Share

bab 3

last update Last Updated: 2025-04-07 07:45:05

Keesokan harinya, nama Josephine menjadi buah bibir di kalangan para medis di rumah sakit keluarga Melden. Kesalahan salah satu dokter residen dalam mendiagnosis pasien serta kesalahan pemberian dosis obat oleh oknum perawat semuanya dilimpahkan pada dokter muda. Rekan sejawat beserta dokter senior mengecam tindakan fatal yang merugikan pasien serta mencoreng nama baik rumah sakit.

"Itu sebabnya pepatah mengatakan jika kita tidak bisa menilai buku hanya berdasarkan sampulnya saja."

"Ya, siapa sangka dokter muda yang menjadi residen terbaik tahun lalu hanyalah seorang wanita labil yang bahkan tidak bisa memberikan dosis obat dengan benar. Maksudku, semua orang pasti pernah melakukan kesalahan, tetapi yang dia lakukan mengancam nyawa seseorang."

Banyak kecaman yang diberikan staf rumah sakit maupun beberapa keluarga pasien yang mengetahui kejadian tersebut. Namun, ada beberapa orang juga yang tidak percaya dengan kabar yang tengah merebak. Bahkan, nama Josephine tertera di papan pengumuman dan pihak rumah sakit sudah mengeluarkan keputusan jika dokter muda tersebut bukan lagi bagian dari mereka.

Dexter berjalan tertunduk saat banyak tenaga medis yang menatap iba padanya. Mereka tahu dokter pria adalah kekasih Josephine. Mereka merasa iba karena pria itu pasti tidak menyangka kekasihnya akan melakukan tindakan yang merugikan banyak pihak.

"Seharusnya aku merasa senang, bukan?" Dexter menghela napas dalam. Kejadian kemarin terus terlintas di ingatan. Wajah penuh keputusasaan Josephine saat dia mendorong mobilnya ke jurang terus menghantui. Bahkan, sejak semalam tidur Dexter benar-benar tidak nyenyak seperti sebelumnya. Terlebih mengingat cairan merah pekat yang merembes di antara kedua kaki wanita itu. Dia tidak bodoh, mereka sering tidur bersama. Besar kemungkinan Josephine mengandung anaknya mengingat mereka tidak pernah menggunakan pengaman apa pun.

Dokter pria tersentak saat sebuah tangan menariknya ke salah satu ruang rawat kosong. Chelsea dengan jas putih kebanggaannya tersenyum manis menatap pria pujaannya. "Padahal masih pagi, tetapi kau terlihat sangat murung, Sayang," ucapnya. Bergelayut manja di leher pria itu.

Dexter langsung menepis tangan Chelsea dan mengambil jarak. "Tidak seharusnya kita seperti ini, Chel. Apa yang akan dikatakan orang jika mereka melihat kita berdua di ruangan kosong seperti sekarang?"

Wajah Chelsea berubah masam. "Memang benar. Tapi, mau bagaimana lagi, aku merindukan kekasihku."

"Sebaiknya kita tidak saling berdekatan untuk sementara waktu sampai situasinya memungkinkan. Jangan terlalu sering mampir ke apartemen. Aku akan mengatur jadwal dan tempat kita bertemu."

"Tapi, sebelum itu kita harus mencari stempel Josephine untuk memindahkan sahamnya padaku, Dex.”

“Baiklah, kita lakukan itu nanti malam. Dan setelah itu, jangan menemuiku jika aku tidak menghubungimu lebih dulu.”

“Dex, itu tidak adil!" protesnya tak terima. Namun, Dexter tidak ingin dibantah dan dia pun langsung keluar setelah memastikan tidak ada orang yang melihat keberadaannya di sana. Chelsea berdecak kesal. Menyusul keluar seraya menutup keras pintu ruangan tersebut. Tanpa keduanya sadari, seseorang melihat mereka bersama.

***

Di sisi lain, Josephine menghentikan santap paginya saat dua orang pria menyambangi ruang rawatnya. Wanita cantik sangat tahu siapa kedua pria di hadapan. Meski mereka tidak pernah bertatap muka sebelumnya, tetapi wajah salah satu pria kerap kali menghiasi pemberitaan di sosial media.

"Sepertinya sekarang kondisimu sudah lebih baik dari kemarin malam," ucap pria yang duduk di kursi roda.

"Ya, aku harus berterima kasih padamu, Tuan Callister Melden. Berkatmu, aku selamat dari kematian."

Callister mendengkus sinis. "Bukan padaku, tetapi Jansen. Dia yang terjun ke laut untuk menyelamatkanmu," balasnya. "Pria yang bahkan tidak bisa menggerakkan jari kakinya memang bisa apa?" lanjutnya, sinis.

