Keesokan harinya, nama Josephine menjadi buah bibir di kalangan para medis di rumah sakit keluarga Melden. Kesalahan salah satu dokter residen dalam mendiagnosis pasien serta kesalahan pemberian dosis obat oleh oknum perawat semuanya dilimpahkan pada dokter muda. Rekan sejawat beserta dokter senior mengecam tindakan fatal yang merugikan pasien serta mencoreng nama baik rumah sakit.
"Itu sebabnya pepatah mengatakan jika kita tidak bisa menilai buku hanya berdasarkan sampulnya saja." "Ya, siapa sangka dokter muda yang menjadi residen terbaik tahun lalu hanyalah seorang wanita labil yang bahkan tidak bisa memberikan dosis obat dengan benar. Maksudku, semua orang pasti pernah melakukan kesalahan, tetapi yang dia lakukan mengancam nyawa seseorang." Banyak kecaman yang diberikan staf rumah sakit maupun beberapa keluarga pasien yang mengetahui kejadian tersebut. Namun, ada beberapa orang juga yang tidak percaya dengan kabar yang tengah merebak. Bahkan, nama Josephine tertera di papan pengumuman dan pihak rumah sakit sudah mengeluarkan keputusan jika dokter muda tersebut bukan lagi bagian dari mereka. Dexter berjalan tertunduk saat banyak tenaga medis yang menatap iba padanya. Mereka tahu dokter pria adalah kekasih Josephine. Mereka merasa iba karena pria itu pasti tidak menyangka kekasihnya akan melakukan tindakan yang merugikan banyak pihak. "Seharusnya aku merasa senang, bukan?" Dexter menghela napas dalam. Kejadian kemarin terus terlintas di ingatan. Wajah penuh keputusasaan Josephine saat dia mendorong mobilnya ke jurang terus menghantui. Bahkan, sejak semalam tidur Dexter benar-benar tidak nyenyak seperti sebelumnya. Terlebih mengingat cairan merah pekat yang merembes di antara kedua kaki wanita itu. Dia tidak bodoh, mereka sering tidur bersama. Besar kemungkinan Josephine mengandung anaknya mengingat mereka tidak pernah menggunakan pengaman apa pun. Dokter pria tersentak saat sebuah tangan menariknya ke salah satu ruang rawat kosong. Chelsea dengan jas putih kebanggaannya tersenyum manis menatap pria pujaannya. "Padahal masih pagi, tetapi kau terlihat sangat murung, Sayang," ucapnya. Bergelayut manja di leher pria itu. Dexter langsung menepis tangan Chelsea dan mengambil jarak. "Tidak seharusnya kita seperti ini, Chel. Apa yang akan dikatakan orang jika mereka melihat kita berdua di ruangan kosong seperti sekarang?" Wajah Chelsea berubah masam. "Memang benar. Tapi, mau bagaimana lagi, aku merindukan kekasihku." "Sebaiknya kita tidak saling berdekatan untuk sementara waktu sampai situasinya memungkinkan. Jangan terlalu sering mampir ke apartemen. Aku akan mengatur jadwal dan tempat kita bertemu." "Tapi, sebelum itu kita harus mencari stempel Josephine untuk memindahkan sahamnya padaku, Dex.” “Baiklah, kita lakukan itu nanti malam. Dan setelah itu, jangan menemuiku jika aku tidak menghubungimu lebih dulu.” “Dex, itu tidak adil!" protesnya tak terima. Namun, Dexter tidak ingin dibantah dan dia pun langsung keluar setelah memastikan tidak ada orang yang melihat keberadaannya di sana. Chelsea berdecak kesal. Menyusul keluar seraya menutup keras pintu ruangan tersebut. Tanpa keduanya sadari, seseorang melihat mereka bersama. *** Di sisi lain, Josephine menghentikan santap paginya saat dua orang pria menyambangi ruang rawatnya. Wanita cantik sangat tahu siapa kedua pria di hadapan. Meski mereka tidak pernah bertatap muka sebelumnya, tetapi wajah salah satu pria kerap kali menghiasi pemberitaan di sosial media. "Sepertinya sekarang kondisimu sudah lebih baik dari kemarin malam," ucap pria yang duduk di kursi roda. "Ya, aku harus berterima kasih padamu, Tuan Callister Melden. Berkatmu, aku selamat dari kematian." Callister mendengkus sinis. "Bukan