Di hari kerja seperti ini, taman hiburan benar-benar tidak terlalu ramai. Hingga hampir semua wahana sudah dicoba oleh Gemi dan Chandie tentunya. Sedangkan Lee, pria itu lebih banyak menjadi penonton saja. Mengamati interaksi akrab yang terjadi antara Gemi dan putrinya.
Setelah sekian tahun berlalu, entah mengapa baru kali ini Lee memiliki sebuah keinginan untuk kembali membina sebuah biduk rumah tangga. Sebenarnya, Gemi bukan satu-satunya wanita yang bisa dekat dengan Chandie. Ada satu orang guru TK yang juga dekat dengan putrinya, tapi Lee tidak merasakan sebuah chemistry seperti yang dirasakannya terhadap Gemi.
Gemi cantik, bahkan bisa dibilang sangat cantik. Bulu mata lentik yang selalu berayun tajam dan bibir sensual, yang selalu bisa membalas argumennya, dengan sebuah nalar yang masuk akal. Membuat Lee merasakan sesuatu yang berbeda dengan Gemi.
Tapi … apakah Gemi memiliki perasaan yang sama dengannya? Atau kah, semua ini nantinya hanya menjadi sebuah tepukan, yang tidak berbalas sama sekali.
“Capek, Gem?”
Gemi membuang napas riang, berjalan bersisihan dengan Lee yang tengah menggendong Chandie yang sudah tertidur di gendongan sang papa. Gadis itu sepertinya sudah lelah, karena telah bermain dan bersenang-senang selama beberapa jam di taman hiburan.
“Capek! tapi seneng!”
“Chandie juga kelihatan seneng banget tadi. Saya sudah lama nggak ngajak dia ke taman hiburan, lebih sering jalan sama tantenya karena ada Zaid, jadi lebih rame katanya.”
“Yaa …” Gemi kembali menarik napas besar dan menghelanya. Ia masih mengatur napas seusai menikmati beberapa permainan di dalam sana. “Lain kali, Bapak ajak Zaid juga, harusnya. Biar rame!”
“Kalau ngajak kamu lagi, nggak papa kan?”
Lagi, Gemi merasakan detak jantungnya bertalu kencang. Sebagai wanita dewasa, Gemi pastinya sangat mengerti dengan maksud di balik ucapan Lee kepadanya. Pria itu, tengah mencoba untuk melakukan pendekatan dengan Gemi. Ingin menolak sebenarnya, tapi sungguh, Gemi tidak sanggup.
“Nggak papa,” jawab Gemi pada akhirnya. “Oia, Pak. Kalau Bapak kerja, Chandie selalu dititipin ke rumah Mbak Asri?”
Gemi membukakan pintu mobil penumpang bagian belakang untuk Lee. Kemudian, pria itu meletakkan sang putri yang masih tertidur dengan perlahan dan memastikan posisinya nyaman, baru Lee menutup pintunya kembali. Setelahnya, giliran Lee yang membukakan pintu penumpang bagian depan untuk Gemi.
“Kalau hari kerja, Chandie lebih banyak di penitipan. Yaa di sekolahnya tadi juga. Kalau saya longgar baru saya jemput dan ajak ke tempat kerja.”
Gemi terenyuh sebenarnya, tapi, tidak ada yang dapat dilakukan. Seharusnya gadis sekecil Chandie, bisa menikmati kasih sayang seorang ibu. Namun, hal itu tidak didapatnya karena sang ibu telah tiada ketika melahirkan Chandie ke dunia.
Lee kemudian mengitari mobil, lau masuk dan melaju menuju rumahnya terlebih dahulu.
“Ke rumah saya dulu, ya, ngantar Chandie, setelah itu, saya antar kamu pulang.”
Gemi jadi sungkan jika seperti ini. “Saya bisa naik ojek on-line, Bapak nemeni Chandie aja di rumah. Kasihan kalau ditinggal.”
