tersebut tidak perlu diutarakan secara gamblang kepada nara sumber. Rinda bisa mencari tahu semua itu dari pihak ketiga yang terpercaya. Sepertinya, Rinda perlu bimbingan khusus dari Gemi nanti malam, setelah deadline halamannya selesai dikerjaan dan dikirim ke bagian percetakan.
“Ya, saya mau ke Radar, dan sekarang, jawab pertanyaan saya tadi,” ujar Lee mengeluarkan tangannya dari saku celana, kemudian bersedekap menatap Gemi.
“Iya,” Gemi lalu meringis, menampilkan deretan gigi rapinya. “Tapi, gak papa kan, Pak, kalau khalayak umum tahu gaji dan tunjangan seorang komisaris BUMN? Siapa tahu ada yang terpecut nyalinya untuk bisa menjadi seperti Bapak.”
“Pinter ya, kalau ngeles.”
Gemi lagi-lagi meringis keki. “Ya gak ngeles, Pak. Namanya juga wartawan, semua-semua dicari tahu dan dibuatin berita.”
Akhirnya, Gemi melihat sudut bibir Lee tertarik tipis, kemudian memutar tubuhnya menatap pintu lift. Lantas, Gemi pun melakukan hal yang sama, hingga keduanya hanya terpaku, menatap layar yang bergantian menunjukkan nomor lantai.
“Lady first,” Lee menurunkan tangannya kemudian mempersilakan Gemi untuk mendahuluinya dengan sangat sopan.
“Makasih, Pak.” Gemi menunduk sopan dan mendahului Lee dengan cepat karena merasa canggung. Namun, ketika baru satu langkah kakinya berada di luar lift, Lee memanggilnya.
“Gemini, sebaiknya kamu ke toilet dulu, karena rambutmu sangat-sangat berantakan.”
Mulut Gemi menganga. Lantas dengan gerakan lambat, kedua tangannya terangkat ke atas dan menyentuh rambutnya sendiri yang memang terasa acak-acakan. Ia baru ingat, kalau setelah memasuki lift, Gemi sempat mengacak-acak rambutnya sendiri karena sangat kesal dengan Aries.
Lee kembali menarik tipis sudut bibirnya, dan melewati Gemi begitu saja. Yang Gemi heran adalah, pria itu langsung melenggang masuk menuju di mana ruang redaksi berada, tanpa menghampiri meja front office untuk bertanya atau meminta petunjuk terlebih dahulu.
Apa, ada yang tidak Gemi ketahui saat ini?
--
Rudi menggebrak meja dengan satu tangan, ketika melihat Gemi memasuki ruang kerjanya setelah mengetuk pintu. “Astagaaa Gem! Yang nyewa ruang VIP untuk wawancara tadi siang itu, Aries! Dan kamu ke sana tanpa hasil sama sekali.”
Buru-buru Gemi menutup pintu kaca, agar suara Rudi tidak terdengar karyawan lainnya. Diberi teguran dengan bernada keras seperti ini, memang sudah terbiasa dialami di ruang redaksi. Hanya saja, Gemi tidak ingin kalau masalahnya dengan Aries sampai tersebar keluar, karena tidak akan baik jika dijadikan contoh bagi bawahannya yang lain.
“Maaf, Pak Rudi, it—”
“Saya nggak mau tahu, Gem," potong Rudi. "Pokoknya berita yang saya minta itu, harus sudah ada paling lambat akhir bulan ini, sebelum deadline kloter* pertama selesai!”
Gemi mendesah, berjalan lesu menuju meja kerja Rudi. Menarik kursi yang bersebrangan dengan pria itu kemudian duduk. “Pak, jangan saya dong yang ditugasin. Alihin aja ke siapa gitu, kek.”
Rudi berdecak sembari memundurkan kursi hitam berodanya. “Profesional, Gem! Sebentar lagi kamu mau UKW, masa’ calon redaktur utama nggak bisa wawancara netral cuma karena masa lalunya.”
Terang saja Gemi ternganga mendengarnya. Dari mana Rudi mengetahui, kalau dirinya dan Aries pernah memiliki sebuah masa lalu. Gemi sangat yakin, kalau hubungannya dengan Aries dahulu kala sudah mereka tutup serapi mungkin. Adapun alasannya adalah, keduanya tidak ingin mengumbar semua kemesraan yang ada di depan umum.
As simple as that!
“Bapak, tahu?” tanya Gemi ragu kemudian mengigit separuh bibirnya.
“Saya baru tahu,” hela Rudi. “Sebenarnya, saya mau utus Arca untu wawancara Aries hari ini, tapi Aries mintanya kamu. Boleh dong saya curiga dan langsung tembak ke Aries, ada apa dibalik itu semua.”