padaku, tetapi Jansen. Dia yang terjun ke laut untuk menyelamatkanmu," balasnya. "Pria yang bahkan tidak bisa menggerakkan jari kakinya memang bisa apa?" lanjutnya, sinis. Josephine terlihat berpikir keras. Namun, setelahnya dia hanya mengangguk kecil lalu sedikit menundukkan kepala. "Terima kasih. Berkatmu aku masih hidup, Tuan Jansen." Pria bernama Jansen terlihat gugup dan menundukkan kepalanya sebagai balasan. "Jangan senang dulu. Aku menyuruh Jansen menolongmu tidak secara cuma-cuma," kata Callister. Josephine mendengkus. Memangnya apa yang dia harapkan. Tidak ada yang gratis, dia tahu itu. "Memangnya apa yang kau inginkan dari orang miskin sepertiku, Tuan Callister Melden?" “Miskin?” Callister terkekeh dingin. “Bagaimana kau bisa menyebut dirimu miskin, Nona Orville? Kau memiliki kekayaan bernilai jutaan dollar, dan kau menyebut dirimu miskin? Itu terlalu merendahkan diri sendiri dan menghina peninggalan orang tuamu,” lanjutnya dengan wajah serius. Josephine melengos. Sekarang dia tahu apa yang diinginkan pria itu sebagai imbalan. Saham Melden Holding Company milik mendiang ayahnya yang dibeli dengan mengatasnamakan dirinya. “Kau tidak perlu khawatir aku akan merampas saham itu darimu. Aku tidak menginginkannya, Josephine. Aku hanya ingin kau menggunakannya di pihakku suatu hari nanti,” ungkap Callister yang seketika membuat Josie kembali menatap ke arahnya. Pria tampan mengangguk, jujur dengan perkataannya. Dia memang tidak menginginkan saham tersebut untuk dimiliki. Callister ingin Josephine berada di pihaknya, sama seperti beberapa pemegang saham lain yang sudah ia kumpulkan selama bertahun-tahun lamanya. “Maksudmu? Kau ingin aku berada di pihakmu agar kau bisa menguasai perusahaan keluarga Melden?” tanya Josie yang langsung diangguki Callister. Callister menurunkan kedua kaki lalu berdiri dari kursi roda. Membuat Josephine terkejut dengan mulut terbuka. Pria tampan berjalan mendekati brankar. Mencondongkan tubuh, mengintimidasi wanita cantik di depan hingga terlihat kaku seperti patung. “K-kau, bisa berjalan? Bukankah tadi ….” Josephine mengatupkan bibir saat telunjuk Callister terangkat lalu menyentuh benda merah muda alami tersebut. “Mulai sekarang, kita berdua berada dalam satu kapal yang sama. Jika ada orang lain yang tahu dengan kondisiku yang sebenarnya, maka aku tinggal menyuruh Jansen untuk melenyapkanmu. Karena hanya kita bertiga yang tahu, dan Jansen tidak akan mungkin mengkhianatiku.” Josephine mengangguk. Kedua sikunya mulai kesemutan dan akhirnya hilang keseimbangan hingga jatuh terlentang. Callister kembali menegakkan tubuh lalu menepuk tangannya dengan cukup keras. “Nah, sekarang aku akan menawarkan kerja sama untuk membalas dendam pada kekasih bodohmu dan juga adik tiriku tersayang. Kau, tidak berpikir untuk memaafkan mereka begitu saja, bukan? Apalagi, sekarang namamu sudah tercemar di rumah sakit kami. Chelsea melakukan itu dengan bantuan sepupu ibunya yang menjabat sebagai direktur utama.” Josephine yang sudah kembali duduk merenung selama beberapa saat. Dia sudah menduga kedua orang tidak tahu malu itu akan berbuat sesuatu setelah mencoba membunuhnya. Balas dendam, tentu saja dia akan membalas apa yang telah mereka lakukan terhadapnya, serta janin tidak berdosa yang kini telah tiada. Menunggu mereka mendapatkan balasan karma dari Tuhan terlalu lama. “Baiklah,” putusnya, menyodorkan tangan untuk berjabat. Callister tersenyum menyeringai dan menerima uluran tangan di depan. Dengan itu, maka kerjasama mereka terjalin. “Tapi, sebelum membalas dendam, ada hal yang harus kau lakukan terlebih dahulu,” ucapnya, tersenyum penuh arti. “Pergilah yang jauh, lalu kembalilah setelah kau mendapatkan apa yang diperlukan untuk balas