Tujuh tahun berlalu. Banyak hal terjadi selama itu. Dexter dan Chelsea tak malu menunjukkan hubungan mereka di hadapan khalayak. Bukannya mendapat kecaman karena mengencani mantan kekasih sahabatnya sendiri, wanita itu justru mendapatkan dukungan, terutama dari orang-orang yang bekerja di rumah sakit. Mereka menyebutnya pasangan serasi karena keduanya sama-sama seorang dokter spesialis.
Dan di tempat lain, dua orang wanita baru saja keluar dari bandara. Keduanya memasuki sebuah mobil yang sudah terparkir dan segera meninggalkan tempat tersebut. Hingga tiga puluh menit lamanya, kendaraan roda empat sampai di sebuah bangunan megah bergaya Eropa klasik. Di dalam bangunan tersebut, Jansen berjalan cepat menuju sebuah ruangan di lantai satu. Masuk setelah mengetuk pintu terlebih dulu. “Tuan, Nona Orville sudah kembali,” ucapnya memberitahu. Callister yang sedang fokus menatap layar komputer di meja kerja langsung menoleh dengan tatapan rumit. Kacamata kotak yang bertengger di hidung dilepasnya kemudian segera berdiri dari kursi kebesaran lalu berjalan cepat keluar ruangan. Jansen hanya menggedikkan bahu dan segera menyusul di belakang. “Selamat datang kembali, Josephine,” sambut Callister saat dokter wanita memasuki ruang tamunya. “Lama tidak bertemu, Callister.” Josephine mengulas senyum tipis. Callister menatap penampilan wanita di depan secara keseluruhan. Banyak yang berubah dari penampilan Josephine sejak dia mengirimnya ke Negara S untuk melanjutkan study kedokterannya sekaligus melatih jiwa raganya agar lebih tangguh saat menghadapi Dexter dan Chelsea. “Terakhir kita bertemu, kau terlihat seperti orang kekurangan gizi, padahal kau bekerja sebagai tenaga medis di rumah sakit besar. Tapi, setelah tujuh tahun, kau terlihat seperti preman wanita,” seloroh pria tampan. “Sepertinya tentara Negara S melatihmu dengan baik. Kau bahkan terlihat seperti bagian dari mereka,” lanjutnya. “Jangan menyinggung soal itu, aku benar-benar tidak menyukai sebagian dari mereka.” Josephine memutar bola matanya dengan malas. Mengingat tentara Negara S benar-benar membuatnya ingin muntah. Memang tidak semua, tetapi sebagian benar-benar menguji kesabarannya. Jika bukan demi misi, dia pasti sudah menyuntik mati mereka. Callister tergelak hingga gigi gerahamnya terlihat. Hal langka terjadi, bahkan Jansen yang sudah lama bekerja untuknya pun tidak pernah melihat atasannya tertawa lebar seperti saat ini. “Ah, soal beberapa prajurit yang menguji kesabaranmu, aku sudah mendengarnya dari Rashid.” “Ah, iya, pria itu yang memaksaku membuat tato di belakang telinga dan tengkuk. Aku juga sangat membencinya.” Josephine menyentuh bagian tubuhnya yang memiliki tato. Callister mendengkus. Dialah orang yang memerintahkan Rashid untuk membujuk Josephine agar membuat tato. Hal tersebut bertujuan agar wanita cantik dapat bertahan hidup di sana. Karena jika tidak, maka prajurit akan mengira dia dari pihak lawan dan nyawanya akan dalam bahaya. “Ikutlah denganku. Banyak hal yang harus kita bahas di dalam,” ajaknya, berjalan lebih dulu menuju ruang kerjanya berada. Akan tetapi, pria tampan harus mengangkat panggilan lebih dulu dan membiarkan Josephine masuk ke ruangannya seorang diri. Dokter cantik berjalan mendekati tumpukan buku yang berjejer rapi di rak. Jemari lentiknya menyentuh permukaan sampul yang begitu terawat. Tidak ada sedikitpun debu yang menempel di sana. Hingga