Langit sore itu tampak seperti luka lebam yang belum sembuh. Abu-abu kehijauan, murung dan menekan. Di bawahnya, gedung-gedung tinggi kota berdiri seperti penjaga bisu, menyaksikan dunia yang terus bergerak meski beberapa hati memilih berhenti.
Aira berdiri di jendela apartemennya, membiarkan dingin menembus kulitnya. Pandangannya kosong menembus kaca, tapi pikirannya terlalu gaduh untuk disebut tenang. Setelah kunjungan pria bernama Nox, sesuatu di dalam dirinya runtuh. Bukan hanya ketakutan tentang siapa yang sedang mengintainya, tapi juga kesadaran bahwa masa lalu Dante bukan cerita yang sudah lewat, melainkan bom waktu yang sedang menghitung mundur. Ia tidak bilang pada Dante bahwa Nox datang pagi itu. Tidak juga soal ancaman samar yang disampaikan pria itu. Ada sesuatu dalam cara pria itu menyebut namanya—bukan Aira, bukan Althea, tapi "nona"—yang membuatnya merasa seperti pion, bukan manusia.Lana tinggal di sebuah pondok kecil di pinggiran danau, tersembunyi di balik hutan cemara. Tidak ada papan nama, tidak ada sinyal. Hanya satu jalan tanah yang menghubungkannya dengan dunia luar.Dante menggenggam tangan Aira ketika mereka turun dari mobil sewaan.“Aku tidak tahu bagaimana reaksinya. Sudah bertahun-tahun aku tidak menemuinya. Terakhir kali... dia bilang tak mau melihatku lagi,” ujar Dante, suaranya serak.Aira mengangguk. “Tapi dia harus tahu. Dan kau juga.”Dengan langkah berat, mereka menyusuri jalan setapak hingga akhirnya tiba di depan pondok kayu itu. Sebelum sempat mengetuk, pintu sudah terbuka.Lana berdiri di ambang pintu.Wajahnya pucat, rambut panjangnya dikepang rapi. Mata birunya menyipit tajam ketika melihat Dante, lalu menatap Aira dengan penuh curiga.“Jadi kau membawa seseorang.”“Namanya Aira,” ujar Dante. “Dia bersamaku.”Lana tertawa pelan, pahit. “Kau selalu begitu. M
Pagi itu terasa berbeda.Tidak ada suara hujan di luar jendela, tidak juga dering telepon atau gemuruh langkah terburu-buru. Hanya suara napas Aira dan Dante yang pelan, beriringan dalam keheningan yang entah kenapa terasa damai.Namun ketenangan itu tidak bertahan lama.Saat Aira membuka mata, ia menemukan amplop putih tanpa nama tergeletak di bawah pintu apartemen mereka. Ia menatapnya lama sebelum mengambil dan membawanya ke meja makan.“Dante?” panggilnya, pelan namun cukup jelas.Pria itu keluar dari kamar mandi, dengan handuk melilit leher dan rambut basah.“Ada apa?”Aira menunjukkan amplop itu.Tanpa bicara, Dante mengambilnya, membuka perlahan, lalu membaca isi surat di dalamnya. Matanya sempat menyipit.“Dari siapa?” tanya Aira cemas.“Tidak disebutkan. Tapi aku tahu tulisan tangan ini. Milik seseorang yang seharusnya sudah mati.”Aira menegang. “Apa maksudmu?”Dante
Hujan turun sepanjang malam, menciptakan ritme pelan di jendela apartemen. Aira terbangun lebih awal, jauh sebelum alarmnya berbunyi. Ia bangkit dari tempat tidur, mengenakan kaus Dante yang kebesaran, lalu berjalan menuju dapur. Aroma kopi sudah lebih dulu menyambutnya.Dante berdiri di sana, menyandarkan tubuh pada meja sambil menatap keluar jendela.“Kau bangun cepat,” kata Aira, setengah menguap.“Kau bicara dalam tidur,” balas Dante, tanpa menoleh. “Tentang seseorang bernama ibu.”Aira diam.“Kau tidak pernah cerita tentang keluargamu,” lanjut Dante pelan. “Aku juga tak pernah bertanya. Tapi... sekarang aku ingin tahu.”Aira menatap punggungnya. Ia tahu ini akan datang. Dan entah kenapa, ia merasa waktunya memang tepat.“Aku tidak punya keluarga,” ujarnya, mengambil cangkir dan menuang kopi. “Ibuku meninggal saat aku masih remaja. Ayahku... pergi sebelum aku bisa mengenal namanya.”Dante akhirnya menoleh. T
