Share

Tumbuh dan Terganti

"Putriiiiii." Teriak seorang wanita  yang sedang berlari ke arahku. 

"Fatimah? " ucapku sesaat setelah melihat wajahnya. Ia menghampiri lalu memelukku. 

"Huhu, maaf ya aku ga bisa dateng awal kemarin. " ucap Fatimah sambil melepas pelukannya. 

"Hehe iya gapapa, "balasku. " Kamu udah daritadi kah? " tanyaku pada Fatimah. 

"Enggak, baru aja. " Jawabnya

"Eh tau gak, tadi aku nyariin kalian. Di asrama ga ada orang. Terus aku mikir, pasti kalian di Masjid. Nah bener kan, kalian ada disini. " Jelasnya sambil tertawa. 

"Iya, bosan di sana. Kamu di anterin?" tanya Santi yang sedang duduk tak jauh dariku. 

"Naik bus lah, makanya aku bisa dateng pagi." Balas Fatimah seraya ikut duduk di samping Santi. 

Fatimah lalu menceritakan perjalanannya tadi, saat ia kesini menaiki Bus dari rumah. Tak ingin kalah, Santi pun menceritakan saat-saat kami hanya bertiga di asrama. 

"Wah,, terus sekarang? Nenek itu ada dimana? " tanya Fatimah. 

Rupanya Santi juga menceritakan tentang nenek tua itu. Yang sempat membuat kami harus mendorong almari untuk mengunci pintu asrama tadi malam. Alih-alih nenek tua itu yang berusaha membuka pintu, ternyata Ustadzah yang mencoba membangunkan kami untuk sholat Shubuh. Untunglah kami tidak kena marah akibat perbuatan kami. Ustadzah itu malah tertawa seraya bilang, " Ngapain kalian nyampe ngunci asrama pakai almari. " Ia masih melanjutkan tawanya, " Nenek itu ternyata orang Jogja, semalam di anterin supirnya Abi, sekaligus Abi berkunjung ke rumahnya. Abi tak sempat bilang sama pengurus, jadi ga ada yang tau. " Jelasnya, " Ada-ada aja kalian ini. " Ucapnya seraya kembali tertawa. 

Begitulah kejadian di pagi hari ini. 

***

Satu persatu, teman-teman mulai berdatangan. Hingga lengkap, mereka semua sudah berada di sini. Banyak dari mereka yang sore ini membersihkan, menata ulang, dan merapikan almari masing-masing . Kami bertiga hanya menikmati pemandangan ini. 

"Rasanya suka aja melihat mereka sibuk beberes, " ucap Santi yang duduk di sampingku. 

"Dosa gak sih kita ngelihatin aja? " tanya Isma yang juga duduk di dekat Santi. 

"Ya gimana, ini pribadi kok. Jadi ga dibantu. Wkwk. " Sahut Santi seraya tertawa. 

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Benar juga, almari dan isinya adalah hal yang pribadi. Tak seharusnya kami ikut membantu menata isi almari milik mereka. 

***

Hari sebelumnya, tak jarang aku harus keluar masuk asrama. Keluar ke depan, memasuki kantor Pondok, menyelesaikan beberapa tugas di sana bersama Kak Umi, atau teman yang lainnya. 

Hari-hari telah berlalu, kini kami lumayan sibuk dengan persiapan kedatangan Santri Baru besok pagi. 

Menyiapkan panggung, membersihkan halaman, menyiapkan bendera-bendera yang bertuliskan OSAH (Organisasi Santri Al Hikmah) yang akan dipasang di setiap sisi jalan menuju Pondok. Tak jauh, hanya 500 meter saja. Semua kami lakukan secara bersamaan. Panita baik ikhwan maupun akhwat. Bahkan banyak para Santri yang turut membantu. 

"Put, besok pagi jam 7 udah siap di sini ya, " ujar Kak Umi saat melihatku berjalan di depan Masjid Putra. 

"Oke Kak. " Jawabku dengan singkat. 

"Meski tugas kita gak terlalu banyak di hari-H, tapi setidaknya kita bisa membantu bidang lain. " jelasnya. 

"Okelah, besok aku bantu yang lain. " Jawabku seraya tersenyum ke arahnya. Membuatnya melakukan hal yang sama padaku. 

***

"Ini terlalu di pojok, coba geser ke kanan. Di sana masih banyak tempat tuh. " Perintah Kak Farhan sambil menunjukkan tangannya ke arah yang ia maksud. 

"Sini Kak? " balas Rifki sambil menarik mejanya. 

"Iyaa, " jawabnya. "Eh, geser ke belakang coba, ntar kalau ada motor lewat, biar tidak mengganggu. " Ucapnya lagi. Membuat Rifki memutar bola matanya, lalu dengan terpaksa ia menarik meja itu ke belakang. 