jemari lentik itu berhenti pada satu buku yang cukup menarik. Sebuah buku jurnal yang ditulis dengan rapi. Halaman demi halaman dibukanya dan dibaca dengan seksama. “Siapa yang menulis jurnal sebagus ini?” gumamnya, membalik buku untuk melihat nama penulis di bagian akhir halaman. “Itu buku ibuku,” sela sebuah suara dari belakang. Callister berjalan mendekat dan langsung mengambil buku di tangan Josephine. “Dia menulis jurnal tersebut setelah mengikuti banyak penelitian penyakit kanker.” “Banyak hal yang dapat membantu banyak orang dalam buku tersebut.” “Kau benar. Tapi, sayangnya ibuku tidak bisa menerapkan metode penyembuhan yang dia tulis di buku ini pada pasien-pasiennya karena suatu alasan.” Suara Callister terdengar bergetar saat menceritakan tentang ibunya. Josephine terdiam. Dia pernah mendengar istri pertama Tuan Alexander Melden yang merupakan seorang dokter jenius di bagian penyakit ganas seperti kanker. Penemu metode penyembuhan tanpa operasi, tetapi sampai saat ini, tidak lagi terdengar mengenai kabar tentang wanita tersebut. Bahkan, penemuannya pun dilupakan begitu saja oleh dunia. Josephine penasaran akan kebenaran dibalik kisah tersebut. Namun, wanita muda tidak memiliki keberanian untuk menanyakan langsung pada Callister karena takut menyinggung perasaannya, terlebih itu adalah masalah yang sensitif. Dia tidak tahu respon seperti apa yang akan diberikan, tetapi sebelum itu Josie memilih untuk menyimpan rasa ingin taunya. “Omong-omong, dibanding buku ini, ada hal lebih penting yang harus kita bahas.” Callister mengembalikan buku tersebut ke tempat semula. “Mengenai permintaanmu kemarin lusa, aku sudah mengaturnya. Kau akan bekerja mulai minggu depan.” “Apa tidak bisa lebih cepat? Menganggur selama satu minggu, aku tidak terbiasa berdiam diri tanpa melakukan apa pun.” “Itu harus kau lakukan untuk memuluskan rencana. Selama satu minggu, kau harus menahan diri untuk tidak berkeliaran di sekitar rumah sakit.” “Baiklah, baiklah.” Josephine tak memiliki pilihan lain. Hanya satu minggu, setelah itu dia akan kembali untuk membalas mereka yang telah mengkhianatinya. Wanita cantik berdiri dari tempat duduk, bersiap untuk pergi. Setidaknya dia harus mencari tempat tinggal untuk menghabiskan waktu menganggurnya selama satu pekan. “Kau mau kemana?” tanya Callister. “Mencari tempat tinggal. Kau, tidak berniat menyuruhku untuk tinggal di sini, ‘kan?” “Kalau mau kau bisa tinggal di sini. Lagipula dari sini hanya memerlukan waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai ke rumah sakit. Itu bisa menghemat waktu dan uangmu." Josephine tampak menimbang saran Callister. Jika dia tinggal di rumah itu, maka pengeluarannya akan berkurang. Beda halnya dengan menyewa tempat tinggal seperti kondominium atau bahkan membeli apartemen. Harga properti di daerah sana pasti sudah naik pesat. Dia juga tidak mungkin tinggal di unit apartemen lamanya. “Tapi, kau tidak akan memasang tarip per malam, ‘kan?” tanyanya memastikan. Callister menggelengkan kepala. Lagipula dia tidak akan sering tinggal di sana. “Baiklah kalau begitu.” “Kau boleh pergi. Temui pelayan dan minta dia untuk menunjukkan kamar yang akan kau tempati.” Josephine hanya mengangguk dan segera pergi untuk mencari pelayan kediaman Callister. Dia harus beristirahat untuk mengembalikan tenaganya yang terkuras banyak setelah penerbangan lamanya. Seperginya Josie. Jansen