“Nggak masalah sebenarnya, di rumah juga ada asisten rumah tangga. Sudah biasa seperti itu. Lagipula, saya habis ini juga mau ke Glory, ada sedikit meeting kecil dengan bagian redaksi.”
Gemi mengangguk kecil satu kali, kemudian menoleh santai pada Lee. “Oh ya udah, saya sekalian mau Radar kalau gitu.”
Kali ini, Gemi tidak lagi penasaran dan ingin bertanya mengenai kepentingan Lee di kantor Glory maupun Radar. Mungkin, ke depannya nanti, Gemi juga akan sering bertemu dengan pria itu, karena statusnya yang merupakan komisaris di Global Corp. Gemi menebak-nebak, kira-kira, seperti apa hubungan yang akan terjalin antara mereka berdua nantinya.
--
“Jadi, kapan bisa wawancara sama Aries, Gem?”
Kalau begini, harusnya Gemi pulang saja untuk mengistirahatkan tubuh. Bertemu dengan sang pemred di ruang iklan dan langsung ‘diseret’ ke ruangan pria itu, sunggulah menyebalkan. Bukan kah hari ini jatah libur Gemi? Jadi, ia tidak ingin membahas masalah pekerjaan, paling tidak untuk hari ini.
“Nanti saya dikabari lagi, Pak.”
“Yakin, kamu, Gem? Kalau Aries nggak ngasih kabar gimana? Dia mau ke Jenewa, loh, minggu depan. Saya sudah nugaskan Arca untuk ikut sama Aries, ada konfrensi di sana.”
“Bapak serius?” Gemi melompat dari duduknya kemudian merogoh tas untuk mengambil ponsel. Segera mencari nama Aries dan bersiap untuk menelepon pria itu. Namun, setelah berpikir lagi, Gemi mengurungkan niatnya kemudian kembali duduk di sofa menatap Rudi.
“Kalau Arca yang ditugasi ke Jenewa, kenapa nggak dia aja sekalian yang bikin berita untuk halaman sosok, Pak?” protes Gemi.
“Acara di Jenewa padat, Gem!” seru Rudi menutup laptopnya setelah memastikan benar-benar sudah mati. “Jadi, buruan hubungi Aries lagi, pastikan semuanya.”
Dengan malas Gemi bangkit dan beranjak keluar dari ruang pemred. Menuju meja kerjanya yang berada di pojok ruang lalu menelepon Aries. Ia tidak peduli kalau saat ini sudah menjelang malam, toh, bagi Gemi, Aries bukanlah siapa-siapa yang harus dihormati. Pria itu tetaplah pria brengsek, yang meninggalkan Gemi dan melepaskan semua tanggung jawab serta janji-janji manis, yang pernah dimuntahkan kepadanya bertahun-tahun yang lalu.
Gemi berdehem untuk melonggarkan pita suaranya yang sedikit tercekat. “Halo, Pak Aries, maaf mengganggu. Saya dengar, Bapak mau ke Jenewa minggu depan. Jadi, apa wawancara kita bisa dipercepat?”
Aries terdiam sejenak di seberang sana. Pria itu sepertinya tengah berpikir.
Gemi pun ikut diam, hanya menunggu pria itu menjawab pertanyaannya baru lah Gemi melanjutkan obrolan berikutnya.
“Saya cuma punya waktu luang senin malam, datang ke penthouse saya jam tujuh malam.”
Giliran Gemi yang berdiam untuk berpikir. Ia mengingat-ingat jadwal deadline dan piket halaman sejenak. “Telat setengah jam gak papa, Pak? deadline saya selesai jam tujuh juga soalnya.” tawar Gemi harap-harap cemas.
“Oke.”
Setelah memberi satu jawaban singkat, Aries kemudian mengakhiri pembicaraan tersebut secara sepihak. Hal itu membuat Gemi ingin mengumpat tapi ia urungkan. Menarik napas panjang lalu membuangnya dengan perlahan. Setiap hal yang berkaitan dengan Aries, selalu saja mampu, untuk memicu emosi jiwanya yang meletup-letup.
