Share

Indah Namamu

"Maulana Abbas Dhiaulhaq... Hmm, namanya bagus ya Kak. " Ucapku pada Kak Umi yang masih fokus dengan layar laptop. 

"Nama siapa? " jawabnya singkat. 

"Santri baru. Nih coba lihat, Maulana Abbas Dhiaulhaq. Bagus ya. " Balasku sambil tersenyum. 

"Terserah kau lah Put. " Jawab Kak Umi yang tak ingin terlalu menanggapi, ia masih sibuk dengan pekerjaan di depannya. 

Aku hanya tersenyum sebagai balasannya. Kuraih kembali buku yang sempat aku perlihatkan pada Kak Umi beberapa menit yang lalu. Aku mulai menyalin kembali biodata santri baru. Beberapa jam yang lalu, kami mengadakan kumpul panitia, bersama Ustadz dan Ustadzah. Sejauh ini semua berjalan lancar. Selepas kegiatan tersebut, kami mulai merekap data santri baru tahun ini, karena ini memanglah tugas kami sebagai Sekretaris. Empat hari lagi santri baru akan datang ke sini, sedangkan besok pagi adalah kedatangan santri lama. Membuat kami harus segera menyusun agenda untuk acara kedatangan santri baru tersebut. 

Kembali aku teringat dengan nama yang indah itu, membuatku membuka kembali lembaran yang berjudul " Data Santri Baru Putra tahun 2018". Membuat mata ini kembali menatap nama tersebut. 

"Ternyata dia salah satu pendaftar akhir. " Batinku. Aku kembali membaca kolom berikutnya, yang berisi data diri. 

" 13 November 2001. Ternyata dia lebih tua dariku. " Gumamku dalam hati, " Eh , sebentar deh!" kembali aku bergumam di dalam hati, seraya mengurungkan niat untuk menutup lembaran ini. " Dia baru masuk MA? Padahal umurnya 2 tahun lebih tua dariku?" Pikirku, "Tapi bodo amat lah, ngapain ngurusin juga. " Batinku sambil menggelengkan kepala. 

Entah mengapa, aku menyukai namanya. Padahal, aku bukanlah wanita yang dengan mudahnya menyukai seseorang. Bukan juga wanita yang care terhadap lawan jenis. Aku lebih menyukai sifat bodo amat terhadap apa yang sedang terjadi jika itu berkaitan dengan lawan jenis. 

" Sudah selesai belum Put? " tanya Kak Umi sambil menutup layar laptop. 

"Bentar lagi Kak, ini tinggal 2 orang." Balasku sambil menunjukkan buku tulis yang sedang kubawa. 

"Oke, abis ini langsung ke asrama aja ya, " ujar Kak Umi. 

"Oke kak." Sahutku yang masih fokus menulis nama di buku. 

"Tadi kamu ngomongin nama siapa sih? " tanya Kak Umi sambil membalikkan badannya. 

"Bukan apa-apa Kak, tadi cuma bilang namanya bagus. " Jawabku seraya tertawa. 

"Oh begitu, kukira apa. Maaf ya, soalnya aku gak terlalu memperhatikan. Lagi fokus, wkwk. " Balasnya seraya tersenyum. 

"Iyaa, gapapa Kak. Dah selesai nih. " Balasku seraya mengemasi barang-barang diatas meja. 

"Yaudah, balik aja yuk. " Ajak Kak Umi sambil memasukan laptop ke dalam tasnya. 

"Yuk." Sahutku setelah meletakan Buku-buku tersebut di atas meja kantor Pondok. 

Tak lama, akhirnya kami meninggalkan kantor ini. Menutup pintu dan menguncinya. Besok lagi kami pasti datang ke sini. 

Tentang nama itu, mungkin saja nanti aku sudah lupa. Mungkin ya, mungkin. 

***

"Aish, masa kayak gitu. Engga lah, " ujar Isma. 

" Iya bener gak boong dih. " Balas Santi sambil terus memperagakan cara berjalan seseorang. 

"Ih biasanya kamu tuh suka melebih-lebihkan. Mana ada orang tua kek gitu." Ucap Isma masih tak percaya dengan perkataan Santi. 

"Yaudah kalau gitu, nanti sholat maghrib kamu ikut aku ke Masjid. Kamu lihat sendiri orangnya. Nanti kamu bakalan tau seberapa se-" 

"Assalamu'alaikum ughteeaa. " Ucapku membuat mereka sontak menatapku dengan terkejut. 

"Astaghfirullah Putri, mengagetkan saja. " Ucap Isma sambil memasang wajah panik. 

"Dih, salam gak di jawab," balasku. 

"Wa'alaikumussalam Putriii... " Sahut mereka berdua secara bersamaan. 

"Wkwkwk, ngomongin apa si? Jangan-jangan kalian ngomongin aku! Mukanya kaget gitu liat aku dateng. " Ucapku sambil tertawa. 

"Dih engga lah, siapa juga yang ngomongin kamu. " Balas Santi, kemudian dibalas dengan tawa Isma.