masuk ke ruangan dan wajah Callister kembali berubah serius. “Bagaimana perkembangannya?” “Kita sudah mengumpulkan sebanyak tiga puluh persen saham di Melden Holding Company, dan masing-masing sepuluh persen saham di anak perusahaan.” “Mengenai berkas setiap anak perusahaan, kau sudah mengurusnya juga?” “Ya, semua sudah siap untuk diserahkan pada jaksa. Anda ingin saya menyerahkannya kapan?” “Secepatnya.” “Lalu, rahasia mengenai direktur utama Melden E-commerce, apa Anda tidak ingin mengungkapnya?” tanya Jansen dengan sangat hati-hai. Pasalnya masalah tersebut sangatlah sensitif. “Untuk apa? Alexander sendiri terlibat dalam penyembunyian identitasnya. Tidak ada gunanya kita menggunakan rahasia tersebut untuk memukul ayahku, Jansen. Kita gunakan cara lain saja.” “Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Callister hanya berdeham sebagai jawaban lalu berjalan mendekati rak buku. Menggerakkan salah satu buku besar hingga rak tersebut terbuka lebar. Pria tampan segera masuk, melewati lorong hingga sampai pada satu ruangan yang cukup nyaman. “Tunggulah sebentar lagi. Kita hampir sampai,” gumamnya, menatap sesuatu yang tertutupi kain putih.“Anda yakin akan masuk seorang diri, Tuan? Bagaimana jika Nyonya kembali mengamuk dan menyerang Anda?” taya Jansen. Keduanya berhenti tepat di depan bangunan rumah sakit jiwa di mana ibu Callister dirawat.“Aku sangat yakin. Lagipula, aku tidak bisa menghindarinya lebih lama, Jansen. Bagaimanapun, dia wanita yang telah membawaku ke dunia ini. Baik buruknya dia, dia tetap ibu kandungku.” Callister turun dari mobil. Diikuti asisten pribadinya.Keduanya menatap bangunan bertingkat di hadapan. Callister sengaja memindahkan tempat rawat ibunya di Negara J untuk menjauhkannya dari jangkauan Emilia. Sampai saat ini, wanita yang dulunya penyayang itu belum menunjukkan tanda-tanda akan kembali normal. Padahal, dia sudah membayar begitu banyak dokter untuk mengobatinya. Namun, sampai saat ini masih belum membuahkan hasil.“Kau tunggu saja di sini. Aku akan segera kembali.” Callister melenggang ke dalam bangunan itu. Kedatangannya sudah diberitahukan pada pemilik tempat tersebut. Seorang dokter
Josephine mengerutkan kening merasakan ada yang aneh dengan mobilnya. Dokter wanita baru saja kembali dari makam kedua orang tuanya karena merindukan mereka. “Bahan bakarnya habis? Astaga!” gumamnya frustasi.Mengamati sekitar, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Tempatnya berada saat ini tak lain adalah hutan pinus yang jauh dari pemukiman. Memeriksa ponsel, untungnya hal tersebut tidak berpengaruh pada jaringan hingga dia pun dapat meminta bantuan pada seseorang untuk menjemputnya di sana.Pertama, Josephine mencoba menghubungi Callister. Namun, nomor pria itu tidak bisa dihubungi. “Astaga! Aku lupa dia berangkat ke Negara J. Callister pasti masih di pesawat.” Dia pun kembali melihat kontak di ponselnya. Timnya, dia ragu mereka akan membantu. Mengingat jarak yang harus ditempuh cukuplah jauh.Hingga akhirnya, bibir tipis itu tersungging sinis. Josephine mendial nomor Dexter yang didapat dari grup rumah sakit. Tak perlu menunggu lama, pria itu langsung menjawab panggilannya. “Do
“Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, Dokter Daisy, semoga panjang umur!”Josephine tertegun melihat rekan kerjanya bernyanyi di depan sana. Kue ulang tahun, lengkap dengan topi kerucut yang mereka gunakan. Zoe pun ada di sana. Namun, tak ada rasa terharu sama sekali. Itu bukan tanggal ulang tahunnya. Dia merubahnya setelah meninggalkan negara kelahirannya untuk melanjutkan pendidikan.Tanggal lahir yang tertera di kartu identitasnya yang baru adalah tanggal di mana dia hampir mati oleh Dexter dan Chelsea. Hanya saja, Josephine mengganti tahun agar tidak dicurigai oleh siapa pun. Meski bukan tanggal lahirnya, dia tetap menunjukkan apresiasi pada mereka yang menyiapkan semuanya. “Bagaimana kalian tahu tanggal ulang tahunku?” tanyanya.“Kami melihatnya di resume Anda beberapa waktu lalu. Kemudian, kami sepakat akan memberikan kejutan. Meski tidak tepat waktu, tetapi kami berharap Anda panjang umur dan sehat selalu, Dok,” sela Angela.Naima langsung mengambil bu
Di salah satu bilik toilet perempuan, terdengar seseorang memuntahkan isi perutnya. Tak lama berselang, Chelsea keluar dari bilik toilet dengan wajah pucat. Sebelah tangannya memegangi kepala yang terasa berputar, sementara satunya lagi mencoba mencari pegangan agar tubuhnya tidak terjatuh. “Astaga! Ini sangat melelahkan. Bahkan sekarang aku sudah tidak bisa menyembunyikannya lagi,” gumamnya.Hampir dua bulan, dia tidak mendapatkan tamu bulanannya. Awalnya Chelsea mengira mungkin itu akibat dari stres, tetapi dia salah. Sebuah kehidupan baru tengah berkembang dalam perutnya, dan hingga saat ini, dia belum mengatakan apa pun pada Dexter.Merogoh saku jas, dia pun mengambil ponsel lalu menghubungi pria itu. Dia tidak bisa menunda lebih lama lagi. Mereka harus segera menikah sebelum kandungannya makin membesar. Butuh waktu sampai pria itu akhirnya menjawab panggilan. “Dex, kau di mana?” tanyanya begitu tersambung.“….”“Ada hal penting yang harus kita bicarakan, Dex.”“….”“Ini lebih pen
“Wajahmu memerah, apa kau sakit?”Callister menelan salivanya dengan susah payah. Kakinya berjinjit menghindari telapak tangan Josephine yang terus berusaha menggapai dahinya. Namun, sayangnya dia gagal menghindari tubuh wanita itu yang kini menempel padanya. “Ya, kau benar. Aku sakit, Josephine.” Suaranya terdengar serak dan berat.“Naiklah ke kamar. Akan kusiapkan sup dan obat.” Josephine belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Dia langsung berbalik lalu mendekati lemari pendingin untuk mengambil bahan makanan yang dibutuhkan.Akan tetapi, baru saja membuka sebagian, pintu lemari pendingin ditutup paksa oleh Callister yang entah sejak kapan berdiri di belakang. Mata dokter wanita terpejam erat kala tangan kekar pria itu bergerak di sekitar pinggang kecilnya.Suasana kian tegang kala Josephine merasakan sesuatu yang lembut mendarat tepat di tengkuknya hingga tubuhnya meremang.“Aku tidak membutuhkan sup ataupun obat, aku membutuhkan hal lain,” bisik Callister. Napasnya yang sega
Hari mulai gelap, dan matahari perlahan beranjak ke tempat peraduannya. Josephine membereskan berkas medis sebelum akhirnya berkemas untuk pulang. Merenggangkan badan, dokter wanita sangat senang karena bisa pulang dan tidur dengan nyenyak setelah sepekan bertugas sebagai dokter jaga. “Sampai jumpa, besok.” Dia pun melambai pada keempat rekan kerjanya.Mark dan Angela melambai dengan lesu. Pasalnya, keduanya masih harus berjaga untuk beberapa hari ke depan.“Aku meninggalkan kartu debit di meja. Kalian bisa menggunakannya untuk memesan makanan,” ucap Josephine yang membuat wajah kedua orang itu sumringah seketika.“Terima kasih, Dok. Sering-seringlah meninggalkan kartu Anda di sini.” Angela berlari ke meja kerja Josephine, dan dia menemukan kartu yang dimaksud dokter wanita.Josephine mengangguk dan segera pergi. “Pertama-tama aku harus berendam air hangat, lalu makan, dan tidur setelahnya.” Dia pun turun menggunakan lift. Sampai di basement, motornya tidak ada di tempat parkir. Menga
