Share

Seribu Alasan

Di hari kerja seperti ini, taman hiburan benar-benar tidak terlalu ramai. Hingga hampir semua wahana sudah dicoba oleh Gemi dan Chandie tentunya. Sedangkan Lee, pria itu lebih banyak menjadi penonton saja. Mengamati interaksi akrab yang terjadi antara Gemi dan putrinya.

Setelah sekian tahun berlalu, entah mengapa baru kali ini Lee memiliki sebuah keinginan untuk kembali membina sebuah biduk rumah tangga. Sebenarnya, Gemi bukan satu-satunya wanita yang bisa dekat dengan Chandie. Ada satu orang guru TK yang juga dekat dengan putrinya, tapi Lee tidak merasakan sebuah chemistry seperti yang dirasakannya terhadap Gemi.

Gemi cantik, bahkan bisa dibilang sangat cantik. Bulu mata lentik yang selalu berayun tajam dan bibir sensual, yang selalu bisa membalas argumennya, dengan sebuah nalar yang masuk akal. Membuat Lee merasakan sesuatu yang berbeda dengan Gemi.

Tapi … apakah Gemi memiliki perasaan yang sama dengannya? Atau kah, semua ini nantinya hanya menjadi sebuah tepukan, yang tidak berbalas sama sekali.

“Capek, Gem?”

Gemi membuang napas riang, berjalan bersisihan dengan Lee yang tengah menggendong Chandie yang sudah tertidur di gendongan sang papa. Gadis itu sepertinya sudah lelah, karena telah bermain dan bersenang-senang selama beberapa jam di taman hiburan.

“Capek! tapi seneng!”

“Chandie juga kelihatan seneng banget tadi. Saya sudah lama nggak ngajak dia ke taman hiburan, lebih sering jalan sama tantenya karena ada Zaid, jadi lebih rame katanya.”

“Yaa …” Gemi kembali menarik napas besar dan menghelanya. Ia masih mengatur napas seusai menikmati beberapa permainan di dalam sana. “Lain kali, Bapak ajak Zaid juga, harusnya. Biar rame!”

“Kalau ngajak kamu lagi, nggak papa kan?”

Lagi, Gemi merasakan detak jantungnya bertalu kencang. Sebagai wanita dewasa, Gemi pastinya sangat mengerti dengan maksud di balik ucapan Lee kepadanya. Pria itu, tengah mencoba untuk melakukan pendekatan dengan Gemi. Ingin menolak sebenarnya, tapi sungguh, Gemi tidak sanggup.

“Nggak papa,” jawab Gemi pada akhirnya. “Oia, Pak. Kalau Bapak kerja, Chandie selalu dititipin ke rumah Mbak Asri?”

Gemi membukakan pintu mobil penumpang bagian belakang untuk Lee. Kemudian, pria itu meletakkan sang putri yang masih tertidur dengan perlahan dan memastikan posisinya nyaman, baru Lee menutup pintunya kembali. Setelahnya, giliran Lee yang membukakan pintu penumpang bagian depan untuk Gemi.

“Kalau hari kerja, Chandie lebih banyak di penitipan. Yaa di sekolahnya tadi juga. Kalau saya longgar baru saya jemput dan ajak ke tempat kerja.”

Gemi terenyuh sebenarnya, tapi, tidak ada yang dapat dilakukan. Seharusnya gadis sekecil Chandie, bisa menikmati kasih sayang seorang ibu. Namun, hal itu tidak didapatnya karena sang ibu telah tiada ketika melahirkan Chandie ke dunia.

Lee kemudian mengitari mobil, lau masuk dan melaju menuju rumahnya terlebih dahulu.

“Ke rumah saya dulu, ya, ngantar Chandie, setelah itu, saya antar kamu pulang.”

Gemi jadi sungkan jika seperti ini. “Saya bisa naik ojek on-line, Bapak nemeni Chandie aja di rumah. Kasihan kalau ditinggal.”

“Nggak masalah sebenarnya, di rumah juga ada asisten rumah tangga. Sudah biasa seperti itu. Lagipula, saya habis ini juga mau ke Glory, ada sedikit meeting kecil dengan bagian redaksi.”

Gemi mengangguk kecil satu kali, kemudian menoleh santai pada Lee. “Oh ya udah, saya sekalian mau Radar kalau gitu.”