“Gemi …”
Suara berat yang berada di balik punggungnya membuat Gemi memutar kursi 180 derajat. Maniknya terbelalak dan langsung berdiri seketika, saat melihat ternyata Lee lah yang berada di belakangnya. Bukannya Gemi tidak hafal suara pria itu, hanya saja Gemi khawatir kalau yang didengarnya barusan hanyalah khayal belaka.
“Pak Lee, belum pulang?”
“Ini juga mau pulang, saya habis dari ruang marketing. Ayo pulang, saya antar!”
Gemi meringis, tapi bukan ditujukan pada Lee. Ia melihat rekan-rekannya yang masih berada di ruang redaksi, sedang menyorotnya dengan tanda tanya besar. Gemi yakin, besok ia akan dihajar dengan berbagai pertanyaan, mengenai Leonard Arkatama oleh awak redaksi. Kalau sudah begini, sepertinya Gemi harus menyiapkan seribu alasan untuk berdalih keesokan hari.
"Haaahhhh …" Gemi langsung merebahkan diri pada karpet bulu yang terhampar di ruang tengah. Meregangkan tubuh lelahnya, kemudian melihat Lee, yang juga ikut merebahkan diri di sampingnya. "Aku capeeek," keluh Gemi lalu memiringkan tubuhnya untuk memeluk Lee. “Pijitin.” Lee lantas terkekeh kecil. Lalu mengangkat satu tangannya agar bisa digunakan Gemi sebagai bantal. “Plus-plus?” Tangan Gemi reflek menepuk dada Lee. “Nanti didenger anak-anak!” desisnya dengan manik yang melotot kesal. “Mereka ke mana semua, sih?” “Bentar juga keluar lagi, lihat aj—“ “Papaaa … nggak boleh deket-deket Mama!” Baru saja dibicarakan, gadis kecil berusia empat tahun itu kini berlari ke arah mereka. Tubuh mungil itu, langsung ikut merebahkan diri di tengah-tengah orang tuanya. Dengan sengaja menggeser tubuh sang mama yang menjadikan tangan papanya sebagai bantal. Lee hanya saling melempar tatapan dengan sang is
Lima bulan kemudian …. Chandie berlari secepat kilat, ketika melihat sebuah roda empat yang baru saja terparkir di depan pagar rumahnya. Sedari tadi, gadis kecil itu memang sudah mondar mandir di teras rumah dengan tidak sabar. “Mama … bunda Geeta sudah datang!” seru Chandie dengan kaki yang masih melompat-lompat kecil. “Kak—“ Ucapan Gemi terputus dengan helaan. Putrinya yang aktif itu langsung berbalik cepat, dan kembali berlari ke luar rumah. Sementara Lee, hanya menggeleng dan menyudahi sarapannya. “Barangnya anak-anak di mana?” tanyanya sembari berdiri dan mengusap kepala Arya yang tengah tengah duduk di high chair. “Tasnya Arya masih di kamar, Mas,” kata Gemi sambil masih menyuapi Arya. “Kalau punya Chandie sudah dibawa ke teras dari tadi pagi sama dia. Udah nggak sabar mau ke Batu.” Lee kembali menggeleng sambil berjalan ke kamar mereka, yang kini sudah pindah ke lantai dua. Dari kemarin, yang dibahas Chandie selalu
“Mama, kenapa dari tadi adek digendong sama tante Geeta?”Gemi yang tengah mengepang rambut Chandie di tepi ranjang, menatap Lee dengan mencebikkan bibir. Menahan tawa, karena melihat Chandie yang begitu gelisah ketika adiknya sedari tadi hanya bersama Geeta.Sejak Chandie bangun tidur, mandi, dan hari pun sudah berubah kelam, gadis kecil itu melihat sang adik selalu berada bersama Geeta. Arya hanya berada bersama Gemi ketika Geeta kembali ke kamarnya untuk mandi. Atau, ketika Arya tengah menangis karena lapar dan Gemi harus mengASIhi bayi mungilnya itu.“Karena tante Geeta sayang sama adek Arya,” jawab Gemi.“Tapi adek nggak dibawa pulang sama tante Geeta, kan?” tanya Chandie lagi.Lee dan Gemi kompak terkekeh bersamaan.“Tante Geeta cuma pinjem adek Arya sebentar,” jawab Gemi.“Terus kapan dibalikinnya?” Chandie tidak berhenti protes sampai semua pertanyaan yang
