Share

Bab 5

last update Last Updated: 2025-04-07 15:22:53

Waktu satu minggu terasa seperti satu bulan bagi Josephine. Selama beberapa hari, tak banyak yang bisa dilakukan dokter cantik. Dia hanya akan melakukan olahraga fisik di sekitaran mansion Callister lalu membaca buku medis di ruang kerja. “Untuk apa dia menyimpan semua buku-buku medis ini?” gumamnya.

Josephine tidak pernah mendengar Callister mengambil study di bidang kedokteran. Anehnya, pria itu justru lebih banyak menyimpan buku medis dibandingkan buku yang berkaitan dengan bisnis. Meski begitu, hal itu sangat bagus, mengingat Josephine sangat suka membaca buku dan melihat anatomi manusia. Hal tersebut menurun dari mendiang ibunya yang merupakan seorang dokter bedah trauma, hingga profesi tersebut kini menurun padanya. “Ah, ini terlalu membosankan,” ucapnya. Menutup buku ke sekian yang dibaca.

Entah berapa jumlah buku yang dibacanya selama tiga jam di ruang kerja Callister. Begitu banyak hingga tidak dapat dihitung. Dan akhirnya, dokter wanita memutuskan untuk pergi keluar. Callister tidak bilang jika dia tidak boleh keluar dari mansion. Pria itu hanya memperingatkan agar tidak berkeliaran di sekitaran rumah sakit.

“Anda akan pergi keluar?” Kepala pelayan kediaman tersebut menyambut dengan senyum hangat.

“Iya, saya akan berjalan-jalan di sekitaran sini, Bibi.”

“Kalau begitu, saya akan mengantar Anda ke basement, Nona.” Wanita paruh baya berjalan lebih dulu. Ke arah lift khusus menuju basement kediaman tersebut.

Hanya beberapa detik, lift sampai di bagian bawah bangunan. Lampu langsung menyala begitu keduanya melangkah melewati sebuah pintu besar. Dan di depan sana, terpampang belasan jenis mobil dan motor.

“Anda bisa memilih salah satu, Nona.” Ucapan kelapa pelayan menyentak lamunan Josephine yang berdiri seperti patung.

“Ah, baiklah.” Wanita cantik segera memilih kunci yang terpajang rapi di tempat yang terbuat dari kaca. Dan, pilihannya jatuh pada sebuah kunci motor sport. “Aku akan ambil ini, Bibi,” ucapnya, menunjukkan kunci di tangan.

Wanita paruh baya mengangguk seraya tersenyum. Dia pun menyiapkan helm serta jaket untuk menunjang penampilan serta keselamatan Josephine. Hingga akhirnya, belasan menit berlalu, wanita muda pergi mengendarai motor cepat Callister.

Tak banyak yang bisa dikunjungi. Josephine dengan penyamarannya mengunjungi sebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota. “Banyak hal yang berubah setelah tujuh tahun, ya,” gumamnya, tersenyum dibalik syal yang digunakan.

Hingga langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu yang menarik. Sebuah acara tengah berlangsung di salah satu lantai. Seorang pria berlutut dengan tangan memegangi kotak beludru berwarna hitam. Tersenyum sinis, Josie merasa déjà vu dengan apa yang dilihatnya. Sama seperti beberapa tahun lalu saat Dexter melamarnya. “Astaga! Niatku keluar untuk mencari udara segar justru tercemar gara-gara kenangan sialan itu,” geramnya. Berjalan cepat meninggalkan tempat.

Akan tetapi, sepasang pengunjung menarik perhatian. Dia pun mengikuti mereka sampai ke dalam butik. Berpura-pura memilih gaun malam agar tidak terlihat mencurigakan.

“Pastikan jangan terlalu terbuka. Aku tidak suka orang lain melihat tubuh indahmu, Sayang,” ucap Dexter seraya mencium punggung tangan Chelsea.

Wanita itu tersenyum malu-malu. Terlebih di antara mereka ada beberapa pelayan toko yang siap membantu. Chelsea merasa dirinya sangat dicintai dengan perlakukan Dexter yang tidak ingin pria lain melihat tubuhnya.

Akan tetapi, suasana romantis terganggu dengan suara wanita yang ingin muntah di seberang sana. Ya, wanita itu tak lain adalah Josephine yang benar-benar muak dengan gombalan murah yang keluar dari mulut Dexter. “Maaf, asam lambungku tiba-tiba naik,” kata Josephine seraya menahan tawa dibalik syalnya.

Chelsea sudah siap memaki wanita tidak tahu sopan santun itu, tetapi Dexter dengan cepat menariknya ke bagian di mana mereka akan melakukan fitting baju pengantin.