Kali ini, Gemi tidak lagi penasaran dan ingin bertanya mengenai kepentingan Lee di kantor Glory maupun Radar. Mungkin, ke depannya nanti, Gemi juga akan sering bertemu dengan pria itu, karena statusnya yang merupakan komisaris di Global Corp. Gemi menebak-nebak, kira-kira, seperti apa hubungan yang akan terjalin antara mereka berdua nantinya.

--

“Jadi, kapan bisa wawancara sama Aries, Gem?”

Kalau begini, harusnya Gemi pulang saja untuk mengistirahatkan tubuh. Bertemu dengan sang pemred di ruang iklan dan langsung ‘diseret’ ke ruangan pria itu, sunggulah menyebalkan. Bukan kah hari ini jatah libur Gemi? Jadi, ia tidak ingin membahas masalah pekerjaan, paling tidak untuk hari ini.

“Nanti saya dikabari lagi, Pak.”

“Yakin, kamu, Gem? Kalau Aries nggak ngasih kabar gimana? Dia mau ke Jenewa, loh, minggu depan. Saya sudah nugaskan Arca untuk ikut sama Aries, ada konfrensi di sana.”

“Bapak serius?” Gemi melompat dari duduknya kemudian merogoh tas untuk mengambil ponsel. Segera mencari nama Aries dan bersiap untuk menelepon pria itu. Namun, setelah berpikir lagi, Gemi mengurungkan niatnya kemudian kembali duduk di sofa menatap Rudi.

“Kalau Arca yang ditugasi ke Jenewa, kenapa nggak dia aja sekalian yang bikin berita untuk halaman sosok, Pak?” protes Gemi.

“Acara di Jenewa padat, Gem!” seru Rudi menutup laptopnya setelah memastikan benar-benar sudah mati. “Jadi, buruan hubungi Aries lagi, pastikan semuanya.”

Dengan malas Gemi bangkit dan beranjak keluar dari ruang pemred. Menuju meja kerjanya yang berada di pojok ruang lalu menelepon Aries. Ia tidak peduli kalau saat ini sudah menjelang malam, toh, bagi Gemi, Aries bukanlah siapa-siapa yang harus dihormati. Pria itu tetaplah pria brengsek, yang meninggalkan Gemi dan melepaskan semua tanggung jawab serta janji-janji manis, yang pernah dimuntahkan kepadanya bertahun-tahun yang lalu.

Gemi berdehem untuk melonggarkan pita suaranya yang sedikit tercekat. “Halo, Pak Aries, maaf mengganggu. Saya dengar, Bapak mau ke Jenewa minggu depan. Jadi, apa wawancara kita bisa dipercepat?”

Aries terdiam sejenak di seberang sana. Pria itu sepertinya tengah berpikir.

Gemi pun ikut diam, hanya menunggu pria itu menjawab pertanyaannya baru lah Gemi melanjutkan obrolan berikutnya.

“Saya cuma punya waktu luang senin malam, datang ke penthouse saya jam tujuh malam.”

Giliran Gemi yang berdiam untuk berpikir. Ia mengingat-ingat jadwal deadline dan piket halaman sejenak. “Telat setengah jam gak papa, Pak? deadline saya selesai jam tujuh juga soalnya.” tawar Gemi harap-harap cemas.

“Oke.”

Setelah memberi satu jawaban singkat, Aries kemudian mengakhiri pembicaraan tersebut secara sepihak. Hal itu membuat Gemi ingin mengumpat tapi ia urungkan. Menarik napas panjang lalu membuangnya dengan perlahan. Setiap hal yang berkaitan dengan Aries, selalu saja mampu, untuk memicu emosi jiwanya yang meletup-letup.

“Gemi …”

Suara berat yang berada di balik punggungnya membuat Gemi memutar kursi 180 derajat. Maniknya terbelalak dan langsung berdiri seketika, saat melihat ternyata Lee lah yang berada di belakangnya. Bukannya Gemi tidak hafal suara pria itu, hanya saja Gemi khawatir kalau yang didengarnya barusan hanyalah khayal belaka.

“Pak Lee, belum pulang?”

“Ini juga mau pulang, saya habis dari ruang marketing. Ayo pulang, saya antar!”

Gemi meringis, tapi bukan ditujukan pada Lee. Ia melihat rekan-rekannya yang masih berada di ruang redaksi, sedang menyorotnya dengan tanda tanya besar. Gemi yakin, besok ia akan dihajar dengan berbagai pertanyaan, mengenai Leonard Arkatama oleh awak redaksi. Kalau sudah begini, sepertinya Gemi harus menyiapkan seribu alasan untuk berdalih keesokan hari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status