"Canda Putri. " Santi kembali menyambung perkataanya. 

"Wkwk iya gapapa. Aku juga bercanda." Balasku sambil tersenyum. 

Mereka lalu tertawa seraya mempersilahkanku untuk duduk bergabung dengan mereka. 

"Sini deh, duduk dulu." Ucap Isma seraya menepuk lantai di sampingnya. 

"Hm oke. " Balasku seraya duduk mendekati mereka. 

"Tau gak, tadi pagi ada Nenek-nenek, udah tua dia ni. Gatau datangnya dari mana, tapi semalam dia kesini sendirian. Dia bilang sama Pak satpam di depan, kalau dia ketinggalan Bus." Jelas Santi sambil merendahkan nada bicaranya. 

"Kasihan, " sahutku. 

"Iya kan Put, kasihan. Masa ya Santi bilang kalau dia serem, misterius. " Balas Isma sambil menepuk paha Santi. 

"Aissh, kau ni..." Balas Santi menepuk kembali ke paha Isma. 

"Heiii, udahlah.. Terus gimana lanjutannya? " ucapku seraya menghentikan mereka. 

Mereka pun berhenti bercanda lalu kembali duduk di posisi masing-masing. 

"Abis tu, Abi Harun (pimpinan Pondok Pesantren) menawarkan dia untuk menginap di sini, bahkan dia akan di antar pulang hari ini. " Ucap Santi kembali menjelaskan. 

"Lalu? Berarti hari ini Nenek itu udah pulang? " tanyaku. 

"Belum, yang nganter belum bisa hari ini," jawab Santi. " Tapi Syukur deh, kalian nanti bisa melihatnya, dan membuktikan bahwa dia itu benar-benar seram, " lanjut Santi. 

"Ih dosa kau San, kebanyakan baca komik." Jawab Isma sambil tertawa. 

Mereka mulai bercanda lagi. Aish kasihan sekali sudah tua, ketinggalan Bus. Apa ya dia pergi sendirian, ga ada yang nyariin gitu. Beberapa pertanyaan mulai memenuhi pikiranku. 

***

"Gimana Put, dah lihat kan? serem kan?" ucap Santi seraya berusaha berjalan menjajariku. 

"Ya gitu deh, " sahutku. 

Sebenarnya aku merasa kasihan dengan orang itu. Hanya karena dia memiliki punuk di punggungnya, membuat ia harus berjalan sambil membungkuk. Ditambah lagi dia berpakaian gelap, membawa tongkat, lalu senyumnya begitu entahlah, aku tak mampu menjabarkannya, menambah kesan seram bagi yang melihatnya. Tapi bagaimanapun dia hanya wanita biasa.

Kami kembali ke asrama , masuk ke dalamnya. Setiap aku memasuki asrama ini, aku selalu berfikir, asrama sebesar ini, seperti milik bertiga untuk beberapa hari ini. 

Tapi tenanglah, besok pagi mereka akan datang, jadi kita tak bertiga lagi. 

***

Pukul 20:15

"San, nenek itu tidur di asrama atau dimana? " tanyaku pada Santi yang sibuk membaca novel. 

"Di UKS katanya, " balasnya dengan singkat. 

"Kasihan tidur sendirian pasti. " Sahut Isma sambil meletakkan Al Qur'annya. 

"Kamu mau nemenin?" tanyaku pada Isma sambil tertawa. 

" Gak lah... " Ucapnya saat ingin mengambil selimut di atas almari. Tiba-tiba gerakannya terhenti saat pintu asrama kami dibuka. Sontak membuat kami bertiga menengok ke arah pintu secara bersamaan. 

"Assalamu'alaikum Dik, nenek itu kesini engga? " Tanya kak Diva yang berdiri di ambang pintu, ia ditemani oleh Kak Salsa yang membawa senter. 

"Wa'alaikumussalam Kak, engga ki. " Jawabku seraya bangkit untuk duduk. 

"Kenapa Kak emangnya?" sahut Santi, seketika ia meletakkan novel yang sedari tadi ia baca. 

"Gatau pergi kemana Dik, di UKS engga ada. Kami semua juga ga ada yang tahu kemana perginya, gak pamit. Ini kami lagi nyariin. Yaudah ya, tak lanjut nyari lagi. " Jelas Kak Diva. 

"Hah! " Isma mulai memasang wajah kaget, takut dan paniknya menjadi satu. 

"Ustadz tahu engga Kak?" tanya Santi, entah mengapa ia memiliki rasa ingin tahu yang tinggi kali ini, biasanya sih ogah-ogahan saat ada hal seperti ini. 

"Udah Dik, tapi tetap aja mereka juga tidak tahu. " Kini Kak Salsa yang menjawab. " Yaudah ya terimakasih, Assalamu'alaikum. " Lanjutnya seraya menutup pintu asrama kembali. 

"Iya Kak, wa'alaikumussalam. " Jawabku pada mereka, entah mereka mendengarnya atau tidak. 