dendam. Sementara aku dan Jansen akan mengurus semua yang terjadi di sini.” "Tidak perlu melakukan apa pun untuk sekarang. Biarkan mereka merasa menang untuk saat ini." Josephine sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan Chelsea. Setelah mencemari namanya, wanita itu pasti akan membuat skenario lain untuk membuat namanya semakin buruk di mata dunia. Tatapannya berubah tajam. Sebelah tangan menyentuh perut yang rata. Karena dua orang itu, dia harus kehilangan janin dalam kandungan yang baru berusia delapan minggu. Namun, ada bagusnya anak itu tidak lahir. Karena jika dia lahir, maka Josie tidak akan tega membalas dendam pada ayah biologis anaknya. *** Malam harinya, setelah melakukan tugas sebagai tenaga medis, Chelsea dan Dexter bertemu di basement apartemen milik Josephine yang sudah lama ditinggalkan. Dex sudah berusaha mencari benda berharga milik mantan kekasihnya di apartemen yang dia tempati. Namun, benda itu tidak ditemukan di mana pun. “Dex, kau menemukannya?” tanya Chelsea. Namun, gelengan kepala yang didapatkan wanita itu sebagai balasan. Sudah dua jam lebih mereka mencari, tetapi tidak ada tanda-tanda keberadaan benda itu di mana pun. Mereka tidak tahu, Callister bergerak lebih cepat mengamankan stempel Josephine yang sedang dicari keduanya. Dan saat ini, pria itu mengantar Josephine ke bandara. Bersama Jansen dan satu orang wanita, mereka semua menyamarkan penampilan dengan kacamata hitam dan syal yang menutupi hampir seluruh wajah. “Dia akan membantumu selama kau di luar negeri,” kata Callister, menunjuk wanita yang bekerja untuknya. Dia pun menyerahkan dua berkas pada masing-masing wanita di depan. “Itu identitas kalian. Tidak perlu khawatir karena tidak akan ada yang tahu siapa kalian yang sebenarnya.” “Baiklah, terima kasih.” Josephine menerima berkas tersebut lalu melangkah pergi bersama orang yang akan menemaninya selama di luar negeri. Callister meninggalkan bandara setelah kedua sosok itu tidak lagi terlihat matanya. Wajah pria tampan berubah dingin. Dia pun menunduk seraya membenarkan syal saat beberapa orang bersetelan formal berjalan di depannya. Masuk ke mobil dan segera pergi bersama Jansen.“Tunggu!” Dexter berlari menghampiri mobil polisi yang hendak membawa Daisy. “Aku temannya, tolong beri aku kesempatan untuk berbicara dengan Dokter Daisy,” ucapnya pada petugas kepolisian yang menghalangi langkah.Petugas kepolisian langsung memberikan jalan. Dexter menunduk, menatap iba wanita cantik yang duduk di kursi belakang mobil polisi. “Aku percaya padamu, Daisy. Kau tidak mungkin menyakiti Chelsea. Tunggu saja, akan kubuktikan jika bukan kau pelakunya.”Josephine menatap pria itu lalu mendengkus sinis. “Kupikir kau percaya jika aku yang mencelakai tunanganmu.”“Tidak, aku tahu kau tidak melakukannya. Akan ku pastikan kau dibebaskan.” Dexter berkata dengan penuh keyakinan.“Dexter!” Seruan sebuah suara mengejutkan dokter pria. Dia pun menoleh, tatapannya langsung beradu dengan tatapan tajam Alexander Melden. “Berani sekali kau mengkhianati putriku, Dexter!”Dexter langsung berdiri dengan tegap. Alexander yang dibutakan kemarahan menerjang pria muda itu dan mendaratkan satu pu
Chelsea berjalan sempoyongan. Perut bagian bawahnya tiba-tiba mengalami kram. Menyusul Josephine, dokter wanita berjalan perlahan menuruni undakan tangga. “Tidak, aku harus kuat! Jika tidak hari ini, maka tidak akan ada kesempatan lain.” Dia pun kembali berjalan. Namun, beberapa saat kemudian berhenti saat merasakan kram yang lebih intens.Di bawah sana, Daisy sedang menerima panggilan telepon. Chelsea tahu siapa yang sedang menghubungi wanita tersebut. Tersebar kabar mengenai wanita itu dengan salah satu pasien VIP. “Dasar wanita murahan. Tidak cukup dengan putra menteri pertahanan, dia merayu Callister dan Dexter secara bersamaan!” desisnya.Kembali melanjutkan langkah, Chelsea melihat wanita di bawah sedang berjongkok. “Ini kesempatanku,” gumamya. Berjalan tanpa menimbulkan suara. Namun, saat hendak mendorong Josephine yang sedang berjongkok, justru kakinya terpeleset hingga tubuhnya terdorong ke depan. Josephine tersentak saat sesuatu menimpa kepalanya. Namun, dia berhasil meraih