Josephine terlihat berpikir keras. Namun, setelahnya dia hanya mengangguk kecil lalu sedikit menundukkan kepala. "Terima kasih. Berkatmu aku masih hidup, Tuan Jansen."

Pria bernama Jansen terlihat gugup dan menundukkan kepalanya sebagai balasan.

"Jangan senang dulu. Aku menyuruh Jansen menolongmu tidak secara cuma-cuma," kata Callister.

Josephine mendengkus. Memangnya apa yang dia harapkan. Tidak ada yang gratis, dia tahu itu. "Memangnya apa yang kau inginkan dari orang miskin sepertiku, Tuan Callister Melden?"

“Miskin?” Callister terkekeh dingin. “Bagaimana kau bisa menyebut dirimu miskin, Nona Orville? Kau memiliki kekayaan bernilai jutaan dollar, dan kau menyebut dirimu miskin? Itu terlalu merendahkan diri sendiri dan menghina peninggalan orang tuamu,” lanjutnya dengan wajah serius.

Josephine melengos. Sekarang dia tahu apa yang diinginkan pria itu sebagai imbalan. Saham Melden Holding Company milik mendiang ayahnya yang dibeli dengan mengatasnamakan dirinya.

“Kau tidak perlu khawatir aku akan merampas saham itu darimu. Aku tidak menginginkannya, Josephine. Aku hanya ingin kau menggunakannya di pihakku suatu hari nanti,” ungkap Callister yang seketika membuat Josie kembali menatap ke arahnya. Pria tampan mengangguk, jujur dengan perkataannya. Dia memang tidak menginginkan saham tersebut untuk dimiliki. Callister ingin Josephine berada di pihaknya, sama seperti beberapa pemegang saham lain yang sudah ia kumpulkan selama bertahun-tahun lamanya.

“Maksudmu? Kau ingin aku berada di pihakmu agar kau bisa menguasai perusahaan keluarga Melden?” tanya Josie yang langsung diangguki Callister.

Callister menurunkan kedua kaki lalu berdiri dari kursi roda. Membuat Josephine terkejut dengan mulut terbuka. Pria tampan berjalan mendekati brankar. Mencondongkan tubuh, mengintimidasi wanita cantik di depan hingga terlihat kaku seperti patung.

“K-kau, bisa berjalan? Bukankah tadi ….” Josephine mengatupkan bibir saat telunjuk Callister terangkat lalu menyentuh benda merah muda alami tersebut.

“Mulai sekarang, kita berdua berada dalam satu kapal yang sama. Jika ada orang lain yang tahu dengan kondisiku yang sebenarnya, maka aku tinggal menyuruh Jansen untuk melenyapkanmu. Karena hanya kita bertiga yang tahu, dan Jansen tidak akan mungkin mengkhianatiku.”

Josephine mengangguk. Kedua sikunya mulai kesemutan dan akhirnya hilang keseimbangan hingga jatuh terlentang.

Callister kembali menegakkan tubuh lalu menepuk tangannya dengan cukup keras. “Nah, sekarang aku akan menawarkan kerja sama untuk membalas dendam pada kekasih bodohmu dan juga adik tiriku tersayang. Kau, tidak berpikir untuk memaafkan mereka begitu saja, bukan? Apalagi, sekarang namamu sudah tercemar di rumah sakit kami. Chelsea melakukan itu dengan bantuan sepupu ibunya yang menjabat sebagai direktur utama.”

Josephine yang sudah kembali duduk merenung selama beberapa saat. Dia sudah menduga kedua orang tidak tahu malu itu akan berbuat sesuatu setelah mencoba membunuhnya. Balas dendam, tentu saja dia akan membalas apa yang telah mereka lakukan terhadapnya, serta janin tidak berdosa yang kini telah tiada. Menunggu mereka mendapatkan balasan karma dari Tuhan terlalu lama. “Baiklah,” putusnya, menyodorkan tangan untuk berjabat.

Callister tersenyum menyeringai dan menerima uluran tangan di depan. Dengan itu, maka kerjasama mereka terjalin. “Tapi, sebelum membalas dendam, ada hal yang harus kau lakukan terlebih dahulu,” ucapnya, tersenyum penuh arti. “Pergilah yang jauh, lalu kembalilah setelah kau mendapatkan apa yang diperlukan untuk balas dendam. Sementara aku dan Jansen akan mengurus semua yang terjadi di sini.”