Josephine mendengkus. Apa saja yang mereka lakukan selama tujuh tahun sampai belum menikah. Dia pikir kedua orang itu sudah hidup sebagai pasangan suami istri yang penuh dengan huru-hara. Jelas tidak mungkin baginya berharap kedua pengkhianat itu hidup damai dan sejahtera setelah perbuatan mereka. Terlebih, Chelsea yang telah membuat namanya buruk di mata tenaga medis rumah sakit Melden, serta memalsukan kematiannya demi keuntungan pribadi. “Tunggu dan lihat, tidak akan kubiarkan kalian berakhir bahagia,” gumamnya, berjalan meninggalkan toko.

***

Sementara itu di sisi lain Kota N, Callister sibuk menjatuhkan satu per satu pendukung Emilia- ibu tirinya yang menjabat sebagai petinggi di anak perusahaan Melden. Tidak ada gunanya mengandalkan Alexander, karena pria itu selalu menutup mata atas apa yang dilakukan kerabat istrinya pada perusahaan.

“Callister, sudah lama kita tidak bertemu, Nak.” Seorang wanita paruh baya mengulas senyum tipis kala Jansen mendorong kursi roda tuannya ke dalam kediaman Melden.

Tidak ada sahutan. Callister memang seperti itu sejak dia kecil, dingin pada ibu tirinya. Bagaimana tidak, disaat dirinya terpukur karena kehilangan wanita yang telah melahirkannya, sang ayah justru datang dengan seorang wanita dan bayinya lalu mengenalkannya sebagai anggota keluarga baru mereka.

“Apa kau sudah makan? Bibi akan menyuruh pelayan menyiapkan makanan kesukaanmu.” Emilia kembali bersuara. Meski dalam hati dia sangat membenci anak tirinya, tetapi tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyingkirkan hambatan utamanya dalam keluarga Melden.

“Tuan Muda sudah makan bersama saya di restoran, Nyonya Emilia,” sela Jansen. Sama seperti tuannya, dia pun tidak menyukai wanita rubah di depan. Dia masih ingat bagaimana perlakukan Emilia pada Callister kecil yang malang. Sebagai orang yang tumbuh bersama, dia tidak akan membiarkan wanita itu melakukan kejahatan yang dapat mengancam jiwa Callister lagi.

“Ah, baiklah. Aku hanya khawatir dia tidak makan dengan benar. Syukurlah kau ada di sampingnya, Jansen. Itu sedikit mengurangi kekhawatiran kami sebagai orang tua,” balas Emilia, kembali menyembunyikan ketidaksukaannya dalam seulas senyum.

“Di mana Alexander?” tanya Callister, mengedarkan pandangan ke sekitar. Padahal, di mana wanita rubah itu berada, ayahnya selalu mengekori seperti anak ayam yang tidak bisa jauh dari induknya.

“Ayahmu sedang ada tamu. Mereka berbincang di ruang kerjanya. Ada sedikit masalah pada Melden E-commerce, dan dia sedang merundingkan jalan keluar untuk mengatasi masalah yang terjadi pada salah satu anak perusahaan.”

Callister mendongak, menatap Jansen. Memberi isyarat agar asisten pribadinya mengeluarkan sesuatu yang dia bawa.

“Kami kemari ingin menyerahkan beberapa berkas. Jika tidak keberatan, bisakah Anda memberikannya pada Tuan Besar?” Jansen menyerahkan berkas-berkas itu pada Emilia.

“Ya, tentu saja. Aku akan memberikannya nanti.”

“Baiklah, kalau begitu kami permisi.” Jansen berbalik dan mendorong kursi roda Callister.

“Callister,” panggil Emilia, menghentikan laju kursi roda serta langkah Jansen. “Bagaiman jika kau pergi ke Negara J untuk pengobatan kakimu. Bibi sangat ingin melihatmu bisa berjalan seperti sebelumnya. Masalah perusahaan properti dan kontruksi yang kau tangani, bagaimana jika menyerahkannya pada keponakan Bibi untuk sementara waktu? Ini demi kebaikanmu sendiri, Nak,” lanjutnya.

Callister menoleh seraya mendengus sinis. “Bibi, universitas terbaik dunia sepertinya tidak menjamin seseorang mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensinya, ya. Kau memiliki keponakan yang merepotkan, Bibi. Bahkan untuk pekerjaan pun dia tidak bisa mencarinya sendiri, melainkan meminta bantuanmu,” cibirnya sinis. “Dan, Bibi, posisi direktur utama yang aku tempati sekarang tidak didapatkan dengan singkat dan mudah. Keponakan manjamu yang baru menyelesaikan kuliahnya tidak mungkin bisa langsung menghalau semua pekerjaan seperti yang kau sarankan tadi. Terima kasih karena sudah mengkhawatirkanku, tetapi sayangnya aku tidak memerlukan semua itu,” lanjutnya.