“Terus, Aries cerita ke Bapak?” buru Gemi memajukan kursinya, juga mencondongkan tabuhnya dengan melipat kedua tangan di atas meja. Menatap dengan antusias. “Dia cerita apa aja, Pak, emangnya?”
“Ck, nggak pentinglah itu! Yang jelas, sekarang. Kamu telpon dan temui Aries terus bikin berita yang saya minta!”
Punggung Gemi sontak merosot lesu, disusul dengan helaan beratnya. Seketika muncul ide yang melintas di kepalanya. “Diganti sama Leonard Arkatama aja gimana, Pak?”
“No!” Rudi kembali memajukan kursi berodanya. Menatap komputer untuk mengecek e-mail yang dilihatnya baru saja masuk. “Kita sudah ada edisi khusus untuk beliau, tapi nanti. Tunggu tanggal mainnya.”
Hening.
Gemi kembali mengacak-acak rambutnya yang sudah ia rapikan beberapa saat yang lalu. Rudi pun hanya mendiamkan bawahannya yang tampak frustrasi itu. Tetap menatap lurus, pada layar komputer untuk membaca e-mail dengan serius.
“Kamu masih punya dua minggu Gem, sebelum deadline,” ungkap Rudi memecah keheningan. “Jangan coba-coba ngeles, karena saya bakal tanya Aries langsung nanti, beneran kamu yang wawancara atau bukan.”
Kaki Gemi menghentak kesal di bawah meja, kedua bahunya pun ikut bergoyang. “Bapak ih, padahal bisa aja nyuruh wartawan lain, alesan apa gitu, kek, ke Aries. Maleees banget deh, Pak. Sumpah!”
“Gem,” tatapan Rudi berpindah serius pada Gemi. “Off the record, oke?”
Gemi mengangguk kecil berulang-ulang, ikut memasang wajah serius.
“Rumah tangga Aries, lagi … yaa, you know, lah, mereka sudah menikah sekian tahun tapi belum punya anak? Jadi Aries dengan istrinya belakangan ini sering cekcok.”
Gemi sontak menegakkan tubuhnya dengan bibir mengerucut. Tidak tertarik dengan ucapan Rudi. “Nggak usah nyebar gosip, Pak. Saya juga nggak tertarik dengerin berita tentang rumah tangganya dia yang gimana-gimana.”
“Bukan begitu, Gem,” Rudi menjeda kalimatnya sejenak untuk menimbang-nimbang mengenai kesimpulan yang terbersit di kepalanya. “Aries, sepertinya tertarik dan mau balik—”
“Maaf, Pak,” sela Gemi, dan bukan bermaksud untuk tidak sopan. “Lebih baik nggak usah diterusin, karena …”
Suara ketukan pintu, membuat Gemi dan Rudi mengalihkan wajah mereka. Menatap ke arah pintu kaca yang berada di balik punggung Gemi. Sejurus kemudian, pintu tersebut berayun ke dalam, memperlihatkan langkah tegap nan wibawa dengan senyum ramah yang terlukis sangat tampan di wajahnya.
Gemi langsung berdiri dan menundukkan kepalanya untuk menyapa. “Malam, Pak Lee. Ketemu lagi,” ringis Gemi kembali memperlihatkan deretan gigi rapinya pada Lee seperti pertemuan mereka di lift sore tadi.
“Malam, Gemini. Halamanmu sudah selesai?”
“Sudah, Pak, ini juga mau pulang,” melirik Rudi dan keduanya saling pandang untuk beberapa detik.
“Ingat, Gem. Akhir bulan ini! Dan profesional!” seru Rudi mengingatkan kembali tugas yang harus wanita itu selesaikan.
“Lapan enamlah, Pak.”
Kemudian Gemi berpamitan kepada kedua pria yang berada di dalam ruang tersebut. Kembali menunduk formal dan melenggang pergi.
“Gemini.”
Tinggal selangkah lagi kaki Gemi menggapai bibir pintu, Lee kembali memanggilnya. Membuat Gemi memutar tubuhnya dengan cepat. “Ya, Pak? ada yang bisa saya bantu?”
“Rambutmu,” tunjuk Lee. “Apa belum kamu rapikan dari sore tadi?”
--
*Istilah kloter dalam media cetak adalah, tiap koran yang kalian beli, ada yang terdiri dari dua atau tiga bundle. Jadi jika ada dua bundle, itu berarti pengerjaannya akan terdiri dua kloter dan dua deadline cetak yang diselesaikan berurutan.