"Tidak perlu melakukan apa pun untuk sekarang. Biarkan mereka merasa menang untuk saat ini." Josephine sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan Chelsea. Setelah mencemari namanya, wanita itu pasti akan membuat skenario lain untuk membuat namanya semakin buruk di mata dunia. Tatapannya berubah tajam. Sebelah tangan menyentuh perut yang rata. Karena dua orang itu, dia harus kehilangan janin dalam kandungan yang baru berusia delapan minggu. Namun, ada bagusnya anak itu tidak lahir. Karena jika dia lahir, maka Josie tidak akan tega membalas dendam pada ayah biologis anaknya.

***

Malam harinya, setelah melakukan tugas sebagai tenaga medis, Chelsea dan Dexter bertemu di basement apartemen milik Josephine yang sudah lama ditinggalkan. Dex sudah berusaha mencari benda berharga milik mantan kekasihnya di apartemen yang dia tempati. Namun, benda itu tidak ditemukan di mana pun.

“Dex, kau menemukannya?” tanya Chelsea. Namun, gelengan kepala yang didapatkan wanita itu sebagai balasan. Sudah dua jam lebih mereka mencari, tetapi tidak ada tanda-tanda keberadaan benda itu di mana pun.

Mereka tidak tahu, Callister bergerak lebih cepat mengamankan stempel Josephine yang sedang dicari keduanya. Dan saat ini, pria itu mengantar Josephine ke bandara. Bersama Jansen dan satu orang wanita, mereka semua menyamarkan penampilan dengan kacamata hitam dan syal yang menutupi hampir seluruh wajah.

“Dia akan membantumu selama kau di luar negeri,” kata Callister, menunjuk wanita yang bekerja untuknya. Dia pun menyerahkan dua berkas pada masing-masing wanita di depan. “Itu identitas kalian. Tidak perlu khawatir karena tidak akan ada yang tahu siapa kalian yang sebenarnya.”

“Baiklah, terima kasih.” Josephine menerima berkas tersebut lalu melangkah pergi bersama orang yang akan menemaninya selama di luar negeri.

Callister meninggalkan bandara setelah kedua sosok itu tidak lagi terlihat matanya. Wajah pria tampan berubah dingin. Dia pun menunduk seraya membenarkan syal saat beberapa orang bersetelan formal berjalan di depannya. Masuk ke mobil dan segera pergi bersama Jansen.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Shadow of Revenge    Extra Part

    Kelahiran Jasper menjadi titik balik hubungan Callister dan ayahnya. Keberadaan putranya membuat pria itu mengesampingkan ego. Atas nasihat sang istri, Callister sedikit demi sedikit menerima kehadiran Alexander dan berdamai dengan masa lalu mereka. Kediaman pria itu tak pernah sepi pengunjung. Mereka menjenguk Josephine dan memberikan banyak hadiah untuk si kecil Jasper. "Katanya, wajah anak pertama bisa menunjukkan siapa di antara kedua orang tuanya yang jatuh cinta lebih dulu. Dan terbukti, aku menyaksikannya sendiri, hari ini." Leandre menatap lembut wajah Jaser yang berusia satu bulan tengah terlelap dalam box bayinya. Tak terganggu sama sekali, bayi manis itu terlelap meski sekitarnya ramai. Leandre menatap Callister yang duduk dengan wajah tertekuk. Pria itu bosan karena temannya berkunjung untuk ketiga kalinya dalam satu bulan ini. "Tuan Callister orang yang jatuh cinta lebih dulu pada Josephine! Wajah Jasper benar-benar sama persis dengannya. Hanya warna matanya saja yang

  • Shadow of Revenge    Bab 59 (Tamat)

    Suatu malm, Callister secara spesial mengajak sang istri untuk makan malam di salah satu hotel bintang tujuh. Josephine tampak menawan dengan flowly gown warna pastel. Tambahan aksesoris kalung berlian yang berkilau, serta rambut yang ditata bergelombang menambah kesan anggun dan feminim. "Kau, baik-baik saja?" Callister tampak khawatir. Wajah istrinya pucat sejak beberapa hari lalu. "Aku hanya sedikit pusing, Call. Kupikir akan membaik setelah diistirahatkan, tetapi ternyata tidak." Josephine memegangi pelipisnya. Rasanya dia ingin memuntahkan isi perutnya yang bahkan tidak ada apa pun karena akhir-akhir ini nafsu makannya bermasalah. "Bagaimana jika kita ke rumah sakit? Wajahmu pucat, aku takut terjadi sesuatu." Josephine menggelengkan kepala. Suaminya sudah bekerja keras, membawanya makan di luar agar nafsu makannya kembali. Tidak mungkin dia membatalkan makan malam tersebut. "Sejujurnya, Call, ada hal penting yang harus aku katakan." Wajahnya terlihat sangat serius. "Ya, kata