“Aku tidak bermaksud jahat, Callister. Bibi hanya tidak ingin melihatmu kesulitan, terlebih dengan kondisimu yang lumpuh.” Emilia sengaja menekankan kata terakhirnya. Dia ingin Callister sadar diri jika dirinya tidak bisa melakukan hal lebih. Pria itu hanya mampu memberikan perintah pada bawahannya.

“Nyonya Emilia, Tuan Muda jauh lebih mampu untuk melakukan tugasnya sebagai pimpinan anak perusahaan meski dengan kondisinya sekarang. Bahkan jika ingin, dia bisa saja mengendalikan seluruh perusahaan Melden tanpa bantuan kerabat Anda yang tidak berguna,” sela Jansen.

“Jansen,” tegur Callister. Terlalu dini untuk mereka menabuh genderang perang pada wanita itu.

“Maaf, Tuan, saya hanya ingin mengatakan yang sebenarnya,” sesal Jansen. Dia hanya tidak ingin wanita itu merendahkan atasannya.

“Sudahlah, jangan banyak bicara. Bawa aku pulang sekarang.”

“Baik.”

Emilia menatap kedua pria muda dengan tatapan tajam. Jika saja tatapan tersebut berbentuk api, maka Jansen dan Callister sudah pasti terbakar habis. “Lihat saja, Callister. Aku dan keluargakulah yang akan menguasai semua bisnis keluarga Melden, bukan kau yang bahkan tidak bisa menggerakkan satu pun jari kakimu,” sinisnya.

Melenggang pergi. Emilia membuka salah satu berkas titipan Callister. Namun, tidak ada apa pun yang berharga di sana. Hanya setumpuk laporan yang rutin disampaikan pada Alexander selaku pimpinan tertinggi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Shadow of Revenge    Extra Part

    Kelahiran Jasper menjadi titik balik hubungan Callister dan ayahnya. Keberadaan putranya membuat pria itu mengesampingkan ego. Atas nasihat sang istri, Callister sedikit demi sedikit menerima kehadiran Alexander dan berdamai dengan masa lalu mereka. Kediaman pria itu tak pernah sepi pengunjung. Mereka menjenguk Josephine dan memberikan banyak hadiah untuk si kecil Jasper. "Katanya, wajah anak pertama bisa menunjukkan siapa di antara kedua orang tuanya yang jatuh cinta lebih dulu. Dan terbukti, aku menyaksikannya sendiri, hari ini." Leandre menatap lembut wajah Jaser yang berusia satu bulan tengah terlelap dalam box bayinya. Tak terganggu sama sekali, bayi manis itu terlelap meski sekitarnya ramai. Leandre menatap Callister yang duduk dengan wajah tertekuk. Pria itu bosan karena temannya berkunjung untuk ketiga kalinya dalam satu bulan ini. "Tuan Callister orang yang jatuh cinta lebih dulu pada Josephine! Wajah Jasper benar-benar sama persis dengannya. Hanya warna matanya saja yang

  • Shadow of Revenge    Bab 59 (Tamat)

    Suatu malm, Callister secara spesial mengajak sang istri untuk makan malam di salah satu hotel bintang tujuh. Josephine tampak menawan dengan flowly gown warna pastel. Tambahan aksesoris kalung berlian yang berkilau, serta rambut yang ditata bergelombang menambah kesan anggun dan feminim. "Kau, baik-baik saja?" Callister tampak khawatir. Wajah istrinya pucat sejak beberapa hari lalu. "Aku hanya sedikit pusing, Call. Kupikir akan membaik setelah diistirahatkan, tetapi ternyata tidak." Josephine memegangi pelipisnya. Rasanya dia ingin memuntahkan isi perutnya yang bahkan tidak ada apa pun karena akhir-akhir ini nafsu makannya bermasalah. "Bagaimana jika kita ke rumah sakit? Wajahmu pucat, aku takut terjadi sesuatu." Josephine menggelengkan kepala. Suaminya sudah bekerja keras, membawanya makan di luar agar nafsu makannya kembali. Tidak mungkin dia membatalkan makan malam tersebut. "Sejujurnya, Call, ada hal penting yang harus aku katakan." Wajahnya terlihat sangat serius. "Ya, kata