Langkah Callister dan Jansen berhenti di depan ruangan. Terlihat beberapa pria berseragam formal sedang menunggu mereka.“Tuan Callister Melden, kami mendapatkan laporan jika Anda melakukan pelanggaran hukum terkait pembangunan kembali kota tua di Distrik Barat.” Seorang pria yang merupakan seorang jaksa mendekati Callister seraya menunjukkan selembar kertas. “Silahkan ikut kami untuk melakukan serangkaian pemeriksaan terkait laporan yang kami terima.”Callister mendengkus sinis. Secara mengejutkan kejaksaan melakukan investigasi dan bahkan surat penangkapannya pun sudah di depan mata. Siapa dalangnya, itu tidak penting untuk saat ini. “Sebagai warga negara yang taat terhadap hukum, saya akan mengikuti instruksi dan bekerja sama dengan pihak kejaksaan.”“Tapi, Tuan ….” Jansen langsung menahan Callister yang hendak pergi bersama kejaksaan.“Tidak masalah. Batalkan rapat dengan klien, dan atur ulang jadwal untuk hari ini.”“Baik, Tuan.”Jansen membiarkan Callister pergi bersama pihak ke
“Kenapa kau di sini, Dokter Dexter?” Josephine menyipitkan mata melihat keberadaan dokter pria itu di hadapannya. Jelas, ini bukan jadwal pria itu untuk berjaga. Lalu, untuk apa dia ada di rumah sakit selarut ini.“Ah, Dokter Daisy, aku merasa bosan karena tidak ada kegiatan. Jadi, kupikir aku mungkin bisa membantu dokter yang sedang jaga hari ini.” Dexter menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Dan, ya, setidaknya aku bisa membantu perawat di bangsal tiga.” Dia pun menatap penuh harap. Sangat menyenangkan seandainya Josephine memuji tindakan baiknya.Alis Josephine saling bertautan. Padahal dulu Dexter paling tidak suka jika sudah dijadwalkan sebagai dokter jaga. Dia biasa berpura-pura sakit atau membayar dokter residen lain untuk menggantikannya dan, ya, Josephine lah orang yang mengeluarkan uang untuk keperluan pria itu. “Terima kasih. Timku tertolong dengan keberadaanmu. Aku tidak tahu ke mana dokter dan perawat lain yang juga ditugaskan jaga malam ini. Ya, mungkin mereka memiliki
“Apa Anda sudah tahu soal putusan sidang Dokter Chelsea?” tanya Angela. Hari ini, seluruh bagian bedah trauma makan siang bersama untuk merayakan keberhasilan mereka menyelamatkan pasien. Dalam dua minggu, mereka menyelamatkan empat pasien.“Ya, aku sudah melihatnya, tadi.” Josephine menggedikkan bahu. Untuk kelalaian yang dilakukannya, Chelsea hanya dijatuhi hukuman skorsing selama satu bulan dan harus membiayai perawatan pasien hingga sembuh. Meski tahu, tetapi tak bisa dipungkiri jika dokter wanita kecewa dengan keputusan tersebut.“Aku benar-benar jengkel. Bisa-bisanya dia hanya diskors.” Naima terlihat menggebu-gebu. Steak di piring ditusuknya dengan kuat, seolah yang ditusuknya saat ini adalah sosok Chelsea yang menyebalkan. “Harusnya, pengadilan mencabut izin medisnya agar dia tidak lagi menjadi seorang dokter. Astaga! Dia bahkan tidak cocok menjadi dokter. Universitas mana yang meluluskan orang ceroboh sepertinya dan disumpah menjadi seorang dokter?” Dia pun menggelengkan kepa