“Angela, tunggu!” Josephine menarik tangan rekan kerjanya hingga berhenti. Dia pun membawanya ke tempat yang lebih tenang.“Dok, saya tidak melihat apa pun.” Angela menggelengkan kepala. “Saya tidak akan mengatakannya pada siapa pun,” lanjutnya. Tangannya mengisyaratkan dia akan tutup mulut. Wajahnya terlihat pucat melihat Callister mendekati mereka berdua.“Ya, rahasiakan apa yang kau lihat tadi,” ucap Callister. Wajahnya berubah dingin, tak seperti saat berdua dengan Josephine.Angela mengangguk. “K-Kalau begitu, saya permisi.” Dia pun melewati keduanya setelah mendapat anggukan dari Callister. Masuk ke gudang untuk mengganti sprai dan selimut pasien.Josephine berbalik menatap Callister dengan tajam. “Kau ….” Tangannya terkepal di atas. Dia kehabisan kata-kata melihat wajah Callister yang seolah mengejeknya. “Dasar otak mesum! Karena kau aku dalam masalah. Untung yang datang Angela, kalau Chelsea atau Dexter, bagaimana?" gerutunya, kesal. Dia pun berjalan cepat. Namun, lagi-lagi Ca
Callister langsung kembali ke tanah kelahirannya setelah mengetahui masalah yang terjadi. Namun, alih-alih mengunjungi rumah sakit, pria itu justru menyambangi perusahaan penyedia peralatan kesehatan yang memasok peralatan medis rumah sakitnya.Apa yang pria itu takutkan benar terjadi. Akar permasalahan ada di perusahaan tersebut. Kelalaian para pekerja yang mengakibatkan rumah sakit terdampak. Callister langsung mengumpulkan semua petinggi perusahaan dan memarahi mereka karena teledor. Callister berdiri tegap di ruang rapat yang dipenuhi oleh para petinggi perusahaan. Tangannya terkepal, darahnya mendidih saat ia mengetahui kesalahan fatal yang diakibatkan perusahaan penyedia peralatan medis tersebut. "Bagaimana ini bisa terjadi?" Suaranya menggema, tajam dan berat.Wajahnya merah padam, urat-urat di lehernya menonjol saat ia menatap satu per satu eksekutif yang duduk di hadapannya. "Kita berbicara tentang keselamatan pasien, nyawa manusia!" teriaknya, sambil menghentakkan tangan ke
“Anda yakin akan masuk seorang diri, Tuan? Bagaimana jika Nyonya kembali mengamuk dan menyerang Anda?” taya Jansen. Keduanya berhenti tepat di depan bangunan rumah sakit jiwa di mana ibu Callister dirawat.“Aku sangat yakin. Lagipula, aku tidak bisa menghindarinya lebih lama, Jansen. Bagaimanapun, dia wanita yang telah membawaku ke dunia ini. Baik buruknya dia, dia tetap ibu kandungku.” Callister turun dari mobil. Diikuti asisten pribadinya.Keduanya menatap bangunan bertingkat di hadapan. Callister sengaja memindahkan tempat rawat ibunya di Negara J untuk menjauhkannya dari jangkauan Emilia. Sampai saat ini, wanita yang dulunya penyayang itu belum menunjukkan tanda-tanda akan kembali normal. Padahal, dia sudah membayar begitu banyak dokter untuk mengobatinya. Namun, sampai saat ini masih belum membuahkan hasil.“Kau tunggu saja di sini. Aku akan segera kembali.” Callister melenggang ke dalam bangunan itu. Kedatangannya sudah diberitahukan pada pemilik tempat tersebut. Seorang dokter