Gemi buru-buru menjatuhkan tubuhnya pada karpet bulu yang terhampar di depan teve. Bertelungkup lelah, meluruskan punggung yang sedari subuh sudah berkutat di dapur. Padahal, orang tuanya sudah memiliki asisten rumah tangga yang bisa disuruh-suruh, tapi tetap saja, sang ibu tidak akan pernah tenang, jika sedetik saja tidak memerintah Gemi untuk mengerjakan sesuatu di dapur. “Gem, satenya sudah dicek semua? Udah dihitung 500 tusuk?” “Astaga, Ibuu,” rengek Gemi yang kontan membalik tubuhnya. Menatap sang ibu yang sudah berdiri di ujung kakinya dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Yang bener aja, aku disuruh ngitung sate 500 tusuk?” “Kalau kurang 1 kan nggak genap 500, Gem. Ibu yang rugi.” Gemi bangkit untuk duduk dan menarik napas dalam-dalam. Beruntung, sifat perhitungan sang ibu tidak ada yang menurun baik dengan Gemi, maupun kakak perempuan yang saat ini tengah mengadakan tasyakuran khitan anak lelakinya, yang sebentar lagi akan masuk SD.
“Jadi, jatah liburmu hari minggu?”Gemi menoleh pada Lee yang tetap mengantarkannya pulang ke rumah, walaupun rumah wanita itu hanya berjarak beberapa langkah ke depan. Jantung Gemi sudah berdegup tidak karuan untuk itu. Namun, Gemi sadar siapa dirinya, begitupun kekurangannya. Oleh sebab itu, biarlah laju jantung yang berdetak tidak seirama ini, ia pendam sendiri di dalam hati.“Jatah libur saya kamis sebenernya, cuma hari ini tuker libur, Pak. karena ada acara di rumah.” Gemi yang sudah sampai di pagar pun berbalik. Memberi senyum manis dan mengangguk formal, untuk memberi dinding tinggi kepada dirinya, agar tidak larut dalam perasaan hampanya seorang diri.“Makasih, Pak, sudah dianter. Padahal gak perlu repot-repot, kan, cuma depanan gini. Nggak bakal ada yang mau nyulik saya, lah,” ujar Gemi mencoba berkelakar untuk menetralkan degup jantung dan kegugupan yang tiba-tiba saja menyerangnya.Padahal, beberapa hari yang
Sunguh makan malam yang tidak akan terlupakan bagi Gemi. Lee memperlakukannya sangat istimewa. Pria itu benar-benar menghargai Gemi sebagai seorang wanita, sangat sopan dan gentleman, menurutnya.Dari membukakan pintu, menarik kursi untuknya, mendahulukan Gemi disetiap situasi. Ah! Wanita mana yang tidak akan luluh, jika diperlakukan layaknya ratu seperti Gemi.Sangat berbeda dengan hubungannya dahulu kala dengan Aries. Sebuah keterikatan yang hanya dihiasi hasrat masa muda yang mengatasnamakan cinta. Lalu semua berakhir hampa. Kalau sudah seperti itu, hanya sesal yang membalut dada. Merugikan Gemi sebagai pihak wanita.Sungguh, nasi sudah menjadi bubur bagi Gemi. Oleh sebab itu, sejak putus dari Aries, ia tidak pernah lagi berhubungan dengan pria mana pun. Cenderung bersikap dingin dan profesional untuk menjaga jaraknya. Karena Gemi sadar, ia sudah tidak lagi sempurna sebagai seorang wanita.“Pagi Gem!” sebuah seruan dan tepukan keras, pada r
Hari ini, kedua kalinya Lee menjemput Gemi di apartemen wanita itu. Sesuai janji keduanya kala itu, mereka akan pergi ke taman hiburan setelah menjemput Chandie di sekolah.Gemi hanya mengenakan celana jeans serta kaos longgar, yang sama sekali tidak memamerkan bentuk tubuhnya. Gemi hanya menyesuaikan tempat yang dikunjungi, dengan pakaian yang dikenakan. Karena mereka akan pergi ke taman hiburan, maka Gemi ingin berpenampilan sekasual mungkin, agar mempermudah pergerakannya di sana nanti.Lagi-lagi, bel apartemennya berbunyi lima belas menit, sebelum waktu yang dijanjikan, yakni pukul sembilan. Sepertinya, Lee adalah pria yang memang sangat menghargai waktu. Pria itu lebih memilih datang lebih cepat, dari pada terlambat ketika menjemputnyaGemi bergegas mengambil tas selempangnya. Memastikan penampilannya di depan standing mirror terlebih dahulu. Lalu, setelah dirasa sempurna, Gemi bergegas pergi untuk membukakan pintu.Di depan sana, sudah ada Lee yang