  • Shadow of Revenge    Bab 58

    Satu minggu berlalu, Callister belum mendapatkan kepastian dari Jake Florent. Saat ini, pria itu sibuk merawat istrinya yang keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu. Dia merawatnya dengan telaten dan penuh kesabaran. Callister menahan diri untuk tidak meminta haknya sebagai suami karena tidak ingin menyakiti istrinya. Meski beberapa kali Josephine menggodanya, tetapi dia lulus dalam ujian tersebut. Setelah keluar dari rumah sakit, Josephine hanya duduk dan duduk. Makan masakan yang disiapkan Callister, lalu beristirahat setelahnya. Wanita itu merasa bosan, bahkan berat badannya naik dua kilo hanya dalam waktu singkat. "Kau mau kemana?" Callister buru-buru mendekati istrinya yang berdiri di depan pintu kamar. "Aku akan mencari udara segar di halaman belakang rumah kita." "Tidak. Kau harus tetap di rumah," larang pria itu. Josephine mendelik tajam. "Aku benar-benar bosan terkurung setiap hari di dalam kamar ini, Call, aku bukan burung yang bisa kau tempatkan di dalam sangkar," k

  • Shadow of Revenge    Bab 57

    Mark tampak fokus mengoperasi lengan Josephine yang terkena peluru. Sementara Angela dan Naima terlihat begitu gelisah. Mereka bahkan tidak sempat menghapus riasan karena kekacauan di hari pernikahan Josephine. Keduanya sigap membawa dokter wanita itu ke rumah sakit untuk dilakukan tindakan. Karena luka yang dalam, akhirnya Josephine harus dioperasi. Tulang lengannya patah hingga harus dipasang pen untuk menyatukannya kembali. Sebuah pemandangan getir, di mana dulu dia adalah orang yang mengoperasi pasien, tetapi sekarang, dia berada di ruang bedah sebagai pasien. Hingga beberapa jam kemudian, Mark selesai melakukan pekerjaannya dengan sangat baik. "Lukanya sangat dalam. Bahkan, tulang lengannya retak parah. Untungnya peluru tidak sampai menembus hingga mengenai organ vital," ucapnya. Dia pun keluar untuk menjelaskan kondisi pasien pada suaminya yang menunggu. "Bagaimana kondisi istriku?" Wajah Callister terlihat pias. Demi melindunginya, Josephine sampai mengorbankan diri. "Dokte

  • Shadow of Revenge    Bab 56

    Persiapan pernikahan Callister dan Josephine sepenuhnya menjadi tanggung jawab Fawn. Dengan antusias, wanita paruh baya itu mengatur semua persiapan dengan bantuan Selene. Untuk pengerjaan busana pengantin, dia mengerahkan tiga perancang busana untuk mempercepat pengerjaannya. Bahkan, tempat pemberkatan pun dia sendiri yang memilihnya atas persetujuan dari kedua calon mempelai. "Nyonya, saya tahu Anda tidak sabar menanti pernikahan Tuan dan Nona Orville, tapi Anda juga harus memperhatikan kesehatan Anda sendiri." Selene mendekat dengan nampan berisi obat serta segelas air putih. Fawn yang tengah sibuk memeriksa persiapan langsung meninggalkan buku catatan dan meminum obatnya. Pantas saja dia sedikit tak fokus, rupanya dia lupa minum obatnya. "Selene, apa ada kabar dari Callister dan Josephine? Kapan mereka akan kemari?" "Karena penelitian Nona Orville yang belum selesai, mereka sepertinya akan datang pekan depan, Nyonya." "Mereka bilang ingin menikah, tapi bahkan saat acara pe

  • Shadow of Revenge    Bab 55

    "Dokter, gawat, Dokter!" Seorang perawat berlari menuju ruang kerja Josephine. Wajahnya memucat, tangannya gemetaran. "Ada apa?" Josephine yang sedang bersiap-siap pulang langsung mendekat. Menyerahkan segelas air putih pada perawat tersebut. Wanita itu menegak habis air. Napasnya tersengal-sengal dengan keringat yang mulai bercucuran. "Sam, Dokter, dia tidak ada di ruang rawatnya," ucapnya. "Apa?! Bukankah tadi dia ada di ruangannya?" Josephine tampak begitu panik. Pasalnya, Samuel adalah salah satu pasien prioritas mereka. "Kau sudah mencarinya ke taman?" Josephine berjalan cepat menuju pintu keluar, diikuti perawat di belakangnya. "Saya sudah mencarinya kemana-mana, tapi dia tidak ada." Josephine mendekati lift. Namun, di sana tertera sebuah tulisan yang menyatakan jika benda tersebut dalam perbaikan. Mereka akhirnya harus menggunakan tangga darurat untuk mencari keberadaan Samuel. Sepanjang jalan, Josephine terlihat sangat gelisah. Dia takut anak itu tak sadarkan diri

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status