Geeta tertegun kaku, ketika melihat Gemi keluar dengan menggendong seorang bayi. Menghampirinya lalu duduk tepat di samping Geeta. “Namanya Arya Arkatama, umurnya baru satu bulan,” ujar Gemi lalu menyodorkan sang bayi ke arah Geeta. “Bunda Geeta nggak mau gendong?” Tangan Geeta seketika terlihat tremor. Saling menggenggam dan meremas, untuk menghilangkan rasa takjubnya. Ia masih terdiam dan belum menyambut bayi mungil itu dari tangan Gemi. Melihatnya saja, hati Geeta langsung terenyuh, dengan manik yang mulai mengembun haru. “Arya pengen digendong sama Bunda Geeta,” ungkap Gemi, kembali ingin menyentuh sisi keibuan Geeta lebih dalam lagi. Gemi paham, perbuatannya kali ini akan menimbulkan luka. Namun, hanya dengan luka inilah, mungkin Geeta akan berpikir dua kali untuk kembali rujuk dengan Aries. Bukankah mereka berdua sungguh mendambakan adanya seorang anak. Maka, sekarang adalah saat yang tepat bagi Gemi untuk memojokkan Geeta dengan i
Sesuai janji, Geeta kini sudah berada di Surabaya. Duduk berhadapan dengan Lee di lounge sebuah hotel berbintang, untuk berbicara sesuatu mengenai masa depan. “Sudah aku bilang, Mas, kasusnya beda.” Geeta menyesap orange punchnya sebentar lalu kembali bersandar sembari bersedekap. “Mas Aries, selingkuh di belakangku, dan …” Geeta sengaja menjeda kalimatnya untuk menghela sejenak. “Apa Mas nggak curiga? Siapa tahu mereka berdua memang melakukannya atas dasar suka sama suka. Just my two cents, no offense.” Terang saja Lee menggeleng tidak setuju. “Jangan mengalihkan isu,” sanggahnya. “Coba pikirkan lagi, Geet. Bertahun-tahun kalian bersama, apa pernah Aries melakukan hal fatal seperti ini? Di mataku, Aries cuma seorang ambisius yang gila kerja.” Geeta terdiam, karena yang diucapkan Lee semua adalah benar. “We all make mistakes, Geet. Aku sekali pun, pernah melakukan kesalahan dengan Anita, juga Gemi. Tapi, mereka masih ngasih aku kesempatan untuk
“Dia masih nelpon?”Gemi membuang napas panjang dengan menggembungkan pipi, setelah mendengar pertanyaan yang dimuntahkan oleh Lee. Ia lantas mengangguk untuk menjawab pertanyaan itu.“Apa, kita nggak terlalu keras sama dia, Mas?” Gemi bertanya balik tanpa melepaskan tatapannya pada ponsel yang kini bergetar di genggaman.Satu nama itu kembali meneleponnya dan sampai sekarang, Gemi tidak pernah sekali pun mengangkatnya. Namun, Gemi selalu membalas seadanya jika pria itu bertanya mengenai putranya melalui chat.Lee juga ikut menghela ketika mendengar pertanyaan Gemi. Sebenarnya, di lubuk hati Lee yang paling dalam, ia juga tidak tega memperlakukan Aries seperti ini. Namun, di sisi lain, Lee juga merasa khawatir jika ia memberi izin pria itu untuk menemui putranya, karena status Aries yang diambar perceraian. Sebagai seorang suami, wajar jika Lee merasa cemburu dan cemas jika sepasang kekasih itu pada akhirnya kem