Josephine mengerutkan kening merasakan ada yang aneh dengan mobilnya. Dokter wanita baru saja kembali dari makam kedua orang tuanya karena merindukan mereka. “Bahan bakarnya habis? Astaga!” gumamnya frustasi.Mengamati sekitar, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Tempatnya berada saat ini tak lain adalah hutan pinus yang jauh dari pemukiman. Memeriksa ponsel, untungnya hal tersebut tidak berpengaruh pada jaringan hingga dia pun dapat meminta bantuan pada seseorang untuk menjemputnya di sana.Pertama, Josephine mencoba menghubungi Callister. Namun, nomor pria itu tidak bisa dihubungi. “Astaga! Aku lupa dia berangkat ke Negara J. Callister pasti masih di pesawat.” Dia pun kembali melihat kontak di ponselnya. Timnya, dia ragu mereka akan membantu. Mengingat jarak yang harus ditempuh cukuplah jauh.Hingga akhirnya, bibir tipis itu tersungging sinis. Josephine mendial nomor Dexter yang didapat dari grup rumah sakit. Tak perlu menunggu lama, pria itu langsung menjawab panggilannya. “Do
“Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, Dokter Daisy, semoga panjang umur!”Josephine tertegun melihat rekan kerjanya bernyanyi di depan sana. Kue ulang tahun, lengkap dengan topi kerucut yang mereka gunakan. Zoe pun ada di sana. Namun, tak ada rasa terharu sama sekali. Itu bukan tanggal ulang tahunnya. Dia merubahnya setelah meninggalkan negara kelahirannya untuk melanjutkan pendidikan.Tanggal lahir yang tertera di kartu identitasnya yang baru adalah tanggal di mana dia hampir mati oleh Dexter dan Chelsea. Hanya saja, Josephine mengganti tahun agar tidak dicurigai oleh siapa pun. Meski bukan tanggal lahirnya, dia tetap menunjukkan apresiasi pada mereka yang menyiapkan semuanya. “Bagaimana kalian tahu tanggal ulang tahunku?” tanyanya.“Kami melihatnya di resume Anda beberapa waktu lalu. Kemudian, kami sepakat akan memberikan kejutan. Meski tidak tepat waktu, tetapi kami berharap Anda panjang umur dan sehat selalu, Dok,” sela Angela.Naima langsung mengambil bu
Di salah satu bilik toilet perempuan, terdengar seseorang memuntahkan isi perutnya. Tak lama berselang, Chelsea keluar dari bilik toilet dengan wajah pucat. Sebelah tangannya memegangi kepala yang terasa berputar, sementara satunya lagi mencoba mencari pegangan agar tubuhnya tidak terjatuh. “Astaga! Ini sangat melelahkan. Bahkan sekarang aku sudah tidak bisa menyembunyikannya lagi,” gumamnya.Hampir dua bulan, dia tidak mendapatkan tamu bulanannya. Awalnya Chelsea mengira mungkin itu akibat dari stres, tetapi dia salah. Sebuah kehidupan baru tengah berkembang dalam perutnya, dan hingga saat ini, dia belum mengatakan apa pun pada Dexter.Merogoh saku jas, dia pun mengambil ponsel lalu menghubungi pria itu. Dia tidak bisa menunda lebih lama lagi. Mereka harus segera menikah sebelum kandungannya makin membesar. Butuh waktu sampai pria itu akhirnya menjawab panggilan. “Dex, kau di mana?” tanyanya begitu tersambung.“….”“Ada hal penting yang harus kita bicarakan, Dex.”“….”“Ini lebih pen
“Wajahmu memerah, apa kau sakit?”Callister menelan salivanya dengan susah payah. Kakinya berjinjit menghindari telapak tangan Josephine yang terus berusaha menggapai dahinya. Namun, sayangnya dia gagal menghindari tubuh wanita itu yang kini menempel padanya. “Ya, kau benar. Aku sakit, Josephine.” Suaranya terdengar serak dan berat.“Naiklah ke kamar. Akan kusiapkan sup dan obat.” Josephine belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Dia langsung berbalik lalu mendekati lemari pendingin untuk mengambil bahan makanan yang dibutuhkan.Akan tetapi, baru saja membuka sebagian, pintu lemari pendingin ditutup paksa oleh Callister yang entah sejak kapan berdiri di belakang. Mata dokter wanita terpejam erat kala tangan kekar pria itu bergerak di sekitar pinggang kecilnya.Suasana kian tegang kala Josephine merasakan sesuatu yang lembut mendarat tepat di tengkuknya hingga tubuhnya meremang.“Aku tidak membutuhkan sup ataupun obat, aku membutuhkan hal lain,” bisik Callister. Napasnya yang sega