Di hari kerja seperti ini, taman hiburan benar-benar tidak terlalu ramai. Hingga hampir semua wahana sudah dicoba oleh Gemi dan Chandie tentunya. Sedangkan Lee, pria itu lebih banyak menjadi penonton saja. Mengamati interaksi akrab yang terjadi antara Gemi dan putrinya.Setelah sekian tahun berlalu, entah mengapa baru kali ini Lee memiliki sebuah keinginan untuk kembali membina sebuah biduk rumah tangga. Sebenarnya, Gemi bukan satu-satunya wanita yang bisa dekat dengan Chandie. Ada satu orang guru TK yang juga dekat dengan putrinya, tapi Lee tidak merasakan sebuah chemistry seperti yang dirasakannya terhadap Gemi.Gemi cantik, bahkan bisa dibilang sangat cantik. Bulu mata lentik yang selalu berayun tajam dan bibir sensual, yang selalu bisa membalas argumennya, dengan sebuah nalar yang masuk akal. Membuat Lee merasakan sesuatu yang berbeda dengan Gemi.Tapi … apakah Gemi memiliki perasaan yang sama dengannya? Atau kah, semua ini nantinya hanya menjadi sebu
“Next, saya yang traktir Bapak, ya! hari ini kenyang banget dari pagi dapet gratisan mulu.” Gemi lagi-lagi menggigit separuh bibir bawahnya yang sensual. Menenggelamkan kedua tangan di saku belakang celana jeans, sembari menatap Lee yang mengantarnya sampai depan pintu apartemen.Beberapa saat yang lalu, setelah sampai di lobi kantor, Lee tiba-tiba mengajak Gemi untuk makan malam sebentar. Tentu saja Gemi tidak menolak, karena cacing di perutnya juga sudah bergejolak meminta untuk diisi. Mereka pun hanya mampir di kafe yang terdapat di lantai dasar. Memesan beberapa menu untuk disantap, kemudian pergi menuju gedung apartemen Gemi.“You don’t have to.”“Ya nggak bisa gitu, Pak. Nanti saya nggak mau diajak jalan lagi loh,” tandas Gemi dengan wajah merajuk cantik, hingga membuat Lee terkekeh melihatnya.“Oke, kamu atur aja. Tapi Gem, bisa saya pinjam toilet sebentar?”“Boleh, boleh!” Ge
Sebuah napas panjang dan lega Gemi hembuskan, setelah menyatakan semua hal mengenai dirinya. Gemi mengatakan bahwa dirinya bukanlah seorang wanita baik, seperti yang ada di pikiran Lee saat ini. Ia pernah jatuh ke sebuah kubangan dosa, yang membuat Gemi tidak lagi sempurna sebagai seorang wanita.Degup jantung yang Gemi rasakan, memang sama dengan apa yang Lee rasakan. Keduanya memang memiliki sebuah rasa yang sama. Namun, sebelum rasa itu terlanjur berjalan jauh, Gemi harus menguak sebuah aib diri, sebelum ada masalah yang terjadi di kemudian hari.Lee sangat menghargai kejujuran Gemi, yang telah mengatakan semua hal dengan terbuka kepadanya. Meskipun sempat syok, tapi perasaannya terlalu kolot, jika harus menilai seseorang dari masa lalunya yang kelam.Diantara keterdiaman Lee, Gemi memutar stool barnya menghadap meja. Menunduk dan menyuapkan bubur ayam dengan hati tersayat. Tidak mudah untuk Gemi mengakui segalanya, tapi itu semua harus ia lakukan.Apa
Audi masuk ke dalam ruang keluarga, setelah mendengar maksud kedatangan Lee yang didampingi oleh Asri dan Riko. Kedua orang tua Lee dan Asri sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Oleh sebab itu, Lee hanya di dampingi oleh kakak perempuan serta iparnya untuk mendatangi rumah Gemi.“Gemiii …” Audi memeluk erat sang putri yang sedari tadi hanya berada di dalam. Tidak diperkenankan keluar hingga kedua orang tuanya berbicara dengan keluarga Lee. “Akhirnya anakku laku juga!” ujarnya terkekeh geli dengan ucapan sendiri.“Anaknya dianggap sembako, gini,” cebik Gemi menampilkan eskpresi dramatis.Audi mengurai pelukannya, kemudian merapikan juntaian rambut Gemi yang berada di depan wajah. Tangan Audi terjatuh pada pundak sang putri, kemudian turun, merosot pada lengan Gemi.“Bulan depan, kami sudah nentuin tanggal pernikahanmu, Gem!” seru Audi dengan manik berbinar-binar.Sudah Gemi duga, Lee tidak