"Dah kan?" tanya Rifki

"Oke sip. " Balas Kak Farhan singkat. Kemudian Ia berjalan meninggalkan Rifki begitu saja. 

"Dih." Gumam Rifki saat melihatnya pergi begitu saja. 

***

"Nih, bajumu udah aku setrika. " Ucap Laila seraya menyerahkan lipatan baju koko yang sudah rapi pada kakaknya. 

"Wah, punya adik baik banget, mau nyetrikain. " Balas Abbas seraya menerima baju tersebut. 

"Iyalah, baru sadar aja kalau aku baik. " Sahut Laila sambil tertawa, ia pun pergi meninggalkan Abbas sendirian di kamar. 

Abbas hanya tersenyum melihatnya. 

Tiba-tiba Laila berhenti di pintu kamar Abbas, menoleh ke arahnya, "Kak, Hati-hati jatuh cinta. " Ucap Laila sambil tertawa. 

"Idihh, mana ada aku jatuh cinta. " Balas Abbas menunjukkan ekspresi tidak terima.

"Siapa tau, ntar suka sama ukhti-ukhti. Ha-ha-ha. " Ucap Laila pergi meninggalkan Abbas. 

"Ih aku mau nyari ilmu, gak nyari ukhti." Gumam Abbas lirih. 

"Apa sih dari tadi kok ngomong ukhti-ukhti terus. " Tanya ibunya yang berdiri di ambang pintu kamar Abbas. 

"Gak kok bu, itu Laila bercanda. " Balas Abbas sambil memasukkan bajunya ke dalam tas. 

"Jatuh cinta itu gapapa, enggak salah. Yang salah itu, kamu menyakiti hati seorang wanita dengan mengatas namakan cinta. " Jelas Ibu Abbas. "Besok, kalau kamu kenal sama akhwat, di jaga hatinya ya wkwk. " Pesan ibunya yang kini sedang duduk di samping Abbas. 

"Eh kok jadi ngomongin akhwat si Bu. " Balas Abbas yang berhenti memasukkan bajunya, kini ia menoleh pada ibunya. 

"Ini pesan kok. Wkwk. " Jawab ibunya seraya berjalan keluar kamar. 

Rasanya semuanya jadi membicarakan "akhwat" saat aku akan pindah ke Pondok itu. Hanya karena sekolahnya menjadi satu, satu yayasan dengan Pondok, satu kompleks dengan akhwat. Mereka langsung menggodaku dengan hal-hal seperti itu. Padahal ini bukan kali pertamanya aku satu sekolahan dengan akhwat. Dahulu waktu Sekolah Dasar, aku juga satu kelas dengan akhwat. Ada-ada saja. 

***

"Kita udah sampai. " Ucap ayahnya Abbas saat melihat Gapura Pondok yang ada di depan sana. 

"Iya Bah, " jawab Abbas singkat. 

Tepat pada saat itu ia berhenti di depan bangku Bapenta putra. "Kamu tunggu sini ya, aku parkir dulu. " Ucap Ayah Abbas, membuat Abbas hanya mengangguk pelan. 

"Kak Tykah!" Sapaku seraya duduk di sampingnya. 

"Eh Put, mau bantuin di bagian bapenta?" Tanya Kak Tykah yang ikut duduk di sampingku. 

"Emm, boleh Kak. Di sini ngapain aja tugasnya? " tanyaku. 

"Nerima tamu lah, ngapain lagi. " Jawab Kak Tykah seraya tertawa. "Lihat tuh, Farhan. Kek gitu nerima tamunya. " Sambungnya seraya menunjuk Kak Farhan yang sedang menerima tamu di bagian bangku putra. Sontak aku menoleh pada Kak Farhan di sana, " Silahkan Bu, ditulis dulu nama santri nya. " Ucap Kak Tykah yang mulai berdiri dan mempersilahkan wali santri yang baru datang. Ku alihkan pandanganku, kemudian aku melihat wali santri yang baru datang serta ikut berdiri seperti Kak Tykah. 

***

Acara pelepasan Santri baru dimulai tepat pada waktunya. Sebagian dari kami ikut menyaksikan, sebagian pula ada yang di bawah. Hanya sekedar duduk-duduk di kursi Bapenta atau bagian menunggu barang-barang. 

Aku memutuskan untuk melihat sebentar acara tersebut. Kami melihat Ustadz pimpinan kami sedang duduk di atas panggung, menyampaikan sedikit tausyiah untuk mengawali acara pagi hari ini. 

"Patah telah tumbuh, dan kini sudah terganti. " Itulah kalimat yang beliau ucapkan. Mengibaratkan Santri baru ini adalah bagian yang sedang tumbuh, menggantikan para Santri yang telah lulus. 

Bersambung.... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status