"Tuh kan, misterius ngilang sendiri. " Sahut Santi saat mereka benar-benar pergi. 

"Ih, aku takut. Asrama kita ga ada kunci dari dalem, ntar kalo saat kita tidur dia masuk gimana, ikut tidur atau malah ngapain." Lagi-lagi Isma membuat kami panik. Benar juga, aku juga merasa takut, padahal orang itu tidak berbahaya, tetap aja kami takut. 

***

"Abbas? " panggil Dimas. Saat itu tak sengaja ia melihat Abbas yang sedang duduk di depan Masjid terdekat. 

"Eh, Dimas. " Balasnya sambil menatap Dimas, ia tak percaya akan bertemu dengan temannya disini. 

"Kamu ngapain disini?" Dimas kembali bertanya seraya melihat sekeliling, sepi. 

"Eh, engga ngapa-ngapain. Pengen duduk aja disini." Balas Abbas seraya tersenyum. "Lah kamu sendiri ngapain disini juga? Malem-malem keluar. Gak dicariin Ustadz Adnan?" tanya Abbas kemudian. 

"Hehe, tadi mau ke tempat print, buat materi Halaqoh besok pagi, gak sengaja lewat terus lihat kamu. " Balas Dimas sambil turun dari motor. 

"Kamu jadi pindah ya. " Tanya Dimas yang mulai duduk mendekat di samping Abbas. 

"Iya Dim, besok Ahad aku berangkat ke sana. " Ucap Abbas seraya menundukkan kepalanya. 

"Gapapa bro, sukses yaa. " Sahut Dimas seraya menepuk bahu Abbas sambil tersenyum. 

"Makasih, sukses juga yaa. " Balas Abbas yang ikut tersenyum. 

"Aamiin." 

Mereka melanjutkan perbincangan kecil, hingga Dimas lupa bahwa ia hanya diberikan waktu 30 menit saja untuk keluar Pondok. Untunglah Abbas masih mengingat kebiasaan satpam Pondoknya yang sering memberi izin namun berwaktu, kini waktu tinggal 10 menit lagi, membuat Dimas harus pergi meninggalkan Abbas sendirian disini. 

Abbas menatap kepergian temanya, lalu ia berdo'a dalam hati. "Semoga kami masih diberikan umur panjang, agar mampu bertemu kembali. " Begitulah do'a nya malam ini. Tak lama setelah kepergian Dimas, ia pun meninggalkan tempat ini. Pergi, untuk pulang kembali. 

***

"Ayo Put, dorong yang kuat lagi, " ujar Santi setelah ia mendorong satu almari. Kini giliranku mendorong almari yang satunya untuk menutup pintu asrama. 

Tak cukup dengan sapu lantai untuk mengunci pintu ini, kami membuatnya lebih rumit dengan mendorong 2 almari milik teman kami. 

"Ih berat ini San, sepertinya almari milik Amaliya barang-barangnya di dalam semua. Gaboong ini berat banget. " Ucapku sambil berhenti mendorong almari milik Amal. 

"Dih, kamu aja yang kurus engga kuat. " Ledek Santi sambil tertawa. 

"Ih, dikira kamu juga gak kurus? " balasku sambil tertawa, membuatnya berjalan mendekat, mencoba untuk mendorong almari Amal. 

"Coba mana, kamu minggir dulu. " Ujar Santi yang mulai memegang bagian samping, mencoba mendorongnya, namun, seketika wajah seriusnya menghilang, berganti dengan senyuman. "Ini berat Put," ucapnya. 

Isma yang mendengar ikut tertawa di sana, 

"Makanya jangan suka suudzon. " Tawa Isma terdengar memenuhi ruangan asrama kami. 

"Kan, apa kubilang. " Sahutku seraya mendekati Santi, menyentuh bagian samping almari "yuk dorong bareng. " Ajakku padanya, membuatnya melakukan hal yang sama. 

"Nahh, kalau gini kan almarinya gerak. Wkwk" Ucap Santi sambil mengibaskan tangan yang terkena debu. 

"Amal, Aisya, pinjam almari kalian dulu yaa, " ucapku seraya menepuk kedua almari tersebut. Lalu kembali ke atas kasur, ikut tidur bersama Isma. 

"Nah, kalau gini kan aku bisa tidur. " Ucap Santi seraya meraih novel yang ingin dia baca. 

"Aku juga. Ngomong-ngomong, kemana perginya orang itu ya. " Tanyaku pada Santi. 

"Entahlah, semoga semuanya aman." Jawab Santi, kemudian ia mulai fokus dengan novel yang sedang dibacanya. 

Melihat Isma yang entah sejak kapan dia tidur, membuatku ingin melakukan hal yang sama. Kuraih Al Qur'an di atas almari, membukanya, lalu membaca Q.S Al Mulk sebelum tidur, penutup setiap harinya. Tak butuh waktu lama, kemudian aku meletakan Al Qur'an itu di atas bantal, dan menarik selimut, kemudian tertidur, meninggalkan Santi yang masih membaca novelnya. 

Bersambung... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status