Langit sore itu tampak seperti luka lebam yang belum sembuh. Abu-abu kehijauan, murung dan menekan. Di bawahnya, gedung-gedung tinggi kota berdiri seperti penjaga bisu, menyaksikan dunia yang terus bergerak meski beberapa hati memilih berhenti. Aira berdiri di jendela apartemennya, membiarkan dingin menembus kulitnya. Pandangannya kosong menembus kaca, tapi pikirannya terlalu gaduh untuk disebut tenang. Setelah kunjungan pria bernama Nox, sesuatu di dalam dirinya runtuh. Bukan hanya ketakutan tentang siapa yang sedang mengintainya, tapi juga kesadaran bahwa masa lalu Dante bukan cerita yang sudah lewat, melainkan bom waktu yang sedang menghitung mundur. Ia tidak bilang pada Dante bahwa Nox datang pagi itu. Tidak juga soal ancaman samar yang disampaikan pria itu. Ada sesuatu dalam cara pria itu menyebut namanya—bukan Aira, bukan Althea, tapi "nona"—yang membuatnya merasa seperti pion, bukan manusia.
Langit kota menggantung berat malam itu. Tidak ada bintang. Tidak ada bulan. Seolah alam pun tahu bahwa sesuatu sedang bergerak di bawah permukaannya—senyap, tapi mematikan.Aira berdiri di depan cermin kamar mandi, menatap refleksi dirinya.Tatapan gadis itu kosong, namun matanya penuh ledakan rahasia yang belum sempat diledakkan. Ia memutar kepalanya perlahan ke samping, memperhatikan bekas luka samar di bawah telinganya—salah satu dari sekian banyak tanda yang tidak pernah ia pahami sebelumnya. Luka-luka itu kini bukan lagi luka. Mereka adalah bukti.Bahwa dirinya adalah kebenaran yang dimanipulasi.Bahwa darahnya mengandung jejak eksperimen yang dibenci sekaligus diburu.Bahwa mungkin... hidupnya tidak pernah benar-benar menjadi miliknya.Dante masuk pelan, membawa berkas yang baru saja dikirim Camille melalui sistem terenkripsi."Data awal dari Lyra Project," katanya sambil meletakkan folder itu di meja.
Pagi itu sunyi. Tapi bukan karena damai.Aira berdiri di balkon kamar apartemen penthouse milik Dante, mengenakan jubah tipis satin warna kelabu. Secangkir kopi dingin tak tersentuh di tangannya, dan matanya menatap jauh ke arah cakrawala kota yang sedang perlahan terbangun. Tapi pikirannya jauh dari tempat itu.Ia masih memikirkan nama itu.Nox.Seseorang yang datang diam-diam, menyebut nama samaran Dante, dan mengancam menyentuh keluarga Aira—sesuatu yang tidak pernah masuk dalam perhitungan Aira sebelumnya. Ia selalu berpikir bahwa masa lalunya tidak terhubung dengan dunia Dante.Ternyata, ia salah.Pintu balkon bergeser perlahan.Dante keluar, rambutnya masih sedikit basah setelah mandi, dengan kaus hitam polos dan celana training. Sekilas, ia tampak seperti pria biasa. Tapi sorot matanya… tidak pernah biasa."Dia sudah pergi?" tanya Aira pelan, tanpa menoleh.Dante menatap punggung Aira, lalu menja