Rudi menekuk dahinya ketika melihat amplop putih yang disodorkan oleh Gemi di atas meja. “Mau cuti lagi?” tanya pria itu seraya meraih benda persegi tersebut lalu membukanya. Rudi sempat menyentak kedua alisnya dengan tajam. Namun, sejurus kemudian pria itu kembali mengerutkan dahinya. “Ini, serius, Gem?”
“Serius, Pak.”
Rudi mendesis panjang sembari menarik napas melalui mulutnya. Menarik kursi berodanya ke depan, agar bisa lebih mencondongkan tubuh dan menatap Gemi dalam-dalam. “Kenapa? Bukannya kamu baru lulus UKW, kok malah resign? Apa Lee yang nyuruh kamu resign?”
Gemi mengembangkan senyum seraya menggeleng. “Mas Lee nggak pernah ikut campur masalah kerjaan saya, Pak. Jadi, ini nggak ada hubungannya dengan beliau.”
Rudi berdecak sebal. “Saya baru mau ngajuin kamu jadi redpel, Gem. Sayang, kalau resign!”
Gemi hanya memasang senyum untuk membalas Rudi. Posisi yang ditawarkan Pras jauh lebih tinggi dari itu, tentu saja Gemi akan bersikap sera
Mobil yang terparkir di depan gedung perkantoran itu masih saja terpaku di tempat. Lee hanya memasukkan kunci untuk membuka sedikit kaca, kedua jendela yang berada di sisi kanan dan kirinya. Pria itu belum berniat untuk menyalakan roda empatnya sama sekali. Apalagi menjalankannya. “Kamu mau resign, Gem?” tanya Lee membuka pembicaraan diantara mereka. Semakin ke sini, Lee semakin tidak bisa memahami Gemi sama sekali. Wanita itu benar-benar tidak bisa ditebak. “Hm.” Gemi bergumam malas. Menurunkan kaca jendela di sampingnya hingga tenggelam tidak bersisa. Gemi lalu meletakkan siku pada bingkainya. Menopang wajah dan menatap portal di sudut tempat parkir. Tidak ingin mengalihkan wajah untuk menatap Lee sama sekali. “Kenapa?” “Karena kita mau cerai, dan aku nggak mau lihat kamu di manapun setelah itu, Mas.” Lee menelan ludah setelah mendengar kalimat tajam yang dimuntahkan oleh Gemi. Tegas dan tidak berbasa-basi. Gemi seolah tahu apa yang diingink
Tempat tinggal serta kendaraan pribadi sudah tersedia di Surabaya. Menurut keterangan Harsa, jarak dari rumah menuju kantor Metro, hanya memakan waktu lima belas menit jika lengang. Tiket dan semua akomodasi dari Jakarta, hingga ke Surabaya pun sudah disiapkan. Gemi hanya tinggal mengepaki barang-barang pentingnya di apartemen. Tinggal satu masalah yang belum Gemi selesaikan, yakni, bicara dengan kedua orang tuanya. Tarikan napas Gemi begitu dalam, ketika baru saja memarkirkan motornya di carport rumah. Menghela panjang, lalu kembali menarik napasnya dalam-dalam. Seumur hidupnya, baru kali ini jantung Gemi berpacu laju ketika hendak berbicara dengan ayah dan ibunya. Namun, semua keputusan sudah dibuat. Gemi tidak bisa memundurkan langkah kali ini. Ada masa depan dirinya beserta satu nyawa lagi yang ada di dalam rahimnya, yang harus benar-benar Gemi perjuangkan. Kalau bukan Gemi, siapa lagi yang mau berjuang untuk dirinya sendiri? Gemi mengucap salam ketika me
Gemi berdiri, sembari melarikan maniknya ke setiap orang yang berada di terminal kedatangan Bandar Udara Internasional Juanda. Menajamkan manik beningnya untuk mencari seseorang yang ditugaskan menjemputnya. Tidak melihat siapa pun yang memegang papan nama yang bertuliskan namanya, Gemi akhirnya mengeluarkan ponsel dari saku jaket bagian dalamnya. Baru saja Gemi membuka kunci ponsel yang berada di tangan, seseorang menepuk bahunya dari belakang. "Ayo, Gem!" Pria yang menepuk bahunya itu, lantas mendahului Gemi tanpa menoleh sedikit pun. Terus saja berjalan ke bagian ujung terminal dengan tegap dan rasa percaya diri yang terpancar begitu tinggi. Pria itu juga tidak terlihat membawa apapun di tangannya. Hanya membawa dirinya sendiri. Namun, kenapa pria itu ada di sini? Di tempat yang sama dengan Gemi? “Pak!” panggil Gemi, tapi tidak ditoleh sama sekali oleh pria itu. Gemi menarik gagang travel bagnya, kemudian menariknya. Melangkah cepat, untuk