  • Shadow of Revenge    Bab 58

    Satu minggu berlalu, Callister belum mendapatkan kepastian dari Jake Florent. Saat ini, pria itu sibuk merawat istrinya yang keluar dari rumah sakit dua hari yang lalu. Dia merawatnya dengan telaten dan penuh kesabaran. Callister menahan diri untuk tidak meminta haknya sebagai suami karena tidak ingin menyakiti istrinya. Meski beberapa kali Josephine menggodanya, tetapi dia lulus dalam ujian tersebut. Setelah keluar dari rumah sakit, Josephine hanya duduk dan duduk. Makan masakan yang disiapkan Callister, lalu beristirahat setelahnya. Wanita itu merasa bosan, bahkan berat badannya naik dua kilo hanya dalam waktu singkat. "Kau mau kemana?" Callister buru-buru mendekati istrinya yang berdiri di depan pintu kamar. "Aku akan mencari udara segar di halaman belakang rumah kita." "Tidak. Kau harus tetap di rumah," larang pria itu. Josephine mendelik tajam. "Aku benar-benar bosan terkurung setiap hari di dalam kamar ini, Call, aku bukan burung yang bisa kau tempatkan di dalam sangkar," k

  • Shadow of Revenge    Bab 57

    Mark tampak fokus mengoperasi lengan Josephine yang terkena peluru. Sementara Angela dan Naima terlihat begitu gelisah. Mereka bahkan tidak sempat menghapus riasan karena kekacauan di hari pernikahan Josephine. Keduanya sigap membawa dokter wanita itu ke rumah sakit untuk dilakukan tindakan. Karena luka yang dalam, akhirnya Josephine harus dioperasi. Tulang lengannya patah hingga harus dipasang pen untuk menyatukannya kembali. Sebuah pemandangan getir, di mana dulu dia adalah orang yang mengoperasi pasien, tetapi sekarang, dia berada di ruang bedah sebagai pasien. Hingga beberapa jam kemudian, Mark selesai melakukan pekerjaannya dengan sangat baik. "Lukanya sangat dalam. Bahkan, tulang lengannya retak parah. Untungnya peluru tidak sampai menembus hingga mengenai organ vital," ucapnya. Dia pun keluar untuk menjelaskan kondisi pasien pada suaminya yang menunggu. "Bagaimana kondisi istriku?" Wajah Callister terlihat pias. Demi melindunginya, Josephine sampai mengorbankan diri. "Dokte

  • Shadow of Revenge    Bab 56

    Persiapan pernikahan Callister dan Josephine sepenuhnya menjadi tanggung jawab Fawn. Dengan antusias, wanita paruh baya itu mengatur semua persiapan dengan bantuan Selene. Untuk pengerjaan busana pengantin, dia mengerahkan tiga perancang busana untuk mempercepat pengerjaannya. Bahkan, tempat pemberkatan pun dia sendiri yang memilihnya atas persetujuan dari kedua calon mempelai. "Nyonya, saya tahu Anda tidak sabar menanti pernikahan Tuan dan Nona Orville, tapi Anda juga harus memperhatikan kesehatan Anda sendiri." Selene mendekat dengan nampan berisi obat serta segelas air putih. Fawn yang tengah sibuk memeriksa persiapan langsung meninggalkan buku catatan dan meminum obatnya. Pantas saja dia sedikit tak fokus, rupanya dia lupa minum obatnya. "Selene, apa ada kabar dari Callister dan Josephine? Kapan mereka akan kemari?" "Karena penelitian Nona Orville yang belum selesai, mereka sepertinya akan datang pekan depan, Nyonya." "Mereka bilang ingin menikah, tapi bahkan saat acara pe

  • Shadow of Revenge    Bab 55

    "Dokter, gawat, Dokter!" Seorang perawat berlari menuju ruang kerja Josephine. Wajahnya memucat, tangannya gemetaran. "Ada apa?" Josephine yang sedang bersiap-siap pulang langsung mendekat. Menyerahkan segelas air putih pada perawat tersebut. Wanita itu menegak habis air. Napasnya tersengal-sengal dengan keringat yang mulai bercucuran. "Sam, Dokter, dia tidak ada di ruang rawatnya," ucapnya. "Apa?! Bukankah tadi dia ada di ruangannya?" Josephine tampak begitu panik. Pasalnya, Samuel adalah salah satu pasien prioritas mereka. "Kau sudah mencarinya ke taman?" Josephine berjalan cepat menuju pintu keluar, diikuti perawat di belakangnya. "Saya sudah mencarinya kemana-mana, tapi dia tidak ada." Josephine mendekati lift. Namun, di sana tertera sebuah tulisan yang menyatakan jika benda tersebut dalam perbaikan. Mereka akhirnya harus menggunakan tangga darurat untuk mencari keberadaan Samuel. Sepanjang jalan, Josephine terlihat sangat gelisah. Dia takut anak itu tak sadarkan diri

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status