Suara klakson yang berbunyi dua kali di depan rumah, langsung membuat Gemi beranjak dari sofa ruang tamu. Membawa tas ransel yang berisi laptop, lalu keluar dan mengunci pintu rumahnya. Di luar, sudah terlihat Amir yang berdiri di samping mobil dan menyunggingkan senyum padanya. “Sore, Bu Gemi.” “Sore, Pak,” balas Gemi kemudian membuka pagar. “Biar saya saja yang tutup dan gembok pagarnya,” kata Amir sembari menengadahkan kedua tangannya untuk meminta gembok yang saat ini dipegang oleh Gemi. “Ibu tunggu di dalam aja, sudah ada pak Lex juga di mobil.” “Ohh …” Gemi lantas menyerahkan gembok tersebut pada Amir. Tidak menduga, kalau ia akan pergi ke Metro sore ini bersama Lex. Gemi kira, Lex sudah lebih dulu berada di kantor Metro sedari tadi. “Makasih, ya, Pak.” “Nggeh.” Gemi yang masih asing dengan ungkapan tersebut, hanya memberi anggukan sembari nyengir. Ia lalu masuk ke dalam mobil, dan melihat Lex sudah ada di dalam sana dengan memak
Dengan menenggelamkan kedua tangan di saku celana bahan, Lee memandang jenuh pada kemacetan dari lantai dua puluh tempatnya berdiri saat ini. Menghela panjang dengan segumpal benang kusut, yang menggantung di kepala. Semua kebahagiaan sekaligus kesakitan datang bertubi dan begitu cepat. Semua berkumpul dalam satu waktu, hingga Lee tidak dapat memilah untuk mencernanya di kepala. Ditambah, rasa kehilangan yang ada saat ini, tidak hanya diderita oleh dirinya sendiri, tapi putrinya juga. “Jadi gimana Lee?” tanya Lex yang masih setia duduk dengan menyilang kaki pada arm chair, yang berada tepat di sebelah pintu ruang kerja Lee. Hampir setengah jam Lex berada di dalam ruang kerja Lee, untuk menjelaskan semua perihal perceraian yang diminta oleh Gemi. “Kamu tinggal tanda tangan dan aku jamin semuanya beres.” “Nggak semudah itu ternyata, Lex.” Lee masih saja betah dengan posisinya. Tidak berbalik atau menoleh sedikit pun pada Lex. Ternyata, memutuskan untuk
Panas menyengat melebihi Jakarta, itulah kesan yang didapat Gemi setiap berkunjung ke Surabaya. Terlebih, saat ini Gemi harus beradaptasi dengan cuaca yang ada setiap harinya, karena tanggung jawab yang sudah diterimanya.Minggu-minggu pertama, Gemi selalu membawa Amir untuk menjelaskan seluk beluk jalan di Surabaya. Setelahnya, dengan perlahan Gemi akhirnya paham dan bisa menjelajahinya sendiri meski sesekali harus menggunakan GPS untuk penunjuk arah.“Pagi, Bu Gemi,” sapa seorang satpam yang berdiri di samping pintu lobi masuk kantor dengan senyuman.“Pagi, Pak Broto,” balas Gemi dengan anggukan sopan dan berlalu masuk ke dalam. Sapaan demi sapaan yang sama pun berlanjut Gemi terima, hingga ia berada di lantai empat. Tempat di mana ruang redaksi dan ruangan Gemi berada.Setelah menyapa beberapa awak redaksi yang hanya terlihat beberapa orang saja, Gemi lantas pergi ke ruangannya. Ruangan pemimpin redaksi yang sudah ia cita-citaka
“Omaaa …”Gadis kecil itu, separuh berlari ketika baru keluar dari mobil. Padahal, satu lengannya masih dalam keadaan berbalut perban, karena masih dalam masa penyembuhan.“Chandie, jangan lari.” Lee buru-buru mengejar putrinya, yang langsung merangsek masuk ke dalam pagar rumah orang tua Gemi. Ada Audi yang tengah menyiram tanaman di pekarangan rumah, hingga Chandie langsung saja menghampiri wanita yang sudah dipanggil Oma, sejak Lee menikah dengan Gemi.Audi pun sama paniknya. Khawatir kalau gadis kecil itu tiba-tiba tersandung dan kembali jatuh. Bisa-bisa penyembuhan lengannya akan semakin lama.“Chandie, jalan aja, pelan-pelan,” ujar Audi yang meletakkan selangnya begitu saja dan langsung menangkap cucu sambungnya. “Nanti kalau jatuh, kan, tambah sakit.”Satu tangan Chandie langsung memeluk Audi yang kini berjongkok di depannya. Merebahkan wajah mungilnya pada ceruk leher sang Oma. “A
Gemi terduduk lemas pada sofa di ruang tamu. Baru saja, ia disibukkan dengan kegiatan melelahkan di pagi hari, yakni morning sick yang kerap dilanda ibu hamil. Gemi pernah berharap, kalau di semester kedua kehamilannya nanti, mual dan muntah yang saat ini menemaninya setiap pagi, akan segera enyah dari hidupnya.Yang Gemi tahu, dengar dan lihat sendiri dari kehamilan Gista, kakak perempuannya itu hanya mengalami morning sick di semester pertama. Memasuki semester kedua, Gista sudah tidak mengalami hal tersebut sama sekali.Jika dihitung lagi, kehamilan Gemi kini sudah mulai memasuki semester kedua. Namun, mengapa mual dan muntah itu masih saja ada sampai sekarang. Meskipun hanya terjadi di pagi hari, tapi hal tersebut sungguhlah melelahkan untuk memulai hari.Sepertinya, Gemi akan mencari asisten rumah tangga yang bisa menemaninya sehari-hari. Karena, Gemi tidak mungkin hanya tinggal sendirian, sementara kehamilannya semakin hari semakin besar. Ada pekerjaan rum